51
Penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut, seperti gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau
disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat atau menahun, gangguan stress pasca trauma, gangguan fungsi tubuh berat seperti tiba-tiba
lumpuh atau buta tanpa indikasi medis, depresi berat atau destruksi diri, gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti
skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya, bunuh diri. Sedangkan kekerasan psikis ringan bisa mengakibatkan ketakutan dan
perasaan terteror, rasa tidak berdaya, hilangnya rasa tidak percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, gangguan fungsi tubuh ringan sakit
kepala, gangguan pencernaan indikasi medis, dan fobia atau depresi temporer.
13
Mengakibatkan ketakutan dalam waktu yang tidak lama, dan memungkinkan untuk bisa berubah dari akibat kekerasan psikis tersebut.
2. Perlindungan Hukum Bagi Korban Kekerasan Psikis
Akar kekerasan terhadap perempuan karena adanya budaya dominasi laki-laki terhadap perempuan atau budaya patriarki. Dalam struktur dominasi
laki-laki ini kekerasan sering kali digunakan oleh laki-laki untuk memenangkan perbedaan pendapat, untuk menyatakan rasa tidak puas dan
kadangkala untuk mendemontrasikan dominasi semata-mata.
13
http:www.lbh-apik.or.idkdrt-bentuk.htm.
52
Kekerasan terhadap perempuan sering tidak dianggap sebagai masalah besar atau masalah sosial karena hal itu merupakan urusan rumah tangga yang
bersangkutan, dan orang lain tidak ikut campur tangan. Kejahatan dari kekerasan rumah tangga merupakan suatu yang rahasia, dan dianggap sesuatu
yang sifatnya pribadi dan bukan merupakan masalah sosial. Susan L. Miler, 2000: 289
14
Penulis tidak sependapat dengan pendapat Susan, karena kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah besar yang harus
mendapatkan perhatian dari berbagai macam pihak, seperti pemerintah dan masyarakat agar para pelaku kekerasan tidak lagi dengan seenaknya
melakukan kekerasan dalam rumah tangganya. Walaupun adanya pandangan seperti tersebut di atas tidak berarti
menjadikan alasan untuk tidak memberikan perlindungan hukum yang
memadai terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Perlindungan hukum adalah setiap usaha yang dilakukan oleh pihak-
pihak untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan, kekerasan dalam bentuk fisik, psikologis, seksual dan kekerasan ekonomi.
Pihak-pihak yang dapat melakukan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, bisa saja misalnya dapat
dilakukan oleh keluarga, tetangga korban, tokoh masyarakat, aparat penegak hukum polisi, jaksa, hakim, lembaga sosial dan lain sebaginya. Yang jelas
14
Ni Nyoman Sukerti , “Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah Tangga Kajian
Perspektif Hukum dan Gender,” Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana, h. 13.
53
pihak-pihak dimaksud dapat memberikan rasa aman terhadap istri korban kekerasan suami.
Para korban kekerasan dalam rumah tangga terutama isteri, yang sering sekali mendapat perlakuan kekerasan oleh suaminya dalam kasus
KDRT jarang atau tidak banyak yang melaporkan kasusnya itu kepada pihak yang berwajib. Mereka beralasan bahwa masalah suami isteri adalah masalah
intern keluarga yang tidak perlu diceritakan kepada orang lain, bahkan ada sebagian yang beranggapan bahwa itu semua merupakan cobaan yang harus
dilewati dalam hidup berumah tangga. Sehingga apabila terjadi kekerasan terhadap perempuan dan sering
tidak terungkap, itu semua karena isteri beranggapan bahwa apabila isteri menceritakan atau melaporkan masalah rumah tangganya kepada orang lain
sama saja membuka aib keluarga. Dengan sulit terungkapnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga, ini berarti perempuan korban
kekerasan ikut melindungi kejahatan dalam rumah tangga. Karena perempuan atau isteri ini telah menutupi tindakan kriminal yang dilakukan suaminya.
Yang mana semestinya isteri melaporkan tindakan kekerasan yang dilakukan suaminya agar isteri terbebas dari tindak kekerasan dan terlindungi oleh pihak
yang berwenang. Sebelum diberlakukannya UU No. 23 Tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, masalah penganiayaan dalam lingkup rumah tangga diatur dalam KUHP bab penganiayaan, pasal 351-356
54
dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita Perempuan.
15
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga baru diberlakukan 22 September 2004, ini merupakan satu bentuk pembaruan
hukum di Indonesia, yang berpihak kepada kelompok rentan, khususnya perempuan. Undang-undang ini lahir mengingat banyaknya kasus-kasus
kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, dan beberapa unsur tindak pidana dalam KUHP yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat, maka di perlukan pengaturan secara khusus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
Undang-undang ini mengatur tentang pencegahan dan perlindungan terhadap korban KDRT, mengatur secara spesifik KDRT dengan unsur-unsur
tindak pidana yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP, juga mengatur tentang kewajiban bagi aparat penegak hukum,
petugas kesehatan, pekerja sosial dan relawan sebagai pendamping untuk melindungi korban kekerasan.
16
Banyak pihak yang terlibat dalam membantu memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga ini,
sehingga diharapkan kekerasan dalam rumah tangga sudah tidak lagi terjadi. Bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi korban kekerasan berhak
mendapatkan perlindungan, pelayanan, penanganan, serta pendampingan oleh
15
http:ejournal.unud.ac.id20110624abstrakkekerasan20rtsukerti.pdf.
16
http:www.google.co.id20110624hl=idxhr=tq=PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ISTERI YANG MENJADI KORBAN KEKERASAN SUAMI.
55
lembaga bantuan hukum. Dalam hal pemberian perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping, dan atau pembimbing rohani untuk mendampingi korban. Di samping itu, polisi juga wajib memberikan keterangan kepada
korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan dan pendampingan. Banyaknya pihak yang terlibat dalam penanganan korban kekerasan
dalam rumah tangga mencerminkan kompleksitas persoalan yang mengitari seputar korban kekerasan dalam rumah tangga. Korban KDRT tidak hanya
terluka secara fisik saja tetapi juga merambah pesoalan yang bersifat psikis dan menyangkut hal-hal yang bersifat privasi. Oleh karena itu korban
disamping menghadapi problem yuridis tetapi juga menghadapi persoalan psikologis.
17
Bentuk-bentuk perlindungan bagi korban KDRT yang diberikan oleh pihak kepolisian, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping,
pembimbing rohani, advokat dan pengadilan diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 38.
Sanksi Bagi Pelaku Kekerasan Psikis
Upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi hukum pidana merupakan cara yan paling tua, setua peradaban manusia itu
sendiri. Sampai saat inipun, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan
17
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, cet. I, Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2006, h. 91.
56
sebagai salah satu sarana politik kriminal. Bahkan akhir-akhir ini, hampir semua produk perundang-undangan pada bagian akhir kebanyakan
dicantumkan sub-sub bab tentang ketentuan pidana. Berbagai produk legislasi sangat terlihat jelas selalu menjadikan
hukum pidana sebagai instrumen untuk menakut-nakuti atau mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul di berbagai bidang.
Fenomena legislatif yang demikian, menarik dikaji dari sudut kebijakan hukum pidana khususnya dilihat dari batas-batas kemampuan hukum pidana
sebagai sarana penanggulangan kejahatan.
18
Tujuan hukum pidana di Indonesia melindungi korban suatu tindak kejahatan, terutama dalam bentuk pemidanaan terhadap pihak yang
dinyatakan bersalah sebagai pelaku tindak pidana. Penghukuman yang dijatuhkan pada pelaku ini merupakan salah satu hak yang dituntut oleh pihak
korban. Korban yang sudah dirugikan secara psikologis menuntut para penegak hukum untuk memberikan hukuman yang setimpal dengan perbuatan
pelaku.
19
Agar para pelaku tidak mudah lagi untuk melakukan kejahatan atau kekerasan dalam rumah tangganya.
Ketentuan pidana bagi orang yang melakukan kekerasan psikis dipidana dengan pidana penjara 3 tahun atau denda paling banyak Rp
9.000.0000. Dan apabila perbuatan kekerasan tersebut tidak menimbulkan
18
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h. 95-96.
19
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,, cet. I, Bandung: PT. Refika Aditama, 2001, h. 100.
57
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan, maka dipidana penjara 4 bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00. Jika seseorang yang
melakukan kekerasan psikis kepada korbannya, dan korban tersebut tidak menimbulkan penyakit yang menjadi penghalang untuk menjalankan
pekerjaan, maka si pelaku kekerasan psikis di berikan keringan hukuman karena perbuatannya tidak menimbulkan penyakit bagi si korban.
3. Pembuktian Kekerasan Psikis