Penerapan Yurisdiksi Unversal Melalui Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

(1)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN

(CRIMES AGAINTS HUMANITY)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

050200293 FACHRIZAL LUBIS

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP

KEMANUSIAAN

(CRIMES AGAINTS HUMANITY)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum

OLEH

FACHRIZAL LUBIS 050200293

Departemen Hukum Internasional Disetujui oleh

Ketua Bagian

(Sutiarnoto MS, SH., M. Hum) NIP 19561010 198603 1 003

Pembimbing I Pembimbing II

(Prof. Sanwani Nst, SH) (Makhdin Munthe,SH, M.Hum)


(3)

KATA PENGANTAR

Syukur penulis ucapkan ke Hadirat Allah SWT yang telah mengkaruniai kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi Penulis ini berjudu l : “PENERAPAN YURISDIKSI UNVERSAL

MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY). Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universits Sumatera Utara Departemen Hukum Internasional.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH. MH selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin, SH.MH selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH. M. Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum


(4)

5. Bapak Sutiarnoto, SH, MS selaku ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Prof. Sanwani Nst, SH selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

7. Bapak Makhdin Munthe, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

8. Bapak/Ibu para dosen dan seluruh staf administrasi Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara dimana peenulis menimba ilmu selama ini.

9. Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat

disebutkan satu-persatu. Semoga persahabatan kita tetap abadi.

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Februari 2010


(5)

ABSTRAK

Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) pertama

kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa itu. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diperincikan dalam pasal 7 Statuta Roma 1998 yang secara umum merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara, atau pelaku non negara.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) adalah satu

dari empat kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), disamping

the crime of genocide, war crimes, dan the crimes of aggression. International crimes sendiri didefinisikan sebagai kajahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati immunitas dari jabatannya dan tidak ada proses peradilan oleh masyarakat internasional

terhadapnya. Dengan kata lain internasional crimes menganut azas universal


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Tulisan ... 5

D. Keaslian Tulisan ... 6

E. Tinjauan Kepustakaan... 7

F. Metode Penelitian ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI A. Pengertian dan Sejarah Ekstradisi ... 14

B. Ruang Lingkup Ekstradisi ... 22

C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi ... 26

D. Asas-Asas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi ... 29

BAB III BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY) A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan ( Crimes Againts Humanity) ... 35

B. Jenis-Jenis dan Prinsip-Prinsip Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) ... 37

C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam Statuta Roma 1999 ... 43

D. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa ... 47


(7)

E. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) dalam Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949 ... 51 BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI

MEKNISME EKSTRADISI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINGTS HUMANITY)

A. Penerapan Yurisdiksi Universal ... 57 B. Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya ... 63

C. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

dan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme

Ekstradisi ... 67 D. Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(Crimes Againts Humanity) Oleh Mahkamah Pidana

Internasional (International Criminal Court) Berdasarkan

Yurisdiksi Universal ... 71 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran ... 91 DAFTAR PUSTAKA


(8)

ABSTRAK

Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) pertama

kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah selesai Perang Dunia II karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan pada masa itu. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang diperincikan dalam pasal 7 Statuta Roma 1998 yang secara umum merupakan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat / instansi negara, atau pelaku non negara.

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) adalah satu

dari empat kejahatan-kejahatan internasional (international crimes), disamping

the crime of genocide, war crimes, dan the crimes of aggression. International crimes sendiri didefinisikan sebagai kajahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati immunitas dari jabatannya dan tidak ada proses peradilan oleh masyarakat internasional

terhadapnya. Dengan kata lain internasional crimes menganut azas universal


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengenalan “Crimes Againts humanity” ( Kejahatan terhadap

Kemanusiaan), pertama kali mulai dikenal dan telah menjadi hukum internasional positif yakni, setelah terjadi Perang Dunia II, sebagaimana ditegaskan dalam

Article 6 Charter of The International Military Trybunal Mahkamah Militer Internasional atau yang juga dikenal dengan London Agreement, August 8, 1945. Pasal 6 tersebut tidak mendefinisikan tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, melainkan hanya menjabarkan kejahatan-kejahatan apa saja yang merupakan

kejahatan terhadap kemanusiaan.1

Dalam pergaulan masyarakat internasional, khususnya masyarakat bangsa-bangsa atau negara-negara, seperti trauma terhadap akibat-akibat yang mengerikan dari Perang Dunia II, sehingga hal-hal yang merupakan penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia dan kemanusiaan mendapat prioritas dalam pengaturannya pada dalam internasional. Dalam waktu yang tidak begitu lama telah dihasilkan antara lain, Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948, konvensi Genocide pada tahun 1949, dan setahun kemudian dihasilkan konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Korban. Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1953 dikawasan Eropa Barat, lahirlah

European Convention on Human Rights and fundamental Freedoms (konvensi

1

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan(Crimes Againts humanity), http://www.sekitarkita. com.


(10)

Eropa tentang Hak-Hak Asasi dan Kebebasan Fundamental Manusia). Demikian pula dikawasan Amerika dan Afrika juga lahir konvensi-konvensi regional tentang hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1966, Majelis Umum PBB berhasil

menyepakati dua instrumen Hak-Hak Asasi Manusia, yakni, Covenant on Civil

and Political Rights dan Covenant on Economic and Cultural Rights.

Selanjutnya, berbagai instrumen Hak-Hak Asasi Manusia baik dalam ruang lingkup global dan regional, maupun yang bersifat sektoral serta spesifik, mulai

bermunculan.2

Semua ini dengan akibat-akibat yang tidak berbeda dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh Perang Dunia II, yakni tersentuhnya nilai-nilai kemanusiaan universal yang tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara, perbedaan ras, warna kulit, suku, etnis, agama, dan kepercayaan. Sebagai konsekuensinya, muncullah usaha-usaha untuk menginternasionalisasikan kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal ini dan mengaturnya dalam bentuk instrumen-instrumen hukum internasional, seperti perjanjian-perjanjian atau konvesi-konvensi internasional.

Demikian pula kejahatan-kejahatan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik yang terjadinya berhubungan dengan peperangan, maupun kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam keadaan normal (bukan keadaan perang), baik yang bersifat nasional atau domestik maupun internasional atau transnasional, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga semakin banyak bermuncullan.

2


(11)

Masyarakat nasional maupun internasional, mulai mengenal nama-nama kejahatan yang relatif yang agak baru, seperti kejahatan terrorisme, kejahatan penerbangan, kejahatan terhadap orang-orang yang memiliki hak-hak istimewa dan kekebelan diplomatik atau orang-orang yang mendapat perlindungan perlindungan secara internasional, kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, kejahatan menurut hukum internasional, dan lain sebagainya, disamping kejahatan sejenis yang sudah lebih dahulu dikenal seperti kejahatan perang, kejahatan genocide, kejahatan pembajakan dilaut dan kejahatan narkotika.

Sedangkan istilah kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againtst

Humanity), setelah diterapkan dalam proses peradilan para penjahat perang oleh Mahkamah Militer Internasional di Nurenberg 1946 dan Tokyo1948, selanjutnya berkembang dalam wacana akademik dalam bentuk karya-karya ilmiah para ahli hukum internasional. Namun dengan berjalannya waktu, istilah Kejahatan

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity) ini,mulai memudar untuk

beberapa lama dari wacana publik.

Pasal 5 Statuta Mahkamah Pidana Internasional (Traktat Roma,1998) menegaskan empat jenis kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah, yakni

kejahatan perang (war crimes), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts

humanity), kejahatan agresi (crimes agression) dan kejahatan genocide (crimes of

genocide). Sedangkan yang termasuk dalam ruang lingkup kejahatan terhadap

kemanusiaan adalah seperti yang tertuang dalam Pasal 7 dalam Statuta Roma 1998.


(12)

Jadi mengenai ruang lingkup dari kejahatan terhadap kemanusiaan sudah mengalami perluasan jika dibandingkan dengan ruang lingkupnya pada awal mula kemunculannya, yakni sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 Statuta Mahkamah Militer Internasional (perjannjian London,1945). Perluasan ini disebabkan karena perkembangan dari berbagai bentuk dan jenis kejahatan-kejahatan itu sendiri. Tentu saja secara hipotesis dapat dikemukakan, bahwa pada masa-masa yang akan datang dengan semakin bertambah atau berkembangnya bentuk dan jenis-jenis kejahatan maka ruang lingkup kejahatan terhadap kemanusiaan juga semakin bertambah luas. Jadi, untuk sementara waktu dapat dikatakan, bahwa apa yang

dinamakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) ini

hanyalah merupakan himpunan atau kumpulan dari beberapa kejahatan yang dapat saling berkaitan satu sama lainnya, yang dipandang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan secara universal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal diatas, maka penulis ingin lebih mengetahui tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui

Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity). Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Penerapan Yurisdiksi Universal?

2. Bagaimana Pelaksanaan Ekstradisi atas Pelaku Kejahatan pada umumnya?


(13)

4. Bagaimana Proses Peradilan atas Pelaku Kejahatan terhadap Kemanusiaan

(Crimes Againts humanity) oleh Badan Peradilan Internasional

Berdasarkan Yurisdiksi Universal?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga bertujuan untuk:

a. Untuk mengetahui bagaimana Penerapan Yurisdiksi Universal atas

kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity).

b. Untuk mengetahui bagaimana Pelaksanaan Ekstradisi atas Pelaku

Kejahatan pada umumnya.

c. Untuk mengetahui bagaimana Yuisdiksi Universal atas Kejahatan terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) melalui Mekanisme Ekstradisi.

d. Untuk mengetahui Bagaimana Proses Peradilan atas Pelaku Kejahatan

terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) oleh Badan Peradilan

Internasional Berdasarkan Yurisdiksi Universal.

2. Manfaat Penulisan

Disamping itu tentunya diharapkan dengan adanya pembahasan ini, maka penulis berharap dapat memberikan masukan dan manfaat untuk:

a. Manfaat Teoritis

1) Memberikan masukan sekaligus pengetahuan kepada kita tentang


(14)

Mekanisme Ekstradisi dan bagaimana eksistensinya atas Kejahatan

terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity).

2) Memberikan masukan dan manfaat dalam rangka pengembangan

ilmu pengetahuan dan dimana dalam penulisan skripsi ini penulis memberikan analisa-analisa yang brsifat objektif.

b. Manfaat Praktis

Yaitu memberikan masukan sekligus pengetahuan kepada para pihak dalam kaitannya dengan perkembangan politik dunia mengenai Penerapan Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi pada saat ini khususnya

dalam kaitannya dengan Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity).

D. Keaslian Penulisan

Pembahasan ini dengan judul: “Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui

Mekanisme Ekstradisi Atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity)”, adalah judul yang sebenarnya tidak asing lagi ditelinga kita, karena sebelumnya telah banyak dibahas diberbagai media, namun dalam pembahasan skripsi ini penulis khusus membahas mengenai masalah Penerapan Yurisdiksi Universal Melalui Mekanisme Ekstradisi atas Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

(Crimes Againts humanity), khususnya mengenai bagaimana sebenarnya

Penerapan Yurisdiksi Universal melalui Mekanisme Ekstradisi dan apa


(15)

Judul ini adalah murni hasil pemikiran dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Ekstradisi

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang

berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya

ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan

terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara

peminta.3

Menurut I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk

mengadili atau melaksanakan hukumannya.”4

3

www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc

4

I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional,


(16)

M. Budiarto5

a. L. Oppenheim menyatakan:

, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.

Sedangkan sarjana-sarjana asing yang memberikan definisi ialah:

Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”.6

b. J. G. Starke memberikan pengertian sebagai berikut:

“The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”.7

Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang

5

M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, hal.13.

6

L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal. 696

7


(17)

melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut

disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).

Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur

ekstradisi sebagaimana ditentukan penagaturannya.8

Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dunia II. Amerika Serikat dan sekutunya menilai para pelaku (NAZI) dianggap

bertanggung jawab terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) pada masa tersebut.

2. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts Humanity)

9

Adapun definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

Humanity) menurut Statuta Mahkamah Internasional pada Pasal 7 Statuta Roma

adalah : salah satu dari perbuatan berikut apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk

8

www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc,op.cit.

9

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity), http://www.organisasi. com.


(18)

sipil, lebih lagi kejahatan yang dilakukan dalam kejahatan yang dikualifikasi

sebagai Crimes Againts humanity, antara lain;

a) murder (pembunuhan),

b) exterminatio (pembasmian/pemusnahan), c) enslavement (perbudakan),

d) deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau

pemindahan secara paksa atas penduduk),

e) penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang

merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention

or deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms),

f) torture (penyiksaan),

g) rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau

penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan prostitusi),

h) penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia

berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama,

gender, atau alasan-alasan lain yang serupa (persecution againts any

identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural or relegious or gender or other similar grounds),

i) enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas

seseorang individu),

j) tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawai atau tidak


(19)

serupa yang mengakibatkan penderitaan yang berat atau kerusakan yang

serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik (other inhumane acts

ofa similar character causing great sufering or serious injury to body or mental or physical health).10

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/ instansi negara,

atau pelaku non negara.11 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional”

(international crimes), disamping The Crime of Genocide, War Crimes dan The

Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai

kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya, dan tidak ada yurisdiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi digunakan untuk mencegah proses peradilan

oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, internasional

crimes ini menganutasas universal yurisdiction.12

10

Statuta Roma 1998, pasal 7 11

Ibid 12

Ibid

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mempergunakan dan melakukan pengumpulan data-data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini

dengan cara Library Reseach (penelitian kepustakaan) sebagai bahan utama yaitu

melakukan penelitian dari berbagai sumber berita seperti surat kabar, internet dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.


(20)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, maka penulis akan membuat sistematikan secara teratur dalam bagian-bagian yang semuanya saling berhubungan satu sama dengan yang lainnya.

Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan diantara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab.

Adapun gambaran isi atau sistematika tersebut adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pembukaan yang berisikan Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan dan yang terakhir adalah gambaran isi yang merupakan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI

Pada bab ini akan diuraikan mengenai Pengertian dan Sejarah Ekstradisi, Ruang Lingkup Ekstradisi, Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi, Azas-azas Yang Terdapat Dalam Eksradisi.

BAB III BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

Pada bab ini akan dibahas mengenai Pengertian Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity), Jenis-jenis dan Prinsip-prinsip


(21)

Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Statuta Roma 1999,

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Piagam

Perserikatan Banga-Bangsa, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts

humanity) dalam Konvensi Den Haag 1907 dan Konvensi Jenewa 1949.

BAB IV PENERAPAN YURISDIKSI UNIVERSAL MELALUI MEKANISME EKSTRADISI ATAS KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

Pada bab ini akan dibahas mengenai Penerapan Yurisdiksi Universal, Ekstradisi Atas Pelaku Kejahatan Pada Umumnya, Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dan Penerapan Yurisdiksi Universal

Melalui Mekanisme Ekstradisi, Proses Peradilan Atas Pelaku Kejahatan Terhadap

Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) Oleh Mahkamah Pidana Internasional


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI MEKANISME EKSTRADISI

A. Pengertian Ekstradisi dan Sejarah Ekstradisi

Ekstradisi berasal dari kata latin “axtradere” (extradition = Inggris) yang

berarti ex adalah keluar, sedangkan tradere berarti memberikan yang maksudnya

ialah menyerahkan. Istilah ekstradisi ini lebih dikenal atau biasanya digunakan

terutama dalam penyerahan pelaku kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta.

Menurut I Wayan Parthiana, SH13

M. Budiarto

, “Ekstradisi adalah Penyerahan yang dilakukan secara formal baik berdasarkan perjanjian ekstradisi yang diadakan sebelumnya atau berdasarkan prinsip timbal balik, atas seseorang yang tertuduh (terdakwa) atau atas seorang yang telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang dilakukannya (terhukum, terpidana) oleh negara tempatnya melarikan diri atau berada atau bersembunyi kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut, dengan tujuan untuk mengadili atau melaksanakan hukumannya.”

14

13

I Wayan Pharthiana, Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”.

Alumni, Bandung, 1993, hal. 16. 14

M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak Azasi Manusia,

, mengatakan bahwa secara umum ekstradisi dapat diartikan suatu proses penyerahan tersangkan atau terpidana karena telah melakukan suatu kejahatan yang dilakukan secara formal oleh suatu negara kepada negara lain yang berwenang memeriksa dan mengadili pelaku kejahatan tersebut.


(23)

L. Oppenheim15

J. G. Starke

menyatakan:

“Extradition is the delivery of an accused or confited individual to the state on whose teritory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state on whose territory the alleged criminal happens for the time to be”.

Yang artinya ialah; ekstradisi adalah penyerahan seorang tertuduh oleh suatu negara diwilayah mana ia suatu waktu berada, kepada negara dimana ia disangka melakukan atau telah melakukan atau telah dihukum karena perbuatan kejahatan.

16

15

L. Oppenheim, International Law A Treaties, 8 th edition, 1960, vol. On-Peace, Hal. 696

16

J. G. Starke, An Introduction International Law (terjemahan F. Isjwara) Penerbit Alumni, Bandung, Hal. 13

memberikan pengertian sebagai berikut:

“The term extradition denotes the process where by under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence comitted againts the law of the requesting state competent to try alleged offender”.

Artinya ialah penyerahan (Ekstradisi) menunjukkan suatu proses dimana suatu negara menyerahkan atas permintaan negara lainnya, seorang dituduh karena kriminal yang dilakukannya terhadap undang-undang negara pemohon yang berwenang untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut. Biasanya kejahatan yang berwenang untuk mengadili penjahat tersebut yang dilakukannya dalam wilayah yang diserahkan.


(24)

Pada umumnya, ekstradisi adalah merupakan sebagai tujuan politik dan merupakan sarana untuk mencapai tujuan kekuasaan, namun pada saat ini ekstradisi dipraktekkan guna menembus batas wilayah negara dalam arti agar hukum pidana nasional dapat diterapkan terhadap para penjahat yang melarikan diri ke negara lain atau agar keputusan pengadilan terhadap seorang penjahat yang melarikan diri ke luar negeri dapat dilaksanakan. Secara umum permintaan ekstradisi didasarkan pada perundang-undangan nasional, perjanjian ekstradisi, perluasan konvensi dan tata krama internasional. Tetapi bila terjadi permintaan ekstradisi diluar aturan-aturan tersebut, maka ekstradisi dapat dilakukan atas dasar hubungan baik antara suatu negara dengan negara lain, baik untuk kepentingan timbal balik maupun sepihak. Praktek ekstradisi yang didasarkan tata cara tersebut

disebut ”Handing Over” atau Disguished Extradition” (ekstradisi terselubung).

Handing Over atau Disguished Extradition diartikan sebagai penyerahan pelaku kejahatan dengan cara terselubung atau dengan kata lain penyerahan pelaku kejahatan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan proses dan prosedur ekstradisi sebagaimana ditentukan dalam pengaturannya diekstradisi.

Dalam memberikan definisi mengenai ekstradisi ini penulis hanya mengemukakan beberapa pendapat dari para sarjana, namun tidaklah berarti sarjana-sarjana termuka lainnya tidak memberikan definisi. Akan tetapi masih banyak lagi sarjana-sarjana yang memberikan batasan-batasan.

Ekstradisi pertama sekali dikenal yakni dengan adanya perjanjian yang dibuat secara tertulis pada tahun 1979 sebelum Masehi antara Ramses II dari Mesir dengan Hattusili dari Kheta. Perjanjian bantuan timbal-balik termasuk juga


(25)

kerja sama dalam menghadapi musuh-musuh dalam negeri yang harus diserahkan kepada negara asal kalau pelaku kejahatan berlindung pada raja dan negara lain. Dengan dibuatnya perjanjian antara kedua negara tersebut menandakan adanya tahap-tahap permulaan dari lahirnya perjanjian ekstardisi. Akan tetapi suatu hal yang merupakan ciri istimewa dalam perjanjian yang dibuat pada tahun 1279 sebelum Masehi ini adalah adanya ketentuan bahwa orang yang akan diserahkan

tidak dijatuhi hukuman.17

Kemajuan-kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi disertai dengan berkembangnya pemikiran-pemikiran yang baru dalam bidang politik, ketatanegaraan dan kemanusiaan turut pula memberikan dorongan terhadap perkembangan lembaga ekstradisi dalam konteks hukum internasional. Memang kita akui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan pada satu sisi dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, namun pada sisi lain timbul pula efek-efek negatifnya. Misalnya timbulnya kejahatan-kejahatan dalam bidang keuangan, perbankan, kejahatan komputer dan lain-lain yang dapat menimbulkan akibat yang cukup meresahkan masyarakat tidak saja pada satu negara tetapi juga berpengaruh pada negara-negara lain. Dengan demikian untuk mengantisipasi kejahatan-kejahatan yang berkembang tersebut sangat diperlukan adanya kerja sama antara negara-negara dalam menanggulanginya. Hal ini dapat diwujudkan misalnya, dengan menangkap pelaku kejahatan yang melarikan diri dan menyerahkannya kepada negara yang mempunyai yurisdiksi untuk mengadili dan menghukumnya atas permintaan dari negara tersebut. Dengan demikian kita dapat

17

Arthur Nussbaum, Terjemahan Sam Suheidi, “Sejarah Hukum internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969,hal 3.


(26)

melihat bahwa ekstradisi adalah merupakan sarana yang ampuh untuk memberantas kejahatan.

Memang kita akui bahwa lembaga ekstradisi adalah lembaga atau sarana yang ampuh untuk dapat memberantas kejahatan. Hal ini hanya dapat diwujudkan jika terdapat hubungan yang baik antara negara-negara didunia, sehingga dapat lebih memudahkan dan mempercepat peneyerahan penjahat pelarian. Namun bukanlah tidak mungkin yang terjadi adalah sebaliknya, dimana antara negara sipelaku kejahatan dengan negara dimana ia melarikan diri saling bermusuhan, sehingga sangat sulit untuk saling menyerahkan penjahat pelarian. Bahkan masing-masing pihak akan membiarkan wilayahnya dijadikan sebagai tempat pelarian dan mencari perlindungan bagi penjahat-penjahat dari negara musuhnya. Dengan demikian kesediaan menyerahkan penjahat pelarian bukanlah didasarkan bahwa orang yang bersangkutan patut diadili dan dihukum. Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau beberapa orang yang bersangkutan patut untuk dilindungi. Apabila hubungan kedua negara yang semula bersahabat berubah menjadi bermusuhan, maka kerja sama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat tersebut, Demikian pula sebaliknya. Disamping itu pula praktek-pratek penyerahan penjahat pelarian belum didasarkan atas keinginan untuk kerja sama dalam mencegah dan memberantas kejahatan.

Dalam merumuskan dan membuat perjanjian-perjanjian ekstradisi, negara-negara yang bersangkutan perlu memperhatikan beberapa aspek, baik aspek pemberantasan kejahatan dimana individu sipelaku kejahatan tetap diberikan hak


(27)

dan kewajiban. Dengan demikian perjanjian-perjanjian ekstradisi dalam isi dan bentuknya yang modern memberikan jaminan kesimbangan antara tujuan memberantas kejahatan dan penghormatan hak-hak azasi manusia. Apalagi masalah hak azasi manusia adalah merupakan masalah yang cukup aktual dibicarakan didunia. Prinsip tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik adalah merupakan wujud dari pengakuan hak azasi manusia untuk menganut keyakinan politik atau hak politik seseorang.

Pada masa sekarang ini, didalam pelaksanaannya negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak harus tergantung kepada adanya perjanjian antara negara-negara tersebut. Bisa saja antara kedua negara tersebut tidak mempunyai perjanjian ekstradisi, namun mereka menyerahkan penjahat-penjahat pelarian untuk diadili, meskipun bukti-bukti untuk menguatkan dugaan tentang kejahatan belum dapat ditunjukkan. Hal ini umumnya terjadi diantara negara-negara yang mempunyai hubungan yang baik. Dengan demikian tidaklah berarti bahwa adanya perjanjian merupakan persyaratan yang mutlak dalam melaksanakan penyerahan penjahat tersebut.

Agar dapat dimengerti dan dipahami lebih dalam mengenai ekstradisi, maka haruslah diketahui hal-hal pokok-pokok atau unsur-unsur dari ekstradisi itu sendiri. Menurut I Wayan Parthiana, SH ada beberapa unsur dari ekstradisi yakni:

1. Unsur Subjek.

Yang dimaksud dengan unsur Subjek adalah negara. Dalam hal ini ada 2 (dua) negara yang terkait yakni:


(28)

a) Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum sipelaku kejahatan.

b) Negara tempat pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh, terdakwa)

atau siterhukum itu berada atau bersembunyi.

Negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukum ini sangat berkepentingan untuk mendapatkan kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Biasanya negara yang memiliki yurisdiksi untuk menghukum ini lebih dari satu. Untuk mendapatkan kembali orang yang bersangkutan, negara atau negara-negara tersebut mengajukan permintaan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara ini

disebut negara peminta (the resqusthing state).

Negara tempat pelaku kejahatan berada atau bersembunyi diminta oleh negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili supaya menyerahkan orang yang berada dalam wilayahnya itu (tersangka, terhukum) yang dengan singkat

disebut negara diminta (the resquithing State).

2. Unsur Objek.

Unsur objek yang dimaksud adalah sipelaku itu sendiri (tersangka, tertuduh, terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara diminta supaya diserahkan. Dengan perkataan lain disebut sebagai “orang yang diminta”. Walaupun sebagai objek namun sebagai manusia dia harus diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang azasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun.


(29)

3. Unsur Tata cara dan Prosedur.

Maksud dari pada unsur tata cara atau prosedur yakni bagaimana tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua belah pihak atau apabila perjanjian itu belum ada juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Kalau tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, maka sitersangka tidak boleh ditangkap atau diserahkan. Kecuali penangkapan atau penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atau orang yang kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara yang bersangkutan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan atau menurut hukum kebiasan internasional.

4. Unsur Tujuan.18

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur tujuan adalah untuk tujuan apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Hal ini tentunya melihat kepada bentuk kejahatan yang telah melakukan suatu kejahatan yang menjadi yurisdiksi negara atau negara diminta. Penyerahan atau ekstradisi yang dimaksudkan ialah untuk mengadili pelaku kejahatan tersebut dan menjatuhkan hukuman apabila terbukti bersalah dan agar sipelaku kejahatan

18

I Wayan Parthiana, SH, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional”. Alumni Bandung 1993, hal.17.


(30)

menjalani hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya yang telah mempunyai kekuatan hukum dinegara yang berwenang mengadilinya. Namun satu hal yang lebih penting bukan hanya menyeret pelaku kejahatan kedepan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya secara hukum, tetapi lebih jauh lagi sebagai upaya mencegah makin meluasnya tindakan serupa yang akan mengancam keamanan dan ketertiban serta keselamatan internasional yang sudah menjadi tanggung jawab dari seluruh negara-negara didunia ini.

B. Ruang Lingkup Ekstradisi

Pada masa sekarang ini, akibat dari kemajuan teknologi yang semakin canggih khususnya dibidang komunikasi dan kedirgantaraan, maka jarak antara satu negara dengan negara lain dapat ditempuh dengan waktu yang singkat. Disatu sisi kemajuan ini tentunya berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan diseluruh dunia tetapi disisi lain hal ini sangat berpengaruh pula terhadap kecanggihan-kecanggihan baik dari bentuk-bentuk kejahatan maupun pelaku-pelaku kejahatan dalam menghindari tuntutan yang akan dijatuhkan terhadapnya.

Seorang pelaku kejahatan tentunya dengan mudah untuk mudah melarikan

diri ke negara lain untuk menghindari tuntutan dan ancaman yang akandijatuhkan

terhadapnya. Jika hal ini terjadi, maka telah terlibatlah kepentingan dua negara bahkan lebih.

Agar orang yang telah melakukan kejahatan disuatu negara dimana ia telah melarikan diri ke negara lain dapat dihukum, maka negara tempat ia melakukan kejahatan tersebut tidak dengan mudah menghukum dan menangkapnya dinegara


(31)

lain, karena hal ini telah melanggar kedaulatan di wilayah negara lain. Ini hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dari negara dimana sipelaku tersebut berada. Jika dilakukan tanpa adanya persetujuan dari negara tersebut maka hal ini telah dipandang sebagai intervensi atau campur tangan yang dilarang menurut hukum internasional.

Cara yang legal untuk dapat mengadili dan menghukum sipelaku kejahatan itu ialah dengan meminta kepada negara tempat sipelaku kejahatan itu berada, supaya menangkap dan menyerahkan orang tersebut. Sedangkan negara tempat sipelaku kejahatan berada, setelah menerima permintaan untuk menyerahkan itu dapat menyerahkan sipelaku kejahatan tersebut kepada negara atau salah satu negara yang mengajukan permintaan penyerahan tersebut. Cara atau prosedur semacam ini telah diakui dan merupakan prosedur yang telah umum dianut baik dalam hukum internasional maupun dalam hukum nasional yang lebih dikenal dengan ekstradisi.

Hal ini tentunya dapat berjalan dengan lancar jika hubungan antara negara yang meminta penyerahan dengan negara yang diminta penyerahannya berjalan dengan lancar pula. Secara teoritis kelihatannya ekstradisi ini mudah untuk dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya ditemui banyak kesulitan-kesulitan. Apabila dalam pelaksanaan ekstradisi ini tidak ada satu patokan apakah harus ada perjanjian antara negara-negara tersebutnya sebelumnya atau tidak.

Oleh karena itulah kita harus melihat ekstradisi ini dari lingkup yang lebih luas, baik dalam konteks hukum internasional maupun dalam konteks hukum nasional.


(32)

Dalam hukum internasional, sampai saat ini belum mengenal adanya suatu

perjanjian internasional multilateral (International Convention) yang mengatur

lembaga ekstradisi secara umum atau universal. Yang ada dikalangan masyarakat

internasional (International Community) kebanyakan ialah perjanjian bilateral

ekstradisi dan sejumlah kecil perjanjian multilateral yang sifatnya kerja sama regional dibidang ekstradisi, misalnya:

The Arab Leage Extradition Agreement Tahun 1952.

The Inter America Convention Extradition.

European Extradition Convention, dan lain-lain.

Memang diakui, agar ekstradisi mudah dilakukan maka keberadaan perjanjian internasional tentang ekstradisi sebelumnya akan sangat diperluka. Dengan demikian penyerahan seorang dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang telah diletakkan dengan pasti dalam perjanjian tersebut. Walau demikian, tanpa adanya perjanjian ekstradisi penyerahan seseorang yang dituduh melakukan kejahatan dapat dilakukan menurut hukum kebiasaan internasional.

Ekstradisi yang dimintakan bukan berdasarkan suatu perjanjian internasional (karena adanya traktat) biasanya sering menimbulkan masalah. Hal ini disebabkan tidak adanya dasar hukum yang pasti yang dapat digunakan sebagai landasan untuk menyerahkan seseorang. Dalam keadaan demikian itu umumnya penyerahan seseorang yang tertuduh melakukan kejahatan dilakukan

dengan cara permintaan secara sopan santun internasional (international

courtesty), perlakuan timbal balik (reciprocity), juga berupa kemurahan hati


(33)

Ekstradisi tumbuh dan berkembang dari praktek negara-negara yang lama kelamaan bekembang menjadi hukum kebiasaan. Negara-negara mulai merumuskannya didalam perjanjian-perjanjian ekstradisi baik yang bilateral, multilateral, ataupun multilateral regional. Disamping menambahkan ketentuan-ketentuan baru sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Beberapa konvensi internasional yang dapat dijadikan dasar hukum sebagai pelaku kejahatan menurut ketentuan tentang ekstradisi sebenarnya juga sudah ada sebelumya, misalnya kejahatan penerbangan yang telah diatur dalam konvensi Tokyo 1963, konvensi Den Haag 1970, konvensi Montreal 1971, konvensi Tentang Obat Bius 1971, dan lain-lain.

Disamping melihatnya dari aspek hukum internasional, ekstradisi juga harus dilihat dari aspek hukum nasional, karena tidaklah mungkin pembahasan ekstradisi dapat dipecahkan jika hanya ditinjau dari sisi hukum internasional saja. Hal ini disebabkan karena adanya hal-hal yang tidak diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjian-perjanjian ekstradisi, terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjian-perjanjian ekstradisi menunjukkan kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Misalnya tentang penangkapan dan penahanan orang yang diminta, keputusan tentang penentuan kejahatannya apakah termasuk kejahatan politik atau tidak, tentang lembaga atau instansi yang berwenang untuk memutuskan apakah permintaan akan diterima atau ditolak dan lain-lain sebagainya. Namun bukan hukum nasional yang sudah ada itu sendiri masih


(34)

belum dapat menjawab semua masalah yang timbul bertalian dengan ekstradisi ini. Oleh karena negara-negara juga memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur mengenai tentang ekstradisi. Disamping itu, mengadakan perjanjian-perjanjian ekstradisi dengan negara-negara lain.

Perjanjian-perjanjian yang telah lebih dahulu diadakan, akan merupakan pembatasan-pembatasan yang harus diperhatikan oleh negara yang bersangkutan apabila kemudian hendak membuat undang-undang ekstradisi nasional. Hal ini dimaksudkan supaya tidak timbul pertentangan antara ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ekstradisi dengan terdapat didalam perundang-undangan ekstradisi itu sendiri.

Hukum internasional pada prinsipnya tidak membenarkan suatu negara melalaikan kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam hukum internasional berdasarkan alasan-alasan yang merupakan masalah dalam negeri dari negara yang bersangkutan.

C. Prosedur Dalam Pelaksanaan Ekstradisi

Yang dimaksud dengan prosedur disini ialah tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri dengan segala hal yang ada hubungannya dengan itu.

Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Penyerahan dan permintaan itu haruslah didasarkan pada perjanjian ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara masing-masing kedua belah pihak. Apabila


(35)

perjanjian itu tidak ada, juga bisa didasarkan pada azas timbal balik yang telah disepakati. Jadi bila sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap, atau ditahan ataupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut.

Permintaan untuk menyerahkan itu haruslah diajukan secara formal kepada negara diminta sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan untuk menyerahkan tersebut tidak diajukan secara formal melainkan hanya informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan ataupun dalam konferensi internasional. Hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi. Tetapi barulah merupakan tahap penjajakan saja.

Sebelum permohonan ekstradisi diajukan melalui saluran dipomatik, harus

ada dua faktor yang harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:19

1. Adanya orang yang harus diserahkan (extraditiable person)

Dalam praktek ekstradisi umumnya terdapat keseragaman antara negara-negara, yaitu bahwa negara peminta lazimnya memperoleh orang yang diminta, bila orang itu warga negara dari peminta atau warga negara suatu negara ketiga, dimana adanya perjanjian sebelumnya. Tetapi kebanyakan negara yang diminta

19


(36)

biasanya menolak untuk menyerahkan warga negaranya sendiri untuk diserahkan kepada negara lain. Dengan perkataan lain warga negara yang telah melakukan

kejahatan akan diserahkan kembali kenegara asalnya (non extradition of

nationals).

2. Kejahatan yang dapat diserahkan (extraditiable offence)

Kejahatan yang dapat diserahkan pada umumnya atas kesepakatan dari negara yang melaksanakan perjanjian tersebut dengan pengecualian yaitu:

a) Kejahatan politik.

b) Kajahatan militer.

c) Kejahatan agama.20

Dalam praktek negara-negara dewasa ini, dalam menetapkan kejahatan-kejahatan apa yang dapat diserahkan, dipergunakan salah satu dari tiga sistem, yaitu:

1) Sistem Enumeratif atau sistem daftar (list system) yaitu sistem yang

memuat dalam perjanjian suatu daftar yang mencantumkan satu persatu kejahatan mana yang dapat diekstradisi.

2) Sistem Eliminatif, yaitu sistem yang hanya menggunakan maksimum

hukuman atau minimum hukuman sebagai ukuran untuk menerapkan apakah suatu kejahatan merupakan kejahatan yang dapat diserahkan atau tidak, tanpa menyebutkan satu persatu nama delik yang dapat diekstradisi.


(37)

3) Sistem campuran yang merupakan kombinasi sistem enumeratif dan

sistem eliminatif, mencantumkan juga kejahatan dengan minimum atau

maksimum hukumman yang dapat diekstradisi.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa untuk melaksanakan ekstradisi ini haruslah dilihat kepada perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan jika tidak ada perjanjian ekstradisi sebelumnya harus menuruti prinsip timbal balik yang disepakati.

D. Azas-azas Yang Terdapat Dalam Ekstradisi

Azas-azas atau dasar-dasar yang dipakai dalam ekstradisi, apakah itu merupakan perjanjian ekstradisi bilateral atau multilateral maupun dalam undang-undang nasional suatu negara megenai ekstradisi pada pokoknya adalah sama. Dasar-dasar yang sama tersebut terus diikuti oleh negara-negara yang membuat perjanjian ekstradisi maupun yang merumuskan peraturan ekstradisi dalam perundang-perundangan.

Dengan demkian azas-azas yang sama ini telah dapat diterima dan diikuti sebagai azas-azas yang melandasi ekstradisi. Adapun azas-azas tersebut ialah:

1. Azas Kejahatan Ganda (Double Criminality).

Azas ini merupakan azas yang memandang bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang tersebut juga diyakini dan diterima sebagai suatu kejahatan yang terhadapnya harus dijatuhi hukuman baik oleh negara peminta maupun negara diminta. Dengan demikian apabila negara diminta memandang bahwa permintaan dari negara peminta terhadap orang yang perbuatannya bukanlah merupakan perbuatan


(38)

kejahatan dinegara yang diminta maka negara tersebut tidak dapat menyerahkan orang yang diminta tersebut kepada negara peminta, karena hal ini akan melanggar azas kejahatan ganda yang telah diterima sebagai azas utama dalam suatu perjanjian ekstradisi yang telah dibuat sebelumnya. Dengan perkataan lain bahwa penyerahan pelaku kejahatan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan orang tersebut merupakan kejahatan yang diakui oleh kedua negara.

2. Azas Kekhusussan atau Specially.

Azas ini berhubungan dengan azas yang pertama karena azas ini mengatur tentang penyerahan atas tuduhan kejahatan yang disebutkan dalam permintaan penyerahan pelaku kejahatan.

Jika sipelaku kejahatan tersebut hanya melakukan satu kejahatan saja dan sipelaku diminta untuk diserahkan berdasarkan atas kejahatan tersebut tidaklah menjadi masalah. Namun bagaimana jika sipelaku tersebut telah melakukan pembunuhan, sipelaku juga melakukan kejahatan penipuan, pemalsuan mata uang dan lain-lain yang kesemua jenis kejahatan ini dapat dijadikan dasar untuk penyerahannya kepada negara peminta.

Untuk itulah harus ditentukan secara khusus oleh negara peminta atas dasar kejahatan apa sipelaku tersebut diminta untuk diserahkan, sekalipun semua jenis kejahatan yang dilakukan dapat dijadikan dasar untuk penyerahan tersebut.

Oleh karena itu negara peminta dalam mengajukan permintaan penyerahan itu harus menegaskan untuk kejahatan apa saja orang tersebut diminta penyerahannya. Kemudian negara diminta mempertimbangkan apakah penyerahan dilakukan atau ditolak. Apabila negara diminta berpendapat bahwa


(39)

sipelaku tersebut akan diserahkan maka negara diminta harus menegaskan pula untuk kejahatan apa sipelaku tersebut diserahkan. Dalam hal ini ada 2 (dua) kemungkinan yakni:

 Negara diminta menyerahkan sipelaku tersebut berdasarkan semua

kejahatan yang telah dituduhkan kepadanya.

 Negara diminta hanya menyerahkan sipelaku berdasarkan beberapa

atau sebagian perbuatan kejahatan yang dituduhkan kepada pelaku tersebut:

Dalam hal peradilannya, maka sipelaku hanya boleh dituntut oleh negara peminta berdasarkan jenis-jenis kejahatan untuk mana sipelaku tersebut diserahkan oleh negara diminta. Diluar dari kejahatan tersebut sipelaku tidak dibenarkan untuk dituntut. Hal ini penting karena tujuan ekstradisi itu sendiri adalah untuk menjamin kepastian hukum terutama dalam kaitannya dengan kepastian hukum bagi orang yang diminta.

3. Azas Tidak Menyerahkan Pelaku Kejahatan Politik (Non Extradition of

Political Criminal).

Kejahatan politik mempunyai pengaturan tersendiri dalam perjanjian politik maupun perundang-undangan mengenai ekstradisi. Terhadap kejahatan politik erat kaitannya dengan pengakuan tentang hak-hak azasi manusia yang tertuang dalam deklarasi tentang hak-hak azasi manusia yang dalam salah satu isinya ialah setiap orang berhak mencari dan menikmati perlindungan politik dari negara lain. Meskipun Pasal tersebut tidak mewajibkan suatu negara untuk memberikan perlindungan kepada setiap individu yang datang meminta


(40)

perlindungan kepadanya.21

4. Azas Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non Extradition Nationality).

Dengan demikian negara peminta apabila memandang bahwa kejahatan yang dilakukan oleh sipelaku yang melarikan diri tersebut sebagai kejahatan politik, maka sebaiknya tidak meminta kepada negara lain, karena besar kemungkinan permintaan tersebut akan ditolak oleh negara diminta. Kalau persoalan hak azasi manusia menjadi cukup kompleks aplikasinya, karena hak azasi manusia dimasuki unsur politik, dan topik itu akan selalu menarik untuk dibicarakan sebahagian manusia baik oleh negara-negara yang telah benar-benar menghormati hak azasi manusia secara formal dan material ataupun bagi negara-negara yang kurang menghormati. Bagi negara-negara yang sudah menghormati hak-hak azasi manusia akan dijadikan contoh kebaikannya, dan yang sebaliknya dijadikan intropeksi bagi negaranya.

Negara diminta diberikan kekuasaan untuk tidak menyerahkan warga negaranya kepada negara peminta sehubungan dengan kejahatan yang dilakukannya dinegara tersebut dengan pertimbangan bahwa setiap negara wajib melindungi warga negaranya, karena dikhawatirkan apakah negara peminta akan mengadilinya secara jujur dan adil serta keobjektifannya sehingga warga negara tersebut betul-betul memperoleh keadilan yang sama dengan apabila ia diadili dinegaranya sendiri.

5. Azas Non Bis In Idem.

Azas ini memberikan kepastian hukum bagi pelaku kejahatan untuk tidak dihukum dua kali dengan kejahatan yang sama. Suatu peristiwa pidana dapat saja

21


(41)

melibatkan lebih satu negara yang berhak atas yurisdiksi bagi kejahatan tersebut. Apabila pelaku kejahatan telah dijatuhi hukumman dinegara dimana ia berada, maka negara peminta tidak dapat meminta penyerahan penjahat tersebut untuk diekstradisi karena kejahatan yang sama yang baginya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti dinegara diminta. Karena tujuan ekstradisi adalah memberantas kejahatan dengan kerja sama tanpa mengesampingkan pelaku sebagai manusia dengan segala hak dan kewajibannya yang harus dijamin dan dihormati.

6. Azas Kedaulatan.

Azas ini berbeda tetapi mengandung makna yang sama, yaitu tidak akan melakukan penyerahan apabila penuntutan atau pelaksanaan hukumman terhadap kejahatannya yang dijadikan dasar untuk meminta penyerahan telah kadaluarsa menurut hukum dari salah satu pihak. Batasan waktu yang diberikan sehubungan dengan ini bagi tiap-tiap perjanjian berbeda. Suatu peristiwa dianggap kadaluarsa apabila telah lewat waktunya yang seharusnya berlaku. Peristiwa tersebut dibiarkan begitu saja sehingga dilupakan orang seakan-akan tidak pernah terjadi.

7. Azas Capital Punishment.

Yaitu suatu prinsip yang menyatakan apabila negara menuntut suatu ekstradisi atau kejahatan yang diancam dengan hukumman mati maka ekstradisi demikian tidak dapat diterima.

8. Azas Lex Loci Delictus.

Yakni suatu azas yang menyatakan tempat dimana kejahatan terjadi akan mendapat prioritas utama bilamana terdapat lebih dari satu negara yang menuntut


(42)

suatu ekstradisi. Hal ini berarti tuntutan ekstradisi yang diutamakan ialah tuntutan dari negara diwilayah mana kejahatan itu dilakukan.

9. Azas yang menyatakan prosedur penangkapan, penahanan dan penyerahan

tunduk kepada hukum nasional dari negara masing-masing.

10. Azas yang menyatakan suatu permintaan ekstradisi dapat saja ditolak bila

kejahatan yang dilakukan seluruhnya atau sebagian berada dalam yurisdiksi dari negara yang diminta. Azas ini tampaknya mempunyai

kaitan dengan azas Lex Loci Delictus mengenai tempat dimana kejahatan

itu dilakukan. Jelasnya disini faktor tempat sangat mempengaruhi kemungkinan dapat tidaknya permintaan ekstradisi suatu negara dikabulkan.

11. Azas yang menyatakan bila mana terjadi ekstradisi kenegara ketiga, maka

hanya dapat dilakukan dengan izin dari negara yang diminta.

Dari berbagai azas yang mewarnai peraturan ekstradisi, dapat dilihat bahwa ekstradisi merupakan tindakan yang harus diambil dengan penuh pertimbangan dan jaminan demi tercapainya tujuan ekstradisi itu sendiri yaitu yakni memberantas kejahatan secara kerja sama untuk mewujudkan masyarakat internasional yang aman, tertib, dan adil. Disamping itu azas-azas ini telah mendapat pengakuan dari negara-negara didunia dalam usaha untuk menjamin agar hak-hak azasi manusia tidak dilanggar dalam pelaksanaannya.


(43)

BAB III

BEBERAPA BENTUK MENGENAI KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN (CRIMES AGAINTS HUMANITY)

A. Pengertian Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Istilah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity )

pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dunia II. Amerika Serikat dan sekutunya menilai para pelaku (NAZI) dianggap bertanggung jawab terhadap Kejahatan Terhadap Kemanusiaan pada masa

tersebut.22

1. Murder (pembunuhan),

Adapun definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan menurut Statuta Mahkamah Internasional pada Pasal 7 Statuta Roma adalah : salah satu dari perbuatan berikut apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, lebih lagi

kejahatan yang dilakukan dalam kejahatan yang dikualifikasi sebagai Crimes

Againts humanity, antara lain;

2. Exterminatio (pembasmian/pemusnahan),

3. Enslavement (perbudakan),

4. Deportation or forcible transfer of population (pengusiran atau

pemindahan secara paksa atas penduduk),

22

Kejahatan Terhadap Kemanusiaan(Crimes Againts humanity), http://www.sekitarkita. com.


(44)

5. Penahanan atau penghukuman yang berupa pengurangan kebebasan yang

merupakan pelanggaran atas kaidah hukum yang fundamental (detention

or deprivation of liberty in violation of fundamental legal norms), 6. Torture (penyiksaan),

7. Rape or other sexual abuse or enforced prostitution (pemerkosaan atau penyalahgunaan seksual lainnya atau pemaksaan untuk melakukan prostitusi),

8. Penyiksaan/penganiayaan yang dilakukan terhadap kelompok manusia

berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya atau agama,

gender, atau alasan-alasan lain yang serupa (persecution againts any

identifiable group or collectivity on political, racial, national, ethnic, cultural or relegious or gender or other similar grounds),

9. Enforced disapearance of persons (penghilangan secara paksa atas

seseorang individu),

10.Tindakan-tindakan lainnya yang tidak manusiawai atau tidak

berperikemanusiaan atau tindakan-tindakan yang memiliki ciri-ciri yang serupa yang mengakibatkan penderitaan yang berat atau kerusakan yang

serius terhadap badan, mental atau kesehatan fisik (other inhumane acts

ofa similar character causing great sufering or serious injury to body or mental or physical health).

Pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan bisa jadi aparat/ instansi negara,

atau pelaku non negara.23


(45)

humanity) adalah satu dari empat “kejahatan-kejahatan internasional”

(international crimes), disamping The Crime of Genocide, War Crimes dan The

Crime of Aggression. International Crimes sendiri didefinisikan sebagai

kejahatan-kejahatan yang karena tingkat kekejamannya, tidak satupun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya; dan tidak ada yurisdiksi dari satu negara tempat kejahatan itu terjadi digunakan untuk mencegah proses peradilan

oleh masyarakat internasional terhadapnya. Dengan kata lain, internasional

crimes ini menganutasas universal yurisdiction.24

1) Pembunuhan

Jadi, definisi dari kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan sendiri adalah “tindakan-tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari sebuah penyerangan yang luas dan sistematik yang terjadi secara langsung terhadap populasi sipil”.

B. Jenis-Jenis dan Prinsip-Prinsip Kejahatan Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Jenis-jenis Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Lebih spesifik lagi yang dapat dikatergorikan kedalam kejahatan terhadap kemanusiaan adalah:

Pembunuhan adalah suatu tindakan yang dapat mengakibatkan matinya orang lain. Pembunuhan dalam kasus kejahatan terhadap kemanusiaan ini harus

24


(46)

memenuhi unsur-unsur kesengajaan dan yang lebih penting lagi harus dikategorikan kedalam kejahatan yang paling serius.

2) Pemusnahan

Pemusnahan ini ditimbulkan secara sengaja pada kondisi kehidupan, antara lain dengan dihilangkannya akses kepada pangan dan obat-obatan, yang

diperhitungkan akan membawa kehancuran terhadap sebahagian penduduk.25

3) Perbudakan

Perbudakan berarti pelaksanaan dari setiap atau semua kekuasaan yang melekat pada hak kepemilikan atas seseorang dan termasuk dilaksanakannya kekuasaan tersebut dalam perdagangan manusia, khususnya perempuan dan

anak-anak.26

4) Deportasi atau pemindahan secara paksa penduduk

Deportasi atau pemindahan secara paksa penduduk berarti perpindahan orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan

yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.27

5) Penyiksaan

Memenjarakan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional.

Penyiksaan berarti ditimbulkannya secara sengaja rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang yang ditahan atau dibawah penguasaan tertuduh; kecuali kalau siksaan tersebut tidak

25

Statuta Mahkamah Internasioan, Pasal 7 ayat (2) sub (b). 26


(47)

termasuk rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari yang melekat pada

atau sebagai akibat yang sah.28

7) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, pengahmilan paksa,

pemaksaan sterilisasi, atau bentuk lain dari kekerasan seksual lain yang cukup berat

Pengahmilan paksa berarti penahanan tidak sah, terhadap seorang perempuan yang secara paksa dibuat hamil, dengan mempengaruhi komposisi etnis dari suatu kelompok penduduk atau melaksanakan suatu pelanggaran berat

terhadap hukum internasional29

8) Penganiayaan

Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat didefinisikan atau klektivitas atas dasar politik, ras nasional, etnis budaya, agama, jender atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksuddalam jurisdiksi mahkamah.

9) Penghilangan paksa

Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa berarti perpindahan orang-orang yang bersangkutan secara paksa dengan pengusiran atau perbuatan pemaksaan lainnya dari daerah dimana mereka hidup secara sah, tanpa alasan yang diperbolehkan berdasarkan hukum internasional.

10) Kejahatan Apartheid

28

Ibid, sub (e) 29


(48)

Berarti perbuatan tidak manusiawi dengan sifat yang sama dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam ayat (1), yang dilakukan dalam konteks suatu rejim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi sistematik oleh satu kelompok rasial atas suatu kelompok atau kelompok-kelompok ras lain dan dilakukan dengan maksud untuk mempertahankan rejim itu.

11). Perbuatan tidak manusiawi lain

Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Prinsip-prinsip Hukum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity)

Seperti yang diketahui, bahwa Pasal 7 dalam Statuta Roma harus dihargai sebagai Pasal yang bernilai tinggi dalam Statuta Roma. Oleh karena itu, Pasal ini merealisasikan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan yang wajib dipatuhi oleh negara-negara di dunia dan membedakannya dari kejahatan lain dengan mengaitkan pada kebijakan negara atau organisasi politik. Kejahatan ini tidak didefinisikan atas dasar gawatnya kejahatan itu: seseorang pembunuh berantai dapat menimbulkan kerusakan lebih luas daripada penyiksaan rutin yang dilakukan oleh polisi. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan baik dalam kelicikannya dan dalam kebutuhan akan peraturan-peraturan khusus tentang penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa kejahatan itu merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oeh pemerintah atau setidaknya oleh organisasi yang melaksanakan atau memaksakan


(49)

kekuasaan politiknya. Yang menjadikan kejahatan itu sangat mengerikan dan menempatkan kejahatan ini dalam dimensi yang berbeda dari kejahatan biasa adalah bukan apa yang ada di pikiran si pelaku penyiksaan, tetapi kenyataan bahwa individu tersebut merupakan ‘bagian dari aparat negara’.

Itulah sebabnya mengapa diperlukan tanggung jawab individu dan yurisdiksi universal jika ada ingin pembendungan terhadap kejahatan tersebut. Seperti halnya para bajak laut dan pedagang budak pada abad ke-18 tak tersentuh oleh hukum, mengingat mereka berada dilaut lepas sehingga bukan merupakan subjek yurisdiksi negara manapun, begitu juga halnya para politisi dan jenderal diabad ke-20 yang kebal hukum selama mereka menjalankan kedaulatan negara. Kini yurisdiksi univesal akan mengaitkan mereka dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, Pasal 27 menghilangkan seluruh kekebalan bagi kepala negara serta anggota pemerintahan dan parlemen. Ini akan diberlakukan pada negara-negara yang merupakan negara pihak dalam perjanjian ICC dan hal ini juga akan membawa pengaruh dalam hukum internasional.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, disamping kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum, kejahatan terhadap kemanusiaan sudah diterima dalam sebuah perjanjian internasional yaitu Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana Internasional. Sudah diterima secara internasional pula bahwa norma-norma didalamnya merupakan kodifikasi dari hukum (pidana) internasional. Beberapa

prinsip yang diakui dalam kejahatan kemanusiaan, adalah30

1. Prinsip non retroaktif dalam kejahatan terhadap kemanusiaan

:

30


(50)

Prinsip non retroaktif dalam hukum pidana tidak berlaku untuk kejahatan terhadap kemanusiaan karena alasan-alasan berikut ini:

a. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan dalam hukum

kebiasaan internasional dan prinsip-prinsip hukum umum. Menurut kedua sumber hukum itu, orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan baik secara commission maupun ommission dapat dihukum secara retroaktif.

b. Pasal 15 (2) dalam Statuta Roma mengenai hak-hak sipil dan politik

memungkinkan pengecualian azas non retroaktif untuk kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan-kejahatan menurut prinsip-prinsip hukum umum.

2. Pertanggung jawaban komando

Pelaku tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dituntut

dalam kapasitasnya sebagai penanggung jawab komando (command

respondsibility). Secara konseptual seorang komandan dapat dimintai pertanggung jawabannya baik atas perbuatan pidananya karena langsung memberi perintah kepada pasukan yang berada dibawah pengendaliannya untuk melakukan salah

satu atau beberapa perbuatan dari kejahatan terhadap kemansiaan (by commission)

maupun karena membiarkan atau tidak melakukan tindakan apapun terhadap

pasukan dibawah pengendaliannya (by ommission). Pertanggung jawaban karena

pembiaran dilakukan misalnya ketika komandan bersangkutan tidak melakukan upaya pencegahan perbuatan atau melaporkan kepada pihak berwenang agar dilakukan penyelidikan. Sebagai contoh dari pertanggung jawaban pidana karena


(51)

pembiaran adalah Jenderal Yamashita, perdana Menteri Tokyo, menteri Luar Negeri Hirota (pada pengadilan tokyo), Perdana Menteri Kambada dari Rwanda dan yang sekarang masih berlangsung proses persidangannya Presiden Slobodan Milosevic, di Den Haag. Konsep demikian sudah diterima cukup lama dalam hukum internasional, terakhir terkodifikasi dalam Statuta Roma.

3. Prinsip praduga tak bersalah

Berdasarkan Pasal 61 Statuta Roma, prinsip ini menempatkan adanya beban pada jaksa pnuntut umum untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pasal 97 (i) Statuta Roma menyarankan bahwa bukti-bukti dan bantahan tidak dibebankan kepada terdakwa, meskipun banyak pembelaan yang dinyatakan dalam Statuta, seperti perintah atasan dan paksaan, menempatkan beban-beban tersebut kepada terdakwa. Masalah beban dan standar bukti dapat menjadi sangat penting dalam pengadilan yang menggunakan sistem juri, walaupun mereka mencoba untuk bersikap akademis dalam membuat putusan-putusan pengadilan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pada praktiknya, pada saat tuntutan telah membuktikan tanpa keraguan adanya keterlibatan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, tugas yang berat dalam membuat kondisi tidak bersalah seperti adanya paksaan atau keadaan yang tidak sadar atau kesalahan akan berpindah kepada terdakwa.

C. Kejahatan Terhadap kemanusiaan (Crimes Againts humanity) Dalam Statuta Roma 1999

Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes Againts humanity) merupakan


(52)

humanis generis). Dalam hukum internasional pelanggaran-pelanggaran hak azasi manusia sebagaimana terumus dalam kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan menurut hukum kebiasaan internasional maupun prinsip-prinsip hukum umum. Praktik-praktik internasional menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan kejahatan jus cogens.

Kejahatan demikian menimbulkan obligatio erga omnes (kewajiban masyarakat internasional secara keseluruhan) untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan. Oleh karena itu, kejahatan terhadap kemanusiaan berlaku prinsip yurisdiksi universal. Setiap negara dapat mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi dimanapun dan dilakukan oleh warga negara lain.

Peningkatan penderitaan manusia terus-menerus yang ditimbulkan oleh perang atau sengketa bersenjata mengarah keperubahan tetap dalam kodifikasi peraturan yang berkait dengan tindakan permusuhan dan perlindungan terhadap korban. Dalam perkembangan ide mengadili orang-orang yang terlibat dalam kekejaman dan pelanggaran berat hak azasi manusia telah dimulai sejak lama dengan mendasarkan diri pada standar nilai serta norma kemanusiaan yang

bersumber dari nilai-nilai filsafat dan agama yang diyakini saat itu31

Pada tahun 1474 misalnya, pengadilan internasional menjatuhkan hukuman mati kepada Peter von Hagenbach, pelaku kekejaman saat pendudukan Breisach atas kasus dalam perang saudara utara-selatan di Amerika. Abraham Lincoln juga melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan pidana, termasuk pidana mati terhadap para pelaku. Jadi sebenarnya hukum perang sama

.

31


(53)

tuanya dengan perang itu sendiri. pada tahun 1864 diselenggarakan konferensi Jenewa tentang nasib para prajurit yang terluka dimedan perang. Konferensi lain diadakan di St Pittersburg tahun1866 untuk melarang penggunaan proyektif yang meledak dengan berat kurang dari 400 gram.

Dua konferensi internasional itu menandai titik awal kodifikasi hukum perang pada zaman modern. Konferensi-konferensi itu disusul dua konferensi perdamaian pada tahun 1899 dan 1907 di Den Haag, dengan tujuan utama mengatur cara dan alat perang. Dalam konvensi, misalnya ditegaskan betapa penting perlindungan terhadap penduduk sipil, kehidupan manusia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga, serta keyakinan agama. Baik penduduk sipil maupun pihak yang berperang tetap harus mendapatkan perlindungan atas dasar azas hukum internasional yang berlaku sebagai kebiasaan masyarakat beradab, hukum kemanusiaan, dan hati nurani. Namum konvensi itu lebih diarahkan ke kewajiban dan tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk mengatu pertanggung jawaban pidana secara individual. Tragedi mengerikan di medan tempur Solferino mencuatkan gagasan pendirian palang merah. Sejak saat itu hukum perang dikembangkan terus menerus untuk memperluas lingkup perlindungan terhadap para korban dan menyesuaikannya dengan kenyataan

sengketa baru32

Pertemuan penting berikutnya yang menghasilkan instrumen internasional

baru adalah Konvensi Jenewa (Genewa Convention) 1949 beserta empat protokol

tahun 1977 yang mencakup perlindungan terhadap korban perang. Dalam .

32

ICRC (International Committee Of the Red Cross), Pengantar Hukum Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999, hal 129


(54)

konvensi itu disyaratkan perlindungan terhadap orang yang terluka dan sakit, korban karam, tawanan perang, dan orang sipil. Diatur pula dalam protokol yang sangat relevan bagi para komandan dan militer, peraturan tentang penggunaan dalam konvensi Den Haag. Juga penetakan batas-batas untuk menghindari penderitaan dan kerusakan yang tidak perlu. Peraturan mengenai kejahatan perang telah pula dimasukkan dalam Rome Statute 1998 mengenai International Criminal

Court dengan dua dokumen terkait. Yakni, dokumen elements of crimes dan rule

of procedures and evidence yang harus dianggap melekta dengan Rome Statute

1998.

Selain itu azas-azas umum dan opini para juri dapat pula dianggap sebagai sumber hukum. Walau, harus dirumuskan lebih dahulu dalam konvensi internasional dengan pertimbangan-pertimbangan empiris dan kebiasaan-kebiasaan internasional.

Selanjutnya pada tanggal 17 Juli 1998, dalam konferensi Diplomatik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menghasilkan satu langkah penting dalam penegakan Hak Azasi Manusia (HAM) yaitu disetujuinya Statuta Roma. Statuta Roma merupakan sebuah perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana

Internasional (International Criminal Court) untuk mengadili tindak kejahatan

kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum (impunity). Dari 148 negara

peserta konferensi; 120 negara mendukung, 7 negara menentang, dan 21 negara

abstain33


(55)

Ada empat jenis tindak pelanggaran serius yang menjadi pelanggaran,yaitu:

1. Genocide (Genosida)

2. Crimes Againts humanity (Kejahatan Terhadap Kemanusiaan)

3. War Crimes (Kejahatan Perang) 4. Aggression (kejahatan Agresi)

Statuta ini belum bisa diberlakukan sebelum 60 negara meratifikasinya. Sampai Juli 2001, 37 negara telah meratifikasinya dan 139 menyatakan persetujuannya. Jumlah ini tidak termasuk Indonesia. Dalam Statuta ini juga menjelaskan beberapa hal tentang struktur mahkamah, jenis pelanggaran, penyelidikan dan penuntutan, persidangan dan hukuman serta beberapa hal penting lainnya. Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu negara yang menjunjung nilai kemanusiaan merupakan salah satu negara bersama dengan China dan Irak yang menolak disahkannya Statuta Roma. Beberapa mahkamah

yang telah dibentuk untuk berbagai kasus pelanggran adalah sebagai berikut34

a) International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY), dibentuk pada

tahun 1993.

:

b) International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), dibentuk DK PBB

pada tahun 1994.

D. Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dalam Piagam Pererikatan Bangsa-Bangsa

34

Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung, 1999, hal 204.


(56)

Pembentukan Mahkamah Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan hak azasi manusia dan memutus rantai

panjang impunity (kekebalan hukum). Statuta Roma merupakan sebuah perjanjian

multilateral untuk membentuk Mahkamah Pidana internasional (International

Criminal Court), yang dihasilkan dalam sebuah Konferensi Diplomatik

Perserikatan Bangsa-Bangsa di Roma (Italia) pada 17 Juli 1998. Disetujuinya Statuta Roma merupakan suatu langkah penting bagi penegakan hak azasi manusia didunia. Dari 148 negara peserta konferensi, 120 mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain. Tindak pelanggaran serius hak azasi manusia yang

diadopsi didalam statuta ini adalah genosida (genocide), kejahatan terhadap

kemanusiaan (crime againts humanity), kejahatan perang (war crimes), dan

kejahatan agresi (agression).35

Statuta ini bisa diberlakukan bila diratifikasi oleh 60 negara. Hingga sampai sekarang ini, sudah ada 56 negara yang meratifikasinya. Statuta Roma dapat dikatakan sebagai yurisprudensi dari sejumlah pengadilan kriminal internasional yang pernah dibentuk atas keputusan Dewan Keamanan PBB,

seperti International Tribunal for Yugoslavia (ICTY) 1993 dan International

Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) 1994.36

Sebelum munculnya Statuta Roma, PBB telah memiliki International

Court of Justice (ICJ) yang bermarkas di Den Haag, Belanda. Tetapi ICJ hanya mengadili sengketa antara negara-negara, bukan mengadili tindak pidana. ICJ

35

Sumaryo, Diereito, “Kejahatan terhadap Kemanusiaan”, http://www.yayasanhak. minihub.org.


(57)

tidak memadai untuk mengadili kejahatan internasional, seperti kejahatan perang kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional, suatu pengadilan pidana yang permanen merupakan langkah untuk mengisi kekosongan lembaga pidana ditingkat internasional pelanggaran berat Hak Azasi Manusia (HAM). Ini jelas merupakan langkah maju untuk memutus mata rantai panjang impunity (kekebalan hukum) yang terjadi dibanyak negara yang penegakan hukumnya masih sangat rendah. Pembentukkan Mahkamah Internasional bertujuan untuk mengisi kekosongan lembaga pidana kejahatan Hak Azasi Manusia (HAM) dan

memutus rantai panjang impunity (kekebalan hukum).37

1. Pembunuhan;

Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali digunakan dalam piagam Nuremberg. Piagam ini merupakan perjanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah berakhirnya Perang Dunia II. Amerika Serikat dan sekutunya menuduh Jerman Nazi sebagai pelaku yang harus bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan selama Perang Dunia II.

Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma didefinisikan sebagai salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Perbuatan tersebut beupa:

2. Pemusnahan;

3. Perbudakan;

37


(1)

sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau memtal atau kesehatan fisik.

3. Mengingat kejahatan terhadap kemanusiaan itu yang tidak mengenal batas-batas wilayah negara, tidak mengenal perbedaan atas dasar ras, agama, suku, etnis, latar belakang, ataupun keyakinan politik, berdasarkan yurisdiksi universal ini, jika ditinjau dari segi hukum internasional, berarti setiap negara berhak, berkuasa, ataupun berwenang untuk mengadili sipelakunya, tanpa memandang siapapun pelakunya atau siapapun korbannya, demikian pula tanpa memandang tempat dimana peristiwa kejahatan tersebut terjadi, serta kapanpun terjadinya.

4. Mekanisme ekstradisi tidak semudah seperti apa yang diperkirakan dalam meminta pelaku kejahatan-kejahatan diwilayah kedaulatan negara lain ditempat pelaku kejahatan tersebut berada atau tempat pelaku kejahatan tersebut mendapat perlindungan, karena dalam pelaksanaan ekstradisi harus dilakukan dengan beberapa proses dan prosedur yang harus dipenuhi oleh negara peminta kepada negara diminta yang kemudian harus disetujui oleh negara diminta untuk menyerahkan pelaku kejahatan kepada negara peminta itu untuk diadili di negara peminta tersebut.

5. Proses Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity) dilaksanakan oleh Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal


(2)

Court/ICC). Prinsip yang mendasar dari Statuta Roma ini adalah bahwa ICC “merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional” (Pasal 1 Statuta Roma). Ini berarti bahwa Mahkamah harus mendahulukan sistem nasional, kecuali sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak bersedia untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menajdi dibawah yurisdiksi Mahkamah (Pasal 17 Statuta Roma).

B. Saran

Sejak hadirnya Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sebagai suatu badan peradilan yang bersifat permanen dan indenpenden maka hal ini akan memberikan jaminan keadilan bagi penegakan HAM di dunia. Dengan hadirnya Mahkamah ini juga tidak akan membiarkan para pelaku kejahatan-kejahatan internasional yang mengancam komunitas internasional secara keseluruhan tanpa dihukum.

Untuk menjalankan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC), penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Hendaknya negara-negara berdaulat didunia ini turut meratifikasi Statuta Roma sebagai wujud kepedulian terhadap pelanggran-pelanggaran HAM yang terjadi didunia ini, karena pada dasarnya Mahkamah hanya akan menjadi pelengkap bagi yurisdiksi nasional dari negara anggotanya (menganut prinsip komplementer).


(3)

bahwa Mahkamah ini akan memutus mata rantai imputabilitas dari pelaku kejahatan-kejahatan internasional.

3. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang abstain pada Konferensi Diplomatik pengesahan Statuta Roma sangatlah disayangkan, karena dalam hal ini pemerintah Indonesia tidak harus takut untuk mengambil langkah meratifikasi Statuta Roma karena pada dasarnya Mahkamah ini menganut prinsip komplementer, jadi yang didahulukan adalah yurisdiksi pidana nasional masing-masing negara anggotanya.

4. Negara-negara didunia dan PBB selaku organisasi internasional harus mempunyai dan mampu menunjukkan komitmen yag lebih baik lagi dalam merumuskan berbagai peraturan yang dapat menjerat pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti halnya dalam melakukan proses maupun prosedur mekanisme ektradisi atas permintaan negara peminta kepada negara yang diminta terhadap pelaku kejahatan pada umumnya untuk diadili.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

1. Andre Sudjatmoko, Perlindungan HAM dalam hukum HAM dan Hukum

Humaniter Internasional, Pusat Studi Hukum Humaniter, Fakultas Hukum

Trisakti, Jakarta, 1999.

2. Arthur Nussbaum, Terjemahan Sam Suheidi, “Sejarah Hukum

internasional”.Bina Cipta, Bandung, 1969.

3. Eddy Damian, “Kapita Selekta Hukum Internasional”, Alumni, Bandung, 1991.

4. Gultom Hasiholan Gultom, Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional

dan Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Di Timor Timur, PT

Tatanusa, Jakarta, 2006.

5. ICRI (International Committe of The Red Cross), Protokol Additional to the Geneva Convention, 1949, Geneva, 1977.

6. ICRC (International Committee Of the Red Cross), Pengantar Hukum

Humaniter, Miamita Print, Jakarta, 1999.

7. I Wayan Parthiana, “Ekstradisi Dalam Hukum Internasional dan Hukum

Nasional”. Alumni Bandung 1993.

8. I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi,Yrama Widya,2004,


(5)

9. Kennet, S. Gallant, Jurisdiction to Adjudicate and Jurisdiction to

Prescribe in Internasional Criminal Court. 2003. Villanova Law Riview.

10.K. Martono, “Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa”, Alumni Bandung, 1987.

11.Leila Nadya Sadat and S. Richard Carden. The new international criminal

court: an uneasy revolution. Geortgetown Law Journal. 2000.

12.Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat. 2000. Statuta Roma Mahkamah

Pidana Internasional. Jakarta: Elsam.

13.Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-konvensi Palang Merah 1949, Bina Cipta, Bandung,1999.

14.M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan Hak-Hak

Azasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980.

INTERNET

1. Final act of the United Nations diplomatic conferene of plenipotentiaries

on the establishment of an international criminal court. Icc official

website.

2. Berjalan Menuju Roma (Refleksi Berlakunya Statuta Roma). Kompas

Online.com. 2002

3. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity), http://www.organisasi. com.


(6)

4. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Againts humanity), http://www.sekitarkita. com.Organisasi – komunitas dan Perpustakaan Online Netter Indonesia.

5. Marcella Elwina. S, Mengatur Kejahatan Perang,

www.suaramerdeka.com,20 Desember. 2009.

6. Sumaryo, Diereito, “Kejahatan terhadap

Kemanusiaan”,http://www.yayasanhak. minihub.org.

7.

8. www.interpol.go.id/interpol/files/EKSTRADISI_f541e0.doc

LAIN-LAIN

1. Statuta Roma 1998.

2. Kunarac Appeal Judgement, Paragraf 94

3. [Prosecutor v Akayesu, Judgement, No. ICTR-96-4-T, paragraf 580, 2 Sept. 1998].

4. [Prosecutor v Musema, Judgement, No. ICTR-96-13-T, paragraf 204, 27 Jan. 1998].