Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

19 a. Setia dan patuh kepada suami, baik waktu senang maupun waktu susah, dalam suka dan duka. Firman Allah SWT. Dalam surat An Nisa ayat 34:         4 34 Artinya: “Perempuan-perempuan yang saleh ialah yang taat patuh, yang memelihara kehormatannya waktu gaib suaminya tidak ada, sebagaimana Allah telah memeliharakan dirinya.” b. Berwajah cerah dan simpatik setia, hindarilah bermuka masam dan sering menggerutu atau suka cemberut. c. Tidak berpergian tanpa ijin suami, bila ada suatu keperluan untuk berpergian ke luar rumah mintalah ijin kepada suami, untuk menghindari fitnah dan lainnya. d. Memegang rahasia suami dan rumah tangganya. 7 Selain memegang rahasia suami dan rumah tangga, isteri juga harus memelihara dan menjaga harta benda suami dari segalam macam pemborosan. Jadi isteri harus pandai-pandai dalam mengatur kebutuhan rumah tangga.

B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga

Kekerasan menurut hukum Islam ini paling sulit dideteksi karena umumnya terjadi di lingkungan domestik yang mencakup hubungan perkawinan seperti poligami, kekerasan seksual, talak dan sebagainya. Al- Qur’an sumber hukum Islam memang tidak mencakup seluruh persoalan kekerasan terhadap 7 Sidi Nazar Bakri, Kunci Keutuhan Rumah Tangga keluarga yang sakinah, h. 37-42. 20 perempuan, namun banyaknya ayat yang berbicara mengenai kekerasan terhadap perempuan sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam sangat memberi perhatian terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Adapun kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga perspektif hukum Islam sebagai berikut: 1. Kekerasan Fisik Al- Qur’an dan hadist diyakini semua umat Islam sebagai sumber acuan utama dalam semua tindakan. Kedua sumber tersebut dipelajari dan dikaji di lembaga pendidikan dan lapisan masyarakat sehingga lumrah jika terjadi banyak penafsiran. Al- Qur’an memberi perhatian bagi istri yang nusyuz hal ini dijadikan dasar pemikiran Surat An-Nisa ayat 34. Dalam ayat ini yang dijadikan dasar memberi pelajaran bagi istri yang nusyuz yaitu terdapat pada ayat:                 4 34 Artinya: “wanita-wanita yang kamu khawatiri Nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka ”. Dalam hal memukul, janganlah sampai melukai badannya, jauhilah muka dan tempat-tempat lain yang membahayakan, karena tujuan memukul bukanlah untuk menyakiti, tetapi untuk memberi pelajaran ta’zir. Meskipun surat An-Nisa ayat 34 membolehkan suami memukul istri dalam rangka 21 mendidik, akan tetapi tidak asal memukul, melainkan dengan syarat, batasan dan ketentuan, antara lain: Pertama, ia dilakukan kepada istri ketika nusyuz, yakni durhaka dengan tidak menaati suami dalam batas-batas tertentu. Jika istri belum terbukti nusyuz maka suami belum boleh melakukannya. “Nusyuz” artinya artinya meninggalkan, contoh nusyuz seorang istri misalnya meninggalkan rumah tanpa seizin suami. Kedua, setelah sang istri terbukti nusyuz maka tidak otomatis suami langsung boleh memukulnya. Suami terlebih dulu harus melakukan dua tahapan terlebih dahulu yaitu menasihatinya. Jika sang istri adalah muslimah yang shalihah dan dia terbukti nusyuz, maka sebuah nasihat sudah baginya, untuk menyadari kekeliruannya dan mengulangi kesalahannya. Dengan demikian selesailah persoalannya tanpa ada kekerasan. Ketiga, kalaupun dengan nasihat belum cukup maka masih ada langkah kedua yang mesti dilalui yaitu berpisah darinya di tempat tidur. Pada tahap ini, kalau sang istri adalah muslimah shalihah yang terbukti dia nusyuz, maka dengan sanksi ini dia akan menyadari kesalahannya. Keempat, kalau tahap-tahap tersebut belum cukup untuk menyadarkan sang istri, maka diperbolehkan melakukan sanksi pemukulan dalam rangka mendidik, memperbaiki, dan meluruskan. Karena tujuannya untuk mendidik, bukan menyakiti, misalnya meninju dengan kepalan tangan hingga terluka berdarah-darah untuk melampiaskan amarah dan dendam kesumat. Memukul 22 yang dibolehkan adalah pukulan ghairu mubarrihi, yaitu yang tidak melukai dan tidak mematahkan, tidak melukai daging dan tidak mematahkan tulang. Dan yang terpenting, tidak boleh memukul anggota badan yang diharamkan, misalnya memukul wajah. Jadi, memukul istri adalah hanya sebuah alternatif terakhir sebagai sarana untuk mendidik seorang istri. Tak ada yang perlu dipersoalkan dari tahapan-tahapan pendidikan terhadap istri pembangkang dalam ayat tersebut. Islam mengajarkan bahwa kedudukan suami dalam keluarga adalah sebagai kepala keluarga Qs An- Nisa’ 34 yang salah satu tugasnya adalah mengurus dan mendidik istri. Ketika menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga yang mendidik istri dengan cara yang halus hingga cara pemukulan yang syar’i, sang suami tidak bisa dihukumi sebagai pelaku KDRT. Karena ketegasan dalam mendidik dan nahi munkar berbeda kasus maupun konsekuensinya dengan KDRT. 8 Maksud dari cara mendidik isteri dengan cara yang halus adalah memberitahu kepadanya dengan kata-kata yang halus, tidak membentak atau berkata-kata kasar kepadanya. Karena isteri mempunyai sifat yang lemah lembut, sehingga jika suami berkata-kata kasar kepada isterinya ditakutkan isteri itu tersinggung atau bahkan menyakiti perasaan isteri tersebut. 8 http:www.voa-islam.comcounterchristology2011072115630alquran-atau-bibel- pemicu-kdrt-menjawab-gugatan-forum-murtadin-kafirun. 23 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa durhakanya sang isteri nusyuz ketika tampak tanda-tanda kedurhakaannya, suami berhak memberi nasihat kepadanya, sesudah nyata kedurhakaannya, suami berhak berpisah tidur dengannya, kalau dia masih durhaka, suami berhak memukulnya. 9 Memukul di sini juga tidak boleh asal memukul, tetapi ada tempat yang dibolehkan suami untuk memukul isterinya. Dalam tafsir al azhar dijelaskan tindakan –tindakan yang patut dilakukan suami terhadap istri yang nusyuz yaitu dengan cara “maka ajarilah mereka” beri mereka petunjuk dan pengajaran, ajarilah mereka dengan baik, sadarkan mereka akan kesalahanya. Suami hendaklah menunjukan pimpinan yang tegas dan bijaksana, cara yang kedua yaitu dengan cara “pisahkan mereka dari tempat tidur” Kerapkali istri menjadi hilang kesombongannya karena pengajaran demikian. Tetapi ada pula perempuan yang harus dihadapi dengan cara yang lebih kasar, maka pakailah cara yang ketiga “dan pukulah mereka” tentu saja cara yang ketiga ini hanya dilakukan kepada perempuan yang sudah memang patut dipukul. 10 Di dalam tafsir itu dijelaskan tahap-tahap atau cara yang memang patut dilakukan suami dengan tujuan mendidik isteri. Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, dijelaskan bahwa pemukulan yang dilakukan haruslah dalam rangka mendidik, dan juga harus disertai dengan rasa kasih sayang seorang pendidik, sebagaimana yang dilakukan seorang 9 M.A. Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, h. 186-187. 10 Hamka, Tafsir al- Azhar, Juz V, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, h. 48-49. 24 ayah terhadap anak-anaknya, dan yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya. Semua tindakan itu boleh dilakukan kalau kedua belah pihak berada dalam kondisi harmonis. Tindakan itu hanya boleh dilakukan untuk menghadapi ancaman kerusakkan dan keretakkan, karenanya tindakan seperti pemukulan terhadap isteri tidak boleh dilakukan kecuali kalau terjadi kesalahan yang hanya dapat diselesaikan dengan cara tersebut. 11 Dari kesalah pemahaman surat An-Nisa inilah banyak suami yang melakukan kekerasan terhadap istri dalam segala bentuknya. Sebagian Ulama menafsirkan al- Qur’an tentang pemukulan ini. Pertama, pemukulan tidak boleh diarahkan ke wajah, kedua, pemukulan tidak boleh sampai melukai, dianjurkan dengan benda yang paling ringan, seperti sapu tangan. Ketiga pemukulan dilakukan dalam rangka mendidik. Keempat, pemukulan dilakukan dalam rangka sepanjang memberikan efek bagi keutuhan dan keharmonisan kembali relasi suami istri. 12 Nabi Muhammad melarang seseorang melakukan kekejaman dan penyiksaan. Rasulullah SAW bersabda: 13 11 Sayyid Quth, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, cet. I, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 244. 12 Husen Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, cet. I, Yogjakarta: Lkis, 2004, h. 242. 13 Maktabah al-Syamilah, Surat ke – 29, Juz ke – 12. 25 Artinya: “Dari Abdur Rohman Abdillah bin Mas’ud dari ayahnya berkata : Rasulullah SAW bersabda : Tidak seorangpun boleh dijatuhi hukuman dengan Api”. H.R. Ibnu Abi Saibah Dalam hukum pidana, beberapa hukuman mungkin terlihat berat atau bahkan keras. Hukuman berat diancam bagi beberapa kejahatan seperti perzinaan. Islam memandang kejahatan tersebut adalah perbuatan yang keji dan konsekuensinya sangat menyakitkan. Contoh lainnya adalah pencurian yang dikatagorikan dalam hukuman hudud, hukuman bagi kejahatan ini adalah potong tangan. 14 2. Kekerasan Psikis Selain kekerasan fisik Islam juga memperhatikan kekerasan psikis, sebagaimana kisah Khaulah binti Tsalabah mengadu kepada Rasulullah karena selalu dicaci maki oleh suaminya Aus bin Samit, Khaulah seorang muslimah yang taat beribadah dan taat pada suami. Sehingga walaupun dicaci ia tetap bersabar, tetapi pada suatu hari hilanglah kesabarannya karena dizhihar suaminya, lantaran marah hanya karena pulang tidak ada makanan. Malam harinya Khaulah menolak dicampuri suaminya. Peristiwa ini diajukan pada Rasulullah lalu turunlah surat al Mujadah ayat 1-6 tentang zhihar ayat ini mengandung makna agar para suami tidak mudah menzhihar istrinya. 15 Ada sebuah hadist yang menjelaskan apabila seseorang telah mengilla istrinya, mereka harus membayar kafarah ketika ia akan mengauli istrinya. 14 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003, h. 73. 15 Siti Zumrotun, Membongkar Fiqh Praktis; Refleksi atas Keterbelengguan Perempuan dalam Rumah Tangga, cet. I, T.tp., STAIN Press, 2006, h. 111. 26 : Artinya : Dari Aisyah ra. Mengatakan “Rasulullah SAW bersumpah illa’ terhadap istri-istrinya dan mengharamkan mereka, kemudian menjadikan yang haram menjadi halal dan menyebar kafarah tebusan sumpahnya”. HR. Tirmidzi Dalam hadist tersebut dijelaskan bahwa illa ’ itu merupakan sumpah suami terhadap istrinya bahwa dia tidak akan menggauli istrinya dalam masa yang lebih dari 4 bulan atau dengan tidak menyebutkan masa. Apabila seorang suami bersumpah sebagai sumpah yang tersebut itu, hendaklah ditunggu sampai 4 bulan. Kalau dia kembali baik, kepada isterinya sebelum 4 bulan, maka suami diwajibkan membayar dengan kafarat saja. Tetapi kalau sampai 4 bulan suami tidak kembali baik dengan isterinya, maka hakim berhak menyuruh memilih diantara dua perkara: membayar kafarat serta kembali baik kepada isterinya, atau menthalaq isterinya. Jika suami tetap tidak mau menjalankan salah satu dari pekara tersebut, maka hakim berhak menceraikan isterinya dengan paksa. Para ulama sepakat ketika suami mengilla istrinya selama 4 bulan berturut-turut maka tidak boleh menjima istrinya. Suami ketika akan menjima’ istrinya lagi ia harus membayar kifarat yaitu memerdekakan budak jika ada. Apabila tidak menemukan budak, maka puasa dua bulan berturut-turut, 27 apabila tidak mampu, maka memberi makan 60 orang miskin. 16 Dalam hal ini suami haruslah menyadari perkataannya, agar tidak sembarang mengucap untuk tidak menggauli isterinya. Banyak ayat al- Qur’an yang menunjukan bahwa antara perempuan dan laki-laki itu sama atau setara misalnya tentang kesempatan mendapatkan pahala, hubungan perempuan dengan laki-laki dan juga kerabatnya. Dalam hal memilih pasangan hidup, Islam memberi hak bagi perempuan untuk memilih pasangannya. Semula hak itu ditentukan oleh wali, setelah Islam datang tuntutan Islam anak gadis yang akan dinikahkan, diajak bicara dan ikut menentukan pilihannya. 3. Kekerasan Seksual Kekerasan ini adalah pemaksaan aktivitas seksual oleh satu pihak terhadap pihak lain, suami terhadap istri atau sebaiknya yang biasa disebut dengan marital rape. Dengan demikian marital rape merupakan tindak kekerasan atau pemaksaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan aktifitas seksual tanpa pertimbangan kondisi istri. 17 Dalam berhubunggan suami isteri, suami tidak boleh melakukan pemaksaan atau bahkan sampai melakukan kekerasan terhadap isterinya, karena akan mengakibatkan penyiksaan terhadap isteri. 16 Ibnu Hajar al Asqolani, Bulughul Maram, Semarang: PT. Toha Putra, T.th, h. 237. 17 Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, cet. I, Yogjakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2007, h. 11. 28 Bentuk-bentuk marital rape dapat berupa hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri karena ketidaksiapan istri dalam bentuk fisik dan psikis, hubungan seksual yang tidak dikehendaki istri, misalnya dengan oral atau anal. Hubungan seksual disertai ancaman kekerasan atau dengan kekerasan yang mengakibatkan istri mengalami luka ringan ataupun berat. 18 Salah satu contohnya seperti memaksakan isteri untuk bergaul pada saat isteri dalam keadaan haid. Terkait dengan masalah suami istri, ada beberapa statemen al- Qur’an yang bisa dikemukakan di antaranya dalam surat al-Baqarah ayat 187 yaitu:       2 187 Artinya: “Mereka istri-istrimu adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” Ayat lain juga menyatakan bahwa suami harus menggauli istrinya dengan cara yang ma’ruf, ma’ruf di sini berati suami haruslah memperlakukan isteri tidak seperti budak belian, bersikap kasar tanpa memperhatikan dan menghargai hak dari seorang isteri, karena dalam hubungan suami isteri, isteri juga mempunyai hak untuk menolak apabila isteri dalam keadaan sakit atau karena alasan lain yang menyebabkan isteri itu tidak dapat menerima ajakan suami. Suami tidak boleh memaksakan isteri untuk bergaul, ini tentunya tidak diperbolehkan adanya kekerasan baik pemukulan, penganiayaan dan lain sebagainya. Al Syirazi mengatakan meskipun pada dasarnya istri wajib 18 Milda Marlia, Marital Rape Kekerasan Seksual Terhadap Istri, h. 13. 29 melayani permintaan suami, akan tetapi jika memang tidak terangsang untuk melayaninya ia boleh menawarnya atau menagguhkannya, dan bagi istri yang sedang sakit atau tidak enak badan, maka tidak wajib baginya untuk melayani ajakan suami sampai sakitnya hilang. Jika suami tetap memaksa pada hakekatnya ia telah melanggar prinsip muasyaroh bil ma’ruf dengan berbuat aniaya kepada pihak yang justru seharusnya ia lindungi. 19 Jadi dalam hubungan suami isteri, suami memang harus menghargai isteri apakah isteri mau untuk diajak bergaul atau tidak. Agar kedua belah pihak tidak ada yang merasa di rugikan. Ulama Mazhab memandang „azl coitus interruptus yakni menarik kemaluan laki-laki keluar dari kemaluan wanita pada saat-saat mau keluar mani. Tiga dari empat Mazhab yaitu: Imam Hanafi, Imam Maliki, dan Imam Hambali sepakat bahwa azl tidak boleh dilakukan begitu saja oleh suami tanpa seizin istri, dengan alasan dapat merusak kenikmatan istri. Umar berkata: . Artinya: “Dan dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata: Rasulullah SAW melarang azl terhadap perempuan merdeka kecuali dengan izinnya ”. HR. Ahmad dan Ibnu Majah 20 19 Masdar F. Ma’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, cet. II, Bandung : PT. Mizan Hazanah Ilmu-ilmu Islam, 1997, h. 113. 20 Mu’ammal Hamidy, dkk, Nailul Authar Himpunan Hadis-hadis Hukum, cet. III, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2001, h. 2275-2276. 30 Sejalan dengan prinsip melindungi hak istri untuk menikmati hubungan seksnya. Dengan merujuk pada hadits di atas jelas bagi kita bahwa dalam hubungan seks dan justru pada detik-detik kenikmatannya istri sama sekali bukan hanya objek tapi juga menjadi subjek. 21 Yang mana dalam berhubungan suami isteri, pada saat melakukan azl, suami harus bisa mengerti isteri atau dengan cara komunikasi, agar kedua belah pihak sama-sama mendapatkan kenikmatan. Dari sini jelaslah perspektif al- Qur’an melarang adanya pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan suami terhadap istri atau marital rape, ia bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam tentang seksualitas dalam perkawinan. 4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi ialah apabila suami tidak memberi nafkah, perawatan atau pemeliharaan sesuai dengan hukum yang berlaku atau perjanjian antara suami dan istri tersebut. Selain itu juga yang termasuk dalam katagori penelantaran ekonomi adalah membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali orang tersebut. Islam mengatur secara jelas melalui pengalaman-pengalaman masa kenabian Muhammad, jelaslah bahwa Islam tidak menoleransi penelantaran dan kekerasan dari segi ekonomi. Islam menetapkan kewajiban nafkah kepada istri, karena itu seorang suami yang tidak memberi nafkah kepada istrinya telah berdosa kepada 21 Masdar F. Ma’udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, h. 117-118. 31 istrinya dan Tuhan. Para istri yang menuntut suami untuk membelikan keperluan-keperluan pokok yang menjadi tanggung jawab suami harus benar- benar dipertimbangkan apakah menurut ajaran agama sesuatu yang dimintanya itu merupakan pemborosan ataukah benar-benar menjadi tanggung jawab suami, seperti keperluan makan dan minum, pakaian, pengobatan serta pemeliharaan kesehatan. Seorang istri juga hendaknya mempertimbangkan hal-hal yang akan diminta kepada suaminya, sehingga tidak membebani dengan tuntutan diluar kewajibannya. 22 Isteri tidak boleh menuntut kepada suami, isteri haruslah mengerti kemampuan suami agar tidak menjadi beban bagi suami. Adapun dasar kewajiban suami menafkahi istri tersebut dalam firman Allah Q.S. Al Baqarah ayat 233:                    2 233 Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyususan dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. Dari beberapa paparan di atas jelas sekali bahwa Islam benar-benar telah melarang bertindak kekerasan terhadap istri, termasuk juga penelantaran pemberian nafkah. Bahkan ketika terjadi cerai pun Islam masih memberi 22 Muhammad Thalib, Ketentuan Nafkah Istri dan Anak, cet. I, Bandung: PT. Irsyad Baitus Salam, h. 21-22. 32 perhatian terhadap perempuan, salah satunya adalah dengan adanya Iddah, dan larangan mengambil kembali sesuatu yang telah diberikan kepadanya, hal ini dijelaskan dalam surat al- Baqarah ayat 229:                 2 229 Artinya: “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya suami isteri tidak dapat menjalankan hukum- hukum Allah” 23 .

C. Faktor-faktor Terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

0 9 31

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA (PRT) DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

2 16 40

Undang-undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga - [PERATURAN]

0 11 19

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 5 18

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 4 20

PENUTUP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 2 9

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DAN PSIKIS TERHADAP ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

0 0 12

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Studi di Wilayah Hukum Polres Grobogan).

0 3 93

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Batam

0 0 16