Latar Belakang Berdirinya BAZIS Provinsi DKI Jakarta

BAB III SEKILAS PROFIL BAZIS PROVINSI DKI JAKARTA

A. Latar Belakang Berdirinya BAZIS Provinsi DKI Jakarta

Selama ini pemahaman tentang kesalehan atau ketaatan pada agama Islam. Selalu identik dengan ibadah individual-vertikal. Seseorang akan disebut saleh ketika rajin melaksanakan ritual vertikal seperti salat. Puasa, haji dan lain- lain. Memang tidak salah, menyebut hal-hal itu sebagai bentuk kesalehan atau ketaatan seseorang pada agama. Tetapi dengan pemahaman itu akan mempersempit makna agama. Karena agama yang di turunkan Tuhan untuk manusia, sesungguhnya juga mengandung dimensi sosial-horisontal. Artinya, Tuhan menurunkan agama dengan segala perangkatnya juga mengatur hubungan sesama makhluknya-Nya. Kedua ibadah ini meniscahyakan adanya harmoni. Karena menjadi penanda kesempurnaan seseorang dalam menjalankan agama. Oleh sebab itu, ketiadaan salah satunya adalah kekurangsempurnaan seseorang dalam melaksanakan ajaran agama. Secara tegas Al-Qur’an mengancam orang yang hanya melaksanakan ritual individual dan mengesampingkan ibadah yang berdimensi sosial- horisontal. Dalam surat Al-M ’un orang yang beragama disebut sebagai pendusta agama, karena tidak peka terhadap permasalahan sosial seperti anak yatim dan orang miskin. Bila dilihat lebih jauh, sesungguhnya ibadah individual-vertikal dan ibadah sosial-horisontal, ibarat dua sisi mata uang, berbeda tapi tidak dapat dipisahkan, keduanya harus jalan beriringan. Bila dilihat secara fungsional, rukun Islam bisa dibedakan menjadi Rukun Pribadi dan Rukun Masyarakat. Rukun Pribadi menyangkut syahadat, salat, puasa, dan haji. Sedangkan Rukun Masyarakat adalah zakat. Kedua rukun ini harus ditegakkan, karena menjadi fondasi agama Islam. Mengabaikan satu rukun saja, berarti meruntuhkan agama Islam. Zakat sebagai salah satu penyangga bangunan Islam, dengan tanpa mengabaikan penyangga-penyangga yang lain, sampai kini masih memerlukan perhatian serius. Bukan saja karena zakat salah satu Rukun Islam, tetapi lebih dari itu, karena kesadaran kaum muslimin untuk membayar zakat masih rendah. Padahal, bila dilihat ke dalam Al-Qur’an, kata zakat selalu disebut bersamaan dengan kata salat sebanyak 82 kali. 36 Namun kesadaran akan arti penting keduanya belum mendapat posisi yang seimbang. Banyak orang rajin mendirikan salat, namun belum diimbangi dengan kesadaran berzakat. Bahkan, bila dilihat lebih jauh, perhatian kepada zakat lebih rendah dibandingkan dengan perhatian pada ibadah yang lain seperti salat, puasa, dan haji. Sebagai umat Islam lebih tergerak menjalankan rukun pribadi ketimbang rukun masyarakat. Kondisi ini lebih parah, karena bukan dalam arti yang yang mengerjakan rukun pribadi, jumlanya lebih banyak ketimbang yang mengerjakan Rukun Masyarakat, yang 36 BAZIS DKI, Pengelolaan Zakat dan InfaqShadaqah di DKI Jakarta, Jakarta: BAZIS DKI, 1999, h.. 3 telah terjadi adalah paradoksal didalam tubuh mereka. Karena, di satu sisi mereka taat melaksanakan Rukun Pribadi, namun dalam waktu yang bersamaan mereka cendrung mengabaikan Rukun Masyarakat. 37 Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari peran elit agama seperti da’I, ustadz, dan kiai yang lebih sering menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah salat, puasa, dan haji ketimbang zakat. Namun, pada saat yang sama, harus diakui pula bahwa ada diantara elit agama yang menyampaikan pesan zakat. Hanya saja pesan itu masih sempit, dalam pengertian, hanya zakat fitrah dan zakat mal sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab klasik saja. Kalaupun ada yang membahas zakat, biasanya hanya dilihat dari sudut hukum saja. Hal ini dapat dilihat di lapangan saat penyuluh keagamaan memberikan penyuluhan. Biasanya, yang lebih sering muncul adalah peryataan mengenai hukum. Misalnya, bagaimana hukumnya kalau zakat diberikan secara langsung oleh muzakinya. Sangat sedikit ditemukan pandangan masyarakat tentang zakat secara lebih komprehensip, dalam arti memiliki pandangan yang berdimensi pemihakan pada persoalan sosial-kemanusiaan. Mengingat dominannya perspektif hukum ini, menyebabkan sedikitnya ruang gerak dalam menafsirkan zakat. Sebagaimana mafhum bahwa perpektif hukum adalah perspektif mutlak-hitam-putih-sehingga menyebabkan sempitnya ruang tafsir bagi sebagian pemikir muslim untuk melakukan langkah-langkah 37 Eri Sudewo, Manajemen Zakat, Jakarta: institute Manajemen Zakat, 2004, Cet. Ke- 1, h.30 ijtihady tentang zakat, misalnya pembaruan objek zakat terhadap segmen-segmen potensial zakat, sebagai efek dari perkembangan perekonomian masyarakat. 38 Kondisi seperti inilah yang menyebabkan kesadaran dan aplikasi kaum muslimin untuk berzakat masih kurang. Oleh sebab itu, meningkatkan kesadaran berzakat adalah “Pekerjaan Rumah” yang mesti segera dilaksanakan para elit agama dan siapa saja yang peduli pada kesejahtraan masyarakat. Meski dinilai masih kurang, potensi kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat sudah ada. Secara tradisional sebagian masyarakat di Indonesia ada yang menyerahkan zakat kepada kiai, ustadz, dan elit agama di lingkungan masing-masing. Biasanya, penyalurannya bergantung pada ijtihad kiai. Sebagai proses kesadaran, potensi pengamalan zakat secara tradisional ini patut dibanggakan. Hanya saja ada beberapa kelemahan mendasar dalam proses pengalaman zakat seperti ini. Pertama, tidak transparan karena tidak jelas administrasi pemasukan dan pengeluaran. Hal ini menyebabkan tidak terdatanya potensi dana yang bisa dikembangkan. Kedua, ada kemungkinan zakat tersebut tidak disalurkan kepada mustahiknya secara maksimal. Ketiga, hasil pengumpulan dan ZIS jumlahnya masih relatif sangat kecil sehingga pendayagunaan belum dapat menyentuh kebutuhan mustahik secara keseluruhan. Keempat, tidak adanya pengawasan terhadap proses pemasukan dan pengeluaran 38 Djunaedi Mansyur, Kasubag Humas BAZIS Provinsi DKI Jakarta, Wawancara Pribadi, Jakarta, 30 Juli 2010. zakat. Dan kelima, lebih sering merupakan upaya karitatif dan tidak produktif. Dengan demikian, zakat yang seharusnya bisa menjadi salah satu instrument pemerataan dan pemberdayaan masyarakat belum dapat dimanfaatkan secara maksimal. 39 Meskipun pengalaman zakat tradisional ini patut dibanggakan, bukan berarti tidak membutuhkan upaya alternatif dan kreatif. Mengingat kelemahan- kelemahan pengamalan secara tradisional itu, maka mendirikan lembaga pengelola zakat adalah hal yang tak dapat dipungkiri. Hal ini dimaksudkan agar zakat yang terkumpul dari masyarakat dapat didata dengan baik, transparan, dapat disalurkan kepada yang berhak, dan lebih dari itu dapat dikelola secara produktif, sehingga zakat tidak lagi hanya bersifat karitatif, tetapi juga lebih dapat memberdayakan masyarakat. Bila dilihat perzakatan di Indonesia sebenarnya usaha-usaha agar zakat dikelola dengan baik sudah pernah dilakukan. Upaya itu sudah dimulai sekitar tahun 1950-an. Misalnya dengan melahirkan berbagai peraturan-peraturan tentang zakat. Tetapi upaya ini belum menuai hasil yang membanggakan. Sebelum kemerdekaan upaya mengumpulkan zakat sudah dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam, lembaga-lembaga dakwah, majelis ta’lim dan pondok pesantren. Namun, secara resmi belum ada peraturan pemerintah yang secara khusus mengatur masalah zakat. Baru sekitar tahun 1960-an, pembahasan 39 BAZIS Provinsi DKI Jakarta Institute Manajemen Zakat, Manajemen ZIS Bazis Provinsi DKI Jakarta, h. 8 tentang peraturan mengenai pelaksanaan dan pengumpulan zakat di Indonesia mulai menghasilkan satu peraturan. Kemajuan ini tepatnya terjadi mulai tahun 1968 ketika sebelas tokoh ulama nasional menyerukan pelaksanaan zakat. 40 Gayung pun bersambut, seruan ini direspon secara positif oleh Presiden RI Soeharto saat itu. Pada tahun 1968 inilah pemikiran tentang perlunya Lembaga pengelola Zakat LPZ di Indonesia mulai terealisasikan. Awal tahun 1968, pada “seminar zakat” yang diselengarakan oleh Lembaga Research dan Work Shop Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah di Jakarta, Presiden Republik Indonesia Soeharto untuk pertama kali menghimbau masyarakat untuk melaksanakan zakat secara konkret. Dalam pidatonya beliau berpesan : “saya ingin memulai lagi bahwa pegumpulan zakat secara besar-besaran yang saya serukan itu, saya maksudkan sebagai ajakan seorang muslim untuk mengamalkan secara konkret ajaran-ajaran Islam bagi kemajuan umat Islam khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya”. 41 Setelah itu, di Istana Merdeka pada acara Isra’ Mi’raj tanggal 26 Oktober 1968 Presiden RI Soeharto secara langsung menyerukan pelaksanaan zakat untuk menunjang pembangunan. Pada saat yang sama, Presiden RI Soeharto juga menyatakan kesediaan untuk menjadi amil zakat tingkat nasional. 40 Para Tokoh saat itu adalah : Prof. Dr. Hamka, KH. Ahmad Azhari, KH. Moh. Syukri Ghazali, Moh. Sodry, KH. Taufiqurrahman, KH. Moh. Sole Su’aidi, Ustadz M. Ali Al Hamidy, Ustadz Mukhtar Luthfy, KH. A. Malik Ahmad, Abdul Kadir, dan KH. M.A Zawawy. 41 Pemda DKI, Pedoman Pengelolaan ZIS di DKI Jakarta, Jakarta: Pemda DKI, 1992, h 102. Untuk mengintensifkan pelaksanaan zakat tersebut dikeluarkan surat perintah Presiden RI No.07POIN101968 tanggal 31 oktober 1968 kepada Mayjen Alamsyah Ratu Prawiranegara, Kol. Inf. Drs. Azwar Hamid, dan Kol. Inf Ali Afandi untuk membantu Presiden dalam proses administrasi dan tata usaha penerimaan zakat secara nasional. Berbagai kalangan masyarakat menyambut baik seruan ini. Tidak lama setelah itu, beberapa Gubernur Kepala Daerah mengeluarkan keputusan untuk mendirikan LPZ di daerahya masing-masing. Menteri Agama Republik Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri tentang pembentukan Badan Amil Zakat yang bertugas melaksanakan melaksanakan pengumpulan dan penyaluran zakat. Badan Amil Zakat BAZ ini berkedudukan di desa-desa dan kecamatan. Pada tingkat kecamatan BAZ menjadi koordinator bagi pelaksanaan pengumpulan dan penyaluran zakat di desa-desa. Untuk lebih memperkuat hal tesebut, Presiden mengeluarkan Surat Edaran No.B. 133PRES111968 yang menyerukan kepada pejabatinstansi terkait untuk membantu dan berusaha ke arah telaksananya seruan Presiden dalam wilayah atau lingkup kerja masing-masing. 42 Seruan Presiden ini ditindaklanjuti oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta dengan mengeluarkan surat keputusan tentang perlunya LPZ di provinsi DKI Jakarta. 42 Pemda DKI, Pedoman Pengelolaan ZIS di DKI Jakarta, h. 103. Dengan demikian, ada beberapa hal yang secara langsung menjadi latar belakang berdirinya BAZIS provisi DKI Jakarta, yaitu : pertama, saran sebelas tokoh ulama nasional yang berkumpul di Jakarta pada 24 September 1968, untuk membahas beberapa persoalan umat, khususnya pelaksanaan zakat di Indonesia. Di antara rekomendasi hasil musyawarah tersebut adalah : a. Perlunya pengelola zakat dengan sistem administrasi dan tata usaha yang baik sehingga bisa dipertanggungjawabkan pengumpulan dan pendayagunaanya kepada masyarakat. b. Bahwa zakat merupakan potensi umat yang sangat besar yang belum dilaksanakan secara maksimal. Karenanaya, diperlukan efektivitas pengumpulan zakat, sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan. Saran sebelas ulama itu ditanggapi secara serius oleh Presiden RI Soeharto yang kemudian memberikan seruan dan edaran kepada para pejabat dan instansi terkait untuk menyebarluaskan dan membantu terlaksananya pengumpulan zakat secara nasional. Kedua, Seruan Presiden Republik Indonesia pada peringatan Isra Mi`raj Nabi Muhammad SAW di istana Negara, pada tanggal 26 Oktober 1968 tentang perlunya intensifikasi pengumpulan zakat sebagai potensi yang besar untuk menunjang pembangunan. Dua hal inilah yang melatarbelakangi pendirian BAZIS Provinsi DKI Jakarta, Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan No. Cb. 1481868 tertanggal 5 Desember 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat, berdasarkan syariat Islam dalam wilayah DKI Jakarta. 43 Berdasarkan keputusan tersebut, maka susunan organisasi BAZ dibentuk mulai tingkat Provinsi DKI Jakarta hingga tingkat kelurahan, tugas utamanya adalah mengumpulkan zakat di wilayah DKI Jakarta dan penyalurannya terutama ditujukan kepada fakir miskin. Sejak berdiri dari tahun 1968 hingga tahun 1973, Badan Amil Zakat BAZ DKI Jakarta telah berjalan dengan cukup baik. Hanya saja pada aspek penghimpunan zakat yang terlihat belum optimal. Jumlah dana zakat yang terhimpun masih jauh dari potensi ZIS yang dapat digali dari masyarakat. Hal ini disebabkan lembaga ini membatasi diri pada penghimpunan dana zakat saja. Oleh sebab itu, untuk memperluas sasaran operasional dana karena semakin kompeksnya permasalahan zakat di Provinsi DKI Jakarta pada 1973 melalui keputusan No. D.IIIB14673 tertanggal 22 Desember 1973, menyempurnakan BAZ ini menjadi Badan Amil Zakat dan infaqshadaqah yang selanjutnya disingkat menjadi BAZIS. 44 Dengan demikian, pengelolaan dan pengumpulan harta masyarakat menjadi lebih luas, karena tidak hanya mencakup zakat, akan tetapi lebih dari itu, mengelola dan mengumpulkan infaqshadaqah serta amal sosial masyarakat yang lain. 43 BAZIS DKI, Pengelolaan Zakat dan InfaqShadaqah di DKI Jakarta, h. 12. 44 BAZIS DKI, Pengelolaan Zakat dan InfaqShadaqah di DKI Jakarta, h 10.

B. Dasar Hukum