diunduh 10 Januari 2012. Fasisme dan Totalitarianisme
oposan dalam Parlemen pada 22 Juni 1925, dengan istilah ‗la nostra feroce voluntà totalitaria.
‘ kehendak totaliter kita—kaum Fasis yang dipimpinnya-- yang kokoh. Berasal dari kata Italia totalitario, yang artinya komplit, mutlak,
istilah totaliter dengan cepat dipakai sebagai ideologi resmi negara Italia sebagaimana dirumuskan oleh pemikir rezim fasis, Giovanni Gentile. Beberapa
tahun setelahnya, Mussolini mengadopsi sistem pemikiran totaliter ini dan menginkorporasikannya ke dalam ideologi negara sebagai ‗lo stato totalitario‘
negara totaliter. Di Jerman, penggunaan istilah total atau totalitär oleh rezim National
Socialists NAZI tidak bertahan lama. Pertama kali digunakan oleh Ernst Juenger pada 1930, konsep ini identik dengan ‗mobilisasi total‘ dalam pengertian militer.
Pada tahun-tahun berikutnya, Carl Schmitt, seorang pengacara yang kelak menjadi sa
lah seorang ideolog terpenting dari NAZI, mendiskusikan ide ‗negara totaliter‘. Namun karena konsep ini jarang digunakan oleh Der Führer, Adolf Hitler,
mungkin karena ia tidak mau dianggap berhutang budi secara ideologis pada Mussolini, maka istilah ‗totalitär‘ menjadi usang dan tidak lagi dipakai para
petinggi NAZI.
34
Sebagai konsep politis, totalitarianisme adalah konsep yang dinamis, artinya dalam rentang ruang-waktu sejarah ia mengalami sejumlah perubahan atau
pergeseran makna. Konsep totaliter seperti sudah disinggung di atas merupakan fase I dari 5 fase perkembangan pemahaman atas konsep totaliter.
35
Fase
35
Bdk. Hardiman, F. Budi, “Totalitarianisme,” Catatan Seminar Kuliah bagi mahasiswa program Magister Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, tidak diterbitkan, 2005, 1.
berikutnya fase II terjadi setelah Perang Dunia II pasca 1945, di mana konsep totaliter cenderung diasosiasikan sebagai deskripsi negatif dan peyoratif dari
fenomena baru yang berbahaya, kuat, berbasiskan ideologi dan amat bertentangan dengan kebebasan, kreativitas serta independensi, yang mengerahkan,
menggerakkan, dan mengatur massa dengan tujuan-tujuan jahat. Pemikir seperti Borkenau menulis bukunya The Totalitarian Enemy pada 1940 dan Aldous
Huxley, pada 1944, menuduh para pemikir sayap-kiri dan Partai Pekerja di Inggris sebagai ‗kaum totaliter yang bersemangat‘.
Fase III dari perkembangan konsep totaliter merupakan fase debat ilmiah yang sarat nuansa akademis dan bukan lagi melulu manifestasi politik yang real.
Seorang Profesor politik hukum negara Staatsrechtsprofessor kenamaan dari Harvard University, Carl Joachim Friedrich 1901-1984, bersama Z.K.
Brzezinski pada 1956 menerbitkan buku Totalitarian Dictatorship and Autocracy yang memainkan peranan penting mengintroduksi konsep totaliter dalam wacana
akademis, khususnya ilmu politik. Menurut Friedrich, totalitarianisme adalah bentuk pemerintahan yang unik dan baru dan mempunyai 6 karakteristik pokok
yang umum dijumpai baik dalam rezim fasis Italia, Nasional Sosialis NAZI maupun komunis Rusia di bawah Stalin, sebagai berikut:
36
1. Mempunyai ideologi resmi negara yang memperjuangkan kondisi sempurna-
final dari umat manusia, dan semua orang yang berada di wilayah negara tersebut harus memeluk ideologi ini.
36
Hendar Putranto, Masyarakat satu-dimensi: Internet: diunduh pada 10 Januari 2012
2. Mempunyai satu partai tunggal yang biasanya disimbolkan atau dikebawahkan
pada satu sosok pemimpin. Partai ini terorganisasi secara hirarkis dan kekuasaannya melampaui atau erat terkait dengan birokrat negara.
3. Mempunyai tingkat penguasaan teknologi yang canggih serta monopoli atas
persenjataan dan pasukan militer. 4.
Monopoli yang mendekati total-komplet atas sarana-sarana komunikasi massa. 5.
Mempunyai seperangkat sistem kontrol fisik atau psikologis lewat teror. 6.
Penguasaan dan pengarahan keseluruhan ranah ekonomi secara terpusat. Leonard Schapiro dalam Totalitarianism
37
menganalisa kontur dan fitur dari totalitarianisme dengan pertama-tama mengiyakan pentingnya enam poin
karakteristik rezim totaliter seperti yang ditawarkan oleh Friedrich di atas Schapiro menyebut enam poin versi Friedrich sebagai “the six-point syndrome,”
karena betapapun dikritik dari berbagai penjuru, keenam poin ini masih mendominasi wacana seputar totalitarianisme hingga sekarang. Berikutnya,
Schapiro menguraikan dua arus besar yang mengkritik konsepsi Friedrich di atas.
38
Menurutnya, 1 ada sejumlah pemikir yang mengkritik detil dari the six- point syndrome. Mereka berupaya menambahkan atau mengurangi isi dari the six-
point syndrome, misalnya dengan menyepakati dua faktor lain yang sama pentingnya dengan keenam poin versi Friedrich, yaitu a adanya teori dominasi
dunia yang tersirat dalam ideologi resmi rezim, dan b adanya kebutuhan rezim untuk memobilisasi massa secara terus menerus. Dari sisi lain, ada yang
37
Schapiro dan Leonard, Totalitarianism, London: Macmillan, 1972, 13-71.
38
Schapiro dan Leonard, Totalitarianism, 19-20.
mengkritik argumen Friedrich menyangkut monopoli kontrol atas persenjataan dan militer sebab penguasaan persenjataan dan militer adalah faktor esensial bagi
setiap bentuk pemerintahan agar tetap mempunyai otoritas atas warganya, dan hal ini berarti bukan kekhasan bentuk pemerintahan totaliter. Arus kritik kedua 2
menerima enam poin yang diajukan Friedrich dengan atau tanpa modifikasi, namun mereka berargumen bahwa keunikan dan kebaruan yang disimpulkan
Friedrich menyangkut hakikat rezim totaliter tidak lagi bisa dipertahankan. Semua fitur ini the six-point syndrome sudah ada dan bisa ditemukan dalam rezim-
rezim lain, baik di masa lampau maupun di masa sekarang.
39
Kehadiran teknologi modern dalam rezim totaliter, salah satu poin penting yang ditekankan Friedrich,
hanya membedakan rezim ini dengan rezim-rezim lain dalam skala tingkat level degree, dan bukan jenis kind.
Sementara itu, Hannah Arendt dalam karya monumentalnya The Origins of Totalitarianism 1951 berupaya memetakan asal-usul rezim totaliter secara
fenomenologis dengan menganalisa fenomena psikologis massa dan individu.
40
Menurutnya, totalitarianisme adalah rezim gerakan massa
41
yang berkarakter
39
Dalam wikipedia, the free encyclopedia http:en.wikipedia.orgwikiTotalitarianism yang terakhir dimodifikasi isinya pada 6 Juli 2005, 02:33 WIB, selain NAZI Jerman, fasis Italia,
dan Uni Soviet, yang termasuk rezim- rezim totaliter adalah komunis Cina, Ba‘athist Irak, Ba‘athist
Siria, Libia di bawah Muammar al-Qadaffi, rezim Khmer Merah di Kamboja, the Laotian Pathet Lao Laos, Republik Sosialis Vietnam, dan Republik Demokratis Rakyat Korea
40
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, New York: Meridian Books, 1951, bab X, “A Classless Society”, bab XI “The Totalitarian Movement”, hlm. 305-388.
41
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, 311. Arendt memberikan cukup banyak porsi analisa untuk menguraikan fenomena massa yang dianggapnya sebagai fenomena
khas modernitas abad ke-20, menggantikan fenomena kelas, yang dominan dalam realpolitik di abad ke-19. Fenomena massa ini pada gilirannya menjadi prakondisi dari lahirnya totalitarianisme
seperti dituliskannya berikut ini, “Totalitarian movements are possible wherever there are masses
impermanensi, yang memegang kekuasaan sejauh dan selama mereka membuat segala sesuatu di sekelilingnya bergerak dan rezim ini mempunyai kemampuan
menyesuaikan diri yang luar biasa sekaligus tidak mempunyai kesinambungan absence of continuity. Sementara itu, secara ontologis-antropologis, karakter
individu dalam rezim totaliter adalah manusia massa yang teratomisasi secara sosial, mengalami individualisasi yang ekstrem, apolitis dan mudah di-
depolitisasi, tercerabut dari keberakarannya kelas, keluarga, ruang privat, jati- diri, self-interest yang merupakan mangsa empuk untuk dimanipulasi, dijadikan
target propaganda dan bulan-bulanan teror
42
, untuk kemudian dicampakkan dalam kamp konsentrasi di Auswitzsch oleh rezim NAZI atau dibuang ke Siberia Gulag
Archipelago oleh rezim Bolshevik Rusia.
43
Cita-cita dan karakteristik rezim totaliter yang bertemu dengan karakter manusia massa seperti disinggung atas bisa
who for one reason or another have acquired the appetite for political organization. Masses are not held together by a consciousness of common interest and they lack that specific class
articulateness which is expressed in determined, limited, and obtainable goals. ,The term masses applies only where we deal with people who either because of sheer numbers, or indifference, or a
combination of both, cannot be integrated into any organization based on common interest, into political parties or municipal governments or professional organizations or trade unions.
Potentially, they exist in every country and form the majority of those large numbers of neutral, politically indifferent people who never join a party and hardly ever go to the polls
.”
42
Arendt, Hannah ,341- 344. Ar endt menulis “Propaganda and terror present two sides of
the same coin…Propaganda is indeed part and parcel of „psychological warfare’; but terror is more. Terror continues to be used by totalitarian regimes even when its psychological aims are
achieved… Where the rule of terror is brought to perfection, as in concentration camps, propaganda disappears entirely… propaganda .. is one, and possibly the most important,
instrument of totalitarianism for dealing with the nontotalitarian world; terror…is the very esence of of its form of government
.” Di lembar lain ibid., hlm. 354, Arendt menulis bahwa “propaganda NAZI yang paling efektif adalah cerita konspirasi orang-orang Yahudi untuk menguasai dunia
dan bahwa isu Yahudi adalah simbol kemunafikan dan ketida kjujuran dari seluruh sistem.”
43
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, 316.
menghasilkan definisi gerakan totaliter sebagai berikut: gerakan totaliter adalah organisasi massa dari gugus individu yang teratomisasi, terisolasi.
44
Secara khusus, Paul M. Hayes dalam Fascism
45
menyoroti karakteristik rezim fasis di Italia dan Jerman yang menurutnya mempunyai beberapa ciri pokok
berikut ini: Konsep superioritas rasial, yang termanifestasi dalam kampanye
pembasmian kaum Yahudi anti-Semitisme dan Slav. Meskipun konsep superioritas rasial ini tidak begitu digelorakan oleh rezim fasis Italia, dan lebih
nampak dalam rezim NAZI dengan konsep ‗Volk’—yang menandai superioritas ras mereka di atas ras-ras lain secara alamiah, sekaligus erat diasosiasikan dengan
karakteristik bangsa Jerman seperti perjuangan, ganjaran reward dan dominasi, namun tokoh-
tokoh pemikir fasis Italia seperti Farinacci dan D‘Annunzio adalah orang-orang berpikiran rasis. Di belakang ide superioritas ras Jerman, kita bisa
menyebutkan pengaruh filsuf Fichte yang mengatakan bahwa Jerman adalah rakyat yang paling sejati Urvolk dan hanya orang Jermanlah yang benar-benar
mempunyai Volk dan mempunyai kecintaan yang real dan rasional terhadap bangsanya, Jahn yang menggabungkan atribut fisik dan mental dari orang
Jerman menjadi sebuah filsafat ras yang inkoheren, Arndt yang percaya pada keunggulan ras Nordic, von der Marwitz penggiat awal dari kampanye melawan
kaum Yahudi, Görres yang lewat karyanya Das Wachstum der Historie berhasil mempropagandakan konsep mitos rakyat unggul, yaitu kemurnian dan kekuatan
dari ras Jerman, Arthur Gobineau yang menekankan pentingnya ras sebagai
44
Arendt, Hannah, The Origins of Totalitarianism, 323.
45
Hayes, Paul M., Fascism, London: George Allen Unwin Ltd., 1973, 1-76.
faktor esensial dalam proses peradaban, dan menggariskan struktur hirarkis dari ras-ras, di mana ras Teutons menempati tempat paling unggul di antara ras-ras lain
di muka bumi ini, Schemann, Wagner, Dühring dan Lagarde. Kombinasi
yang aneh dari konsep Darwinisme-Sosial dengan Imperialisme Sosial, kemakmuran nasional, penyebaran peradaban Barat yang
‗maju‘, mistisisme religius, dan teori racial destiny yang kesemuanya mau menggarisbawahi kompleksitas faktor yang mempengaruhi muncul dan
berkembangnya rezim totaliter. Sementara Slavoz Žižek dalam bagian Introduksi buku yang dieditnya,
Mapping Ideology
46
, menarik perhatian kita akan pentingnya ideologi dan sekaligus kritik atas ideologi dalam sebuah rezim yang berkuasa existing order.
Namun, menurut Žižek, ada juga kekeliruan sejarah yang menganggap bahwa Fasisme adalah sebuah ideologi. Adorno, misalnya, menolak memperlakukan
Fasisme sebagai ideologi dalam pengertian ‗legitimasi rasional atas tatanan atau
rezim yang sedang berkuasa‘, sebab ‗ideologi Fasis‘ tidak mempunyai koherensi sebuah konstruksi rasional yang selalu mensyaratkan analisa konseptual dan
refutasi ideologis-kritis. Dengan k ata lain, ‗ideologi Fasis‘ bukan ‗kebohongan
yang dialami sebagai kebenaran‘ tanda pengenal dari ideologi yang sejati. ‗Ideologi Fasis‘ bahkan tidak dianggap serius oleh orang-orang yang
mempromosikannya; status ideologi Fasis adalah melulu instrumental, dan pada
46
Žižek, Slavoz , The Spectre of Ideology” dalam Žižek, Slavoz ed. Mapping Ideology, London-New York: Verso, 1994, hlm. 1-33.
akhirnya amat tergantung dari pemaksaan yang datang dari luar external coercion.
47
Fase IV dari perkembangan pemahaman konsep ‗totalitarianisme‘ dipakai pada era Perang Dingin Cold War
, terutama untuk mencirikan ‗teror konsumsi‘ dalam masyarakat kapitalistis, seperti dibahas oleh Herbert Marcuse dalam One
Dimensional Man 1964. Kita akan segera membahas ciri totaliter dalam masyarakat industri maju dalam bagian selanjutnya dari paper ini. Fase kelima
berlangsung setelah runtuhnya Sosialisme Soviet 1989. Konsep totaliter mengalami renaisans dan dipakai sebagai konsep ilmiah. Namun dalam
realpolitik, seorang presiden USA George W. Bush belum lama ini pun masih memakai i
stilah ‗totalitarian‘ ketika menyebut Korea Utara, Iran dan Ba‘athist Iraq sebagai “Poros Setan” Axis of Evil. Melihat arus sejarah dan perkembangan
politik seratus tahun terakhir, secara tentatif kita bisa mengatakan bahwa ada kemungkinan fase-fase be
rikutnya dari ‗totalitarianism‘, aplikabilitas konsep ini dalam realpolitik dan flexibilitasnya dalam wacana akademis juga kemungkinan
besar masih akan terus berlanjut.
47
Žižek, Slavoz , The Spectre of Ideology, 13.