69 Jabbarin. Salah satu dari mereka adalah Iwaj yang tingginya mencapai
3330 hasta. Berita ini sangat memalukan karena bertentangan dengan sabda nabi
130
: ”Sesungguhnya Allah menciptakan adam setinggi 60 hasta. Setelah
nabi Adam, maka tinggi manusia terus berkurang sampai sekarang.” Rasyid Ridha menyatakan bahwa riwayat tentang Jabbarin
merupakan khurafat yang disebarkan oleh orang Yahudi ke tengah- tengah umat Islam. Sehubungan dengan persoalan ini, al-Alusi pun
mengatakan bahwa cerita tentang Iwaj merupakan cerita rekaan Ahli Kitab yang tidak terdapat dalam kitab suci mereka. Dengan mengutip
pendapat Ibnu Qayyim, ia pun mengatakan bahwa riwayat tentang hal itu palsu maudhu’ dan merupakan hasil perbuatan orang kafir zindik
yang bermaksud mengolok-olok dan mempermainkan para Rasul yang mulia. Cerita ini dipandangnya sebagai khurafat yang tidaak memiliki
sumber.
131
2. Kisah Harut Marut
a. Q.S. al-Baqarah[2] : 101-103
130
Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qurân al-Azîm, Alam al-Katib, Beirut, 1983, h. 37-38
131
Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani fî TAfsîr Al-Qurân Al-Azim wa As-Sab’I Al-Matsani, Cetakan Muniriyyah, Juz VI, h. 86-87
70
“Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa Kitab yang ada pada mereka, sebahagian dari
orang-orang yang diberi Kitab Taurat melemparkan Kitab Allah ke belakang punggungnya, seolah-olah mereka tidak mengetahui
bahwa itu adalah Kitab Allah. Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman dan mereka
mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir
132
, padahal Sulaiman tidak kafir Tidak mengerjakan sihir, Hanya syaitan-syaitan
lah yang kafir mengerjakan sihir. mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seorangpun sebelum mengatakan: Sesungguhnya
kami Hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kafir. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu,
132
Sihir mengandung beberapa arti, Pertama,menipu mata orang dan menghayalkan sesuatu yang bukan sebenarnya, seperti yang diperbuat oleh pemain sulap. Jika sihr itu tidak
merusak orang, maka hukumnya tidak haram. Kedua,sihir bermakna perkataan yang indah, manis, menarik hati pendengarnya sehingga mereka dengan terpesona mengikuti perkataan itu. Kalau
tujuan perkataan itu unuk menerima suatu kebenaran, maka hukumnya halal, tetapi kalau tujuannya untuk fitnah,mengadu domba supaya bercerai, maka hukumnya haram. Ketiga, minta
pertolongan kepada syeitan dan mengabdi kepadanya dengan memuja maka sihir seperti ini haram hukumnya, bahkan mengkafirkan karena mempersekutukan Allah dengan syeithan. Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim, Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah, 2006, h. 151.
71 mereka dapat menceraikan antara seorang suami dengan isterinya.
dan mereka itu ahli sihir tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka
mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka Telah meyakini
bahwa barangsiapa yang menukarnya Kitab Allah dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan
mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka Mengetahui. Sesungguhnya kalau mereka beriman dan bertakwa, niscaya mereka
akan mendapat pahala, dan Sesungguhnya pahala dari sisi Allah adalah lebih baik, kalau mereka Mengetahui.”
b. Ringkasan Kisah Harut Marut Banyak ilmuan yang meriwayatkan kisah Harut dan Marut
dalam versi Israiliyyat. para mufassir mengambil riwayat itu sebagai nara sumber dan menjadikan referensi dalam tafsir-tafsir mereka,
bahkan mereka menafsirkan kalam Allah dengannya.
133
Berikut adalah ringkasan cerita Harut dan Marut dalam versi Israiliyyat.
134
Para malaikat menghalang-halangi dipilihnya manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi dan mengutamakan manusia yang
beriman di atas derajat malaikat. Allah menerangkan kepada mereka bahwa manusia yang beriman lebih utama karena pada dirinya ada
syahwat dan kecendrungan untuk berbuat maksiat, tapi dia bersungguh-sungguh mengendalikan hawa nafsunya dan menahannya
hingga dia dapat beristiqamah dalam ketaatan kepada Allah.
133
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 18.
134
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 19-20.
72 Maka mereka malaikat-malaikat berkata, “Jika Engkau
jadikan syahwat dalam diri kami maka kami tidak akan berbuat maksiat.”
Maka dipilihlah dua malaikat di antara untuk menjalani ujian itu, yaitu Harut dan Marut. Allah menjadikan Syahwat dalam diri
mereka lalu mereka diturunkan ke bumi. Allah melarang mereka berbuat keji dan maksiat.
Akhirnya, turunlah keduanya di kota Babil dan mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Allah.
Hingga suatu hari, mereka melihat seorang wanita yang sangat cantik di kota itu, bahkan mungkin dialah wanita tercantik. Maka terbesitlah
dalam hati keduanya hasrat dan keinginan terhadap wanita itu. Mereka merayu wanita itu yang belum menjawab saat pertama
kalinya, tetapi wanita itu memberikan pilihan kepada mereka antara menyembah berhala, membunuh anak kecil, atau meminum khamar
sebelum mereka memiliki wanita itu. Maka berkatalah mereka, “Menyembah berhala adalah
perbuatan kufur, membunuh anak kecil termasuk dosa besar, sedangkan minum khamar hanyalah dosa yang kecil.” Maka mereka
memilih meminum khamar. Setelah meminum khamar itu, mereka pun mabuk, akibatnya mereka lalu membunuh anak kecil dan menyembah
berhala. Kemudian terjerumuslah mereka dalam kekejian bersama wanita itu.
73 Maka dicabutlah ismul a’zam sifat kemalaikatan dari mereka
yang dulunya dengan asma itu mereka dapat naik dan terbang ke langit.
Kemudian Allah mengubah wanita itu menjadi bintang yang terang di langit, dikenal dengan nama az-Zahra, sebuah bintang yang
beredar yang merupakan salah satu dari kumpulan bintang-bintang di sekitar matahari.
Adapun Harut dan Marut, Allah murka kepada mereka. Karena mereka terjerumus ke dalam dosa, lalu memberikan pilihan antara azab
di dunia dan azab di akhirat. Maka mereka memilih azab di dunia karena azab di dunia hanyalah sementara dan mereka bisa selamat
pada hari kiamat nanti. Kemudian digantunglah mereka di angkasa Babil, yaitu antara langit dan bumi. Mereka tergantung di sana sejak
saat itu sampai hari kiamat. Di Babilonia, masih saja mereka mengajarkan sihir kepada
manusia walaupun mereka tengah diazab dan digantung di langit. Setiap orang yang ingin mempelajari sihir dan memperdalaminya akan
menemui mereka di kota itu dan belajar dari kedua malaikat itu. c. Komentar Ibnu Jarîr dan Ibnu Katsîr
Ulama-ulama peneliti menolak kisah itu dan menganggapnya batil dari segi sanad dan maknanya.
135
Setelah menolak riwayat itu, Ibnu Katsîr berkata, “Kisah Harut dan Marut ini telah diriwayatkan
135
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.
74 oleh banyak orang dari kalangan tabi’in, seperti mujahid as-Sudai,
Hasan al-Bashri, Qatadah, Ubay al-Aliyah, az-Zuhri, ar-Rabi bi Anas, dan Muqatil bin Hayyan serta yang lainnya, juga sekelompok imam
dari kalangan mufasirin yang terdahulu dan kotemporer ikut menceitakannya. Dan hasilnya, ternyata perincian kisah ini bersumber
dari berita-berita keturunan Yahudi, di mana tidak ada satu pun di dalamnya hadis yang marfu’ dan sahih yang bersambung sanadnya
kepada Rasûlullah Saw. beliau yang benar dan membenarkan wahyu serta terjaga dari perbuatan maksiat yang tidak berkata menurut hawa
nafsunya. Yang dapat kita lihat dari susunan cerita di dalam al-Quran adalah cerita umum tanpa keterangan lebih lanjut dan tanpa
hiperbolisme cerita maka kita beriman dengan apa yang diturunkan dalam al-Quran, dengan apa yang diinginkan Allah Ta’ala, dan hanya
Allah-lah yang mengetahui hakikat keadaannya.”
136
Dalam kitab tarikh karangannya, al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menulis ringkasan cerita Harut dan Marut dengan versi
Israiliyyat ini, kemudian mengkaitkannya dengan perkataannya, “Sedangkan apa yang banyak disebutkan oleh para mufasirin dalam
kisah Harut dan Marut, bahwa az-Zahra adalah seorang wanita yang dirayu dua malaikat itu dan dia menolak kecuali jika mereka mau
mengajarkannya ismul a’zam hingga kemudian mengajarkannya, lalu diucapkannya, dan dia dinaikkan ke langit menjadi bintang. Semua ini
saya perhatikan hanyalah karangan orang-orang Yahudi. Kalaupun
136
Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-Azhim, Jilid I, h. 141
75 Ka’ab Ibnul Ahbar menuliskannya dalam beberapa bukunya dan
beberapa kelompok salaf lainnya belajar dari dia tentang hal ini, tetapi mereka mengemukakannya dengan cara menghikayatkan saja dan
mengatakan bahwa cerita itu bersumber dari Bani Israel.”
137
Setelah itu, beliau berkata, “Dan jika berbaik sangka, mungkin kita mengatakan bahwa ini adalah sebagian dari kabar Bani Israel
seperti riwayat Ibnu Umar dari Ka’ab Ibnul Ahbar terdahulu dan mungkin dari khurafat mereka yang tidak mereka percayai.”
138
Imam Ahmad Muhammad Syakir mengamati tentang versi Israil itu pada tiga hal, yaitu
139
: 1. Dalam
penegasannya terhadap
banyaknya riwayat
yang dikemukakan ath-Thabâri di mana beliau berkata, “Berita-berita
dalam kisah Harut dan Marut dan cerita bahwa sesungguhnya ada seorang wanita lalu diubah rupanya menjadi bintang adalah berita-
berita yang diilatkan oleh ahli ilmu dengan hadis.” 2. Dalam ringkasan tafsir Ibnu Katsîr yang dinamakan Umdatut-
Tafsir ‘anil Hafiz Ibnu Katsîr, dia mengaitkan sanad riwayat- riwayat yang dikemukakan Ibnu Katsîr dengan apa yang termaktub
dalam kisah itu. Dalam hal itu, beliau mengaitkan sanad riwayat yang
disebutkan oleh Ibnu Katsîr dengan nukilan kutipan dari Ibnu Abî
137
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.
138
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 20.
139
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 21
76 Hatîm dalam komentarnya sebagai berikut, “Isnad yang dikutip
Ibnu Katsîr-sedangkan kami menghapusnya-adalah benar. Isnad ini berhenti pada perkataan Ibnu Abbas. Kami pun berhenti sampai di
situ dan tidak mengatakan apa pun. Ibnu Katsîr telah memperpanjang penyalinan kabar-kabar seperti ini, semoga Allah
merahmati dan juga diri kami dan mengampuni kami semua.” Syakir juga menunjukkan sebab-sebab pengutipannya
terhadap versi Yahudi yang batil tersebut dalam bukunya, Umdatut-Tafsir, sebagai berikut, “Saya pernah berkeinginan
membuang hadis ini juga dari kitab Umdatut-Tafsir seperti apa yang telah saya syaratkan dalam mukadimah, tetapi saya melihat
bahwa makna hadis tersebut telah berimbas dalam cerita-cerita banyak orang dan dalam apa yang mereka tulis, dan semua itu
harus diterangkan maka saya mengerjakan apa yang terbaik, kemudian saya tidak menggunakan apa-apa yang telah
diperpanjang oleh Ibnu Katsir walaupun tidak memperpendek keterangan tentang cacatnya. Semoga Allah merahmatinya.”
3. Dalam penjelasan dan pengamatannya terhadap musnad Imam Ahmad bin Hambal, dalam sanadnya sebuah hadis marfu’ dari Ibnu
Umar r.a., dan itulah yang menyebabkan sebagian dari mereka ulama mengenggapnya benar.
Ahmad Syakir mengakhiri komentarnya dengan ungkapan, “Semua ini menguatkan apa yang telah dikuatkan oleh Ibnu Kasir,
77 ‘Sesungguhnya hadis ini bersumber dari cerita-cerita Yahudi yang
disampaikan Ka’abul Ahbar. Sebenarnya itu bukanlah hadis marfu’ dari Nabi Saw. Barangsiapa yang merafa’kannya maka dia telah
berbuat salah dan lalai. Orang-orang yang meriwayatkannya dari kisah-kisah Ka’abul Ahbar dengan lebih menjaganya dan
mempercayainya lebih dari orang yang meriwayatkan secara marfu’ maka dia lebih parah dari Imam yang hafidz dan jalil.”
140
Para ahli tafsir berusaha memahami firman Allah, “Dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil,
yaitu Harut dan Marut” al-baqarah: 102, mereka telah sepakat bahwa huruf wawu pada kalimat ‘Wa ma unzila’ adalah ‘aatifah
dan kalimat ini ma’thuf kepada kalimat sebelumnya. Tetapi mereka berbeda pendapat dalam kalimat yang di-‘athaf-kan
kepadanya. Ini karena perbedaan mereka tentang huruf maa, apakah itu huruf nafi yang bermakna lam ‘tidak’ atau ism maushul
yang berarti ‘yang’. Ibnu Abbas mengatakan maa di sini berarti mengingkari dan menafikan. Ia adalah huruf nafi yang berarti lam
‘tidak’.
141
Ath-Thabârî menjelaskan pendapat ini, “Maka takwil ayat ini berdasarkan arti ini,adalah, ‘Dan mereka mengikuti sihir yang
dibacakan oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman
140
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 22
141
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
78 sedangkan Sulaiman tidak kafir tidak mengerjakan sihir, dan
Allah tidak menurunkan sihir kepada dua malaikat itu, tetapi setan- setan itulh yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia di
negeri Babil, yaitu Harut dan Marut.’ Dengan demikian kalimat “Di kota Babil Harut dan Marut” adalah kalimat yang diakhirkan,
tetapi maknanya didahulukan.
142
Dengan pendapat ini maka yang dimaksud dengan ‘dua malaikat’ itu adalah Jibril dan Mikail. Sedangkan Harut dan Marut
adalah nama dua orang laki-laki dari golongan setan dan keduanya mengajarkan sihir kepada manusia di kota Babil.
Dengan pendapat ini pula maka kalimat itu ma’thuf kepada kalimat ‘maa kufru Sulaiman’ berarti bahwa al-Quran membantah
kafirnya Sulaiman dan turunnya sihir kepada dua malaikat di kota Babil. Akan tetapi, setan-setan itu berdusta dan menuduhkan sihir
dan kekafiran itu atas diri Sulaiman a.s., dan menuduh turunnya sihir kepada dua malaikat di kota Babil.
143
Pendapat ath-Thabârî mengatakan bahwa maa adalah ism mausul yang berarti alladzi yang. Pendapat ini dinisbahkan ath-
Thabari kepada Abdullah bin Mas’ud, Qatadah, az-Zuhri, as-Suddi dan yang lainnya.
144
142
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
143
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
144
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 31.
79 Ath-Thabari berkata dalam penjelasannya tentang pendapat
ini, “Maka makna ayat berdasarkan pendapat ini adalah, ‘Dan kaum Yahudi mengikuti yang dibaca setan-setan itu pada masa
kerajaan Sulaiman dan mengikuti yang diturunkan kepada dua malaikat di kota Babil, yaitu Harut dan Marut.’ Ath-Thabari
cendrung pada pendapaat ini. Tetapi, Ibnu Katsir mengkritik gurunya, yakni ath-Thabari dan menyanggah pendapatnya serta
mengaitkan kepadanya suatu pendapat, kemudian Ath-Thabari mengajukan sanggahan atas pendapat ini bahwasannya maa berarti
alladzi dan beliau memperpanjang pendapatnya dalam hal itu dan mengatakan bahwa Harut dan Marut itu adalah dua malaikat yang
diturunkan Allah ke bumi. Dia mengizinkan keduanya
mengajarkan sihir sebagai cobaan dan ujian bagi hamba-hamba- Nya, setelah menerangkan kepada hamba-hamba-Nya bahwa itu
adalah termasuk dalam larangan-Nya atas lisan para Rasul. Beliau juga menganggap bahwa Harut dan Marut taat pada ketentuan itu
karena keduanya menaati apa yang diperintahkan-Nya.
145
Akan tetapi, Ahmad Syakir mengaitkan pendapat Ibnu Katsîr dangan pendapatnya, “Bukannya aku mengingkari apa yang
dikatakan Abû Ja’far seperti halnya Ibnu Katsîr, jika Anda meneliti pendapat Abu Ja’far, Anda akan mendapatkan hujah yang jelas
tentang kebenaran pendapat yang dianutnya, ketelitiannya dalam
145
Dr. Shalah Abdul Fattah al-Khalidy, “Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang- Orang Dahulu”,jilid III, terj. Setiawan Budi Utomo, Gema Insani Press, 1996, h. 32.
80 menjelaskan makna dan mengatur lafal-lafalnya dan Anda hampir
tidak menemuinya selain dalam tafsir yang mlia dan agung ini.”
146
3. Dzulqalnain