II.2 TELEVISI SEBAGAI MEDIA MASSA
Perspektif komunikasi terhadap Televisi, seperti apa yang diungkap Deddy Miing Gumelar Bagito Group menyebutkan kalau ingin pintar ya nonton Televisi. Artinya Televisi
memberikan alternatif lebih memperbanyak aspek pendidikan, dibanding aspek hiburan. Bila berbicara tentang teori dan model komunikasi, bahwasannya Televisi swasta lebih banyak
menggunakan model agenda setting dalam berbagai tayangannya. Sehingga Televisi swasta lebih banyak mengagendakan programnya, dan diharapkan publik sebagai komunikan
mengikuti apa yang ditayangkan Televisi swasta sebagai komunikator.
Lahirnya Televisi swasta bisa juga menjadi media penyadaran dan pencerdasan sehingga diharapkan tidak ada lagi konflik antar etnik atau hukum rimba, membakar sampai
gosong seorang pencuri recehan yang nyolong tape mobil atau barang kecil lainnya, padahal belum dibuktikan di pengadilan.
Kecaman terhadap media televisi yang dianggap memuat teks-teks kebodohan telah lama dikumandangkan banyak orang. Program-program seperti kuis, sinetron, gosip, mistik,
kekerasan, dan sebagainya, dilabeli dengan berbagai cap: anti-logika, anti-kecerdasan, atau selera primitif. Dan seperti biasa, tombak-tombak intelektual ini ditangkis dengan tameng
yang diproduksi paham positivisme dengan merk selera masyarakat. Dari sekian banyak teori tentang hubungan media dan khalayak, kiranya ada tiga yang bisa dikemukakan disini.
Pertama, Teori Jorum Hipodermik. Teori ini mengemukakan kekuatan media yang begitu dahsyat hingga bisa memegang kendali pikiran khalayak yang pasif tak berdaya.
Kekuatan media yang mempengaruhi khalayak ini beroperasi seperti jarum suntik, tidak kelihatan narnun berefek.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, Teori Agenda Setting. Dengan napas yang nyaris serupa, teori ini mengatakan jika media memberikan tekanan pada suatu peristiwa, maka ia akan
mempengaruhi khalayak untuk menganggapnya penting. Pada teori ini, media tidak menentukan what to think, tetapi what to think about. Dari sekian peristiwa dan
kenyataan sosial yang terjadi, media massa memilih dan memilahnya berdasarkan kategori tertentu, dan menyampaikan kepada khalayak dan khalayak menerima bahwa peristiwa x adalah
penting.
Dan yang ketiga adalah Teori Kegunaan dan Kepuasan uses and gratification theory. Teori ini secara radikal menandai pergeseran fokus pandangan dari apa yang media lakukan
untuk khalayak menjadi apa yang orang lakukan terhadap media. Asumsinya tentu saja karena khalayak itu sangat aktif. Para pendukung teori ini menyatakan bahwa orang
secara aktif menggunakan media massa untuk memuaskan kebutuhan tertentu yang dapat dispesifikasikan Lull, 1998. Dan karenanya terpaan media belum tentu diterima dan ditiru oleh
khalayak. Setelah kita menjernihkan mengapa pendekatan kuantitatif masih saja mendominasi ilmu
komunikasi di Indonesia, dan mengetahui betapa teks-teks kultural yang dihasilkan sejumlah program televisi banyak menuai kecaman, maka perdebatan selanjutnya, menurut hemat saya,
adalah dasar dari semua ini, yakni apa yang disebut pendekatan behaviorisme radikal, yang juga masih merupakan anak dari Positivisme.
Selama ini cara mengetahui apakah seseorang sedang menonton sebuah program acara adalah melalui alat yang disebut peoplemeter, dimana alat ini dipasang di televisi responden terpilih.
Diharapkan setiap anggota rumah tangga yang menonton televisi akan memencet tombol di handset dan memencet lagi seusai menonton.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian yang dilakukan berdasarkan perilaku permukaan ini sesuai dengan kaidah behaviorisme radikal.
Mereka berpendapat bahwa satu-satunya cara sah secara ilmiah untuk memahami semua hewan, termasuk manusia, adalah dengan mengamati perilaku mereka secara
langsung dan seksama. Lebih jauh behaviorisme radikal menolak gagasan bahwa manusia memiliki kesadaran, bahwa terjadi suatu proses mental tersembunyi yang berlangsung pada diri
individu diantara datangnya stimulus dan bangkitnya perilaku.
Pendekatan ini segera mendapat respon dari sejumlah aliran filsafat, seperti interaksionisme simbolik.
Para penganutnya memandang bahwa pendekatan behaviorisme radikal tidak memungkinkan seorang peneliti untuk mendapatkan latar alamiah dari apa yang sedang
diteliti. Menempatkan manusia dalam lingkungan buatan akan membuat subjek berperilaku tidak alamiah karena tahu sedang diteliti, sebagaimana hewan juga akan berperlakukan dengan lain
ketika mereka berada dalam lingkungan buatan seperti kebun binatang, apalagi laboratorium Mulyana, 2001.
kata kaum interaksionis simbolik, tidak akan mampu membedakan manusia dengan hewan. Padahal aktivitas tersembunyi kesadaran inilah yang justru membedakan perilaku manusia
dengan perilaku hewan. Mereka membuang kehendak bebas manusia untuk menyalakan televisi sebagai sekedar mengalihkan perhatian sambil menunggu temannya datang, sekedar
membaca riming text yang terus bergerak di layar bawah televisi, atau sekedar tidak terlalu sunyi.
Djati Koesoemo yang dikutip Garin Nugroho 1995 mengatakan, orang yang
menonton televisi belum tentu suka akan tontonan itu. Seringkali mereka menonton sambil ngedumel. Dan dalam kasus-kasus seperti ini, sebagaimana diungkapkan James Lull 1998,
Universitas Sumatera Utara
penggunaan media oleh khalayak tak dapat dianggap benar-benar merupakan respon terhadap kebutuhan biologis atau psikologis. Kalaupun dinyatakan begitu, jelas berlebihan.
Kaum behavioris ini seperti tidak sadar bahwa mereka sedang mengkonstruksikan pemirsa yang mereka inginkan melalui alat tool. Mereka bagaimanapun bisa dipandang telah mereduksi
perilaku manusia kepada mekanisme yang sama dengan yang ditemukan pada hewan lebih rendah Dan ini adalah sebuah penghinaan.
Di tengah kekacauan Sistem Sosial-Kultur Indonesia, kita memerlukan suatu keterbukaan untuk melampaui batas-batas metodologis yang disediakan para provider asing.
Dan keterbukaan itu, seperti kata Agus Nggerwanto 2001, memerlukan seperangkat institusi yang reflektif agar mampu mengalami lompatan imajinatif untuk melampaui yang
partikular menuju pemahaman yang menyeluruh, yakni media massa tidak saja berfungsi untuk melayani selera-budaya, tetapi juga mendidik kecerdasan
selera-budaya.
II.3 BERITA