BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bila dilihat dari sudut pandangan hukum Islam tentang tujuan penciptaan suatu negara, maka akan diperoleh gambaran sebagai berikut, yaitu bahwa tujuan
“suatu negara Islam adalah untuk memelihara keamanan dan integritas negara, menjaga hukum dan ketertiban, dan untuk memajukan negeri hingga setiap
individu dalam negeri itu dapat merealisasikan seluruh potensinya sambil memberikan sumbangan bagi kesejahteraan semua
1
. Hukum yang benar adalah faktor penentu keselamatan umat manusia di bumi
ini. Menurut Islam, hukum yang benar adalah benar ini adalah yang dapat menyelamatkan umat manusia di dunia sampai akhirat. Hukum ini hanya satu,
yaitu hukum yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan hadits. Dalam fiqh siyasah, konstitusi disebut juga dengan dusturi. Kata ini berasal
dari bahasa Persia. Semula artinya adalah seseorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik maupun agama. Setelah mengalami penyerapan ke dalam
bahasa Arab, kata dustur berkembang pengertiannya menjadi asas, dasar atau pembinaan
2
. Menurut istilah, dustur berarti kumpulan kaedah yang mengatur
1
Ahmad Syafi’I Maarif, Islam dan Pancasila sebagai dasar negara, Jakarta: LP3S Indonesia, 2006 h. 13
2
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007, h. 153
1
dasar dan hubungan kerja sama antara sesama anggota masyarakat dalam sebuah negara, baik yang tidak tertulis konvensi maupun yang tertulis
konstitusi. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam negara bukanlah manusia
sebenarnya, melainkan pikiran yang adil. Sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan. Morallah yang akan menentukan baik dan
tidaknya suatu peraturan perundang-undangan dan membuat undang-undang adalah sebagai kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Karena itu, kata
Aristoteles, yang penting adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang baik. Dari sikap adil itu, kebahagiaan warga negara dapat terjamin. Ajaran
Aristoteles ini sampai sekarang menjadi impian para negarawan untuk menciptakan suatu negara hukum.
Karena itu, moral atau akhlak itu lebih dahulu adanya daripada negara atau politik, baik dalam sejarahnya maupun di dalam kejadiannya. Moral menjadi
sumber setiap tindakan dan perbuatan manusia sebagai pribadi. Moral juga menjadi sumber pula bagi setiap tindakan dan perbuatan masyarakat sebagai
ikatan bersama dari manusia. Karena itu, moral menjadi ukuran yang tegas bagi negara suatu bangsa, baik untuk menetapkan suatu tindakan politik yang baik
maupun tindakan politik yang jahat
3
.
3
Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, h. 120-123
Substansi kepemimpinan politik dalam perspektif Islam merupakan sebuah amanat yang harus diberikan kepada orang yang benar-benar “ahli”, berkualitas
dan memiliki tanggung jawab, adil, jujur dan bermoral baik. Islam tawarkan dalam memilih seorang pemimpin agar dapat membawa umat kepada kehidupan
yang lebih baik, harmonis, dinamis, makmur, sejahtera dan tentram. Di samping itu, pemimpin juga harus orang yang bertakwa kepada Allah.
Karena ketakwaan ini sebagai acuan dalam melihat sosok pemimpin yang benar- benar akan menjalankan amanah. Bagaimana mungkin pemimpin yang tidak
bertakwa dapat melaksanakan kepemimpinannya. Karena dalam terminologinya, takwa diartikan sebagai melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
segala larangan-Nya. Takwa berarti taat dan patuh serta takut melanggarmengingkari dari segala bentuk perintah Allah
4
.Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 59:
⌧
⌧
4
Http:racheedus.wordpress.com
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al-Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya” QS. 4:59.
Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang
Dasar. Indonesia ialah Negara berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka. Pemerintahan berdasarkan atas sistem Konstitusi Hukum
Dasar, tidak bersifat absolutisme kekuasaan yang tidak terbatas. UUD 1945 merupakan konstitusi yang paling singkat dan sederhana. UUD
1945 terdiri dari 16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal Peraturan Peralihan, dan 2 Ayat Aturan Tambahan itu yang mengatur lima unsur, yaitu Kekuasaan Negara, hak rakyat,
kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi
yang memuat hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang lebih stabil dari pada produk hukum lainnya.
Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat membawa
perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu
negara yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.
Jika diamati, dalam UUD 1945 menyedikan satu pasal yang berkenaan dengan cara perubahan UUD, yaitu pasal 37 yang menyebutkan
5
:
1. Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 23 daripada jumlah anggota
MPR harus hadir. 2.
Putusan diambil dengan persetujan ekurang-kurangnya 23 jumlah anggota yang hadir.
Perubahan UUD 1945 merupakan paket terbesar dan terpenting dari paket reformasi. Perubahan ini sekaligus menjadi awal penentu bagi arah pembangunan
nasional ke depan. Kehidupan generasi mendatang sangat akan ditentukan oleh kejelasan hukum dasar bangsanya hari ini. Jika tidak mampu melahirkan
antisipasi konstruktif agenda jangka panjang dengan terbitnya UUD yang komprehensif, maka sangat tidak dapat dibayangkan seperti apa arah kehidupan
bangsa apalagi generasi di masa mendatang.
Perubahan suatu konstitusi harus dipahami secara objektif-proposional. Perubahan UUD bukanlah berarti menghilangkan nuansa dan rasa kesatuan anak-
anak bangsa dalam ikatan NKRI, tetapi harus dilihat sebagai jalan terbaik bagi
5
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta: Kencana, 2002, h. 83
kelangsungan masa depan bangsa dalam proses perubahan yang bertanggung jawab
6
.
Perubahan UUD 1945 berimplikasi pada penyelenggaraan kekuasaan negara yaitu mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga
negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap
lembaga negara. Pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang- undang dasar adalah tidak ada yang rendah, semuanya sama diatur berdasarkan
fungsinya masing-masing.
Sesuai dengan prinsip perubahan UUD 1945 untuk mempertegas sistem presidensial dan dianutnya pemisahan cabang-cabang kekuasaan negara yang
utama dengan prisip check and balances, maka dengan perubahan UUD 1945 berakibat pula perubahan di bidang kekuasaan eksekutif Presiden
7
.
Sebelum perubahan, Undang-Undang dasar 1945 memberikan pengaturan yang dominan terhadap lembaga kepresidenan, hal ini terlihat dari jumlah pasal
maupun kekuasaan yang dimilikinya. Mulai dari pasal 4 sampai dengan pasal 15 dan pasal 22 mengatur langsung mengenai jabatan kepresidenan, dengan kata lain
pasal-pasal yang mengatur tentang lembaga kepresidenan ada tiga belas dari tiga
6
Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, h. 83
7
Djimly Asshiddiqie, Hukum Konstitusi Jakarta: Konstitusi Press, 2006, h. 54
puluh tujuh pasal UUD 1945. Ditambah lagi dengan ketentuan-ketentuan lain yang tidak mungkin lepas dari pengaturan mengenai Presiden, seperti ketentuan
yang mengatur APBN, ketentuan yang mengatur wewenang MPR, DPR, DPA, BPK, undang-undang organik.
Setelah perubahan 1999, 2000, 2001, 2002, hanya terdapat 19 pasal dari 37 pasal tidak termasuk tiga pasal aturan peralihan, dan dua pasal aturan tambahan
yang mengatur secara langsung mengenai lembaga kepresidenan. Dari 19 pasal, ada perubahan 9 pasal yang mengatur kewenangan Presiden. Dengan kata lain,
secara kualitatif ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewenenangan Presiden pasca Amandemen berkurang jika dibanding sebelum amandemen
8
. Berdasarkan uraian di atas, penulis melakukan penelitian tentang
“REFORMASI KEWENANGAN PRESIDEN PASCA AMANDEMEN SUATU KAJIAN YURIDIS-NORMATIF DAN HUKUM KETATANEGARAAN ISLAM”.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah