Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan

(1)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM

SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA MEDAN

TESIS

Oleh

RATRI UTAMI

087003057/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA NA


(2)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM

SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU

DI KOTA MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

RATRI UTAMI

087003057/PWD

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MEDAN

Nama Mahasiswa : Ratri Utami

Nomor Pokok : 087003057

Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Bachtiar Hassan Miraza) Ketua

(Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP) (Ir. Jeluddin Daud, M.Eng)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 18 Februari 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza

Anggota : 1. Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP

2. Ir. Jeluddin Daud, M.Eng 3. Kasyful Mahalli, SE, M.Si 4. Agus Suriadi, S. Sos, M.Si


(5)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MEDAN

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP dan Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRAK

Taman Pemakaman Umum adalah fasilitas yang berfungsi ganda yaitu sebagai fasilitas sosial (pemakaman) dan fasilitas umum (Ruang Terbuka Hijau). Tetapi keberadaannya sangat minim. TPU yang dikelola Pemerintah yang belum penuh hanya TPU Kristen di Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan. Sedangkan TPBU khususnya TPU Muslim sudah banyak yang penuh dan menggunakan sistem tumpang dan tidak bertambah dalam 20 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut dalam tesis ini mencoba menganalisis berapa jumlah TPU yang dibutuhkan berikut luasannya untuk 20 tahun ke depan di Kota Medan dan persentasenya dalam mendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan.

Analisis Kebutuhan TPU sebagai pendukung RTH ini dicari dengan menggunakan 3 metode analisis. Metode pertama dengan menggunakan pedoman pemerintah yang ada, metode kedua dengan mempertimbangkan Angka Kematian Kasar, dan metode ketiga dengan mempertimbangkan Angka Harapan Hidup. Kemudian didapat luasan masing, dicari kelemahan dan kelebihan masing-masing metode dan dipilih metode yang paling sesuai dalam menentukan luas Taman Pemakaman Umum untuk menjadi acuan bagi pemerintah daerah.

Hasil tesis ini menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh pemerintah sudah sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan berdasarkan ketiga metode tersebut. Metode yang direkomendasikan adalah metode perhitungan Taman Pemakaman Umum dengan melalui Angka Kematian Kasar karena dianggap paling mewakili angka kematian yang sesungguhnya.

Kata Kunci : Kebutuhan TPU, Ruang Terbuka Hijau dan Kota Medan.


(6)

ANALYSIS OF REQUIREMENT LAND PUBLIC CEMETERY AS SUPPORTING GRENNLY OPEN AREA IN MEDAN CITY

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP and Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRACT

Cemetery Area is viewed as public facility with multiple function namely for social facility (for burial) and public facility (Greenly Open Area). It is recognized the existence is very minim. The public cemetery (TPU) as provided by Local Administration that has been not fully filled namely cemetery of TPU Kristen at Simalingkar B area Kec. Medan Tuntungan. Whereas TPU for Moslem mostly has been fulled filled and apply it with re-use and it should be never added within last 20 years. This paper deals with analyzing the existences of TPU cemetery and what number is required with the width particularly for leading 20 years in Medan City and in what percentage it could support to the local government program in Open Area in Greenly for this city.

The Analysis for requirement of TPU as supporting to Greenly Program in this case adopted as 3 analysis methods, firstly by using a governmental programs available, and the second method by considering in Crude Death Ratio, and other method is considering a Hopefully Living rate. Then, it was taken each width, and also to find there is any weakness and advantages for each method and at last to find the most appropriate method in determining the width of Public Cemetery as the guidance for Local Administration.

The result of this study showed that providing TPU as public cemetery by local government is urged to do. Total width to generate is seemly significantly different based on the three methods. It is precisely the method as recommended to know the requirement for Public Cemetery width Crude Death Ratoi, since it has been the most representative for the mortality rate to exist.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah penulis panjatkan kehadiarat Alloh SWT karena atas segala kebaikanNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan”.

Pengambilan judul ini terinspirasi dari Almarhumah Ibunda tercinta yang telah berpulang 2 tahun yang lalu dimana karena keterbatasan lahan dimakamkan secara tumpang dengan kerabat dekat yang telah berpulang terlebih dahulu. Semoga hasil tesis ini dapat dibaca oleh Pemerintah Kota Medan khususnya Para Pengambil Keputusan sehingga Keberadaan Taman Pemakaman Umum dapat dianggap penting dan dapat disediakan.

Tesis ini tidak selesai begitu saja tetapi atas bantuan banyak pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghormatan yang sangat besar kepada:

1. Bapak Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Bachtiar Hassan Miraza, selaku ketua Komisi Pembimbing yang banyak memberikan inspirasi dan masukan demi kesempurnaan tesis ini kepada penulis.

3. Bapak Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP, yang telah banyak memberikan bimbingan, pola pikir yang sistematis dan pemikiran-pemikiran yang cerdas terhadap pengembangan wilayah.

4. Bapak Ir. Jeluddin Daud, M.Eng, yang telah banyak memberikan bimbingan dengan kesabaran dan sistematis kepada penulis.


(8)

5. Bapak Kasyful Mahalli, SE, M.Si, selaku salah satu Dosen Pembanding sekaligus penguji tesis yang telah memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan tesis ini.

6. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, M.Si, selaku salah satu Dosen Pembanding sekaligus penguji tesis yang telah memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan tesis ini.

7. Suami dan Anak-anak tercinta yang telah mendukung dan ikhlas sebagian waktu penulis tersita untuk penyelesaian tesis dan kegiatan rutin di kantor. Semoga semua ini tidak sia-sia dan dapat menjadikan keluarga kita keluarga yang kuat, sukses dan bahagia dunia dan akhirat.

8. Almarhumah Ibunda tercinta, penulis yakin dalam rindu-Mu di alam sana Engkau terus mendoakan kebahagiaan anak-anakmu di dunia...semoga kelak kita dapat berkumpul kembali dan menghilangkan seluruh rindu ini...dengan bahagia.

9. Bapak, terimakasih atas semua dukungan semoga Allah memberikan kesehatan serta keimanan yang terus bertambah menuju kebahagiaan yang hakiki dunia dan akhirat. Saudara-saudaraku tercinta Kak Wiwik, Suri, Ari, Arif dan Indah semoga kesuksesan demi kesuksesan terus mengalir dengan Ridho Alloh SWT. 10. Pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian kuliah,

penyelesaian tesis dan pekerjaan kantor sehingga satu demi satu penulis dapat menyelesaikan tanggung jawab dengan tepat waktu.

Akhirnya semoga tesis ini dapat bermanfaat tidak saja bagi pengembangan ilmu tetapi bagi Pemerintah Daerah khusunya Kota Medan agar serius dalam pengadaan Taman Pemakaman Umum bagi warganya, Wassalam...

Medan, Februari 2011


(9)

Ratri Utami

RIWAYAT HIDUP

Ratri Utami lahir di Medan pada tanggal 6 Januari 1975, anak ke-2 dari 6 bersaudara dari Bapak H. Haditomo, BBA dan Alm. Hj. Suwarti.

Pendidikan penulis dimulai dari SDN 101786 Helvetia lulus tahun 1987, SMPN 1 Labuhan Deli Helvetia lulus tahun 1990 dan SMUN 3 Medan lulus tahun 1993 serta kuliah di Institut Teknologi Nasional Malang jurusan Planologi Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan lulus tahun 1998.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Kota Medan Jl. Jend. AH. Nasution No 32 lt 2-3 sisi Timur Medan sebagai Kepala Sub Bagian Penyusunan Program.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian . ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Konsep Kematian ... 7

2.1.2 Pengertian ... 7

2.1.2 Ukuran Kematian ... 8

2.2 Model Demografi Proyeksi Penduduk Terpilih ... 9

2.3 Ruang Terbuka Hijau ... 10

2.3.1 Pola Pengembangan RTH di Beberapa Kota Besar ... 12

. 2.3.2 Pendekatan Kebutuhan RTH berdasarkan Fungsinya ... 15

2.4 Konsep Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan ... 21

2.4.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah ... 21

2.4.2 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk ... 23

2.4.3 Penyediaan RTH Berdasarkan Fungsi Tertentu ... 23


(11)

2.5.1 Pada Bangunan/Perumahan ... 25

2.5.2 Lingkungan/Pemukiman ... 28

2.5.3 Kota/Perkotaan ... 30

2.6 Syarat Lokasi Pemakaman menurut PP No 9 Tahun 1987 ... 47

2.7 Penelitian Sebelumnya ... 48

2.8 Kerangka Pemikiran ... 51

BAB III METODE PENELITIAN ... 54

3.1 Prosedur Pencarian Data ... 54

3.2 Metode Analisis ... 55

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 60

4.1  Gambaran Umum Wilayah Kota Medan...     60 

         4.1.1   Letak Geografis dan Batas Administrasi ... 60 

         4.1.2   Pola Penggunaan Lahan ... 63 

               4.1.3   Kawasan Ruang Terbuka Hijau ... 63 

     4.1.4   Rencana Pola Ruang dalam RTRW Kota Medan          Tahun 2010 – 2030 ... 70 

     4.1.5   Rencana   Ruang  Terbuka   Hijau   Kota Medan       dalam  RTRW Tahun  2010 ‐ 2030 ...     74   

     4.1.6   Kondisi Sosial dan Kependudukan ...     81 

         4.1.7   Sistem Pusat Pelayanan dalam RTRW Kota Medan         Tahun  2010 ‐ 2030...     86   

4.2 Analisis Kependudukan Kota Medan ... 88

         4.2.1   Pertumbuhan dan Proyeksi Jumlah Penduduk ... 88 

4.2.2 Angka Kematian Kasar (Mortality Rate) Kota Medan ... 91

4.3 Analisis Kebutuhan TPU sebagai Pendukung RTH ... 94

    4.3.1    Analisis menurut Pedoman Pemanfaatan RTH ...     94 

        4.3.2    Analisis Luasan Taman Pemakaman Umum Menurut        Angka Kematian Kasar Rata‐rata (Mortality Rate)... 96  


(12)

 4.3.3   Analisis Luasan Taman Pemakaman Umum menurut 

      Angka diluar Angka Harapan Hidup ... 102 

   4.3.4   Perbandingan Kebutuhan Berdasarkan 3 Metode         yang digunakan ...   105 

   4.3.5   Kontribusi/Persentase Luasan terhadap RTH yang         Diwajibkan...   111 

4.4 Analisis Pembagian Perwilayahan untuk Kebutuhan        Luasan TPU ...   112 

4.5   Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum Kawasan       Medan Utara ... 123 

   4.5.1   Orientasi Wilayah ...   123 

       4

.

5.2   Penggunaan Lahan ... 123 

   4.5.3   Analisis Kebutuhan Luasan Pembebasan Lahan         Untuk Kawasan Medan Utara ...   125 

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 135

5.1    Kesimpulan ...   135 

5.2 Saran ... 137


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Jenis Permukaan dan Besaran Koefisien Pengaliran ... 16

2.2 Pemanfaatan Pohon dan RTH pada Perbaikan Kualitas Lingkungan... 20

2.3 Kepemilikan RTH ... 22

2.4 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk... 24

2.5 Kreteria Pemeliharaan Tanaman pada Persimpangan Jalan... 36

2.6 Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api... 39

2.7 Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET ... 41

4.1 Luas Wilayah Kota Medan Menurut Kecamatan ... 61

4.2 Sebaran Jumlah Taman di Kota Medan ... 65

4.3 Taman Pemakaman Umum yang dikelola Pemko Medan ... 69

4.4 Rencana Luas dan Sebaran Penggunaan Lahan Kota Medan Tahun 2030 74

4.5 Proyeksi Kebutuhan RTH Publik di Kota Medan Tahun 2030... 79

4.6 Luas dan Kepadatan Penduduk Kota Medan menurut Kecamatan Tahun 2009 ... 82

4.7 Struktur Penduduk menurut Agama per Kecamatan di Kota Medan Tahun 2009 ... 83

4.8 Penduduk di atas Usia 51 Tahun diluar Angka Harapan Hidup ... 87

4.9 Rencana Struktur Pelayanan Kota Medan Tahun 2030 ... 89

4.10 Jumlah Penduduk 5 Tahun Terakhir Kota Medan Tahun 2005-2009... 90

4.11 Angka Pertumbuhan Penduduk 5 Tahun Terakhir Kota Medan Tahun 2005 – 2009 ... 92

4.12 Proyeksi Penduduk Kota Medan Tahun 2011-2031 ... 93


(14)

4.14 Kebutuhan TPU Berdasarkan Pedoman Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau ... 97 4.15 Luasan TPU Berdasarkan Angka Kematian Kasar Rata-Rata (Mortality

Rate) Kota Medan Tahun 2031 ... 103 4.16 Luasan TPU Berdasarkan Angka Diluar Angka Harapan Hidup Kota

Medan Tahun 2031 ... 105 4.17 Perbandingan Taman Pemakaman Umum Berdasarkan

Perbandingan 3 Metode Analisis ... 108 4.18 Luas Taman Pemakaman Umum Berdasarkan Jenis AKK Rata-Rata,

Agama dan Perwilayahan Tahun 2031 ... 117 4.19 Luas Taman Pemakaman Umum Berdasarkan Usia di Luar Angka

Harapan Hidup, Agama dan Perwilayahan Tahun 2031... 119 4.20 Luas Per Kecamatan di Kawasan Medan Utara Tahun 2009... 124 4.21 Kondisi Pemakaman Umum dan Sisa Lahan

Pemakaman di Kawasan Medan Utara Kota Medan... 127 4.22 Luas yang Dibebaskan menurut AKK Rata-Rata dan

Jenis Agama di Kecamatan Medan Utara Tahun 2030... 130 4.23 Luas yang Dibebaskan menurut Angka Diluar Angka Harapan Hidup


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Contoh RTH Publik... 21

2.2 Contoh RTH Privat... 22

2.3 Contoh Taman Pemakaman Umum ... 46

2.4 Bagan Alir Kontribusi Persentase Pemakaman Bagi Penyediaan RTH... 52

2.5 Bagan Alir Kebutuhan TPU sebagai Pendukung RTH ... 53

4.1 Peta Wilayah Administrasi Kota Medan ... 62

4.2 Peta Penggunaan Lahan Eksisting ... 64

4.3 Peta Rencana Pola Ruang Kota Medan Tahun 2010-2030 ... 71

4.4 Angka Harapan Hidup Kota Medan Tahun 2006-2009 ... 84

4.5 Peta Pembagian Kota Medan atas 4 Wilayah serta Luas TPU berdasarkan AKK ... 121

4.6 Peta Pembagian Kota Medan atas 4 Wilayah serta Luas TPU berdasarkan AHH ... 122


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman


(17)

ANALISIS KEBUTUHAN TAMAN PEMAKAMAN UMUM SEBAGAI PENDUKUNG RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA MEDAN

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP dan Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRAK

Taman Pemakaman Umum adalah fasilitas yang berfungsi ganda yaitu sebagai fasilitas sosial (pemakaman) dan fasilitas umum (Ruang Terbuka Hijau). Tetapi keberadaannya sangat minim. TPU yang dikelola Pemerintah yang belum penuh hanya TPU Kristen di Simalingkar B Kecamatan Medan Tuntungan. Sedangkan TPBU khususnya TPU Muslim sudah banyak yang penuh dan menggunakan sistem tumpang dan tidak bertambah dalam 20 tahun terakhir. Berdasarkan hal tersebut dalam tesis ini mencoba menganalisis berapa jumlah TPU yang dibutuhkan berikut luasannya untuk 20 tahun ke depan di Kota Medan dan persentasenya dalam mendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan.

Analisis Kebutuhan TPU sebagai pendukung RTH ini dicari dengan menggunakan 3 metode analisis. Metode pertama dengan menggunakan pedoman pemerintah yang ada, metode kedua dengan mempertimbangkan Angka Kematian Kasar, dan metode ketiga dengan mempertimbangkan Angka Harapan Hidup. Kemudian didapat luasan masing, dicari kelemahan dan kelebihan masing-masing metode dan dipilih metode yang paling sesuai dalam menentukan luas Taman Pemakaman Umum untuk menjadi acuan bagi pemerintah daerah.

Hasil tesis ini menunjukkan bahwa pengadaan TPU oleh pemerintah sudah sangat mendesak. Jumlah luasan yang dihasilkan berbeda secara signifikan berdasarkan ketiga metode tersebut. Metode yang direkomendasikan adalah metode perhitungan Taman Pemakaman Umum dengan melalui Angka Kematian Kasar karena dianggap paling mewakili angka kematian yang sesungguhnya.

Kata Kunci : Kebutuhan TPU, Ruang Terbuka Hijau dan Kota Medan.


(18)

ANALYSIS OF REQUIREMENT LAND PUBLIC CEMETERY AS SUPPORTING GRENNLY OPEN AREA IN MEDAN CITY

Ratri Utami, Prof. Bachtiar Hassan Miraza, Prof. Drs. Robinson Tarigan, MRP and Ir. Jeluddin Daud, M.Eng

ABSTRACT

Cemetery Area is viewed as public facility with multiple function namely for social facility (for burial) and public facility (Greenly Open Area). It is recognized the existence is very minim. The public cemetery (TPU) as provided by Local Administration that has been not fully filled namely cemetery of TPU Kristen at Simalingkar B area Kec. Medan Tuntungan. Whereas TPU for Moslem mostly has been fulled filled and apply it with re-use and it should be never added within last 20 years. This paper deals with analyzing the existences of TPU cemetery and what number is required with the width particularly for leading 20 years in Medan City and in what percentage it could support to the local government program in Open Area in Greenly for this city.

The Analysis for requirement of TPU as supporting to Greenly Program in this case adopted as 3 analysis methods, firstly by using a governmental programs available, and the second method by considering in Crude Death Ratio, and other method is considering a Hopefully Living rate. Then, it was taken each width, and also to find there is any weakness and advantages for each method and at last to find the most appropriate method in determining the width of Public Cemetery as the guidance for Local Administration.

The result of this study showed that providing TPU as public cemetery by local government is urged to do. Total width to generate is seemly significantly different based on the three methods. It is precisely the method as recommended to know the requirement for Public Cemetery width Crude Death Ratoi, since it has been the most representative for the mortality rate to exist.


(19)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berdasarkan hasil KTT bumi di Rio de Janeiro (1992) dan Johannesburg (2002) telah disepakati luas Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota yang sehat, minimal 30% dari total luas kota secara keseluruhan. Hal ini telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Pasal 29 ayat 1 – 3 tentang Penataan Ruang dimana ditetapkan bahwa luas RTH perkotaan minimal sebesar 30% dari luas kota keseluruhan (Ruang Terbuka Hijau Harus Diprioritaskan/Bataviase.co.id. 19 Januari 2011). Besaran 30% tersebut terdiri dari 20% untuk RTH Publik dan 10% untuk RTH Privat. Pembagiannya terdiri dari jalur hijau jalan 6%, RTH Taman 12,5% dan RTH fungsi tertentu 1,5%. Taman Pemakaman Umum adalah bagian dari RTH tertentu.

Kondisi yang ada RTH Publik yang dimiliki sebagai asset Pemerintah Kota Medan misalnya saja untuk RTH Taman adala 0,08% (Dinas Pertamanan Kota Medan, tahun 2010). Hal ini jauh dari luasan yang ditetapkan. Taman Pemakaman Umum sebagai salah satu unsur Ruang Terbuka Hijau sama kedudukannya seperti fasilitas umum dan sosial lainnya seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan yang dikelola Pemerintah Daerah lainnya (SD-Universitas Negeri, Puskesmas-RS Umum dll), dimana swasta atau masyarakat boleh ikut berperan dalam penyediaan tetapi pemenuhan kebutuhan berdasarkan Standar Pelayanan Minimal tetap menjadi tanggung jawab Pemerinatah Daerah.


(20)

Taman Pemakaman Umum keberadaannya memiliki fungsi ganda. Pertama, selain memiliki fungsi sosial (fasilitas sosial) yaitu tempat memakamkan jenazah yang kedua juga berfungsi sebagai Ruang Terbuka Hijau (fasilitas umum) untuk peresapan air, mengurangi polusi udara, suara, penyerap panas dan penyerap kebisingan serta pendukung ekosistim. Berdasarkan hal tersebut sudah seharusnya keberadaannya diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah.

Perkembangan Kota Medan Metropolitan yang sangat pesat dengan jumlah penduduk 2.121.053 jiwa pada akhir tahun 2009 (BPS Kota Medan, 2010) berbanding lurus dengan angka kematian. Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat tersebut telah diikuti dengan pertambahan fasilitas perumahan tetapi tidak diikuti dengan penambahan fasilitas pemakaman (Taman Pemakaman Umum).

Pada tahun 2010 tercatat Kota Medan memiliki 9 (sembilan) lokasi Taman Pemakaman Umum yang dikelola oleh Pemerintah Kota Medan dimana 8 (delapan) pemakaman telah penuh hanya 1 makam yaitu TPU Kristen di Kecamatan Simalingkar B yang masih memiliki sisa lahan kosong. Disamping TPU terdapat 117 (seratus tujuh belas) lokasi Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) yang dikelola oleh badan/yayasan (Data Musrenbang Dinas Pertamanan Kota Medan, tahun 2010). Perlu ditegaskan disini antara TPU dan TPBU dimana TPU adalah pemakaman yang dikelola oleh pemerintah dan TPBU adalah pemakaman yang dikelola oleh masyarakat atau yayasan (Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 tahun 1989


(21)

tentang Pedoman pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1987 tentang penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman).

TPBU khususnya TPBU Muslim umumnya adalah hasil tanah wakaf yang sudah puluhan tahun dan banyak yang sudah penuh. Pada makam hasil tanah wakaf tersebut banyak ditemukan satu makam ditempati oleh lebih dari 1 jenazah yang biasanya adalah makam kerabatnya terdahulu yang sudah berumur lebih dari 15 tahun (sistem tumpang). Satu kavling dengan kavling berikutnya tidak memiliki jarak, tidak tertata dan pengunjung sangat sulit untuk berjiarah karena tidak adanya akses jalan menuju ke masing-masing makam. Kemudian ditemukan di beberapa lokasi bahwa karena adanya keterbatasan lahan dan mahalnya harga tanah masyarakat secara swadaya membeli tanah untuk pemakaman di luar wilayah administrasi Kota Medan. Kondisi ini sangat bertentangan dengan adanya kewajiban pemerintah untuk menyediakan Ruang Terbuka Hijau dan Taman Pemakaman Umum bagi penduduknya.

Atas dasar latar belakang yang telah diuraikan di atas maka penulis mencoba menganalisis kebutuhan pemakaman dengan judul “Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan.

1.2. Perumusan Masalah

Perumusan masalah disusun atas dasar latar belakang yang ada. Adapun perumusan masalah dalam Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan ini adalah:


(22)

1. Berapa luas TPU yang dibutuhkan saat ini maupun 20 tahun mendatang (tahun 2031) berdasarkan metode perhitungan menurut pedoman pemanfaatan RTH, menurut angka kematian dan angka harapan hidup?

2. Bagaimana kelemahan dan kelebihan dari penggunaan 3 metode yaitu dengan menggunakan metode analisis kebutuhan TPU berdasarkan pedoman pemerintah, dengan menggunakan metode angka kematian kasar dan metode angka harapan hidup? Dan metode apa yang direkomendasikan dalam menghitung kebutuhan luas TPU.

3. Bagaimana sistem pembagian struktur perwilayahan untuk kebutuhan luasan TPU di Kota Medan sampai tahun 2031?

4. Bagaimana contoh perhitungan luas TPU yang perlu ditambah sampai tahun 2031 apabila luasan pemakaman TPBU yang tersisa masih diperhitungkan?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai Pendukung Ruang Terbuka Hijau di Kota Medan ini adalah:

1. Menganalisis berapa luas TPU yang dibutuhkan saat ini maupun 20 tahun mendatang (tahun 2031) berdasarkan metode perhitungan menurut pedoman pemanfaatan RTH, menurut angka kematian dan angka harapan hidup.

2. Menganalisis bagaimana kelemahan dan kelebihan dari 3 metode yang digunakan yaitu dengan menggunakan pedoman pemerintah, dengan menggunakan angka kematian kasar dan angka harapan hidup serta


(23)

merekomendasikan metode alternative terpilih dalam menghitung kebutuhan luas TPU.

3. Menganalisis bagaimana sistem pembagian struktur perwilayahan untuk kebutuhan luasan TPU di Kota Medan sampai tahun 2031.

4. Menganalisis bagaimana contoh perhitungan luas TPU yang perlu ditambah sampai tahun 2031 apabila luasan pemakaman TPBU yang tersisa masih diperhitungkan?

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat tidak hanya sebagai pengembangan ilmu tetapi bermanfaat bagi Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Medan untuk membangun Taman Pemakaman Umum yang sangat dibutuhkan masyarakat. Adapun manfaat secara spesifik adalah:

1. Menemukan metode yang tepat secara alamiah dalam menentukan standard dan pedoman penyusunan penentuan luasan Taman Pemakaman Umum bagi pemerintah khususnya Pemerintah Kota Medan dan umumnya Pemerintah Indonesia;

2. Memberikan pemahaman bahwa Taman Pemakaman Umum tidak hanya sekedar tempat pemakaman tetapi juga sebagai fungsi RTH yang sangat dibutuhkan bagi kelestarian dan keberlanjutan suatu wilayah dan pengembangan ekonomi wilayah sekitar dari pengunjung Taman Pemakaman Umum;


(24)

3. Dengan disediakan Taman Pemakaman Umum 20 tahun kedepan Pemerintah daerah selain memenuhi kebutuhan yang berfungsi sosial bagi masyarakat juga telah berupaya memenuhi RTH perkotaan yang ditetapkan minimal sebesar 30% dari total luas keseluruhan.

4. Sebagai bahan acuan dan rekomendasi Pemerintah khususnya Pemerintah Kota Medan dalam penelitian selanjutnya terutama dalam hal penentuan lokasi dengan melakukan Studi Kelayakan Lahan Taman Pemakaman Umum, Pembebasan Lahan dan Pembangunan Fisik.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kematian 2.1.1 Pengertian

Menurut konsep kematian terdapat 3 keadaan vital yang masing-masing bersifat mutually exclusive, artinya keadaan yang satu tidak mungkin terjadi bersamaan dengan salah satu keadaan lainnya. Tiga keadaan vital tersebut (Utomo, 1997) ialah:

1. Lahir hidup (live birth)

Lahir hidup yaitu, peristiwa keluarnya hasil konsepsi dari rahim seorang ibu secara lengkap tanpa memandang lainnya, kehamilan dan setelah perpisahan tersebut terjadi, hasil konsepsi bernafas dan mempunyai tanda-tanda kehidupan lainnya, seperti denyut jantung, denyut tali pusat, atau gerakan-gerakan otot, tanpa memandang tali pusat sudah dipotong atau belum.

2. Mati (death)

Mati adalah hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.


(26)

Lahir mati yaitu menghilangnya tanda–tanda kehidupan dari hasil konsepsi sebelum hasil konsepsi tersebut dikeluarkan dari rahim ibunya.

2.1.2. Ukuran Kematian

Ukuran kematian yang dipakai dalam tesis ini adalah : Crude Death Rate (CDR) / Angka Kematian Kasar (AKK).

Angka Kematian Kasar adalah angka yang menunjukkan berapa besarnya kematian yang terjadi pada suatu tahun tertentu untuk setiap 1000 penduduk (Data Statistik Indonesia – Kematian Umum, Senin 29 November 2010). Angka ini disebut kasar sebab belum memperhitungkan umur penduduk. Penduduk tua mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk yang masih muda.

Angka Kematian Kasar adalah indikator sederhana yang tidak memperhitungkan pengaruh umur penduduk. Akan tetapi kalau tidak ada indikatkor kematian yang lain ini berguna untuk memberikan gambaran mengenai keadaan kesejahteraan penduduk pada suatu tahun yang bersangkutan. Apabila dikurangkan dari Angka Kelahiran Kasar akan menjuadi dasar perhitungan pertumbuhan penduduk alamiah.

Defenisi:

Angka Kematian Kasar adalah angka yang menunjukkan banyaknya kematian per 1000 penduduk pada pertengahan tahun tertentu (Data Statistik Indonesia-Angka Kematian Kasar-Rumus), disuatu wilayah tertentu.


(27)

D Rumus: CDR = x K

P

Dimana:

CDR = Crude Death Rate (Angka Kematian Kasar) D = Jumlah kematian (death) pada tahun tertentu P = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun tertentu K = Bilangan konstan 1000

Umumnya data tersedia adalah ”jumlah penduduk pada satu tahun tertentu” maka jumlah dapat sebagai pembagi. Kalau ada jumlah penduduk dari 2 data dengan tahun berurutan, maka rata-rata kedua data tersebut dapat dianggap sebagai penduduk tengah tahun.

Contoh:

Data dari Susenas 2003 tercatat sebanyak 767.740 kematian, sedangkan jumlah penduduk pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 214.370.096 jiwa. Sehingga Angka kematian yang terhitung adalah sebesar 3,58. Artinya, pada tahun 2003 terdapat 3 atau 4 kematian untuk tiap 1000 penduduk.

2.2. Model Demografi Proyeksi Penduduk Terpilih

Untuk menghitung proyeksi jumlah kematian penduduk diawali dengan memproyeksikan jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk diawali dengan perhitungan jumlah penduduk 20 tahun kedepan dengan data jumlah penduduk 4-5 tahun kebelakang. Metode yang digunakan untuk menghitung proyeksi jumlah


(28)

penduduk dalam Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai landasan teori adalah: Metode Eksponensial (Bunga Berganda)

Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan proyeksi jumlah penduduk adalah Metode The Exponential Growth Model (Oppenheim, 1980). Metode Eksponensial (Bunga Berganda) menggunakan asumsí tingkat perubahan jumlah setiap tahunnya tidak konstan, terdapat faktor-faktor yang dapat mempercepat tingkat pertumbuhan penduduk. Metode ini memiliki rumus sebagai berikut :

Pn = Po ( 1+ r)n

Dimana:

Pn = Jumlah penduduk pada tahun ke n Po = Jumlah penduduk para tahun awal r = tingkat pertumbuhan penduduk (%) n = Periode waktu (tahun ke- n)

2.3. Ruang Terbuka Hijau

Secara defenitif Ruang Terbuka Hijau atau biasa disingkat RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam (Permen PU Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan). RTH terdiri dari RTH Lindung (RTHL) dan RTH Binaan.

RTH Lindung adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok dimana penggunaannya lebih bersifat


(29)

terbuka/umum, didominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alamiah atau tanaman budidaya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan, hutan lindung, hutan wisata, hutan bakau dan sebagainya.

RTH Binaan adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjang/jalur atau mengelompok dimana penggunaannya bersifat terbuka/umum, dengan permukaan tanah didominasi oleh perkerasan buatan dan sebagian kecil tanaman. RTH Binaan terdiri dari RTH Binaan Publik dan RTH Binaan Privat.

Kondisi keberadaan RTH seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas kota, pemenuhannya menjadi pilihan terakhir untuk ditangani. Hal ini karena ruang ini dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi sebuah kota. Taman dianggap sebagai sekumpulan pohon tidak berguna, hanya karena pohon-pohon tersebut banyak yang lebih berat unsur estetisnya. Tidak menghasilkan buah-buahan ataupun kayu yang langsung dapat dimanfaatkan (Fireza, 2001). Oleh karena itu penggunaan ruang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka pemanfaatannya akan selalu berada pada posisi yang paling optimal, artinya kebutuhan-kebutuhan ruang yang sifatnya non ekonomis/publik masih dinomorduakan.

Menurut Sihite dan Ismaun (1996) disebutkan bahwa RTH dalam tata ruang kota termasuk dalam kategori pelengkap, sehingga fungsi RTH dianggap kurang penting. Dampak negatif dari penanganan RTH yang tidak serius berakibat


(30)

berkurangnya luasan RTH, jumlah luasan tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas. Akibat langsung yang dirasakan adalah:

1. menurunnya tingkat kenyamanan kota;

2. meningkatnya pencemaran udara, suara dan air;

3. menurunnya ketersediaan air tanah, karena berkurangnya daerah-daerah resapan dan dampak lebih luas mudahnya terjadi bencana banjir;

4. menurunnya kapasitas dan daya dukung wilayah;

5. meningkatnya masalah kesehatan (pencemaran udara dan air);

6. menurunnya keindahan kota, karena ketiadaan taman/pohon-pohonan.

2.3.1. Pola Pengembangan RTH di Beberapa Kota Besar

Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, RTH ditata dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding-dinding dan lahan-lahan pertanian seperti lembah sungai Efrat dan Tigris dan taman tergantung Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak dan taman-taman perumahan (Hakim, 2000).

Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang sedang berkuasa pada saat itu.

Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance


(31)

yang glamour dengan plazza, piazza dan square yang luas dan hiasan deteil serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan Kota Paris menjadi panutan dunia.

Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem RTH kota. Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.

Tahun 1898 seorang panitera hukum Ebenezer Howard mempublikasikan bukunya ‘Garden Cities of Tomorrow’ yang di dalamnya mengungkap ide mencipta lingkungan binaan yang nyaman, aman, menyingkirkan daerah slum dengan penerapan kota yang dipenuhi RTH penghubung simpul-simpul interaksi masyarakat. Konsep tersebut dua kali diuji coba dengan hasil yang memuaskan di Letchworth (1908) dan Wellwyn (1924). Keberhasilan ini memotivasi orang untuk melakukan hal senada di beberapa bagian Eropa. Di Indonesia sendiri konsep ini dibawa para pendahulu kita arsitek Belanda yang berkiprah di Indonesia, khususnya Bandung sehingga perencanaan kota dengan limpahan RTH menjadi wacana yang menarik dan diterapkan dalam pembangunan nyata perkotaan diparuh pertama abad 20.

Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan RTH yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenyamanan dan keindahan di suatu kota sudah tidak dapat dihindari lagi, walaupun dari hari ke hari RTH kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa RTH tidak boleh


(32)

kurang dari 30%, (Shirvani, 1985), atau 1200 m²tajuk tanaman diperlukan untuk satu orang (Grove, 1983).

Bagaimana kota-kota mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan pemerintah kota dalam pengelolaan RTH kota.

Singapore, dengan luas 625 km² dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwa/km², diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69% dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24% atau 177 km² sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1000 orang.

Tokyo melakukan perbaikan RTH pada jalur hijau jalan, kawasan industri, hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah Kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki standar 0,21 ha per 1000 orang.

Sementara itu itu pendekatan penyediaan RTH yang dilakukan di Bombay – India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki RTH di lingkungan pemukiman padat.

Menurut Correa (1988), dalam penelitiannya dikatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercantum di dalam 4 (empat) unsur utama yaitu :

1. Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi 2. Daerah untuk bergaul/sosialisasi dengan tetangga


(33)

3. Daerah tempat pertemuan warga

4. Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh warga masyarakat.

Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75% fungsi RTH dapat tercapai. Hal ini karena padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan dibutuhkan.

2.3.2. Pendekatan Kebutuhan RTH berdasarkan Fungsinya

Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh RTH terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan atau dalam upaya mempertahankan kualitas yang baik yaitu:

a. Pencegahan Banjir

Banjir terjadi antara lain disebabkan terlalu banyaknya volume air yang mengalir dipermukaan bumi sehingga tidak terserap oleh saluran-saluran (baik alami maupun buatan) yang ada. Tidak heran fenomena banjir banyak menimpa daerah urban perkotaan. Daerah urban memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari 30% permukaannya merupakan permukaan kedap air (atap bangunan, jalan, jembatan, perkerasan dan lainnya). RTH sedikit banyak dapat mengatasi masalah limpasan air hujan. Hal ini disebabkan tanah yang tertutup tanaman memiliki rongga-rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk (Thohir, 1991).


(34)

Seiring dengan hujan deras terjadi, saluran drainase dan kemudian sungai mendapatkan beban air limpasan yang terlampau tinggi melampaui ambang kapasitasnya. Debit air pada drainase/sungai dipengaruhi oleh 3 komponen utama yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran:

Q = C . I . A Dimana:

Q = Debit Puncak

C = Koefisien Pengaliran I = Intensitas Hujan A = Luas Daerah Pengaliran

C dapat diatur dan dikurangi besarnya melalui pengelolaan permukaan tanah diantaranya dengan penyediaan RTH. Air hujan dapat dibantu untuk menyerap ke dalam tanah sebelum mencapai saluran drainase dan sungai.

Tabel 2.1. Jenis Permukaan dan Besaran Koefisien Pengaliran

No. Jenis Permukaan Nilai Koefisien “C”

1. Ekosistem Hutan 0,3

2. Padang Rumput 0,3

3. Taman dan Daerah Berumput 0,4

4. Padang Rumput Berbukit 0,42

5. Lahan datar Bertanaman 0,5

6. Kerikil 0,7

7. Atap Banguna 0,95

8. Beton dan Aspal 0,95

Sumber: Todd, 1995


(35)

Gas-gas yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor sebagai gas buangan bersifat menurunkan kesehatan manusia (dan makhluk hidup lainnya). Terutama yang berbahaya sekali dari golongan NOx, CO, SO2. Diharapkan RTH mampu

mengendalikan keganasan gas-gas berbahaya tersebut, meskipun RTH sendiri dapat menjadi sasaran kerusakan oleh gas tersebut. Oleh karena itu pendekatan yang dilakukan adalah mengadakan dan mengatur susunan RTH dengan komponen vegetasi di dalamnya yang mampu menjerat maupun menyerap gas-gas berbahaya. Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia (Dr. Nizar Nasrullah) telah menunjukkan keragaman kemampuan berbagai jenis pohon dan tanaman merambat dalam kaitannya dengan kemampuan untuk menjerat dan menyerap gas-gas berbahaya tersebut. Perkiraan kebutuhan akan jenis vegetasi sesuai dengan maksud ini tergantung pada jenis dan jumlah kendaraan, serta susunan jenis dan jumlahnya.

Sifat dan vegetasi di dalam RTH yang diunggulkan adalah kemampuannya melakukan aktifitas fotosintesis, yaitu proses metabolisme di dalam vegetasi dengan menyerap gas CO2, lalu membentuk gas oksigen. CO2 adalah jenis gas buangan

kendaraan bermotor yang berbahaya lainnya, sedangkan gas oksigen adalah gas yang diperlukan bagi kegiatan pernafasan manusia. Dengan demikian RTH selain mampu mengatasi gas berbahaya dari kendaraan bermotor, sekaligus menambah suplai oksigen yang diperlukan manusia. Besarnya kebutuhan RTH dalam mengendalikan gas karbondioksida ini ditentukan berdasarkan target minmal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbon dioksida ini ditentukan berdasarkan target minimal yang dapat dilakukannya untuk mengatasi gas karbondioksida dari sejumlah


(36)

kendaraan dari berbagai jenis kendaraan di kawasan perkotaan tertentu (Hakim, 2000).

Disisi lain RTH juga dapat menurunkan kadar kandungan debu diudara. Berdasarkan studi intensif yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa RTH seluas 10 Ha dapat menurunkan kadar kandungan debu diudara dari 7000 partikel/l menjadi hanya 4000 partikel/l (Martana S.P, 2003).

c. Pengamanan lingkungan hidrologis

Dengan semakin tingginya kemampuan vegetasi dalam meningkatkan ketersediaan tanah, maka secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya intrusi air laut ke dalam sistem hidrologis yang ada. Intrusi dapat menyebabkan kerugian berupa penurunan kualitas air minum, dan terjadinya korosi/penggaraman pada benda-benda tertentu (Hakim, 2000).

d. Pengendalian Suhu Udara Perkotaan

Dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan evapo-transpirasi, maka vegetasi dalam RTH dapat menurunkan tingkat suhu udara perkotaan. Dalam skala yang lebih luas lagi, RTH menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan ‘heat island’ atau ‘pulau panas’ yaitu gejala meningkatnya suhu udara di pusat-pusat perkotaan dibandingkan dengan kawasan di sekitarnya (Hakim, 2000).

Menurut pakar tata lingkungan Prof. Eko Budiharjo (1997) keberadaan RTH seluas 30 Ha yang dipenuhi oleh pepohonan dapat mengurangi suhu lingkungan sebesar 2,5ºC. Sementara itu Heinz Frick (2002) bahkan mengemukakan lahan


(37)

dengan tanam-tanaman seluas 1 Ha dapat memberikan efek penurunan suhu hingga 4ºC.

Diketahui bersama bahwa bahwa manusia hidup nyaman dengan suhu berkisar 10 ºC-27 ºC dengan kelembaban 40%-75% (Laurie, 1994). Untuk suhu kerja lebih terbatas lagi yaitu 18 ºC-25 ºC. Dengan dampak adanya pemanasan global akhir-akhir ini yang mengakibatkan suhu di kota-kota besar di Indonesia naik mencapai 37 ºC dengan kelembapan 98% dapat disimpulkan bahwa akumulasi RTH yang tinggi dapat berperan secara signifikan dalam pengontrolan suhu lingkunganyang nyaman bagi penghuni.

e. Pengendali Thermoscape di Kawasan Perkotaan

Keadaan panas suatu lansekap (thermoscape) dapat dijadikan sebagai suatu model untuk perhitungan kebutuhan RTH. Kondisi Thermoscape ini tergantung pada komposisi dan komponen-komponen penyusunnya. Komponen vegetasi merupakan komponen yang menunjukkan struktur panas yang rendah, sedangkan bangunan permukiman, paving dan konstruksi bangunan lainnya merupakan komponen dengan struktur panas yang tinggi. Perimbangan antara komponen-komponen dengan struktur panas rendah dan tinggi tersebut akan menentukan kualitas kenyamanan yang yang dirasakan oleh manusia. Guna mencapai keadaan yang diinginkan oleh manusia maka komponen-komponen dengan struktur panas yang rendah (vegetasi dan RTH) merupakan kunci utama pengendali kualitas thermoscape yang diharapkan. Keadaan struktur panas komponen dalam suatu keadaan thermoscape ini dapat diukur dengan mempergunakan kamera infra merah (Hakim, 2000).


(38)

Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa suhu di atas permukaan rumput bisa mencapai 5ºC lebih rendah dibandingkan suhu udara yang diperkerasbeton, sementara Todd (1995) menyebutkan perbedaan suhu 8ºC antara permukaan tanah terbuka dengan permukaan tanah berumput.

f. Pengendali Bahaya-Bahaya Lingkungan

Fungsi RTH dalam mengendalikan bahaya lingkungan terutama difokuskan pada dua aspek penting: pencegahan bahaya kebakaran dikarenakan vegetasi mengandung air yang menghambat sulutan api dari sekitarnya. Perlindungan dari keadaan darurat berupa gempa bumi, RTH merupakan tempat yang aman dari bahaya runtuhan oleh struktur bangunan. Dengan demikian RTH perlu diadakan dan dibangun ditempat-tempat strategis ditengah-tengah lingkungan permukiman.

Tabel 2.2. Pemanfaatan Pohon dan RTH pada Perbaikan Kualitas Lingkungan

No. Uraian Pohon Berumur 100

Tahun

RTH, 1 Ha

1. Produksi Oksigen 1,7 kg/jam 600 kg/hari

2. Penerimaan Karbondioksida 2,35 kg/jam 900 kg/hari

3. Zat Arang yang Terikat 6 ton -

4. Penyaringan Debu - Hingga 85%

5. Penguapan Air 500 l/hari -

6. Penurunan Suhu - 4ºC

Sumber: Frick & Setiawan, 2002 g. Fungsi Ekstrinsik lainnya

Keberadaan RTH selain berfungsi secara ekologis (intrinsik) juga berfungsi ekstrinsik seperti fungsi pengembangan sosial budaya dimana RTH dapat berfungsi


(39)

sebagai tempat bersosialisasi, berkumpul diluar rumah untuk bermain atau berolah raga, fungsi relaksasi sekaligus dapat berfungsi rekreasi. Kemudian RTH Fungsi Arsitektural yaitu menambah keindahan kota dan lingkungan. Sedangkan fungsi yang tak kalah penting adalah RTH budidaya dimana secara ekonomi dapat menghasilkan buah atau kayu yang dapat dikembangkan secara ekonomi.

2.4 Konsep Penyediaan RTH di Kawasan Perkotaan 2.4.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Luas Wilayah

Penyediaan RTH berdasarkan luas wilayah di perkotaan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan) adalah sebagai berikut: 1. RTH di perkotaan terdiri dari RTH publik dan RTH privat


(40)

Gambar 2.2. Contoh RTH Privat Tabel 2.3. Kepemilikan RTH

No. Jenis RTH

Publik RTH Privat

1. RTH Pekarangan

a. Pekarangan rumah tinggal

b. Halaman Perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha

c. Taman atap bangunan

V V V

2. RTH Taman dan Hutan Kota

a. Taman RT

b. Taman RW

c. Taman Kelurahan

d. Taman Kecamatan

e. Taman Kota

f. Hutan Kota

g. Sabuk Hijau (Green Belt)

V V V V V V V V V V V

3. RTH Jalur Hijau Jalan

a. Pulau jalan dan median jalan

b. Jalur pejalan kaki

c. Ruang dibawah jalan laying

V V V

V V

4. RTH Fungsi tertentu

a. RTH sempadan rel kereta api

b. Jalur hijau jaringan listrik

c. RTH sempadan sungai

d. RTH sempadan pantai

e. RTH pengamanan sumber air baku/mata air

f. Pemakaman V V V V V V

Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

2. Proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah sebesar minimal 30% yang terdiri dari 20% RTH Publik dan 10% terdiri dari RTH privat;


(41)

3. Apabiila luas RTH baik publik maupun privat di kota yang bersangkutan telah memiliki total luas lebih besar dari peraturan atau perundangan yang berlaku, maka proporsi tersebut harus tetap dipertahankan keberadaannya.

Proporsi 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistim ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Target luas sebesar 30% dari luas wilayah kota dapat dicapai secara bertahap melalui pengalokasian lahan perkotaan secara tipikal.

2.4.2. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Untuk menentukan luas RTH berdasarkan jumlah penduduk, dilakukan dengan mengalikan antara jumlah penduduk yang dilayani dengan standar luas RTH per kapita sesuai peraturan yang berlaku.

2.4.3. Penyediaan RTH Berdasarkan Fungsi Tertentu

Fungsi RTH pada kategori ini adalah untuk perlindungan atau pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak terganggu.


(42)

Tabel 2.4. Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk No Unit

Lingkungan

Tipe RTH Luas

minimal/unit (m²) Luas minimal/ Kapita (m²) Lokasi

1 250 jiwa Taman RT 250 1,0 Ditengah

lingkungan RT

2 2500 jiwa Taman RW 1.250 0,5 Dipusat kegiatan

RW

3 30.00 iwa Taman

kelurahan

9000 0,3 Dikelompokkan

degan sekolah/atau pusat kelurahan Taman

kecamatan

24.000 0,2 Dikelompokkan

dengan sekolah/pusat

kecamatan

4 120.000 jiwa

Pemakaman Disesuaikan (disesuaik an)

Tersebar

Taman kota 144.000 0,3 Di pusat

wilayah/kota

Hutan kota Disesuaikan 4,0 Di

dalam/kawasan pinggiran 5 480.000 jiwa Untuk fungsi-fungsi tertentu

Diseseuaikan 12,5 Disesuaikan

dengan kebutuhan Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

RTH kategori ini meliputi: jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.


(43)

2.5. Arahan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau 2.5.1. Pada Bangunan/Perumahan

RTH disini meliputi RTH pekarangan, RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha, RTH dalam bentuk tanaman atau bangunan (roof garden).

A. RTH Pekarangan

Pekarangan adalah lahan di luar bangunan, yang berfungsi untuk berbagai aktivitas. Luas pekarangan disesuaikan dengan ketentuan koefisien dasar banguann (KDB) di kawasan perkotaan, seperti tertuang di dalam PERDA mengenai RTRW di masing–masing kota. Untuk memudahkan dalam pengklasifikasian pekarangan maka ditentukan kategori pekarangan sebagai:

1. Pekarangan Rumah Besar

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah besar adalah sebagai berikut:

1) Kategori yang termasuk rumah besar adalah rumah dengan luas lahan di atas 500 m2;

2) Ruang terbuka hijau minumum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar banguanan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 3(tiga) pohon pelindung ditambah dengan perdu dan semak serta penutup tanah dan atau rumput.


(44)

2. Pekarangan Rumah Sedang

Ketentuan penyediaan RTH untuk pekarangan rumah sedang adalah sebagai berikut:

1) Kategori yang termasuk rumah sedang adalah rumah dengan luas lahan antara 200 m2 sampai dengan 500m2;

2) Ruang Terbuka Hijau minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) Jumlah pohon pelindung yang harus disediakan minimal 2 (dua) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.

3. Pekarangan Rumah Kecil

Ketentuan Penyediaan RTH untuk pekarangan rumah kecil adalah sebagai berikut:

1) Kategori yang termasuk rumah kecil adalah rumah dengan luas lahan dibawah 200 m2;

2) RTH minimum yang diharuskan adalah luas lahan (m2) dikurangi luas dasar bangunan (m2) sesuai peraturan daerah setempat;

3) Jumlah pohon pellindung yang harus disediakan minimal 1 (satu) pohon pelindung ditambah dengan tanaman semak dan perdu, serta penutup tanah dan atau rumput.


(45)

Keterbatasan luas halaman dengan jalan lingkungan yang sempit, tidak menutupi kemungkinan untuk mewujudkan RTH melalui penanaman dengan menggunakan pot atau media tanam lainnya.

B. RTH Halaman Perkantoran, Pertokoan dan Tempat Usaha

RTH halaman perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha umumnya berupa jalur trotoar dan area parkir terbuka. Penyediaan RTH pada kawasan ini adalah sebagai berikut:

1) Tingkat KDB 70% - 90% perlu menambahkan tanaman dalam pot;

2) Perkantoran, pertokoan dan tempat usaha dengan KDB di atas 70%, memiliki minimal 2 (dua) pohon kecil atau sedang yang ditanam pada lahan atau pada pot berdiameter di atas 60 cm;

3) Persyaratan penanaman pohon pada perkantoran, pertokoan, dan tempat usaha dengan KDB dibawah 70%, berlaku seperti pada persyaratan pada RTH pekarangan rumah, dan ditanam pada area di luar KDB yang telah ditentukan.

C. RTH Dalam Bentuk Tanaman atau Bangunan (Roof Garden)

Pada kondisi luas lahan terbuka terbatas, maka RTH dapat memanfaatkan ruang terbuka non hijau, seperti atap gedung, teras rumah, teras–teras bangunan bertingkat disamping bangunan, dan lain–lain dengan memakai media tambahan, seperti pot dengan berbagai ukuran sesuai lahan yang tersedia.

Lahan dengan KDB di atas 90% seperti pada kawasan pertokoan di pusat kota, atau pada kawasan–kawasan dengan kepadatan tinggi dengan lahan yang sangat terbatas, RTH dapat disediakan pada atap bangunan. Untuk itu bangunan harus


(46)

memiliki struktur atap yang secara teknis memungkinkan. Aspek yang harus diperhatikan dalam pembuatan tanaman atap bangunan adalah:

1) Struktur Bangunan;

2) Lapisan kedap air (water proofing); 3) Sistem utilitas bangunan;

4) Media tanaman; 5) Pemilihan material;

6) Aspek keselamatan dan keamanan; 7) Aspek pemeliharaan

Tanaman untuk RTH dalam bentuk taman atap bangunan adalah tanaman yang tidak terlalu besar, dengan perakaran yang mampu tumbuh dengan baik pada media tanam yang terbatas, tahan terhadap hembusan angin serta relatif tidak memerlukan banyak air.

2.5.2. Lingkungan/Pemukiman A. RTH Taman Rukun Tetangga

Taman Rukun Tetangga (RT) adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkup 1 (satu) RT, khususnya untuk melayani kegiatan sosial dilingkungan RT tersebut. Luas tanaman ini adalah minimal 1 m2 per penduduk RT dengan luas minimal 250 m2. Lokasi tanaman berada pada radius kurang dari 300 m dari rumah – rumah penduduk yang dilayani.


(47)

Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 70% - 80% dari luas tanaman. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman, juga terdapat minimal 3 (tiga) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

B. RTH Taman Rukun Warga

RTH taman rukun warga (RW) dapat disediakan dalam bentuk tanaman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu RW, khususnya kegiatan remaja, kegiatan olah raga masyarakat, serta kegiatan masyarakat lainnya di lingkungan RW tersebut. Luas tanaman ini minimal 0,5 m2 per penduduk RW, dengan luas minimal 1250 m2. Lokasi tanaman berada pada radius kurang dari 1000 m dari rumah–rumah penduduk yang dilayaninya.

Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 79% - 80% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktifitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 10 (sepuluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang.

C. RTH Kelurahan

RTH kelurahan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kelurahan. Luas taman ini minimal 0,30 m2 per penduduk kelurahan, dengan luas minimal taman 9000 m². Lokasi taman berada pada wilayah kelurahan yang bersangkutan.

Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat


(48)

melakukan berbagai aktifitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 25 (dua puluh lima) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

D. RTH Kecamatan

RTH kecamatan dapat disediakan dalam bentuk taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kecamatan. Luas taman ini minimal 0,2 m2 per penduduk kecamatan, dengan luas taman minimal 24.000 m2. Lokasi taman berada pada wilayah kecamatan yang bersangkutan.

Luas area yang ditanamai tanaman (ruang hijau) minimal seluas 80% - 90% dari luas taman, sisanya dapat berupa pelataran yang diperkeras sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas. Pada taman ini selain ditanami dengan berbagai tanaman sesuai keperluan, juga terdapat minimal 50 (lima puluh) pohon pelindung dari jenis pohon kecil atau sedang untuk taman aktif dan minimal 100 (seratus) pohon tahunan dari jenis pohon kecil atau sedang untuk jenis taman pasif.

2.5.3. Kota/Perkotaan A. Taman Kota

RTH taman kota adalah taman yang ditujukan untuk melayani penduduk satu kota atau bagian wilayah kota. Taman ini melayani minimal 480.000 penduduk dengan standar minimal 0,3 m². Taman ini dapat berbentuk sebagi RTH (lapangan hijau), yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi dan olah raga, dan kompleks olah raga dengan minimal RTH 80%-90% semua fasilitas tersebut terbuka untuk umum.


(49)

Jenis vegetasi yang dipilih berupa pohon tahunan, perdu, dan semak ditanam secara berkelompok atau menyebar berfungsi sebagai pohon pencipta iklim mikro atau sebagai pembatas antar kegiatan.

B. Hutan Kota

Tujuan penyelenggaraan hutan kota adalah sebagai peyangga lingkungan kota yang berfungsi untuk:

a. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika; b. Meresapkan air;

c. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota;

d. Mendukung pelestarian dan perlindungan keanekaragaman hayati Indonesia. Hutan kota dapat berbentuk:

a. Bergerombol atau menumpuk: hutan kota dengan komunitas vegetasi terkonsentrasi pada suatu areal, dengan jumlah vegetasi minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat tidak beraturan;

b. Menyebar: hutan kota yang tidak mempunyai pola berbentuk tertentu, dengan luas minimal 2500 m². Komunitas vegetasi tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-grombol kecil;

c. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90%-100% dari luas hutan kota;

d. Berbentuk jalur: hutan kota pada lahan-lahan berbentuk jalur mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan lain sebagainya. Lebar minimal hutan kota berbentuk jalur adalah 30 m.


(50)

Struktur Hutan Kota dapat terdiri dari:

a. Hutan kota bersastra dua, yaitu hanya memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan pepohonan dan rumput;

b. Hutan kota bersastra banyak, yaitu memiliki komunitas tumbuh-tumbuhan selain terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak dan penutup tanah dengan jarak tanam tidak beraturan.

Luas ruang hijau yang diisi dengan berbagai jenis vegetasi tahunan minimal seluas 90% dari luas total hutan kota.

Dalam kaitan kebutuhan air penduduk kota maka luas hutan kota sebagai produsen air dapat dihitung dengan rumus (Permen PU Nomor 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan: 15):

La = Pø.k ( 1 + R – C ) t – PAM - Pa

z

Dengan:

La : adalah luas hutan kota yang harus dibangun Pø : adalah jumlah penduduk

K : adalah konsumsi air/kapita (It/hari) R : adalah laju peningkatan pemakaian air C : adalah faktor pengendali

PAM : adalah kapasitas suplai air perusahaan t : adalah tahun

Pa : adalah potensi air tanah


(51)

Hutan kota dalam bagian sebagai produsen oksigen dapat dihitung dengan metode Gerakis (1974), yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988), sebagai berikut :

Dengan:

Lt : adalalah luas Hutan Kota pada tahun ke t (m²)

Pt : adalalah jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk tahun ke t

Kt : adalalah jumlah kebutuhan oksigen bagi kenderaan bermotor pada tahun ke

Tt : adalalah jumlah kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke t 54 : adalalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 m² luas lahan

menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari.

0,9375 : adalah tetapan yang menunjukkan bahwa 1 gram berat kering tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375 gram

2 : adalah jumlah musim di Indonesia

C. Sabuk Hijau

Sabuk hijau merupakan RTH yang berfungsi sebagai daerah penyangga dan untuk membatasi Perkembangan suatu penggunaan lahan (batas kota, pemisah kawasan, dan lain-lain) atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas yang lainnya agar tidak saling menggangu, serta pengamanan dari faktor lingkungan sekitarnya. Sabuk hijau dapat berbentuk:

1. RTH yang memanjang mengikuti batas-batas area atau penggunaan lahan tertentu, dipenuhi pepohonan, sehingga berperan sebagai pembatas atau pemisah;

Pt + Kt + Tt Lt = ———————m² (54)(0,9375)(2)


(52)

2. Hutan kota;

3. Kebun campuran, perkebunan, persawahan, yang telah ada sebelumnya (existing) dan melalui peraturan yang berketetapan hukum, dipertahankan keberadaannya. Fungsi lingkungan sabuk hijau:

1. Peredam kebisingan

2. Mengurangi efek pemanasan yang diakibatkan oleh radiasi energi matahari; 3. Penepis cahaya silau;

4. Mengatasi penggenangan; daerah rendah dengan drainase yang kurang baik sering tergenang air hujan yang dapat mengganggu aktivitas kota serta menjadi sarang nyamuk.

5. Penahanan angin; untuk membangun sabuk hijau yang berfungsi penahanan angin perlu diperhitungkan beberapa faktor yang meliputi panjang jalur, lebar jalur. 6. Mengatasi intrusi air laut; RTH hijau di dalam kota akan meningkatkan resapan

air, sehingga akan meningkatkan jumlah air tanah yang akan menahan perembesan air laut ke daratan.

7. Penyerap dan penepis bau;

8. Mengamankan pantai dan membentuk daratan; 9. Mengatasi penggurunan.

D. RTH Jalur Hijau

Untuk jalur hijau jalan, RTH dapat disediakan dengan penempatan tanaman antara 20-30% dan ruang milik jalan (rumija) sesuai dengan klas jalan. Untuk menentukan pemilihan jenis tanaman, perlu memperhatikan 2 (dua) hal, yaitu fungsi


(53)

tanaman dan persyaratan penempatannya. Disarankan tanaman khas daerah setempat, yang disukai oleh burung-burung, serta tingkat evapotranspirasi rendah.

Pulau Jalan Median Jalan

Taman pulau jalan adalah RTH yang terbentuk oleh geometris jalan seperti pada persimpangan tiga atau bundaran jalan. Sedangkan median berupa jalur pemisah yang membagi jalan menjadi dua jalur atau lebih. Median atau pulau jalan dapat berupa tanaman atau non tanaman. Dalam pedoman ini dibahas pulau jalan dan median yang terbentuk taman/RTH.

1. Pada jalur tanaman tepi jalan berfungsi:

a.Peneduh

b.Penyerap polusi udara c.Peredam kebisingan d.Pemecah Angin e.Pembatas pandangan

2. Pada median berfungsi: Penahan silau lampu kendaraan 3. Pada persimpangan jalan

Beberapa hal penting yang perlu dipetimbangkan dalam penyelesaian lansekap jalan pada persimpangan, antara lain:

1) Daerah bebas pandang di mulut persimpangan

Pada mulut persimpangan diperlukan daerah terbuka agar tidak menghalangi pandangan pada pemakaian jalan. Untuk daerah bebas pandang ini ada ketentuan


(54)

mengenai letak tanaman yang disesuaikan dengan kecepatan kendaraan dan bentuk persimpangannya.

Tabel 2.5. Kriteria Pemeliharaan Tanaman pada Persimpangan Jalan Jarak dan Jenis Tanaman Bentuk Persimpangan Letak Tanaman Kecepatn 40 Km/jam Kecepatan 60 Km/Jam Pada ujung persimpangan

20 m tanaman rendah

40 m tanaman rendah 1). Persimpangan kaki

empat tegak lurus tanpa kanal

Mendekati persimpangan

80 m tanaman tinggi

100 m tanaman tinggi

30 m tanaman rendah

50 m tanaman rendah 2). Persimpangan

kaki empat tidak tegak lurus

Pada ujung persimpangan

80 m tanaman tinggi

80 m tanaman tinggi

Sumber:Spesifikasi Perencanaan Lansekap Jalan pada PersimpanganNo.02/T/BNKT/1992

Catatan: 1. Tanaman rendah, berbentuk tanaman perdu dengan ketinggian < 0,8 m 2. Tanaman tinggi, berbentuk pohon dengan percabangan di atas 2 m. 2) Pemilihan jenis tanaman pada persimpangan

Penataan lansekap pada persimpangan akan merupakan ciri dari persimpangan itu atau lokasi setempat. Penempatan dan pemilihan tanaman dan ornamen hiasan harus disesuaikan dengan ketentuan geometrik persimpangan jalan dan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

a) daerah bebas pandang tidak diperkenankan ditanami tanaman yang menghalangi pandangan pengemudi. Sebaiknya digunakan tanaman rendah berbentuk tanaman perdu dengan ketinggian <0,80 m, dan jenisnya merupakan berbunga atau berstruktur indah.


(55)

b) bila pada persimpangan terdapat pulau lalu lintas atau kanal yang dimungkinkan untuk ditanami, sebaiknya digunakan tanaman perdu rendah dengan pertimbangan agar tidak mengganggu penyeberangan jalan dan tidak menghalangi pandangan pengemudi kendaraan.

c) Penggunaan tanaman tinggi berbentuk tanaman pohon sebagai tanaman pengarah, misalnya:

1) Tanaman berbatang tunggal seperti jenis palem 2) Tanaman pohon bercabaang >2 m

E. RTH Ruang Pejalan Kaki

Ruang pejalan kaki adalah ruang yang disediakan bagi pejalan kaki pada kiri-kanan jalan atau di dalam taman. Ruang pejalan kaki yang dilengkapi dengan RTH harus memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1. Kenyamanan, adalah cara mengukur kualitas fungsional yang ditawarkan oleh sistem pedestrian yaitu: Orientasi, berupa tanda visual (landmark, marka jalan) pada lansekap untuk membantu dalam menemukan jalan pada lingkungan yang lebih besar;

2. Kemudahan berpindah dari satu arah ke arah lainnya yang dipengaruhi oleh kepadatan pedestrian, kehadiran penghambat fisik, kondisi permukaan jalan dan kondisi iklim. Jalur perjalanan kaki harus aksesibel untuk semua orang termasuk penyandang cacat.


(56)

1) Karakter fisik, meliputi:

1. Kriteria dimensional, disesuaikan dengan kondisi dan budaya setempat, warisan dan nilai yang dianut terhadap lingkungan;

2. Kriteria pergerakan, jarak rata-rata orang berjalan di setiap tempat umumnya berbeda dipengaruhi oleh tujuan perjalanan, kondisi cuaca, kebiasaan dan budaya. Pada umumnya orang tidak mau berjalan lebih dari 400 m.

2) Pedoman teknis lebih rinci untuk jalur pejalan kaki dapat mengacu pada kepmen PU No.468/KPTS/1998 tanggal 1 Desember 1998, tentang persyaratan Teknis Aksesiblitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan dan Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki.

F. Ruang Terbuka Hijau di Bawah Jalan Layang

Penyediaan RTH di bawah jalan layang dalam rangka area resapan air supaya: a) Area di bawah tertata rapi, asri, dan indah;

b) Menghindari kekumuhan dan lokasi tuna wisma; c) Menghindari permukiman liar;

d) Menutupi bagia-bagian struktur jalan yang tidak menarik; e) Memperlembut bagian/struktur bangunan yang berkesan kaku;

Pemilihan tanaman seyogianya dari jenis yang tahan ternaungi sepanjang waktu dan relatif tahan kekurangan air, serta berukuran tidak terlalu besar, mengingat keterbatasan tempat.


(57)

G. RTH Fungsi Ruang Tertentu

RTH fungsi tertentu adalah jalur hijau antara lain RTH sempadan rel kereta api, RTH jaringan listrik tegangan tinggi, RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, RTH danau, RTH pengamanan sumber air baku/mata air dan RTH pemakaman.

G.1 Jalur Hijau (RTH) Sempadan Rel kereta Api

Penyediaan RTH pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dengan tegas menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan perkotaan.

Tabel 2.6. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api

Jalan Rel Kereta Api terletak di: Obyek Tanaman Obyek Bangunan a. Jalan rel kereta api lurus >11 m >20

b. Jalan rel kereta api belokan/lengkungan

- Lengkung dalam - Lengkung luar

>23

>11 m >23

>11 m Sumber: Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Kriteria garis sempadan jalan kereta api yang dapat digunakan untuk RTH adalah sebagai berikut:

a) Garis sempadan jalan rel kereta api adalah ditetapkan dari as jalan rel terdekat apabila jalan rel kereta api itu lurus;

b) Garis sempadan jalan rel kereta api yang terletak di tanah timbunan diukur dari kaki tanggul;


(58)

c) Garis sempadan jalan rel kereta api yang terletak di dalam galian diukur dari atas puncak galian tanah atau atas serongan;

d) Garis sempadan jalan rel kereta api yang terletak pada tanah datar diukur dari as jalan rel kereta api;

e) Garis sempadan jalan rel kereta api pada belokan adalah lebih dari 23 m diukur dari lengkungan dalam sampai as jalan. Dalam peralihan jalan lurus ke jalan lengkung diluar as jalan lurus ada jalur tanah yang bebas, yang secara berangsur-angsur melebar tersebut dimulai dalam jarak 20 m di muka lengkungan untuk selanjutnya menyempit lagi sampai jarak lebih dari 11 m;

f) Garis sempadan jalan rel kereta api sebagaimana dimaksud pada butir 1) tidak berlaku apabila jalan rel kereta api terletak di tanah galian yang dalamnya 3,5 m; g) Garis sempadan jalan perlintasan sebidang antara jalan rel kereta api dengan

jalan raya adalah 30 m dari as rel kereta api pada titik perpotangan as jalan rel kereta api dengan as jalan raya dan secara berangsur-angsur menuju pada jarak lebih dari 11 m dari as jalan rel kereta api pada titik 600 m dari titik perpotongan as jalan kereta api dengab as jalan raya.

G.2. Jalur Hijau (RTH) Pada Jaringan Listrik Tegangan Tinggi

Ketentuan lebar sempadan jaringan tenaga listrik yang dapat digunakan sebagai RTH adalah sebagai berikut :

a) Garis sempadan jaringan tenaga listrik adalah 64 m yang ditetapkan dari titik tengah jaringan tenaga listrik;


(59)

Tabel 2.7. Jarak Bebas Minimum SUTT dan SUTET

Sumber : Permen PU Nomor 05/PRT/M/2008TENTANG Penyediaan dan Pemanfaaan Ruang terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Keterangan:

SUTR = Saluran Udara Tegangan Rendah SUTM = Saluran Udara Tegangan Menengah SUTT = Saluran Udara Tegangan Tinggi

SUTET = Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi SKTR = Saluran Kabel Tegangan Rendah SKTM = Saluran Kabel Tegangan Menengah

G.3 RTH Sempadan Sungai

RTH sempadan sungai adalah jalur hijau yang terletak di bagian kiri dan kanan sungai yang memiliki fungsi utama untuk melindungi sungai tersebut dari berbagai gangguan yang dapat merusak kondisi sungai dan kelestariannya.

Sesuai peraturan yang ada, sungai di perkotaan terdiri dari bertanggul dan sungai tidak bertanggul.

No Lokasi SUTT

66 KV

SUTT SUTET SUTM SUTR S. K.

SKTM

S.K SKRT

1. Bangunan beton 20 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m

0,5 m 0,3 m

2. Pompa bensin 20 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m

3. Penimbunan b. bakar 50 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m

4. Pagar 3 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m

5. Lapangan terbuka 6,5 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m

6. Jalan raya 8 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m

7. Pepohonan 3,5 m 20 m 2,5 m 1,5 m 1,5 m 0,5 m 0,3 m

8. Bangunan tahan api 3,5m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m

9. Rel kereta api 8 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m

10. Jembatan besi/tangga

besi/kereta listrik

3 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m

11. Dari titik tertinggi tiang kapal

3 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m

12. Lapangan olah raga 2,5m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m 20 m

13. SUTT lainnya,

telekomunikasi, tv


(60)

a) Sungai bertanggul:

1). Garis Sempadan Sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 m di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;

2). Garis Sempadan Sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-kurangnya 5 m di sebelah luar sepanjang kaki tanggul;

3). Dengan pertimbangan untuk meningkatkan fungsinya, tanggul dapat diperkuat, diperlebar dan ditinggikan yang dapat berakibat bergesernya Garis Sempadan Sungai;

4). Kecuali lahan yang berstatus tanah negara, maka lahan yang diperlukan untuk tapak tanggul baru sebagai akibat dilaksanakannya ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1) harus dibebaskan.

b) Sungai tidak bertanggul

1) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditetapkan sebagai berikut:

a. Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebin dari 3 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 10 m dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan;

b. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 m dihitung dari tepi sungi pada waktu yang ditetapkan;


(61)

c. Sungai yang mempunyai kedalaman lebih dari 20 m, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 m dihitung dari tepi sungai pada waktu yang ditetapkan.

2) Garis sempadan sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaaan ditetapkan sebagai berikut:

a. Sungai besar yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai seluas 500 m2 atau lebih, penetapan garis sempadannya sekurang-kurangnya 100 m;

b. Sungai kecil yaitu sungai yang mempunyai daerah pengaliran sungai kurang dari 500 m2, penetapan garis sempadannya sekurang-kurangnya 50 m dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan.

3) Garis sempadan sebagaimana dimaksud pada butir 1) dan 2) diukur ruas per ruas dari tepi sungai dengan mempertimbangkan luas daerah pengaliran sungai pada ruas yang bersangkutan;

4) Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan, dengan ketentuan kostruksi dan penggunaan harus menjamin kelestarian dan keamanan sungai serta bangunan sungai;

5) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada butir 1) tidak terpenuhi, maka segala perbaikan atas kerusakan yang timbul pada sungai dan bangunan sungai menjadi tanggungjawab pengelola jalan.


(62)

G.4 RTH Sempadan Pantai

RTH sempadan pantai memiliki fungsi utama sebagai pembatas pertumbuhan permukiman atau aktivitas lainnya agar tidak mengganggu kelestarian pantai. RTH sempadan pantai merupakan area pengaman pantai dari kerusakan atau bencana yang ditimbulkan oleh gelombang laut seperti intrusi air laut, erosi, abrasi, tiupan angin kencang dan gelombang tsunami. Lebar RTH sempadan pantai minimal 100 m dari batas air pasang tertinggi ke arah darat. Luas area yang ditanami tanaman (ruang hijau) seluas 90%-100%.

Fasilitas dan kegiatan yang diijinkan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a) Tidak bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang pengolahan Kawasan Lindung;

b) Tidak menyebabkan gangguan terhadap kelestarian ekosistem pantai, termasuk gangguan terhadap kualitas visual;

c) Pola tanam vegetasi bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi, erosi, melindungi dari ancaman gelombang pasang, wildife habitat dan merendam angin kencang;

d) Pemilihan vegetasi mengutamakan vegetasi yang berasal dari daerah setempat. Formasi hutan mangrove sangat baik sebagai peredam ombak dan dapat atau membantu proses pengendapan lumpur. Beberapa jenis tumbuhan di ekosistem mangrove antara lain: Avicenia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Excoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras sp, dan Nypa sp.


(63)

Khusus untuk RTH sempadan pantai yang telah mengalami intrusi air laut atau merupakan daerah payau dan asin, pemilihan vegetasi diutamakan dari daerah setempat yang telah mengalami penyesuaian dengan kondisi tersebut. Asam landi

(Pichelebium dulce) dan Mahoni (Switenia mahogoni) relatif lebih tahan jika

dibandingkan Kesumba, Tanjung, Kiputri, Angsana, Trengguli, dan Kuku.

G.5 RTH Sumber Air Baku/Mata Air

RTH sumber air meliputi sungai, danau/waduk, dan mata air. Untuk danau dan waduk, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.

Untuk mata air, RTH terletak pada garis sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter di sekitar mata air.

G.6 RTH Pemakaman

Berdasarkan standar teknis RTH Pemakaman dijelaskan bahwa untuk kegiatan pemakaman adalah setiap jumlah penduduk pendukung 120.000 jiwa.

Penyediaan ruang terbuka hijau pada areal pemakaman disamping memiliki fungsi utama sebagai tempat penguburan jenazah juga memiliki fungsi ekologis yaitu sebagai daerah resapan air, tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi, pencipta iklim mikro serta tempat hidup burung serta fungsi sosial masyarakat disekitar seperti beristirahat dan sebagai sumber pendapatan.


(64)

Gambar 2.3. Contoh Taman Pemakaman Umum

Untuk penyediaan RTH pemakaman, maka ketentuan bentuk pemakaman adalah sebagai berikut:

a) Ukuran makam 1 m x 2 m;

b) Jarak antara makam satu dengan lainnya minimal 0,5 m;

c) Tiap makam tidak diperkenankan dilakukan penembokan/pekerasan;

d) Pemakaman dibagi dalam beberapa blok, luas dan jumlah masing-masing blok disesuaikan dengan kondisi pemakaman setempat;

e) Batas akar blok pemakaman berupa pedestrian lebar 150-200 cm dengan deretan pohon perlindungan disalah satu sisinya;

f) Batas terluar pemakaman berupa pagar tanaman atau kombinasi antara pagar buatan dengan pagar tanaman, atau dengan pohon pelindung;

g) Ruang hijau pemakaman termasuk pemakaman tanpa perkerasan minimal 70% dari total area pemakaman dengan tingkat liputan vegetasi 80% dari luas ruang hijaunya.


(65)

Pemilihan vegetasi di pemakaman sebagai peneduh juga untuk meningkatkan peran ekologis pemakaman termasuk habitat burung serta keindahan.

2.6. Syarat Lokasi Pemakaman menurut PP Nomor 9 Tahun 1987

Alokasi pemanfaatan ruang pemakaman didasarkan atas pertimbangan karakteristik dan potensi pengembangan lahan serta rencana struktur tata ruang kota. Pemanfaatan lahan pemakaman dilakukan secara optimal agar dapat menjaga keseimbangan lingkungan alam sebagai ruang terbuka hijau. Karakteristik wilayah perencanaan dengan kondisi topografi dan ketinggian lahan yang sejenis dimana kontur hanya bervariasi dari 0-3 meter dengan kemiringan lahan sampai 3 % membutuhkan arahan atau kriteria sebagai pedoman pemanfaatan ruang dan kriteria yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun 1987 tentang penyediaan dan penggunaan tanah untuk keperluan tempat pemakaman yaitu: 1. Pemakaman tidak boleh berlokasi di kawasan lindung yang memberikan

perlindungan dibawahnya.

2. Pemakaman sebaiknya berlokasi di kawasan budidaya yang kurang subur, karena kawasan subur dan produktif merupakan kawasan yang lebih berpotensi bagi perekonomian kota dibandingkan pemakaman yang tidak bernilai ekonomis/produktif.

3. Pemakaman tidak boleh berlokasi di kawasan permukiman padat, mengingat kawasan permukiman padat cendrung berpotensi mendesak kawasan tidak terbangun disekitarnya.


(66)

4. Pemakaman sebaiknya berlokasi di kawasan permukiman sedang/jarang, karena kawasan permukiman sedang merupakan kawasan yang persaingan ruangnya masih terbatas sehingga masih memungkinkan dilakukan penataan ruang.

5. Pemakaman sebaiknya berlokasi di kawasan yang didukung oleh aksesibilitas yang baik yaitu yang didukung oleh jaringan sistem transportasi yang memadai karena pemakaman merupakan fasilitas yang harus dapat dicapai penduduk dari semua penjuru kota.

2.7. Penelitian Sebelumnya

Adapun penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya yang memiliki Tema tentang Kematian, Pemakaman, dan Ruang Terbuka Hijau adalah :

1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kematian Bayi di Kota Medan oleh Yesi Lidya Tahun 2010

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kematian bayi di Kota Medan kurun waktu selama 20 tahun, mulai dari 1988-2007. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah tenaga kesehatan (X1) dan PDRB perkapita (X2), sedangkan variabel terikatnya adalah jumlah kematian bayi (Y).

Metode penelitian yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least Squared (OLS), dengan menggunakan alat analisis untuk mengolah data yaitu menggunakan Eviews 5,1.


(67)

Berdasarkan estimasi menunjukkan bahwa, variabel tenaga kesehatan (X1) dan

PDRB perkapita (X2) mempunyai pengaruh terhadap tingkat kematian bayi di Kota Medan dan keduanya signifikant secara statistik pada 5% dan 1%.

Mortalitas merupakan komponen demografi, selain fertilitas dan juga migrasi, selain itu mortalitas juga dapat digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan di suatu negara.

Kata kunci: Kematian bayi, PDRB perkapita, tenaga kesehatan.

2. Analisis Efisiensi dan Efektivitas terhadap Penerapan Pola Pemakaman Sistem Tumpang pada Wilayah Jakarta Timur oleh Lutfi Arifin

Penelitian dalam tesis tersebut merupakan gambaran tentang pentingnya masalah penyediaan lahan pemakaman di kota-kota besar khususnya Kota Jakarta, dimana luas lahan yang ada semakin kritis akibat pertumbuhan kota dan penduduk yang relatif sangat cepat.

Penelitian ini tergolong pada penelitian deskriptif dengan menggunakan data kualitatif dan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah para ahli waris pengguna petak makam di Taman Pemakaman Umum Pondok Kelapa, Pondok Ranggon dan Penggilingan. Sedangkan sampelnya adalah 100 ahli waris yang dipilih secara purposive sampling. Teknik yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah survey lapangan, wawancara mendalam, untuk instrumen yang dipergunakan adalah kuesioner, catatan lapangan serta perlengkapan audio visual yang menunjang proses pengumpulan data dan informasi.


(1)

Kecamatan Medan Marelan

No. Nama/Alamat TPU Foto Status Jenis

Pemakaman

Fasilitas/Utilitas 1. Lingk. 39/25 Rengas Pulau

Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah

2. Lingk. 14 Rengas Pulau Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah

3. Lingk. 33 Rengas Pulau Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah, ada drainase dan listrik

4. Lingk. 38 Rengas Pulau Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah

5. Lingk. 17 Rengas Pulau Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf


(2)

6. Lingk. IX Terjun Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah dan drainase

7. Lingkungan 32 Rengas Pulau Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah dan drainase

8. Lingk. 14 Rengas Pulau Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf

Perkuburan Islam Jalan tanah

9. Lingkungan X Labuhan Deli Kec. Medan Marelan

Tanah Wakaf


(3)

Kecamatan Medan Belawan

No. Nama/Alamat TPU Foto Status Jenis

Pemakaman

Fasilitas/ Utilitas 1. Jl. Taman Makam Pahlawan

Kel. Belawan 1

Tanah Wakaf Perkuburan Islam Jalan dan listrik

2. Jl. Proyek/Lorong Mesjid Kel. Bagan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam Jalan

3. Jl. Hiu Kel. Belawan Bahagia

Tanah Wakaf Perkuburan Islam Jalan

4. Jl. Pulau Andalas/KL. Yos Sudarso Kel. Belawan Bahari


(4)

6. Jl. Pulau Sicanang Kel. Belawan Sicanang

Tanah Wakaf Perkuburan Islam -

Kecamatan Medan Deli

No. Nama/Alamat TPU Foto Status Jenis

Pemakaman

Fasilitas/ Utilitas 1. Lingk. VI Kel. Kota Bangun

Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik

2. Lingk. VI Kel. Kota Bangun Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Drainase

3. Lingk. III Kel. Mabar Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik dan Drainase


(5)

4. Lingk. III Km. 6,5 Tj. Mulia Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik dan Drainase

5. Lingk. V kel.Tj Mulia Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik dan Drainase

6. Jl. Yos Sudarso Km 7 Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik

7. Gg. Surya Lingk. VII Tj. Mulia Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik dan Drainase

8. Jl. Alumunium III Lingk. Tj. Mulia Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam


(6)

9. Lingk. I Kel. Titi Papan Tj. Mulia Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Drainase

10. Lingk. XII Kel. Titi Papan Tj. Mulia Kec. Medan Deli

Tanah Wakaf Perkuburan Islam

Listrik dan Drainase