25
D Rumus: CDR = x K
P
Dimana: CDR = Crude Death Rate Angka Kematian Kasar
D = Jumlah kematian death pada tahun tertentu P = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun tertentu
K = Bilangan konstan 1000 Umumnya data tersedia adalah ”jumlah penduduk pada satu tahun tertentu”
maka jumlah dapat sebagai pembagi. Kalau ada jumlah penduduk dari 2 data dengan tahun berurutan, maka rata-rata kedua data tersebut dapat dianggap sebagai penduduk
tengah tahun. Contoh:
Data dari Susenas 2003 tercatat sebanyak 767.740 kematian, sedangkan jumlah penduduk pada tahun tersebut diperkirakan sebesar 214.370.096 jiwa.
Sehingga Angka kematian yang terhitung adalah sebesar 3,58. Artinya, pada tahun 2003 terdapat 3 atau 4 kematian untuk tiap 1000 penduduk.
2.2. Model Demografi Proyeksi Penduduk Terpilih
Untuk menghitung proyeksi jumlah kematian penduduk diawali dengan memproyeksikan jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk diawali dengan
perhitungan jumlah penduduk 20 tahun kedepan dengan data jumlah penduduk 4-5 tahun kebelakang. Metode yang digunakan untuk menghitung proyeksi jumlah
Universitas Sumatera Utara
26
penduduk dalam Analisis Kebutuhan Taman Pemakaman Umum sebagai landasan
teori adalah: Metode Eksponensial Bunga Berganda
Adapun rumus yang digunakan untuk perhitungan proyeksi jumlah penduduk adalah Metode The Exponential Growth Model Oppenheim, 1980. Metode
Eksponensial Bunga Berganda menggunakan asumsí tingkat perubahan jumlah setiap tahunnya tidak konstan, terdapat faktor-faktor yang dapat mempercepat tingkat
pertumbuhan penduduk. Metode ini memiliki rumus sebagai berikut :
Pn = Po 1+ r
n
Dimana: Pn
= Jumlah penduduk pada tahun ke n
Po =
Jumlah penduduk para tahun awal r
= tingkat pertumbuhan penduduk
n =
Periode waktu tahun ke- n
2.3. Ruang Terbuka Hijau
Secara defenitif Ruang Terbuka Hijau atau biasa disingkat RTH adalah area memanjangjalur danatau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam Permen PU Nomor: 05PRTM2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. RTH terdiri dari RTH Lindung RTHL dan RTH Binaan.
RTH Lindung adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk areal memanjangjalur atau mengelompok dimana penggunaannya lebih bersifat
Universitas Sumatera Utara
27
terbukaumum, didominasi oleh tanaman yang tumbuh secara alamiah atau tanaman budidaya. Kawasan hijau lindung terdiri dari cagar alam di daratan dan kepulauan,
hutan lindung, hutan wisata, hutan bakau dan sebagainya. RTH Binaan adalah ruang atau kawasan yang lebih luas, baik dalam bentuk
areal memanjangjalur atau mengelompok dimana penggunaannya bersifat terbukaumum, dengan permukaan tanah didominasi oleh perkerasan buatan dan
sebagian kecil tanaman. RTH Binaan terdiri dari RTH Binaan Publik dan RTH Binaan Privat.
Kondisi keberadaan RTH seiring dengan perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas kota, pemenuhannya menjadi pilihan terakhir untuk ditangani. Hal ini karena
ruang ini dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi sebuah kota. Taman dianggap sebagai sekumpulan pohon tidak berguna, hanya karena pohon-
pohon tersebut banyak yang lebih berat unsur estetisnya. Tidak menghasilkan buah- buahan ataupun kayu yang langsung dapat dimanfaatkan Fireza, 2001. Oleh karena
itu penggunaan ruang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka pemanfaatannya akan selalu berada pada posisi yang paling optimal, artinya
kebutuhan-kebutuhan ruang yang sifatnya non ekonomispublik masih dinomorduakan.
Menurut Sihite dan Ismaun 1996 disebutkan bahwa RTH dalam tata ruang kota termasuk dalam kategori pelengkap, sehingga fungsi RTH dianggap kurang
penting. Dampak negatif dari penanganan RTH yang tidak serius berakibat
Universitas Sumatera Utara
28
berkurangnya luasan RTH, jumlah luasan tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas. Akibat langsung yang dirasakan adalah:
1. menurunnya tingkat kenyamanan kota;
2. meningkatnya pencemaran udara, suara dan air;
3. menurunnya ketersediaan air tanah, karena berkurangnya daerah-daerah resapan
dan dampak lebih luas mudahnya terjadi bencana banjir; 4.
menurunnya kapasitas dan daya dukung wilayah; 5.
meningkatnya masalah kesehatan pencemaran udara dan air; 6.
menurunnya keindahan kota, karena ketiadaan tamanpohon-pohonan.
2.3.1. Pola Pengembangan RTH di Beberapa Kota Besar
Kesadaran pembangunan perkotaan berwawasan lingkungan di negara-negara maju telah berlangsung dalam hitungan abad. Pada jaman Mesir Kuno, RTH ditata
dalam bentuk taman-taman atau kebun yang tertutup oleh dinding-dinding dan lahan- lahan pertanian seperti lembah sungai Efrat dan Tigris dan taman tergantung
Babylonia yang sangat mengagumkan, The Temple of Aman Karnak dan taman- taman perumahan Hakim, 2000.
Selanjutnya bangsa Yunani dan Romawi mengembangkan Agora Forum, Moseleum dan berbagai ruang kota untuk memberi kesenangan bagi masyarakatnya
dan sekaligus lambang kebesaran dari pemimpin yang sedang berkuasa pada saat itu. Berikutnya pada jaman Meldevel, pelataran gereja yang berfungsi sebagai
tempat berdagang, berkumpul sangat dominan sebelum digantikan jaman Renaisance
Universitas Sumatera Utara
29
yang glamour dengan plazza, piazza dan square yang luas dan hiasan deteil serta menarik. Seni berkembang secara optimal saat ini, sehingga implementasi keindahan
dan kesempurnaan rancangan seperti Versailles dan Kota Paris menjadi panutan dunia.
Gerakan baru yang lebih sadar akan arti lingkungan melahirkan taman kota skala besar dan dapat disebut sebagai pemikiran awal tentang sistem RTH kota.
Central Park New York oleh Frederick Law Olmested dan Calvert Voux melahirkan profesi Arsitektur Lansekap yang kemudian mengembang dan mendunia.
Tahun 1898 seorang panitera hukum Ebenezer Howard mempublikasikan bukunya ‘Garden Cities of Tomorrow’ yang di dalamnya mengungkap ide mencipta
lingkungan binaan yang nyaman, aman, menyingkirkan daerah slum dengan penerapan kota yang dipenuhi RTH penghubung simpul-simpul interaksi masyarakat.
Konsep tersebut dua kali diuji coba dengan hasil yang memuaskan di Letchworth 1908 dan Wellwyn 1924. Keberhasilan ini memotivasi orang untuk melakukan hal
senada di beberapa bagian Eropa. Di Indonesia sendiri konsep ini dibawa para pendahulu kita arsitek Belanda yang berkiprah di Indonesia, khususnya Bandung
sehingga perencanaan kota dengan limpahan RTH menjadi wacana yang menarik dan diterapkan dalam pembangunan nyata perkotaan diparuh pertama abad 20.
Melihat kenyataan tersebut tampaknya kebutuhan RTH yang tidak hanya mengedepankan aspek keleluasaan, namun juga aspek kenyamanan dan keindahan di
suatu kota sudah tidak dapat dihindari lagi, walaupun dari hari ke hari RTH kota menjadi semakin terdesak. Beberapa pakar mengatakan bahwa RTH tidak boleh
Universitas Sumatera Utara
30
kurang dari 30, Shirvani, 1985, atau 1200 m² tajuk tanaman diperlukan untuk satu
orang Grove, 1983. Bagaimana kota-kota mancanegara menghadapi hal ini, berikut diuraikan
beberapa kota-kota yang dianggap dapat mewakili keberhasilan pemerintah kota dalam pengelolaan RTH kota.
Singapore, dengan luas 625 km² dan penduduk 3,6 juta pada tahun 2000 dan kepadatan 5.200 jiwakm², diproyeksikan memiliki ruang terbangun mencapai 69
dari luas kota secara keseluruhan. Dalam rencana digariskan 24 atau 177 km² sebagai ruang terbuka, sehingga standar ruang terbukanya mencapai 0,9 ha per 1000
orang. Tokyo melakukan perbaikan RTH pada jalur hijau jalan, kawasan industri,
hotel dan penutupan beberapa jalur jalan. Walaupun luas kota Tokyo sangat terbatas, namun Pemerintah Kota tetap mengusahakan taman-taman tersebut, yang memiliki
standar 0,21 ha per 1000 orang. Sementara itu itu pendekatan penyediaan RTH yang dilakukan di Bombay –
India, dapat pula dijadikan masukan awal untuk dapat memahami Hirarki RTH di lingkungan pemukiman padat.
Menurut Correa 1988, dalam penelitiannya dikatakan bahwa apabila diabstraksikan kebutuhan akan hal-hal yang bersifat sosial tercantum di dalam 4
empat unsur utama yaitu : 1.
Ruang keluarga yang digunakan untuk keperluan pribadi 2.
Daerah untuk bergaulsosialisasi dengan tetangga
Universitas Sumatera Utara
31
3. Daerah tempat pertemuan warga
4. Daerah ruang terbuka utama yang digunakan untuk kegiatan bersama seluruh
warga masyarakat. Penelitian ini lebih lanjut mengungkapkan bahwa diperkirakan 75 fungsi
RTH dapat tercapai. Hal ini karena padatnya tingkat permukiman sehingga ruang terbuka berfungsi menjadi daerah interaksi antar individu yang sangat penting bahkan
dibutuhkan.
2.3.2. Pendekatan Kebutuhan RTH berdasarkan Fungsinya
Pendekatan ini didasarkan pada bentuk-bentuk fungsi yang dapat diberikan oleh RTH terhadap perbaikan dan peningkatan kualitas lingkungan atau dalam upaya
mempertahankan kualitas yang baik yaitu:
a. Pencegahan Banjir
Banjir terjadi antara lain disebabkan terlalu banyaknya volume air yang mengalir dipermukaan bumi sehingga tidak terserap oleh saluran-saluran baik alami
maupun buatan yang ada. Tidak heran fenomena banjir banyak menimpa daerah urban perkotaan. Daerah urban memiliki karakteristik yang khas, dimana lebih dari
30 permukaannya merupakan permukaan kedap air atap bangunan, jalan, jembatan, perkerasan dan lainnya. RTH sedikit banyak dapat mengatasi masalah
limpasan air hujan. Hal ini disebabkan tanah yang tertutup tanaman memiliki rongga- rongga tanah atau jalur-jalur yang lebar sehingga air mudah masuk Thohir, 1991.
Universitas Sumatera Utara
32
Seiring dengan hujan deras terjadi, saluran drainase dan kemudian sungai mendapatkan beban air limpasan yang terlampau tinggi melampaui ambang
kapasitasnya. Debit air pada drainasesungai dipengaruhi oleh 3 komponen utama yaitu intensitas hujan, keadaan permukaan tanah, dan luas daerah pengaliran:
Q = C . I . A Dimana:
Q = Debit Puncak
C = Koefisien Pengaliran
I = Intensitas
Hujan A
= Luas Daerah Pengaliran C dapat diatur dan dikurangi besarnya melalui pengelolaan permukaan tanah
diantaranya dengan penyediaan RTH. Air hujan dapat dibantu untuk menyerap ke dalam tanah sebelum mencapai saluran drainase dan sungai.
Tabel 2.1. Jenis Permukaan dan Besaran Koefisien Pengaliran No.
Jenis Permukaan Nilai Koefisien “C”
1. Ekosistem Hutan
0,3 2.
Padang Rumput 0,3
3. Taman dan Daerah Berumput
0,4 4.
Padang Rumput Berbukit 0,42
5. Lahan datar Bertanaman
0,5 6.
Kerikil 0,7
7. Atap Banguna
0,95 8.
Beton dan Aspal 0,95
Sumber: Todd, 1995
b. Pengedalian Gas Berbahaya dari Kendaraan Bermotor