Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film adalah media komunikasi yang paling efektif untuk menyampaikan suatu pesan sosial maupun moral kepada khalayak banyak dengan tujuan memberikan informasi, hiburan, dan ilmu yang tentunya bermanfaat dan mendidik ketika dilihat dan didengar oleh khalayak banyak. Film mempunyai seni tersendiri dalam memilih suatu peristiwa untuk dijadikan sebuah cerita. Film juga merupakan ekspresi atau pernyataan dari sebuah kebudayaan. Ia juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang-kadang kurang jelas terlihat dalam masyarakat. 1 Film dibuat dengan tujuan tertentu, kemudian hasilnya tersebut ditayangkan untuk dapat ditonton oleh masyarakat dengan peralatan teknis. Karakter psikologisnya khas bila dibandingkan dengan jenis komunikasi massa lainnya, film dianggap jenis yang paling efektif. Film atau cinemathograpie berasal dari dua kata cinema + tho yaitu phytos cahaya dan grapie tulisan, gambar dan citra. Film atau motion picture ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotograpi dan proyektor. 2 Film adalah salah satu media komunikasi massa, yang unik dibandingkan dengan media lainya, karena sifatnya yang bergerak secara bebas dan tetap, penerjemahanya langsung melalui gambar-gambar visual dan suara yang nyata, juga memiliki kesanggupan untuk menangani berbagai subjek yang tidak terbatas 1 Pranajaya, Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar, Jakarta: Yayasan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, 1992, h. 6. 2 Pranajaya, Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar, h.19. 2 ragamnya, berkat unsur inilah film merupakan salah satu bentuk seni alternatif yang banyak diminati masyarakat, karena dapat mengamati secara seksama apa yang mungkin ditawarkan sebuah film melalui peristiwa yang ada dibalik ceritanaya. Yang tak kalah pentingnya, film merupakan ekspersi atau pernyataan dari sebuah kebudayaan ia juga mencerminkan dan menyatakan segi-segi yang kadang kurang terlihat jelas terlihat dalam masyarakat. 3 Film juga termasuk media massa dan media massa ini adalah surat kabar, film, radio, dan televisi. Jadi yang diartikan komunikasi massa ialah penyebaran pesan dengan menggunakan media yang ditujukan kepada massa yang abstrak, yakni sejumlah orang yang tidak tampak oleh si penyampai pesan. Pembaca surat kabar, pendengar radio, penonton televisi dan film, tidak tampak oleh si komunikator. Dengan demikian, maka jelas bahwa komunikasi massa atau komunikasi melalui media massa sifatnya “satu arah” one way trafic. Begitu pesan disebarkan oleh komunikator, tidak diketahuinya apakah pesan itu diterima, dimengerti, atau dilakukan oleh komunikan. Wartawan surat kabar, penyiar radio, penyiar televisi, atau sutradara film tidak mengetahui nasib pesan yang disampaikan kepada khalayak itu. 4 Jadi menurut peneliti bahwa penonton film belum tentu mengamalkan atau mengikuti apa yang dia lihat atau apa yang dia tonton dalam film. Sifatnya belum pasti karena mungkin dia hanya melihat film itu untuk sekedar hiburan karena tokoh yang membintangi film tersebut dia senangi dan lain-lain sebagainya. walaupun terkadang film itu diangkat dari kisah nyata yang seharusnya diambil hikmahnya informasinya. 3 Pranajaya, Film dan Masyarakat; Sebuah Pengantar, h.19. 4 Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 Cet Ke-4, h. 50. 3 Dari catatan sejarah perfilman di Indonesia, film pertama diputar berjudul Lady Van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh David. Pada Tahun 1927-1928-an Krueger Corporation memproduksi film Eulis Atjih, dan sampai tahun 1930, masyarakat disuguhi film Loetoeng Kasaroeng, Si Conat dan Pareh Film-film tersebut merupakan film bisu dan diusahakan oleh orang-orang Belanda dan Cina. 5 Film bicara yang pertama berjudul Terang Bulan yang bintangi oleh Roekiah dan R. Mochtar. Pada saat perang Asia Timur Raya di penghujung tahun 1941, perusahaan perfilman yang diusahakan oleh orang Belanda dan Cina itu berpindah tangan kepada pemerintah Jepang, diantaranya adalah NV. Multi Film yang diubah namanya menjadi Nippon Eiga Sha, yang selanjutnya memproduksi film feature dan film dokumenter. Jepang telah memanfaatkan film untuk media informasi dan propaganda. Namun, tatkala bangsa Indonesia sudah memproklamasikan kemerdekaannya, maka pada tanggal 6 Oktober 1945 Nippon Eiga Sha diserahkan secara resmi kepada pemerintah Republik Indonesia. 6 Effendi sebagaimana dikutip Elvinaro Ardiyanto dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, setiap halnya televisi siaran, tujuan khalayak menonton film terutama adalah ingin memperoleh hiburan. Akan tetapi dalam film akan terkandung fungsi informatif maupun edukatif, bahkan persuasif. Hal ini pun sejalan dengan misi perfilman nasional sejak tahun 1979, bahwa selain sebagai media hiburan, film nasional, film nasional dapat digunakan sebagai 5 Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003 Cet Ke-3, h. 217. 6 Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, Bandung: Simbiosa Rekatama Media,2007 Cet Ke-3, h. 134-135. 4 media edukasi untuk pembinaan generasi muda dalam rangka nations and charakter building. 7 Abad ke-21 sepertinya telah menjadi babak baru bagi kehidupan umat manusia, khususnya di negara berkembang, seperti Indonesia. Oleh karena pada masa itu telah terjadi revolusi kehidupan hampir di semua sektornya. Era pasar bebas sebagai konsekuensi dari adanya globalisasi seakan-akan memaksa setiap orang untuk terus bekerja keras tanpa mengenal lelah dan mengenal waktu hanya demi mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan jaman. Sehingga hampir saja tidak ada waktu untuk menghadiri forum pengajian dan semacamnya. Padahal kalau boleh jujur, baik secara langsung maupun tidak langsung, sesungguhnya mereka juga membutuhkan hal-hal yang bersifat spiritual ketenangan batiniah yang hanya dapat diperoleh lewat jalan dakwah. 8 Menurut Onong Uchjana Effendi dalam buku Syiar Deddy Mizwar karangan Zaenal Arifin, Berangkat dari fenomena itu, model dakwah melalui tayangan film dan sinetron menjadi salah satu pilihan tepat untukk menjawab berbagai persoalan di atas karena karena dakwah dalam konteks ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan spiritualnya, tetapi juga menjadi media hiburan. Film dan sinetron itu sendiri adalah dua hal yang serupa tetapi tak sama. Maksudnya, yang disebut film dalam masyarakat kita sesungguhnya adalah film teatrikal yang di produksi secara khusus untuk dipertunjukan di gedung-gedung pertunjukan atau bioskop cinema. Dalam istilah lain, sinetron juga dapat disebut dengan film televisi television film yang dibuat khusus untuk siaran televisi. Namun demikian, keduannya merupakan hasil karya seni peran yang bersifat imajinatif 7 Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, h. 136. 8 Zaenal Arifin, Syiar Deddy Mizwar, Yokyakarta: STAIN Purwekerto Press Unggun Religi, 2006 Cet Ke-1, h. 92. 5 tidak sebenarnya untuk menggambarkan suatu objek atau sebuah realitas kehidupan dan mengandung misi atau tujuan tertentu dari pihak yang memproduksinya. 9 Film “Emak Ingin Naik Haji” sukses meraih penghargaan terpuji dalam festival film Bandung, di Hotel Horison, Bandung, Jumat 234. Film ini terpilih sebagai Film terpuji, selain meraih penghargaan sebagai Film terpuji Festival Film Bandung FFB 2010, Film Emak Ingin Naik Haji juga menang di kategori Pemeran Utama Pria Terpuji yang diraih Reza Rahardian, Pemeran Utama Terpuji diraih Ati Kanser, Sutradara Terbaik diraih Aditya Gumay, dan Penata Artistik terpuji diraih Herlin Lanang. Dengan demikian dalam Festival Film Bandung 2010 ini, film Emak Ingin Naik Haji total meraih lima penghargaan. 10 Seperti diketahui film merupakan salah satu acara yang ditayangkan televisi. Terdapat beberapa pesan moral yang dapat diangkat atau diambil maknanya dari tayangan-tayangan film yang disesuaikan dengan alur atau jalan cerita dari isi film tersebut. Sebab film memberikan peluang untuk terjadinya peniruan apakah itu positif ataupun negatif. Dikarenakan dampak yang ditimbulkan lewat acara-acara film begitu besar maka sungguh pas dan tepat jika proses dakwah pun dilakukan melalui film-film yang bertemakan dakwah. Salah satu film yang memberikan pesan dakwah sekaligus pesan moral adalah film “Emak Ingin Naik Haji”. Film “Emak Ingin Naik Haji” bercerita tentang: Emak, seorang wanita berusia lanjut yang sabar, tulus, dan penuh kebaikan hati, seperti umat Islam 9 Zaenal Arifin, Syiar Deddy Mizwar, h. 93-94. 10 Film ‘Emak Ingin Naik Haji’ Rajai Festival Film Bandung 2010, http:www.facebook.comI9d4ee;www.tabloidbintang.comfilm-tv-musikkabar2796-film-emak- ingin-naik-haji-rajai-festival-film-bandung-2010. html, diakses pada tanggal, 31 Januari 2011 pada pukul 09.00. 6 lainnya, sangat ingin menunaikan ibadah haji. Sayangnya, Emak tidak memiliki biaya untuk mewujudkan keinginannya. Kehidupan Emak sehari-hari hanya bergantung pada hasil jualan kue. Ada juga sedikit tambahan uang dari Zein, anaknya yang duda, penjual lukisan keliling. Walaupun Emak tahu bahwa pergi haji adalah salah satu hal yang mungkin sulit diraih, Emak tidak putus asa, dia tetap mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk disetorkan ke tabungan haji di bank. Zein, yang melihat kegigihan Emak, berusaha dengan berbagai cara untuk dapat mewujudkan keinginan Emak. Tapi, Keterbatasannya sebagai penjual lukisan keliling, serta masalah-masalah yang diwarisinya dari perkawinannya yang gagal, menyebabkan Zein hampir-hampir putus asa dan nekat. Sementara, tetangga Emak yang kaya raya sudah beberapa kali menunaikan haji, apalagi pergi umroh. Di tempat lain ada orang berniat menunaikan haji hanya untuk kepentingan politik. Alasan peneliti mengapa memilih film Emak Ingin Naik Haji dalam penelitian yaitu karena film ini memang banyak terjadi dalam kehidupan sehari- hari yang bisa dijadikan contoh yang baik atau buruk untuk para penontonnya. Menceritakan seorang anak sholeh yang ingin membahagiakan Emaknya untuk pergi haji. Kecintaan dan perjuangan seorang anak agar Emaknya bisa naik haji, membuat penonton tak terasa meneteskan air mata ketika menontonnya dan merasa kesal ketika melihat dalam peran lain bahwa seseorang di tempat yang berbeda naik haji dengan begitu gampangnya. Karena orang kaya atau karena jabatan yang memaksanya untuk naik haji. Sinematografi film ini memang tidak indah, tapi kameramen mampu menangkap indahnya sebuah perkampungan. Musiknya pun boleh dikatakan biasa, dan sekali lagi penceritaan yang kuatlah 7 menutupi segala kekurangan film ini. Aty Cancer dan Reza Rahardian yang bermain dengan sangat mantap. Hubungan antara anak dan Emak sangat klop dan apa yang dimainkan mereka adalah sebuah contoh bagaimana aktor seharusnya menjiwai peran dengan sungguh-sungguh. Ada banyak pesan yang terkandung dalam film Emak Ingin Naik Haji, diantaranya: Mencari gelar hajihajjah menaikkan status sosial atau unjuk kekayaan adalah niatan-niatan yang semestinya harus dikubur dalam-dalam saat hendak menunaikan ibadah haji. Karena tiap amalan sekecil apapun hanya pantas ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih ibadah haji merupakan amalan mulia yang memiliki kedudukan tinggi di dalam Islam. Haji ke Baitullah merupakan ibadah yang sangat mulia dalam Islam. Kemudian dilihat dari aspek penonton pemutaran perdana film Emak ingin Naik Haji di PIM I Jakarta Selatan, tim 21cineplex.com yang diundang untuk menyaksikan film ini bersama sang sutradara Aditya Gumay, penulis novel Asma Nadia dan penulis naskah film ini Adenin Adlan, benar-benar merasa tersentuh dengan apa yang baru saja kami saksikan. Lebih dari 80 menit pemutaran film ini, kami menyaksikan sebuah karya yang menurut kami sangat menyentuh perasaan. 11 Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka peneliti bermaksud menyusun skripsi dengan judul Pengemasan Pesan Moral Dalam Film: Analisis Framing Film “Emak Ingin Naik Haji” 11 Komentar penonton ‘film emak ingin naik haji’, http:www.21cineplex.comslowmotionemak ingin naik haji dari cerpen menjadi film,1031.html, diakses pada tanggal, 7 Maret 2011 pada pukul 12.30. 8

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah