85 Ath-Thabari tidak mengomentari riwayat itu walaupun terdapat
beberapa kegabjilan di dalmnya. Umpamanya, betulkah sebagian riwayat itu berasal dari Nabi. Untuk riwayat yang berasal dari nabi
Ibrahim, Ibnu Katsir menyebutkan bahwa kualitasnya asing dan sanad- sanadnya pun tidak sahih.
156
Ath-Thabâri pun tidak berupaya melakukan studi kritis terhadap keganjilan-keganjilan matannya.
4. Kisah Sapi Betina Bani Israel
a. Q.S. al-Baqarah[2] : 67-74
156
Lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h 100.
86
“Dan ingatlah,
ketika Musa
Berkata kepada
kaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi
betina. mereka berkata: Apakah kamu hendak menjadikan kami buah ejekan? Musa menjawab: Aku berlindung kepada Allah agar tidak
menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil.
Mereka menjawab: mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar dia
menerangkan kepada Kami; sapi betina apakah itu. Musa menjawab: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi
betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; Maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Mereka berkata:
Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami apa warnanya. Musa menjawab: Sesungguhnya Allah
berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang
memandangnya. Mereka berkata: Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar dia menerangkan kepada kami bagaimana hakikat sapi
betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu masih samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan mendapat petunjuk untuk
memperoleh sapi itu. Mûsa berkata: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai
untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak ada belangnya. mereka berkata: Sekarang barulah
kamu menerangkan hakikat sapi betina yang sebenarnya. Kemudian mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak melaksanakan
perintah itu. Dan ingatlah, ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak
menyingkapkan apa yang selama Ini kamu sembunyikan. Lalu kami berfirman: Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina
itu it Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang Telah mati, Dam memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaannya
agar kamu mengerti. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. padahal diantara batu-batu itu
sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari
padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, Karena
87 takut kepada Allah. dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang
kamu kerjakan.”
b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel
157
Pada masa nabi Mûsa a.s. terjadi pembunuhan di kalangan Bani Israel yang tidak diketahui siapa pembunuhnya. Lalu di antara
merekapun terjadi kesalahpahaman, kericuhan, dan saling mendorong serta saling menuduh melakukan pembunuhan. Masing-masing
menuduh yang lain sebagai pembunuhnya, lalu mereka mengajukan perkara itu kepada Mûsa a.s. untuk disidangkan di antara mereka.
Allah ingin menyingkap misteri pembunuhan itu dan mengungkap pembunuhnya melalui prosesi mukjizat fisik materi.
Allah mewahyukaan kepada musa agar memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi betina, yaitu sapi betina apa saja, tanpa ketentuan
criteria dan spesifikasinya. Kalaulah mereka mengambil sapi betina apa saja serta menyembelihnya niscaya mereka telah melaksanakan
perintah Allah dan menunaikan kewajiban. Akan tetapi, karena watak orang-orang Yahudi menyukai perdebatan dan memperlambat diri
untuk menjalankan tugas membuat mereka mengabaikan perintah itu dengan berulah dan banyak bertanya.
Mereka menanyakan kepada Mûsa a.s. tentang usia sapi betina itu, lalu Musa menjawab bahwa sapi itu tidak terlalu tua dan juga tidak
terlalu muda, melainkan berusia sedang. Kemudian mereka bertanya
157
Kisah ini diambil dari Dr.Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Quran Pelajaran dari Orang-orang Terdahulu, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, Jilid III, h. 235.
88 tentang warnanya. Musa menjawab, warna sapi betina itu kuning tua
yang menyenangkan siapa pun yang memandangnya. Setelah itu, mereka bertanya pula tenttang tabiat kerja sapi itu,
lalu dijawab bahwasannya sapi itu sangat berharga bagi pemiliknya, tidak begitu jinak, tidak dipakai untuk membajak dan juga tidak untuk
mengairi tanaman. Pada akhirnya, mereka pun menyembelihnya, dan ini hampir
saja idak mereka lakukan karena disibukkan oleh pertanyaan- pertanyaan.
Setelah itu, Mûsa a.s. memerintahkan mereka untuk
memukulkan sebagian anggota badan sapi betina yang telah dipotong itu ke tubuh mayat korban pembunuhan, lalu mereka pun
melaksanakannya. Tiba-tiba Allah memasukkan roh ka dalam raganya dan menghidupkan kembali mayat korban pembunuhan tersebut, lalu
ia menceritakan siapa yang membunuhnya, “Si fulan yang telah membunuh saya.”
Mayat hidup itu pun akhirnya mati kembali di tengah suasana yang mencengangkan dan mencekam bagi orang-orang Bani Israil, dan
mereka pun terpana dan heran atas kejadian yang baru saja mereka saksikan.
c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr Dalam tafsir Ibnu Katsîr disebutkan riwayat dari Ibnu Abî
Hatîm, dengan sanad yang bersambung hingga Muhammad bin Sirin,
89 dari Ubadah as-Silmani, dia berkata, “Ada seorang laki-laki Bani Israel
yang mandul, sedangkan dia mempunyai harta yang banyak dan anak saudaranya merupakan pewarisnya. Maka dia membunuhnya. Pada
malam hari dia membawa mayatnya lalu diletakkan di depan pintu salah seorang Bani Israel. Ketika pagi hari tiba, maka pihak korban
menuduh si pemilik rumah dan warganya sehingga mereka pun mengangkat senjata dan saling menyerang. Salah seorang yang
berpikiran lebih bijak berkata, ‘ Mengapa kalian saling membunuh, padahal kita punya Rasul ’. Maka mereka pun menemui Musa a.s. dan
menceritakan kejadian tersebut. Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyuruhmu untuk menyembelih seekor sapi betina’. Mereka berkata,
‘apakah kamu hendak menjadikan kami sebagai bahan ejekan?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah sekiranya aku termasuk
orang-orang yang bodoh.’
158
Ubaidillah berkata, “Seandainya mereka tidak mencela, niscaya memadailah sapi yang sederhana sekalipun. Namun mereka
mempersulit, maka Allah pun mempersulitnya sebelum mereka menemukan sapi yang diperintahkan untuk disembelih. Mereka
mendapatkannya dari seseorang yang tidak memiliki sapi lain kecuali sapi betina itu. Si pemilik berkata, ‘’Demi Allah, harga sapi ini tak
boleh kurang dari uang emas sepenuh kulitnya”. Lalu mereka menyembelihnya, dan mereka memukul mayat dengan bagian tunuh
158
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 148-149.
90 sapi itu. Kemudian mereka bertanya, “Siapa yang membunuhmu?”
mayat itu berkata, “Orang ini,” sambil menunjuk kepada anak saudaranya. Kemudian mayat pun terkulai dan mati kembali. Maka si
pembunuh tidak diberi harta warisan sedikit pun. Sejak itulah seorang pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan.
159
Mengomentari kisah di atas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa kisah tersebut dikutip dari buku-buku Bani Israel, dan kisah ini
termasuk yang boleh dikutip, namun tidak boleh dibenarkan atau didustakan. Oleh karena itu, kisah tadi tidak dapat dijadikan pegangan
kecuali dalam hal-hal yang sejalan dengan kebenaran menurut Islam.
160
Pada ayat 73 menerangkan perintah nabi Musa kepada Bani Israel untuk menyembelih sapi yang salah satu bagian badannya
dipukulkan kepada orang yang terbunuh agar hidup kembali. Ayat ini merupakan rangkaian dari beberapa ayat yang berbicara tentang kisah
penyembelihan sapi. Tidak dijelaskan bagian badab sapi mana yang digunakan untuk memukul mayat itu. Kisah itu, lebih lanjut
menjelaskan bahwa setelah dipukul, mayat itu hidup kembali. Meskipun persoalan itu tidak penting, sebagian ulama tafsir
menjelaskannya dengan merujuk pada riwayat Israiliyyat. Dalam hal ini, ath-Thabari mengemukakan beberapa riwayat yang berbeda-beda.
159
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 149.
160
Muhammad Nasib ar-Rifa’I, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Ikhtisari Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, Muktabah Ma’arif, 1819, h. 152-153.
91 Satu riwayat mengatakan bahwa yang digunakan untuk memukul
mayat itu adalah bagian paha sapi, riwayat lain mengatakan bagian pundaknya, dan riwayat lainnya lagi mengatakan bagian tulangnya.
161
Mengomentari riwayat-riwayat
di atas,
ath-Thabari berpendapat bahwa selama Allah mengglobalkan kisah ini dan Rasul
pun tidak merincinya, kita tidak diperkenankan menjabarkannya. Namun, di akhir pembicaraannya, ia berpendapat bahwa riwayat yang
peling benar adalah mengatakan bahwa Allah memerintahkan kepada mereka untuk memukul bagian tubuh orang yang terbunuh dengan
potongan daging sapi agar hidup kembali. Tidak ada satu keterangan pun yang menjelaskan tentang potongan daging mana yang digunakan.
Boleh jadi bagian ekornya, atau boleh jadi pula bagian lehernya.
162
B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Isrâîliyyât
Sejauh ini para pengamat tafsir menempatkan ath-Thabari dan Ibnu Katsir pada posisi yang sama, yaitu mufassir yang menggunakan corak bi al-
ma’tsur dalam kitab tafsirnya masing-masing. Namun, ternyata kedua mufassir itu tidak selamanya memiliki kesamaan dalam menafsirkan al-Quran.
Perbedaan metode penafsiran antara kedua mufassir itu secara umum, dintaranya, telah disajikan secara cermat dan kritis oleh seorang orientalis
161
Ibnu Jarir Ath-Thabri, Jami al-Bayaan fi Tafsir Al-Quran, Juz II, h. 356-360
162
Ibnu Jarir Ath-Thabri, Jami al-Bayaan fi Tafsir Al-Quran, Juz II, h. 285-286
92 yang bernama J.D. Dammen Mc.Auliffe.
163
perbedaan itu sebenarnya merupakan sesuatu yang wajar dan alami.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, dapat diketahui materi Israiliyyat yang terdapat pada kitab tafsir Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya ath-
Thabârî terkadang
dikomentari oleh
beliau dan
terkadang tidak
dikomentarinya. Sehingga menimbulkan pro dan kontra dari beberapa ulama dalam menyikapi kisah-kisah Israiliyyat yang terdapat pada kitab tafsir ath-
Thabârî. Berikut ini pandangan ulama terhadap kisah-kisah Israiliyyat yang
terdapat pada kitab beliau. Ulama yang membela ath-Thabârî diantaranya ialah Abû al-Fadi Ibrâhîm yang menyatakan bahwa sikap ath-Thabârî sejalan
dengan langkah yang ditempuh oleh kalangan ahli hadis pada umumnya, yaitu cukup mengemukakan jalan-jalan periwayatan sampai kepada pembawa berita
rawi pertama. Dalam hal ini pun, ia hanya mengemukakan jalan-jalan periwayatan silsilah al-riwayah Israiliyyat kepada pembawanya yang
pertama. Untuk menilai kualitasnya, ia serahkan sepenuhnya kepada para pembaca. Dengan cara ini, ath-Thabari sudah memenuhi tugas keilmuannya
dan tidak bertanggung jawab terhadap isi yang dibawanya.
164
Pendapat Ibrahim di atas tampaknya tidak sepenuhnya dapat diterima sebab Tafsir ath-Thabari tidak selamanya berada ditangan orang-orang yang
mempu menilaikualitas riwayat Israiliyyat. untuk mengkritik sebuah riwayat,
163
Janne damman Mc Auliffe, “Qur’anic Heurmenetic: The Views of Ath-Thabâri and Ibnu Katsîr” dalam Andrew Rippin Ed., Approaches to the History of the Interpretation of the
Qur’an, Clarendon Press, Oxpord, 1988, h. 46-62.
164
Muhammad Abu Fadl Ibrahim, “Tarikh Ath-Thabari” , dalam Ath-Thabari, Tarikh Ar- Rusul wa al-Mulk, Juz I, Dar Al-Ma’rif, Mesir, 1960, hlm.22-23.
93 seseorang diharuskan menguasai ilmu kritik hadis Takhrij Hadis, sebuah
ilmu yang sulit untuk dikuasai selain orang-orang yang memang bergelut di dalamnya secara khusus. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa
“orang yang mengemukakan sanad riwayat, tidak bertanggung jawab atas isi Israiliyyat” itu sangan sulit untuk diterima. Bagaimana seandainya Israiliyyat
itu kemudian dipakai seseorang untuk memahami kandungan al-Quran atau menerangkan hukum syara’.
165
Berlainan dengan pendapat diatas, dibawah ini akan dikemukakan diantara pendapat yang bernada negatif terhadap kisah Israiliyyat yang
terdapat pada kitab tafsir th-Thabari, yaitu, al-Hufi yang menyayangkan sikap ath-Thabari yang tidak melakukan studi kritis terhadap Israiliyyat padahal ia
tergolong dalam ulama ulama hadis. Menurutnya, mungkin saja ath-Thabari membedakan antara hadis dan Israiliyyat. hadis berfungsi sebagai hukum yang
dapat membangun hukum-hukum, sedangkan Israiliyyat tidak memiliki fungsi itu sehingga tidak perlu melakukan studi kritis terhadapnya. Namun, sebagai
ahli sejarah, ia tidak cukup menyampaikan sanad riwayat saja sebab terkadang rawinya terpecaya, tetapi lemah dalam menerima atau menyampaikannya.
166
Menanggapi hal tersebut, ath-Thabari mengemukakan penjelasan di salah satu kitabnya, yakni,
“ Hendaknya setiap peneliti kitabku memahami apa yang dikemukakan di dalmnya dan saya sendiri yang menulisnya dengan bersandarkan pada
periwayatan yang aku sebutkan dan susunan perawinya yang di dalamnya pun aku dilibatkan, bukan berdasarkan atas hasil olah pikiran. Karena untuk
165
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 115.
166
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 116
94 mengetahui berita-berita masa lampau dan kejadian-kejadian di dalamnya,
tidak mungkin diperoleh secara langsung dari orang-orang yang terlibat atau menyaksikan langsung peristiwa-peristiwa itu, malainkan hanya dapat
diperoleh melalui kabar berita yang sampai kepada kita, bukan dengan cara hasil olah pikir. Jika ternyata dalam kitabku ini terdapat suatu riwayat yang
tidak enak didengar karena tidak jelas kevalidan dan hakikatnya, maka penjelasan tentang itu belum pernah aku dapatkan dari orang-orang
sebelumku. Itulah sebabnya, aku hanya menulis apa saja yang sampai ke tanganku.”
167
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan pada tiga poin, yakni; Pertama, ia berpendapat bahwa para sejarawan tidak boleh bertolak dari
logika, analogi dan istimbat dalam memperoleh data sejarah. Oleh karena itu, ia mendokumentasikan data sejarah atas dasar berita dari perawi saja. Ia pun
tidak hanya menggumpulkan data sejarah yang relevan dengan pemikirannya. Kedua, untuk memperoleh data sejarah, hanya dapat dilakukan dengan satu
cara, yaitu melalui berita-berita yang sampai kepada kita. Ketiga, ath-Thabârî menyatakan bahwa orang-orang sebelum dirinya belum pernah melakukan
studi kritis terhadap riwayat yang diterimanya.
168
Atas dasar pernyataan di atas, ada beberapa kritikan untuk ath-Thabari, yaitu poin pertama dan kedua tampaknya bertentangan dengan prinsip sejarah
yang sebenarnya. Sejarawan memang tidak boleh merekayasa data sejarah, tetapi bukan berarti pertimbangan rasio tidak berguna dalam mengumpulkan
data sejarah.
169
Berkenaan dengan ini, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa untuk menerima riwayat sejarah diperlukan pertimbangan-pertimbangan tertentu
167
Ath-Thabari,Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Jilid 1, h. 7-8
168
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 117.
169
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Tafsir Ibnu Katsîr, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999, Cet I, h. 117.
95 yang tidak cukup bersandarkan kepada sanadnya saja. Menurutnya, banyak
ahli sejarah dan ahli tafsir yang tergelincir ke dalam kesalahan karena adanya berpegang kepada pemindahan riwayat saja tanpa melakukan pemikiran
mendalam terhadap isi riwayat itu.
170
Demikian pula poin ketiga pun mengandung sisi kelemahan karena bertentangan dengan data sejarah.
Terlepas dari kelemahan-kelemahan di atas, Tafsir ath-Thabârî memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu dari sisi lain. Dari sisi sanad, di
antaranya, kitab ini mengemukakan Israiliyyat dengan disertai penyebutan sanadnya secara lengkap dan teliti. Untuk setiap Israiliyyat yang ia
kemukakan, disertakan sanadnya sampai kepada pemiliknya dengan cara menggunakan langkah-langkah periwayatan ulama hadis.
171
Bila lupa nama salah seorang dari silsilah rawi, ath-Thabârî menjelaskan langsung seperti ini, “Telah menceritakan kepada kami Abî
Kuraib yang mengatakan bahwa Yahya bin Adam telah menceritakan kepada saya.” Ia berkata, telah menceritakan kepada kami Isra’il dari Abu ishaq, dan
170
Ibnu Khaldun, Muqadimah, Lajnah al-Bayan al-Arabi, h. 219
171
Diantara para rawi yang periwayatannya didengar oleh ath-Thabari dan temannya, sehingga ia menggunakan kata haasana, adalah Khalid bin Aslam, Abu Kuraib, Muhammad bin
Hammad ar-Razi, Sa’id bin Yahya bin Sa’id al-Amawi, Ubaidillah bin Muhammad al-Gurbani, Ismail bin Musa as-Suda, Ibnu al-Barq, Rabi bin Sulaiman, Muhammad in Marzuq, Muhammad
bin al-Musanna, Muhammad bin al-A’la al-San’ani, Umar bin Usman al-Usmani, Yahya bin Dawud al-wasiti, Ahamad bin Abd Ad-Dabbi, Sa’id bin ar-Rabi, dan Muhammad bin Basyir.
Adapun para rawi yang didengar oleh ath-Thabari saja, sehingga ia menggunakan kata haasani adalah Ubaidillah bin Asbat, Yunus bin Abd al-A’la, Ahmad bin al-Mansyur, Muhammad bin Abi
Mukhallad al-Wasiti, ar-Rabi bin Sulaiman, Abu al-Sa’ib Salim bin Janadah as-Sawa’I, Muhammad bin Hammid ar-Razi, Ya’qub bin Ibrahim, dan Sa’id ar-Rabi. Lihat al-Hufi, ath-
Thabari, al-Majelis al-A’la li Asy-Syu’un al-Islamiyyah, Kairo, 1987.
96 fulan seorang hamba ath-Thabari berkata, “Aku lupa namanya, dari Sulaiman
bin Sarud, dari Abi Ka’ab. Ia berkata, “….”
172
Dalam meruntut para rawi, ath-Thabari umumnya menggunakan sighat tahdis haddasana atau haddasani, suatu lafaz periwayatan yang lebih
menyakinkan kepada kita bahwa rawi-rawinya mendengar langsung dari guru yang pernah memberitakannya.
173
Lain halnya dengan Ibnu Katsîr, sebagaimana telah diterangkan dalam pembahasan biografi, disamping sebagai ahli tafsir, ia juga sebagai sejarawan.
Dalam menafsirkan al-Quran, biasanya seorang sejarawan lebih menonjolkan aspek sejarah daripada tafsirnya itu sendiri atau tidak melakukan penelitian
terhadap data sejarah yang dikumpulkannya. Ibnu Katsir ternyata tidak termasuk ke dalam kategori ini. Sebab, disamping sebagai sejarawan, ia pun
sebagai ahli hadis yang mengetahui kelemahan dan kekuatan sebuah riwayat. Kedalaman ilmunya sebagai ahli hadis dapat mengendalikannya untuk tidak
sekedar mengemukakan sebuah data sejarah, tetapi juga menyertakan informasi kualitasnya. Prinsip itu secara konsisiten diterapkannya dalam
mengemukakan Israiliyyat. Ketika mengemukakan Israiliyyat, Ibnu Katsîr memandang dari tiga
sudut pandang yang berbeda, yakni:
172
Lihat Ath-Thabari, , Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil al-Quran, Bairut Dar al-Fiqr, Jilid I, h.3
173
Dalam ilmu hadis dikenal dua kelompok lafaz bagi para rawi untuk meriwayatkan hadis. Pertama, lafaz yang menunjukkan bahwa para perawinya mendengar langsung dari
gurunya, seperti sami’tu sami’na, haasani, dan haasana. Kedua, lafaz yang menunjukkan bahwa para perawinya mungkin mendengar sendiri atau tidak mendengar sendiri dari gurunya, seperti
ruwiya, hukiya, an dan anna. Lihat Fathurrahman, Ikhtisar Musthalahu’l Hadis, PT Al-Ma’arif, Bandung, 1987, h. 220-222
97 1. Sudut pandang sanad.
Ketika mengemukakan Israiliyyat, ia kerapkali menggunakan istilah nakara munkar, mukhtakif li an-nash bertentangan dengan nash,
dha’if jiddan sangat lemah, dan la ashla lah tidak memiliki sumber untuk menunjukkan kedha’ifannya.Ia mengemukakan berbagai kelemahan
Israiliyyat berdasarkan penelitiannya. Ia mengkritik perawi-perawi yang dianggap memiliki kelemahan-kelemahan tertentu serta memperlihatkan
riwayat yang palsu dan lemah. Karena itu ia sering menggunakan istilah nakara munkar, mukhtakif li an-nash bertentangan dengan nash, dhaif
jiddan sangat lemah, dan la ashla lah tidak memiliki sumber untuk menunjukkan kedha’ifannya.
Contohnya ketika menafsirkan sûrah al-A’raf[7] ayat 157 :
“yaitu orang-orang yang mengikuti Rasûl, Nabi ummy yang namanya mereka dapati di dalam Taurat dan Injil yang berada disisi mereka. Nabi
menyuruh mereka mengerjakan perbuatan ma’ruf dan melarang perbuatan munkar serta menghalalkan bagi mereka segala yang baik.”
98 Ketika menafsirkan ayat itu, Ibnu Katsîr mengutip Israiliyyat yang
disampaikan oleh ath-Thabârî, dari al-Mutsanna, dari Usman bin Umar, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali, dari Atha bin Yassar, ia berkata:
“Aku bertemu dengan Abdullah bin Umar bin Ash dan bertanya kepadanya, “Ceritakanlah olehmu kepadaku tentang sifat Rasûlullah Saw
yang diterangkan dalam Taurat.” Ia menjawab, “Tentu, demi Allah, yang diterangkan dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam al-Quran:
Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara yang Ummi. Engkau
adalah hamba-Ku; namamu dikagumi; Engkau tidak kasar dan tidak keras. Allah tidak akan mencabut nyawamu sebelum agama Islam tegak lurus,
yaitu setelah diucapkan tiada Tuhan yang oatut disembah dengan sebenar- benarnya kecuali Allah. Dengan perantaraan engkau pula Allah akan
membuka hati yang tertutup, membuka telinga yang tuli, dan membuka mata yang buta.”
174
Ibnu Katsîr mengaitkan Israiliiyyat itu dengan pernyataan bahwa Imam Bukhari telah meriwayatkannya dalam kitab Shahih-nya yang
diterima dari Muhammad bin Sinan, dari Fulaih, dari Hilal bin Ali dengan tambahan redaksi yang berbunyi, “Dan bagi sahabat-sahabatnya di pasar,
Nabi tidak pernah membalas keburukan dengan keburukan, tetapi ia senantiasa mempunyai sifat pemaaf.”
175
Keberadaan Israiliyyat itu dalam Sahih al-Bukharî cukup membuktikan bahwa kualitas sanadnya sahih.
2. Sudut pandang persesuaian dengan syari’at Islam. Contoh Israiliyyat dalam tafsir Ibnu Katsîr yang sesuai dengan
syariat Islam adalah menjelaskan sifat-sifat Nabi yang pemurah, tidak kasar dan tidak keras.
176
Israiliyyat ini sesuai dengan syariat Islam
174
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253.
175
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253.
176
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid II, h. 253.
99 sebagaimana terdapat pada: Q.S. al-Maidah[5] : 21, Q.S. al-Araf[7] : 187,
Q.S. al-Baqarah[2]: 119, dan Q.S. Yusuf[12]: 28. Adapun Israiliyyat dalam tafsir Ibnu Katsîr yang bertentangan
dengan syariat Islam dapat dilihat pada contoh berikut: Israiliyyat yang disampaikan oleh Ath-Thabrani, dari Basyîr, dari Yazîd,
dari Sa’id, dari Qatadah berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman a.s. yang terdapat pada sûrah Sad ayat 34:
“Dan sesungguhnya Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan dia tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh yang lemah karena sakit
kemudian ia bertobat.”
Israiliyyat itu menjelaskan bahwa ada seseorang berkata kepada nabi Sulaiman a.s. bahwa di dasar laut terdapat setan yang bernama Syahr
al-Maridhah batu durhaka. Nabi Sulaiman lalu mencarinya dan di sisi laut ternyata ada sebuah sumber mata yang memancar satu kali dalam
seminggu. Pancarannya sangat jauh dan sebagiannya berubah menjadi arak. Ia berkata, “Sesungguhnya engkau arak adalah minuman yang
sangat nikmat hanya saja menyebabkan orang sabar mendapat musibah dan orang bodoh bertambah kebodohannya.” Ia kemudian pulang, tetapi
dalam perjalanannya ia merasakan dahaga yang sangat dan kembali ke sumber mata air. Ia meminum air arak hingga hilanglah kesadarannya.
Dalam kondisi seperti itu, ia melihat cincinnya dan merasa terhina karenanya. Lalu dilemparlah cincin itu ke laut dan dimakan seekor ikan
sehingga hilanglah seluruh kerajaannya karena kekuasaannya terdapat
100 cincinnya itu. Setan lalu datang menyerupainya dan duduk di atas
singgasana nabi Sulaiman.
177
Israiliyyat itu jelas merupakan cerita palsu yang dibuat-buat. Karena sangat mustahil apabila nabi Sulaiman minum arak yang jelas akan
merusak kesehatan dan kesadarannya. Atas kepalsuan itu, Ibnu Katsîr berkomentar demikian, “Pada dasarnya, Israiliyyat ini berasal dari Ibnu
Abbas yang diperolehnya dari Ahli Kitab, sedangkan di antara mereka ada yang tidak mempercayai kenabian Sulaiman. Israiliyyat ini jelas munkar.
Apalagi Israiliyyat yang menjelaskan tentang istri-istri nabi Sulaiman yang digauli setan. Israiliyyat ini secara panjang lebar telah dipaparkan oleh
sekelompok ulama salaf. Seperti Sa’id bin al-Musayyab, Zaid bin Aslam, dan lain-lain. keseluruhannya berasal dari Ahli Kitab.
178
3. Sudut pandang materi. Contohnya Israiliyyat yang berhubungan dengan hukum dapat
dilihat ketika Ibnu Katsîr menjelaskan sûrah al-Mâidah[5] ayat 13,
“Mereka suka mengubah perkataan Allah dari tempat-tempatnya.” Untuk menjelaskan ayat di atas, Ibnu Katsîr mengutip Israiliyyat
yang berasal dari Malik, dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa orang-orang Yahudi datang kepada Nabi dengan membawa dua
orang laki-laki dan seorang wanita yang telah berbuat zina. Nabi bertanya, “Bagaimana tindakan kalian terhadap orang yang telah berbuat zina?”
177
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid IV, h. 34.
178
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-Adzim, Alam al-Katib, Beirut, 1983, Jilid IV, h. 36
101 mereka menjawab, “Kami pukuli dan siram kepalanya dengan air panas.”
Nabi bertanya lagi, “Apakah kalian tidak menemukan aturannya dalam Taurat?” mereka menjawab, “Kami tidak menemukannya.” Abdullah bin
Salam kemudian membantahnya, “Kalian telah berdusta. Ambil dan bacalah kitab itu jika kalian termasuk orang-orang yang benar.” Ketika
membaca ayat tentang rajam, ia berhasil membaca aturan itu. Ia kemudian bertanya kepada mereka, “Ayat tentang apakah ini?” ketika melihatnya,
mereka katakana bahwa ayat itu bicara tentang rajam. Nabi memerintahkan keduanya untuk dirajam.
179
Uraian di atas telah memperlihatkan sisi perbedaan antara kedua mufassir dalam mengemukakan riwayat Israiliyyat. Namun, keduanya
memiliki kesamaan menyangkut tema-tema Israiliyyat yang dikutip mereka. Sebagai tafsir yang sama-sama menggunakan corak bi al-ma’tsur, tidak
menutup kemungkinan sebagian besar riwayat Israiliyyat dalam Tafsir Ibnu Katsir diambil dari Tafsir Ath-Thabari, Karena ia Ibnu Katsîr ingin
menjelaskan israiliyyat yang lalu dari tafsir Ath-Thabari. Oleh karena itu, tidak jarang ditemukan bahwa rangkaian sanad-sanad Israiliyyat dalam Tafsir
Ath-Thabari merupakan salah satu rangkaian sanad-sanad riwayat Israiliyyat yang terdapat dalam Tafsir Ibnu Katsir.
C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat