Israiliyyat dalam tafsir ath-thabari dan Ibnu Kastir (sikap ath-Thabari dan Ibnu Katsir terhadap penyusupan Israiliyyat dalam tafsirnya)

(1)

ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI

DAN IBNU KASTIR

(Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap

Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta Untuk memenuhi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana Theologi Islam (S.TH.I)

Oleh:

Nur Alfiah

(106034003549)

JURUSAN TAFSIR HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H/2010 M


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul ISRAILIYYAT DALAM TAFSIR ATH-THABARI DAN

IBNU KATSIR; Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakarta, 20 Desember 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota

Prof. Dr. M. Ikhsan Tanggok, M.Si. Muslim, S. Th.I.

NIP: 19651129 199403 1 002

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Dr. M. Suryadinata, MA. Dra. Hermawati, MA.

NIP: 19600908 198903 1 005 NIP: 19541226 198603 2 002

Pembimbing,

Dr. Faizah Ali Syibromalisi, MA. NIP: 19550725 20001 2 001


(3)

KATA PENGANTAR

.

Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terucap selain pujian dan rasa syukur kehadirat Allah SWT. Atas izin, rahmat, hidayah serta karunian-Nya, sehingga penulis diberikan jalan kemudahan dan kemampuan untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam, semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, seorang Nabi pembawa perubahan, Sang revolusioner dalam segala aspek kehidupan dan rahmat sekalian alam dan seorang teladan yang sempurna hingga akhir zaman.

Skripsi yang berjudul “Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabarî dan Ibnu Katsîr (sikap Ath-Thabarî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Israiliyyat Dalam Tafsirnya)”. Skripsi ini merupakan perjalanan akhir Penulis setelah sekian tahun menuntut ilmu di bangku perkuliahan guna memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) di Fakultas Ushuluddin pada Jurusan Tafsir Hadis Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kesulitan yang dirasakan menghambat penyelesaian skripsi ini. Namun, berkat do’a, dorongan dan bantuan dari berbagai pihak penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(4)

Oleh karena itu, dengan segala hormat dan kerendahan hati kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian skripsi ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Zainun Kamal, M.A, beserta para Pembantu Dekan

2. Dr. Bustamin, M.Si Ketua Jurusan Tafsir–Hadis, Dr. Ummi Kaltsum, M.A, Sekretaris jurusan Tafsir-Hadis.

3. Dr. Faizah Ali Syibromalisi, sebagai pembimbing penulis, yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesain skripsi ini.

4. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, Khususnya dosen-dosen Tafsir-Hadis yang telah banyak berbagi ilmu kepada penulis, sehingga berkat merekalah penulis mendapat setetes dari samudra Ilmu yang sangat bermanfaat. 5. Kepada keluarga besar H. Zaini dan H. Ahmad, terutama ayahandaku,

ibundaku, nenekku serta adik-adikku tersayang (Umar Zein dan Abdullah Zein), yang telah banyak memberikan semangat dan mendo’akan penulis dalam penyeselasian skripsi ini.

6. Kepada sahabat-sahabatku tercinta, Ahmad Fauzan, Monaya Fattiyyah, Suryadi, Gilang, M.Yusuf, Mele dan khususnya Agung Satya, yang telah memberikan semangat penuh dalam pembuatan skripsi ini.

7. Teman-teman penulis yang terkasih Riry, Kokom, Nur, Lia, Dayah, bang Juri, mereka banyak memberika inspirasi untuk penulis. Untuk Rahmi, Ziah, Zaenal, Tomi, Soimmuddin, Rahmat, Rizki, Syafiq, Mukhtar, Sule’, seluruh mahasiswa Tafsir-Hadis angkatan 2006/2007, khususnya TH B


(5)

satu dari ku untuk kalian semua ingat, kebersamaan kita begitu indah dan tak akan bisa terlupakan.Thank you all for being such amazing friends of me and support me for this journey. You are everything in my live.

Akhirnya penulis pun menyadari dengan wawasan keilmuan penulis yang masih sedikit, referensi dan rujukan-rujukan lain yang belum terbaca, menjadikan penulisan ini jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis telah berupaya menyelesaikan skripsi ini semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan penulis sebagai manusia biasa. Oleh karena itu, penulis meminta saran dan kritik yang membangun dari pembaca sebagai bahan perbaikan penulisan ini. Penulis berharap semoga Allah Swt, memberikan balasan yang lebih baik dari semua pihak pada umumnya.

Dengan segala kerendahan hati yang penulis miliki, penulis ingin menyampaikan harapan yang begitu besar semoga skripsi ini bermanfaat buat segenap pembaca, semoga juga setiap bantuan yang diberikan kepada penulis mendapat imbalan dari Allah Swt, karena hanya pada Allah jugalah penulis memohon, semoga jasa baik yang kalian sumbangkan menjadi amal shaleh dan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah Swt. Amin ya Rabb..

Jakarta, Desember 2010


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI... vi

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

C. Ruang Lingkup Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka... 11

E. Metodologi Penelitian ... 12

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II: SEKILAS TENTANG IBNU JARIR ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR A. Ibnu Jarir Ath-Thabari... 15

1. Riwayat Hidup ath-Thabari... 15

2. Karya-Karya Ath-Thabari ... 19

3. Metode Penulisan Tafsir Jami Al-Bayan ... 24

B. Ibnu Katsir... 29

1. Riwayat Hidup Ibnu Katsir ... 29

2. Karya-Karya Ibnu Katsir... 30

3. Metode Penulisan Tafsir Al-Quran Al-Adzim... 33

BAB III: SEKILAS TENTANG ISRAILIYYAT A. Pengertian Israiliyyat ... 39

B. Masuknya Israiliyyat ke Dalam Tafsir ... 44

C. Klasifikasi Israiliyyat ... 47

D. Hukum Meriwayatkan Kisah-Kisah Israiliyyat ... 51

E. Perawi Riwayat Israiliyyat ... 54

1. Perawi Dari Kalangan Sahabat ... 55


(7)

3. Prawi Dari Kalangan Pengikut Tabi’in... 58

F. Pandangan Ulama Terhadap Riwayat Israiiliyyat... 59

BAB IV: PERBANDINGAN ANALISA SIKAP ATH-THABARI DAN IBNU KATSIR TERHADAP ISRAILIYYAT A. Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Israiliyyat Dalam Tafsirnya ... 62

1. Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun... 62

a. Q.S. Al-Maidah[5] : 20-26 ... 62

b. Ringkasan Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat puluh Tahun ... 64

c. Komentar Ibnu jarir dan Ibnu Katsir... 67

2. Kisah Harut dan Marut... 69

a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 101-103... 69

b. Ringkasan Kisah Harut dan Marut... 71

c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ... 73

3. Dzulqarnain ... 80

a. Q.S. Al-Kahfi[18] : 83 ... 80

b. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir ... 80

4 . Kisah Sapi Betina Bani Israel. ... 85

a. Q.S. Al-Baqarah[2] : 67-74... 85

b. Ringkasan Kisah Sapi Betina Bani Israel... 87

c. Komentar Ibnu Jarir dan Ibnu katsir ... 88

B. Analisa Perbandingan Sikap Ath-Thabari dan Ibnu Katsir Terhadap Penyusupan Israiliyyat ... 91

C. Pandangan Ulama Dalam Menyikapi Israiliyyat ...101

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan ...106

B. Saran-Saran ...107


(8)

PEDOMAN TRANSLITERASI1 Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan

B be

T te

Ts te dan es

J Je

H h dengan garis bawah

Kh ka dan ha

D da

Dz De dan zet

R Er

Z Zet

S Es

Sy es dan ye

S es dengan garis bawah

D de dengan garis bawah

T te dengan garis bawah

Z zet dengan garis bawah

‘ koma terbalik keatas, menghadap ke kanan

Gh ge dan ha

F Ef

Q Ki

K Ka

L El

M Em

N En

W We

ـ ﻫ H Ha

‘ Apostrof

Y Ye

1

Pedoman ini disesuaikan dengan pedoman akademik fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006/2007, hal. 101 - 105


(9)

Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya adalah sebai beeriku:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

___َ

___ a fathah

___ِ___ i kasrah

___ُ

___ u dammah

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي __َ__ ai a dan i

__َ __

و au a dan u

Vokal Panjang (Madd)

Ketentuan alih aksara vokal panjang (Madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ﺎ َـ ـ â a dengan topi di atas

ﻲ ـ ـ î i dengan topi di atas

ﻮ ـ ـ ـ û u dengan topi di atas

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/ , baik diikuti oleh huruf syamsyiah maupun qamariyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân

bukanad-dîwân.

Syaddah (Tasydid)

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu


(10)

dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kaata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya yang secaraa lisan berbunyi ad-daruurah, tidak ditulis “ad-darûrah”, melainkan “al-darûrah”, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika hurufta marbûtahterdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan manjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jikata marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat(na’t)(lihat contoh 2). Akan tetapi, jika hurufta marbûtahtersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebutdialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih aksara

1 ﺔ ﻘ ﻳ ﺮ ﻃ tarîqah

2 al-jâmî ah al-islâmiyyah

3 wahdat al-wujûd

Huruf Kapital

Meskipun dalam tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam alih aksara ini huruf capital tersebut juga digunakan, dengan memiliki ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara lain yang menuliskan kalimat, huruf awal nama tempat nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâli bukan Abû Hamid Al-Ghazâli, al-Kindi bukan Al-Kindi.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Quran adalah kalam Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada nabi Muhammad Saw, penutup para Nabi dan Rasûl dengan perantara malaikat Jibril alahis salam, dimulai dengan surat al-Fâtihah dan diakhiri dengan surat an-Nâs.2 Al-Quran merupakan suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan dengan terperinci.

Sebagaimana Allah berfirman dalam sûrah Hûd ayat 1 :

























“Alif laam raa, (Inilah) suatu Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu.”

Al-Quran adalah satu-satunya pesan samawi yang mampu menjaga orisinalitasnya sepanjang sejarah. Al-Quran telah mengarungi jalan panjang sejarah dengan selamat, selalu sesuai dengan zaman. Kitab ini terjaga dari segala bentuk manipulasi dan kerusakan zaman. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Hijr ayat 9:

























“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.”

2

Prof.Dr.Muhammad Ali Ash-Shaabuuniy,Studi Ilmu al-Quran, (Bandung: CV Pustaka


(12)

Redaksi ayat di atas mengandung penekanan (ta’kid) bila dilihat dari beberapa segi yang diketahui oleh para pengkaji sastra Arab, diantarannya: penggunaan redaksi ilmiah (redaksi yang menggunakan kata kerja), serta memperkuatnya dengan huruf “Inna’’ dan masuknya ”Lam Muakkidah” terhadap kabar ”La Hâfidzun”.3 Redaksi ayat-ayat al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, tidak dapat diijangkau maksudnya secara pasti, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Hal ini kemudian menimbulkan keanekaragaman penafsiran.

Al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang mengandung banyak kemungkinan arti, dari khas dan ‘am, muthlak dan muqayyad, mantuq dan

mafhum.4 Semua itu ada yang dipahami dari isyarat dan ada yang dipahami dengan ibarat. Kemampuan manusia dalam memahami berbeda-beda. Ada yang memahami makna secara zahir, ada yang mampu memahami makna-makna yang dalam, dan ada yang mampu memahami bukan makna-makna sebenarnya. Kemudian al-Quran juga diturunkan berkenaan sesuatu sebab dan kejadian, jika hal itu diketahui akan menambah pemahaman dan membantu memahami al-Quran dengan benar.5

3

Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h.

39

4

Khas: Lafaz yang tidak menghabiskan semua apa yang pantas baginya. ‘Am: Lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya. Muthlaq: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat tanpa sesuatu pembatas. Muqayyadd: Lafaz yang menunjukkan suatu hakikat dengan batasan.

Manthuq: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz menurut ucapannya, yakni penunjukkan makna berdasarkan materi huruf-huruf yang diucapkan.

Mafhum: Makna yang ditunjukkan oleh lafaz tdak berdasarkan pada bunyi ucapan.

5

Yusuf Qardawi, Berinteraksi Dengan al-Quran, (Jakarta: Gema Insani Press), Cet I, h.


(13)

Penafsiran al-Quran tidak dapat dipisahkan dengan upaya memahaminya dalam rangka mengambil hidayah-Nya, karena upaya ke arah itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, terlebih Allah sendiri menyuruh hamba-hambanya terutama orang Islam untuk menerangkan kandungan-kandungan al-Quran.

Terdapat berbagai macam sumber yang dijadikan sandaran oleh para ulama dan ahli tafsir untuk memahami ayat-ayat al-Quran. Mereka berusaha untuk mengetahui pemahaman secara detail dan bisa diungkapkan dengan kata-kata yang sesuai. Hal ini diupayakan agar pemahaman terhadap al-Quran bisa dicapai oleh setiap manusia yang senang dengan al-Quran, agar manusia bisa membaca, memahami dan mengamalkan isi kandungan ayat-ayat al-Quran yang mengajak kepada kebaikan dunia dan akhirat.

Di antara sumber referensi yang dijadikan pegangan oleh para ahli tafsir dalam menafsirkan al-Quran antara lain riwayat dari Rasulullah saw tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran yang global secara penjelasan-penjelasan beliau tentang makna-makna ungkapan al-Quran secara terperinci.

Sebagai contoh, diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah Saw pernah ditanya oleh seorang laki-laki tentang maksud dari kataal Muqtasimîn

dalam surat al-Hijr ayat 90, Rasulullah menjawab bahwa yag dimaksud dalam ayat tersebut adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Lalu laki-laki itu bertanya lagi tentang apa maksud dari ‘’idhin’’ pada ayat selanjutnya (al-Hijr ayat 91),


(14)

Rasulullah menjawab bahwa yang dimaksud dengan kata itu adalah mereka yang beriman dengan sebagian ayat dan kafir dengan sebagian yang lain.6

Pada periode abad ke 8– 12M, tepatnya ketika Islam berada di bawah pemerintahan dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan dan kemajuan luar biasa. Dalam bidang ilmu agama, perkembangan dan kemajuannya ditandai oleh kemunculan ulama-ulama besar dengan karya-karyanya dalam bidang ilmu tafsir, hadis, qiraat, ilmu kalam, dan sejarah. Hal serupa terjadi juga pada bidang sains dan filsafat, serta ilmu-ilmu seperti kedokteran, optik, kimia dan matematika7.

Khusus dalam bidang ilmu tafsir, pengkajian dan pengembangannya telah mencapai bentuk sistematis, meskipun tentu saja tanpa menafikan kegiatan penafsiran yang sudah dimulai semenjak zaman Nabi. Para ulama tafsir telah sepakat bahwa kegiatan penafsiran al-Quran dimulai oleh Nabi sendiri. Kegiatan penafsiran pasca zaman Nabi kemudian dilanjutkan oleh para sahabat dan penggantinya dalam bentuk riwayat8.

Ibnu al-Nadhim mencatat bahwa al-Farra (W.207 H) telah berhasil menyusun kitab tafsir yang berjudul Ma’ani al-Quran sebanyak empat jilid. Sejumlah ulama tafsir besar lainnya yang hampir semasa dengan al-Farra adalah Syu’bah bin al-Hajjâj (w. 160 H), Waqi’Hamzah bin al-Jarrah (w. 197 H ), Syufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah (w. 205), dan Abd

ar-6 Prof.Dr. Mani ‘Abd Halim Mahmud,

Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006

7

Ahmad Amin, Dhuhha Al-Islam, Jilid II, Maktabah An-Nahdah Al-Misriyah, Kairo,

1939, hlm.13.

8

Ali Haan Al-Ridh,Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali


(15)

Razâq (w. 211 H), juga menghasilkan karya-karya besar, tetapi sangat disesalkan karya-karya mereka tidak dapat ditemukan lagi9.

Pengaruh keterbukaan Islam pada masa dinasti Abbasiyah terhadap berbagai kebudayaan luar, terutama kebudayaan Yunani yang memicu kelahiran mazhab rasional dalam Islam, yakni dipercayanya perkembangan tafsir dengan kemunculan orientasi penafsiran ittijah bi ar-ra’yi yang dipertantangkan dengan corak penafsiran bi al-matsur, yakni penafsiran al-Quran dengan menggunakan penjelasan-penjelasan al-al-Quran, sunnah Nabi, dan riwayat-riwayat yang berasal dari para sahabat dan tabiin. Para ulama umumnya melihat orientasi penafsiran kedua lebih baik dari pada yang pertama. Al-Qahthan umpamanya, memutuskan untuk mengikuti dan mengambil orientasi pertama karena merupakan cara penafsiran yang paling shahih dan paling aman dari kesalahan dan penyimpangan10. Penilaian itu ada benarnya jika yang dimaksud adalah tafsir bi al-matsur yang berisi riwayat-riwayat al-Quran sendiri. Akan tetapi, masalah lain ketika sesuai dengan definisinya dalam jenis tafsir ini juga termasuk riwayat-riwayat yang dinisbatkan dari Nabi, sahabat, dan tabi’in, yang kemungkinan besar terdapat penyimpang-penyimpangan generasi sesudahnya karena ambisi tertentu.

Dalam pertumbuhannya, tafsir bi-masur menempuh dua periode. Periode pertama, terjadi pada masa Nabi dan para sahabatnya yang berlangsung sekitar abad ke-1 dan ke-2 H. sedangkan periode kedua, adalah masa pengkodifikasian tafsir. Pada periode ini dibukukan semua hadis yang

9

Ibnu An-Nazhim,Al-Fihrits,Kairo, 1348 H., hlm. 99.

10

Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, Mansyurat Al-Ashr Al-Hadis,


(16)

diriwayatkan dari Nabi dan para sahabatnya, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 dan 200 H11. Penanggalan sanad-sanad periwayatan pada periode kedua menyebabkan banyak tersebar riwayat-riwayat yang kualitasnya tidak diseleksi ketat oleh sebagian ilmu tafsir. Kondisi ini akhirnya memberi peluang bagi hadis-hadis dan riwayat-riwayat palsu masuk kedalam tafsir yang telah terkondifikasikan itu12.

Dengan demikian orientasi pemikiran bi al-matsur bukan tanpa kelemahan. Yang dimaksud dengan kelemahan di sini adalah, telah disebutkan oleh adz-Dzahabi, Pertama, masuknya unsur-unsur musuh Islam. Kedua,

bercampurnya antara riwayat yang shahih dan bathil13. Masuknya Israiliyyat ke dalam Islam memang merupakan hal yang tidak dapat dihindari dari pembauran masyarakat muslim dengan komunitas Ahli Kitab disekitar jazirah Arab. Tafsir dan hadis, keduanya dipengaruhi oleh kebudayaan Ahli Kitab yang berisikan cerita-cerita palsu dan bohong. Israiliyyat juga dianggap mempunyai pengaruh yang buruk. Israiliyyat dituliskan pula oleh sebagian cendikiawan dengan mudah, sehingga kadangkala sampai pada keadaan diterima walaupun jelas lemah dan terang bohongnya. Padahal itu semua merupakan hal yang merusak akidah sebagian besar kaum muslimin, serta

11

Ali Haan Al-Ridh,Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali

Press, Jakarta, 1992, hlm.22-23.

12

Ali Haan Al-Ridh,Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, CV Rajawali

Press, Jakarta, 1992, hlm.47.

13


(17)

menjadikan Islam dalam pandangan musuh-musuhnya sebagai agama yang penuh khurafat dan hal-hal yang tidak masuk akal.14

Pengutipan Israiliyyat oleh sebagian mufassir sebagai salah satu sumber penafsiran al-Quran, selama empat abad ini, yaitu semenjak pengkodifikasian tafsir sampai sekarang, memperkaya khazanah perpustakaan umat Islam dengan kitab-kitab tafsir yang memuat riwayat-riwayat Israiliyyat dengan intensitas yang cukup beragam, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Persoalan Israiliyyat menjadi isu penting bagi mufassir modern. Sebab Israiliyyat tidak hanya berkaitan dengan aspek teologis Islam yang mengklaim sebagai agama yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi merujuk pada ajaran-ajaran Yahudi dan Nasrani, juga pernyataan al-Quran yang menyatakan kedua kelompok itu telah melakukan penyimpangan terhadap kitab suci mereka, tetapi juga Israiliyyat pada umumnya berisi khurafat-khurafat yang merusak akidah umat Islam. Sebagaimana dalam surat al-Maidah[5] ayat 41,

“Wahai Rasul (Muhammad) ! Janganlah engkau disedihkan karena mereka berlomba-lomba dalam kekafirannya. Yaitu orang-orang munafik yang mengatakan dengan mulut mereka, “Kami telah beriman,” padahal hati mereka belum beriman; dan juga orang-orang Yahudi yang sangat suka mndengar berita-berita bohong dan sangat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu. Mereka merubah kata-kata (Taurat) dari makna yang sebenarnya. Mereka mengatakan, “Jika ini yang diberikan kepadamu (yang sudah dirubah) terimalah, dan jika kamu diberi bukan ini, maka hati-hatilah.” Barang siapa dikehendaki Allah untuk dibiarkan sesat, sedikit pun dari Allah untuk menolongnya. Mereka itu adalah orang-orang yang sudah tidak dikehendaki Allah untuk menyucikan hati mereka. Di dunia mereka mendapat kehinaan dan di akhirat akan mendapat azab yang besar.”

14

Muhammad Husaini Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis, (Bogor: PT. Pustaka


(18)

Menyadari akan bahayanya, Muhammad Abduh sangat gencar mengkritik ulama tafsir yang menggunakan Israiliyyat sebagai penafsiran al-Quran. Dalam nada yang lebih keras, Syaltut menuduh bahwa Israiliyyat telah menghalangi umat Islam menemukan petunjuk-petunjuk al-Quran15.

Orientasi tafsir al-Quran yang menjadi objek kritikan para mufassir modern dalam pengutipan riwayat Israiliyyat, adalah tafsir yang menggunakan orientasi penafsiranbi al-matsur. Dalam hal ini, tafsirJami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) diduga sebagai kitab tafsir yang banyak memuat Israiliyyat.

Berkaitan dengan permasalahan diatas, maka penulis mencoba untuk mengangkat tentang permasalahan ini, dengan menganalisa perbandingan keberadaan riwayat Israiliyyat dalam kedua tafsir tersebut dikomentari atau tidak, yaitu dengan tema: Isrâiliyyât Dalam Tafsir Ath-Thabârî dan Ibnu

Kastîr (Sikap Ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr Terhadap Penyusupan Isrâiliyyât Dalam Tafsirnya)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam sejarah penafsiran al-Quran, keberadaan Israiliyyat dalam kitab tafsir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua macam16. Pertama,

15

Muhammad Syaltut, Fatwa-Fatwa, terj. Bustamin A. Gani, Bulan Bintang, Jakarta,

1977, Juz I, hlm.95.

16

Kategori ini diungkapkan oleh Adz-Dzahabi dalam ‘’al-Tafsir wa al-Mufassirun”, menjadi enam kategori keberadaan riwayat Israiliyyat dan keenam kategori itu secara garis besar


(19)

Israiliyyat dikomentari oleh penulisnya. Komentar yang dimaksud adalah menyangkut analisis terhadap kualitas sanad dan matan. Kategori ini dipandang sebagai cara yang benar dalam mengemukakan Israiliyyat. Kedua, riwayat Israiliyyat yang keberadaannya tanpa dikomentari apa-apa, yakni tanpa penyebutan sanadnya, analisis terhadap kualitas sanadnya, analisis terhadap isi Israiliyyat, dan penafsiran yang benar terhadap ayat yang ditafsirkan dengan Israiliyyat. Poin-poin ini merujuk kepada studi kritis terhadap riwayat hadis. Dalam studi kritik al-Hadis, hal yang ditinjau adalah aspek sanad dan matan. Kategori yang kedualah yang kerap kali menjadi objek kritikan para ulama tafsir.

Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini membatasi dan memusatkan perhatian kepada penyusupan riwayat Israiliyyat dalam tafsirJâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân (selanjutnya disebut tafsir ath-Thabârî) karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azîm (selanjutnya disebut tafsir Ibnu Katsîr) dengan penekanan pada analisis apakah keberadaannya dikomentari atau tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr bersikap kritis atau tidak, dan penulis juga merumuskan “Apa itu sebenarnya kisah-kisah Israiliyyat dan Bagaimana kisah-kisah Israiliyyat tersebut dapat menyusup kedalam kitab tafsir Jâmi’ Bayân karya ath-Thabârî dan tafsir Qurân al-Azîm karya Ibnu Katsîr yang keduanya merupakan kitab yang banyak dijadikan rujukan parapembaca”.

dapat dibagi ke dalam dua bagian. Lihat Adz-Zahabi,al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz 1., hlm.


(20)

C. Ruang Lingkup Masalah

Para ulama pada umumnya mengklasifikasikan Israiliyyat dalam tiga bagian, yaitu:

1. Israiliyyat yang sejalan dengan Islam 2. Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam

3. Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua

Pengklasifikasian itu dirumuskan dengan mengacu pada keterangan-keterangan Nabi. Nabi sendiri tidak langsung membuat klasifikasi tersebut, melainkan pemahaman para ulama terhadap keterangan-keterangan Nabi tersebut yang memunculkan klasifikasi itu. Umpamanya, ada keterangan Nabi yang membolehkan dan melarang meriwayatkan Israiliyyat, kemudian para ulama mengklasifikasikan Israiliyyat pada yang sejalan dengan Islam dan yang tidak sejalan dengannya. Namun, ada pula keterangan Nabi yang menyuruh umatnya untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan Ahli Kitab, kemudian para ulama pun membuat klasifikasi Israiliyyat yang tidak masuk bagian pertama dan kedua.

Berkaitan dengan itu, penulisan skripsi ini memusatkan perhatian kepada:

1. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam. dalam tafsirJâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr al-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr . Diantaranya: Kisah Bani Israel Tersesat Selama Empat Puluh Tahun, Kisah Harut Marut, dan Dzulqarnain.


(21)

2. Keberadaan riwayat Israiliyyat yang tidak termasuk keduanya (tidak sejalan dan sejalan dengan Islam) dalam tafsir Jâmi’ al -Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Yaitu, Kisah Sapi Betina Bani Israel

Kesemuanya itu berdasarkan apakah keberadaan riwayat Israiliyyat dikomentari atau tidak. Dengan kata lain, apakah ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr bersikap kritis atau tidak terhadap riwayat Israiliyyat dalam kitabnya masing-masing.

D. Kajian Pustaka

Diakui, bahwa kajian mengenai Israiliyyat bukanlah penelitian yang baru. Sudah ada beberapa penelitian yang membahasnya. Diantaranya, dalam bentuk buku, salah satunya adalah, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis karangan Muhammad Husaini Zahabi. Dalam bentuk skripsi, adalah, “Israiliyyat Dalam Kitab Tafsir Jâmi’ al-Bayân fî al-Tafsîr Karya ath-Thabârî” oleh Ali Akbar dan “Studi Analitis Pandangan Israiliyyat Rasyid Ridho Dalam Tafsir al-Manar” oleh Ahmad Zaki Mubarok.

Disini, penulisa berusaha menggabungkan antara dua penafsir yang mengemukakan tentang Israiliyyat dalam tafsirnya. Yang lebih membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah membandingkan antara ath-Thabari dalam tafsir Jami Bayaan dengan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Quran al-Azhim dalam mengemukakan Israiliyyat, sehingga diharapkan


(22)

peneliti ini dapat memberi solusi yang baik terhadap beberapa pembahasan serupa.

E. Metodologi Penelitian

Dalam proposal ini ada dua aspek metodologi penelitian yang digunakan: 1. Metode Pengumpulan Data

Kajian proposal ini dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library Research), suatu metode dengan cara mengumpulkan data dan informasi, baik berupa buku-buku maupun artikel-artikel yang kemudian diidentifikasi secara sistematis dan analisis, dengan bantuan berbagai macam-macam material yang terdapat di ruang pustaka.

Sedangkan data-data yang diperlukan dan dicari itu dari sumber-sumber kepustakaan yang bersifat primer, yaitu data yang berlangsung dan diperoleh dari sumber data pertama, disebut dengan sumber utama. Dalam hal ini yang menjadi sumber utamanya adalah kitab tafsir Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Dan sekunder, yaitu data yang lebih dahulu diikumpulkan dan dilaporkan dari sumber-sumber yang lain. Disebut dengan data pendukung.

2. Metode Pembahasan

Dalam metode pembahasan, penulis menggunakan metode deskriftif analisis:

a. Metode deskriftif, yaitu suatu pembahasan yang bermaksud untuk membuat gambaran mengenai data-data dalam rangka menguji


(23)

hipotesa atau menjawab pertanyaan, yang menyangkut keadaan pada waktu sedang berjalan dari pokok masalah.

b. Metode analisis, yaitu suatu bahasan dengan cara memberikan penafsiran-penafsiran terhadap data yang telah terkumpul dan tersusun. Jadi metode deskriftif analisis adalah suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat gambaran terhadap data-data yang telah tersusun dan terkumpul dengan cara memberikan tafsiran terhadap data tersebut.

3. Teknik Penulisan

Secara Teknik penulisan skripsi ini disandarkan pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi IAIN Syarief Hidayatullah Jakarta (2000)”.

F. Sistematika Penulisan

Penulis dalam menyusun skripsi ini, terdiri dari lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan dengan mengetengahkan sekitar latar belakang masalah, identifikasi, batasan dan perumusan masalah, ruang lingkup masalah, tinjauan pustaka, metodologi penelitian juga sistematika penulisan.

Bab II, Sekilas tentang Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr dengan mencari tahu seputar riwayat hidupnya, karya-karya ilmiah dan murid-murid beliau, serta metode dalam penulisan kitabnya.


(24)

Bab III, Membahas sekilas tentang Israiliyyat, masuknya israiliyyat ke dalam tafsir, klasifikasi Israiliyyat itu sendiri, para perawi Israiliyyat, serta pandangan ulama terhadap Israiliyyat itu sendiri.

Bab IV, Menganalisa dan membandingkan sikap ath-Thabârî dan Ibnu Katsîr terhadap Israiliyyat yang terdapat dalam kitab Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân karya Ibnu Jarîr ath-Thabârî dan Tafsîr al-Qurân al-Azim karya Ibnu Katsîr. Dengan disertai contoh-contoh, pandangan mereka terhadap Israiliyyat, serta pandangan ulama dalam menyikapi Israiliyyat.

Bab V, penutup berisikan tentang beberapa kesimpulan dari penulis proposal ini disertai dengan saran-saran.


(25)

BAB II

SEKILAS TENTANG IBNU JARÎR ATH-THABÂRÎ DAN IBNU KATSÎR

A. Ibnu Jarîr Ath-Thabârî

1. Riwayat Hidup Ath-Thabârî

Pada penghujung abad ke-9 M/3H hingga pertengahan pertama abad ke-10, dunia masih menyaksikan kemajuan-kemajuan keilmuan dikalangan umat Islam. Hilangnya mazhab rasional Mu’tazilah17 setelah al-Mutawakkil menghapusnya sebagai aliran resmi Negara, tidak membuat Islam berhenti melakukan inovasi-inovasi keilmuan. Perubahan yang terlihat setelah peristiwa ini barangkali hanya menyangkut intensitas penggunaan nalar oleh umat Islam dalam rangka pengembangan keilmuan. Bila dikalangan para penganut Mu’tazilah, peranan akal begitu dominan, penekanan itu tidak begitu terlihat setelah aliran Mu’tazilah dihapus oleh al-Mutawakkil.18

Studi atas naskah al-Quran mengalami banyak kemajuan pada awal abad ke-10 H/632M karena adanya pengakuan resmi atas tujuh bacaan sebagai satu-satunya yang sah, tindakan itu dilakukan oleh Ibnu Mujahid

17 Secara harfiah kata mu’tazilah berasal dari

I’tazala yang berarti berpisah atau

memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri. Mu’tazilah muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah murid Hasan Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang pemimpin Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari

taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin‘Ali Awaji, 2/821, Siyar

A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48).

18

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(26)

(w. 935 M / 313 H) untuk mengatasi ketidak mungkinan mengadakan kesepakatan panuh atas perbedaan cara membaca al-Quran yang muncul menjelang abad ke-9 M. Meskipun tujuh bacaan dari Ibnu Mujahid itu tidak segera diterima oleh para ulama, sebelum Ibnu Mujahid wafat, sebuah pengadilan mendukung pandangannya dengan mencela seorang ulama yang membolehkan membaca teks konsonan sesukanya asal sesuai dengan tata bahasa dan maknanya dapat diterima secara luas, sebagai puncak generasi ulama tekstual pada fase perkembangannya.19

Pada saat itu, tafsir sudah merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri setelah sebelumnya merupakan bagian dari kitab-kitab hadis. Sebagaimana disiplin ilmu lainnya, pada masa dinasti Bani Abbas, tafsir dijadikan sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Perkembangan tafsir ditandai oleh munculnya dua madrasah aliran tafsir bi al-matsur20

dan aliran tafsir bi al-rayî.21 Disamping itu, orientasi kajian tafsir sudah memasuki berbagai disiplin ilmu seperti fiqih, kalam, sejarah, dan filsafat.

19

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57.

20

Metode tafsir bil ma’tsur atau bir riwayah adalah metode menafsirkan Al-Qur’an

dengan merujuk pada pemahaman yang langsung diberikan oleh Rasulullah kepada para sahabat,

lalu turun menurun kepada tabi’in; tabi’it tabi’in, dan seterusnya hingga masa sekarang. Metode

ini mendasarkan tafsir pada kutipan-kutipan yang sahih sesuai urutan-urutan persyaratan bagi para mufasir. Yaitu: Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, Menafsirkan al-Quran dengan sunnah atau hadis, Menafsirkan pendapat para sahabat;para tabi’in.

21

Tafsir bil-ra’yî adalah metodologi penafsiran al-Quran berdasarkan rasionalitas pikiran (ar-ra’yu), dan pengetahuan empiris (ad-Dirayah). Tafsir ini mengandalkan “ijtihad” seorang mufassir, dan tidak berdasarkan pada kehadiran riwayat-riwayat. Disamping aspek itu, kemamppuan tata bahasa, retrorika, etimologi, pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan wahyu, dan aspek-aspek lainnya menjadi pertimbangan para mufassir.

Kata “ar-ra’yu” berarti “kebebasan pemikiran”, cenderung berkonotasi pada rasionalitas ijtihad terhadap penafsiran al-Quran. Ini berarti al-Quran dianggap sebagai teks “fleksibel” yang sesuai dengan “kepentingannya”. Sehingga perlu adanya syarat-syarat tertentu yang membatasi pengertian tafsir bi ar-rayî terutama dalam aplikasinya. Itihad yang dimaksud disini adalah berdasarkan dasar-dasar yangbenar dan kaidah-kaidah yang lurus. Jadi jelaslah bahwa tafsir bi rayȋ bukanlah sekedar berdasarkan pendapat atau ide semata, atau hanya sekedar gagasan yang terlintas dalam fikiran seseorang.


(27)

Di sisi lain tafsir bi al-matsur menghadapi persoalan yang sangat serius, yaitu, pembauran antara riwayat-riwayat yang sahih dan yang palsu. Seiring dengan masuknya unsur luar ke dalam Islam, tafsir ini pun sudah dipengaruhi oleh unsur-unsur luar itu.

Pada waktu yang sama perkembngan ilmu agama juga tampak pada bidang hadis, fiqih, dan tasawuf. Diantaranya adalah periode konsolidasi hadis berupa kegiatan kritik terhadap ribuan hadis dari tahun 850 M sampai dengan tahun 945 M dan berhasil membuat enam kitab hadis yang dikenal Kutub al-Sittah, yaitu, Sahih Bukhârî, Sahih Muslîm, Sunan at-Tirmizî, Sunan Ibnu Majah, Sunan Abû Dâud dan Sunan an-Nasâî. Dalam bidang hukum Islam, pada periode 850 M sampai dengan tahun 945 M tidak ada lagi usaha untuk membentuk mazhab baru. Sementara itu, tasawuf telah mencapai bantuknya yang sempurna. Itulah sebabnya Abû al-A’la Afifi menjelaskan bahwa pada abad ke-3 H / 624 M dan ke-4 H / 625 M merupakan zaman keemasan taswuf.22

Ditengah kondisi demikianlah, ath-Thabârî yang memiliki nama lengkap Abû Ja’far Muhammad Ibnu Jarîr Ibnu Yazid Ibnu Khalid ath-Thabarî, beliau dilahirkan di Amul, ibu kota dari propinsi Tabaristan pada tahun 224 H.23

Menurut para ahli sejarah, daerah ini dinamakan dengan Tabaristan karena daerah tersebut merupakan daerah pegunungan, dan juga

22

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 57.

23

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Quran,


(28)

penduduknya merupakan ahli dalam peperangan, dan alat yang digunakan dalam berperang adalah: Tabar (dalam bahasa Indonesia sejenis kampak).24

Beliau mengadakan perjalanan untuk menuntut ilmu dan kota pertama yang beliau tuju adalah Ray dan daerah sekitarnya. Di sana ia mempelajari hadis dari Muhammad bin Humaid ar-Razî. Selanjutnya, ia menuju Baghdad untuk belajar kepada Ahmad bin Hanbal, tetapi ketika ia sampai di sana, Ahmad bin Hanbal sudah wafat (pada tahun 241 H).25 Di Kuffah, ia mengambil Qiraah dari Sulaiman al-Tulhi dan hadis dari sekelompok jamaah yang diperoleh dari Ibrâhîm Abî Kuraib Muhammad bin al-Ala al-Hamdani, salah seorang ulama besar hadis26. Pada tahun 253, ia sampai di Mesir dan pada tahun tersebut untuk beberapa saat ia tinggal di Fustat kemudian mengunjungi Syam dan kembali ke Mesir pada tahun 256 H. Pada saat di Mesir beliau belajar pada pemuka-pemuka mazhab Syafi’I, diantaranya: ar-Rabi bin Sulaiman al-Muradi dan Ismail bin Ibrâhîm al-Muzani dan lain-lainnya. Dari sana kemudian ia kembali ke Baghdad, dan kembali ke Tabaristan, dan kembali ke Baghdad untuk belajar dalam sisa umurnya, sampai ia meninggal dunia pada tahun 310H27. Demikianlah di setiap tempat yang dikunjungi ia berjumpa dengan

24

Musthafa as-Shawi al-Juwainy, Manahij fî at-Tafsîr, (Mesir: Nas’atu al-Ma’arif,

Iskandariyah), h. 301.

25

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,

(Bairut Dar al-Fiqr), Jilid I, h. 3.

26

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 59

27

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,


(29)

ulama-ulama besar. Ia mengambil ilmu dari mereka tidak saja terbatas pada bidang tertentu, tetapi semua disiplin ilmu yang memungkinkannya digelari seorang ilmuan ensiklopedik.

2. Karya-Karya Ath-Thabârî

Seperti penulis telah sampaikan di atas, bahwa ath-Thabârî semasa hidupnya merupakan seorang penuntut ilmu yang sangat giat sehingga setiap perjalanannya selalu menuntut ilmu, beraneka ragam ilmu yang digelutinya sehingga keahliannya tidak hanya terbatas pada bidng tafsir, sejarah, fiqih, dan hadis, tetapi juga dalam bidang-bidang sastra, leksikrografi, tata bahasa, logika, matematika, dan kedokteran.

Keluasan ilmu yang dimiliki ath-Thabârî diakui oleh para ulama. Berikut komentar sebagian ulama terhadap ath-Thabârî :

1. Al-Khâtib al-Baghdadi, “ath-Thabârî adalah seorang pemuka ulama yang ucapannya ditanggapi, pendapatnya dirujuk karena keluasan ilmunya. Ia mendalami berbagai disiplin ilmu yang tidak dapat dilakukan oleh siapapun pada masanya. Ia hafal al-Quran, mengetahui berbagai ragam bacaan al-Quran, mengetahui makna-makna al-Quran, dan faham hukum-hukumnya. Mengetahui hadis dan seluk beluknya, mengetahui berbagai pendapat sahabat, tabi’in, dan orang-orang sesudahnya. Mengetahui persoalan-persoalan halal dan haram, dan mengetahui perjalanan sejarah umat. Ia menulis kitab monumental,


(30)

ditulis oleh siapapun. Ia pun menulis kitabTahzib al-Atsar yang isinya tidak ada bandingnya. Disamping itu, ia banyak menulis dibidang ilmu ushul fiqh dan cabang-cabangnya. Ia memilih pendapat-pendapat ahli fiqh”.28

2. Adz-Zahabi, “ath-Thabârî adalah seorang terpercaya, sadiq, hafiz,

bapak tafsir, imam dalam bidang fiqih, banyak mengetahui sejarah dan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada umat manusia, mengetahui qira’at, bahasa, dan sebagainya”.29

Mengenai karya-karya ath-Thabârî, tidak diperoleh informasi yang pasti berapa banyak buku yang pernah ditulisnya. Namun ada beberapa riwayat yang menunjukkan bahwa ia aktif menulis. Khâtib al-Baghdadi mendengar dari Ali bin Ubaidillah al-Lughawi as-Samsi bahwa ia aktif menulis selama 40 tahun dengan perkiraan setiap harinya menulis 40 lembar. Dengan demikian, selama 40 tahun diperkirakan ia menulis sebanyak 1.768.000 lembar. Suatu kesaksian lainnya pernah diturunkan oleh Abdullah al-Farqhani, ia menyebutkan bahwa sebagian murid ath-Thabârî memperhitungkan bila jumlah kertas yang pernah ditulisnya dibagi oleh usianya semenjak baligh sampai wafatnya, maka setiap hari, ia menulis 14 lembar.30

Karya-karya ath-Thabârî tidak semuanya sampai ke tangan kita sekarang. Diperkirakan banyak karyanya tentang hukum lenyap bersamaan

28

Al-Khatib Al-Baghdadi,Tarikh Baghdad, Dar Al-Fikr, Bairut, t.t., Juz II, h. 163.

29

Abi al-Falah Abd al-Havy bin al-Imad al-Hanbali, Syadzarat Adz-Dzahabi fî Akbar

Man zahab, Juz III, Dar al-Fikr, Bairut, h. 332.

30

Mustafa Ash-Shawi al-Juwaini, Manhaj fî at-Tafsîr, Mansya’ah al-Ma’arif,


(31)

dengan lenyapnyamazhab jarîriyah. Di bawah ini adalah karya-karyanya yang sampai ke tangan kita31:

a. Tafsir

Jami’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân,32 Kitab tafsir ini merupakan kitab tafsir yang paling besar dan utama serta menjadi rujukan penting bagi para mufassir bi al-matsur. Ibnu Jarîr memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ al-tabi’in. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat dan mentarjihkan sebagian atas yang lain. Para ulama berkompeten sependapat bahwa belum pernah disusun kitab tafsirpun yang dapat menyamainya.33

b. Qira’at

Kitab al-Qiraat wa at-Tanzîl al-Qurân. Di dalam kitab ini disebutkan perbedaan pendapat para qari tentang huruf-huruf al-Quran. Di dalamnya pun diklasifikasikan nama-nama ahli qiraat Madinah, Mekah, Kuffah, Syam, dan Basrah dengan disertai penjelas qira’atnya masing-masing.

c. Hadis

Tahzîb Atsar wa Tafsil ats-Tsabit an Rasûlillah min al-Akhbar. Kitab ini belum selesai ditulis ath-Thabârî dan tidak ada seorang pun yang mampu menyempurnakannya. Kitab ini mula-mula berbicara tentang hadis-hadis shahih yang datang dari Abû Bakar, 31

Rasihan Anwar,Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir

Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 62-64.

32

Nama ini berdasarkan percetakan yang berlaku saat ini. Ath-Thabari sendiri

menamainya denganJami al-Bayan fi Ta’wil Ayy al-Quran. Lihat ath-Thabari,Tarikh al-Umam

wa al-Mulk, Juz I, Matba’ah al-Husainiyah, Mesir, t.t., h. 45

33

Manna Khali al-Qatthan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran, (Litera Antar Nusa, 1996), Cet


(32)

kemudian, ia berbicara tentang setiap hadis beserta kecacatannya dan jalan periwayatannya.

d. Fiqih

- Ikhtilaf ‘Ulûm al-Amsar fî Ahkâm Syara’I al-Islâm, di dalam kitab ini disebutkan berbagai pendapat ulama yang berkaitan dengan hukum-hukum syari’at.

- Latif al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islam, kitab ini memaparkan mazhab fiqih ath-Thabârȋ sendiri.

- Al-Khafi fî Ahkâm Syar’I al-Islâm, kitab ini merupakan ringkasan kitab di atas.

- Mukhtasar Manasik al-Hajj. - Mukhtasar al-Faraidh.

- Kitâb fî ar-Radd ala ibn Abd al-hukm ala Malik.

- Kitâb Basit al-Qaul fî Ahkâm Syara’I al-Islâm

- Kitâb Adab al-Qaudah.

e. Usûluddin

- al-Basariah fî ma’alim Ad-din.

- Risalah al-Musammah bi Sarih as-Sunnah.

- Kitâb al-Mujaz fî al-Usul.

- Kitâb adab An-nufus al-Jayyidah wa al-Akhlaq An-nafisah.

f. Sejarah

- Tarikh al-Umam wa al-Mulk, kitab ini dipandang sebagai puncak prestasi ilmiah ath-Thabari dalam menulis sejarah.


(33)

Riwayat-riwayat yang terkandung di dalamnya tidak dipandang oleh para sejarawan sebagaiasatir (dongeng-dongeng) dan kisah-kisah sebab penulisannya didasarkan atas fakta riwayat dan musyafahah (oral) yang merujuk pada sumber-sumber Arab. Bagian pertama kitab ini berisi sejarah sebelum Islam yang menyangkut awal penciptaan, kisah-kisah para Nabi, umat Persia, Romawi, Arab, dan Yahudi. Adapun bagian kedua berisi sejarah Islam yang menyangkut sejarah Rasulullah, sejarah Khulafa ar-Rasyidin, penakluk-penakluk mereka, dan sejarah muslim pada masa dinasti Amawiyah dan dinasti Abbasiah. Kitab ini tuntas ditulis pada tahun 302 H.

- Kitâb Zail al-Munzil, kitab ini terdiri dari seratus halaman, selesai ditulis oleh ath-Thabari pada tahun 300 H. kitab ini berisikan sejarah sahabat, tabi’in, dan pengikut-pengikut mereka sampai ath-Thabari. Di dalamnya pun disebutkan sejrah sahabat yang terbunuh dan semasa Rasulullah.

- Kitâb Fadha’il Ali bin Abî Tâlib, bagian awal kitab ini mengemukakan berita-berita yang shahih di sekitar peristiwaGadir Khum. Setelah itu diikuti dengan uraian keutamaan-keutamaan Ali. - Kitâb Fadha’il Abi Bakr wa Umar.


(34)

3. Metode Penulisan Tafsir Jami’ al-Bayân

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kitab Jami’ al-Bayân

karya Ibnu Jarîr merupakan salah satu kitab tafsirbi al-matsur.

Adapun metode yang dipakai oleh Ibnu Jarîr dalam penulisan kitab tafsirnya adalah sebagai berikut:

1. Cara penyajiannya yang teliti dalam merangkai riwayat, dan beliau sangat teliti dalam menyebutkan sanad, dan dalam pencantuman riwayat, maka tafsir tersebut menjadi sangat istimewa dalam pemikirannya.

Contoh: Dalam menjelaskan tentang diturunkannya Adam dan Hawa ke bumi, beliau mencantumkan para periwayatnya, seperti dari Mûsa bin Harun, berkata: dari Amru bin Humad, dari Asbath, dari Suddiyi, dari Abi Malik, dari Abi Shalih, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Mas’ud, dan setelah itu dilanjutkan kepada periwayatan. Dan beliau lebih sering memakai kata “Haddatsana”, sebagai bentuk bahwa sang perawi langsung mendengar dari yang meriwayatkan.34 2. Beliau menjauhkan dari penafsiran yang menggunakan orientasi bi

al-ra’yî. Dalam beberapa riwayat beliau melarang tafsir dengan orientasi

bi al-ra’yî, karena menurut baliau bahwa dalam penafsiran kitab Allah tidak dapat diketahui ilmunya kecuali dengan keterangan Rasulullah Saw.

34

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil al-Qurân,


(35)

3. Dibantu dengan ilmu tata bahasa, ia mendefinisikan arti kalimat terhadap kalimat yang lain.

Contohnya dalam menafsirkan kata “al-Basmaallah” beliau mengatakan bahwa makna basmallah adalah memulai dengan menyebut nama Allah, dan menyebut-Nya sebelum mengerjakan sesuatu, atau dengan kata lain, beliau menyatakan makna lain dari

basmallah adalah saya membaca dengan nama Allah, saya berdiri dan duduk karena Allah.35

4. Menyajikan dengan syair, dan dalam menjelaskan maksud kalimat beliau benyak berlandaskan syair, terkadang disebutkan nama pengarangnya dan terkadang cukup hanya dengan syairnya.

Contoh: Dalam menjelaskan kata”Faridhah” beliau menggunakan syair sebagai berikut :

ﺖ ﻧ ﺎ ﻛ

ﺔ ﻀ ﻳ ﺮ ﻗ

ﺎ ﻤ ﻛ

ﺔ ﻀ ﻳ ﺮ ﻗ

Sesungguhnya kewajiban harus kamu kerjakan sebagaimana zina wajib dikenakan Rajam36

5. Beliau pun menampilkanqira’at, karena beliau seorang ahli dalam hal tersebut.

Contoh: Dalam menjelaskan ayat ”

ﻚ ﻟ ﺎ ﻣ

“Abi ja’far berkata: para ahli qira’at berbeda-beda dalam membacanya. Diantaranya ada

yang membaca ( ) dengan memendekkan pada ”mim”, dan

diantaranya ada yang membaca (

ِﻚ ِﻟ

) dengan memanjangkan 35

Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir:

Dâr al-Manar, 1991), h. 73.

36

Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir:


(36)

pada “mim”, dan ada pula yang membaca ( ) dengan menasabkan pada huruf “kaf”’.37

Kitab tafsir ini terdiri atas tiga puluh jilid dan menjadi referensi utama serta pokok bahasan bagi tafsir-tafsir berikutnya. Kitab ini telah dicetak dua kali di Mesir.38 Ibnu as-Subukhi menyatakan bahwa bentuknya yang sekarang adalah ringkasan dari kitabnya yang asli. Pada mulanya kitab ini dianggap hilang tetapi secara tiba-tiba dan dalam waktu yang tidak lama, ditemukan sebagai milik pribadi Amir Hamad Ibnu Amir Abd al-Rasyd, salah soerang Amir Najeed. Dalam versi yang disampaikan Goldziher, manuskrip kitab ini ditemukan pada masa kebangkitan percetakan pada awal abad ke-20-an. Namun dalam versi Mahmud Syakir (yang mentashih Tafsir ath-Thabârî sekarang) naskah kitabnya yang asli belum ditemukan.39

Tafsir ath-Thabârî mempunyai gaya bahasa tersendiri yang memerlukan kesungguhan dan ketelitian ekstra untuk memahami kandungannya.

Dalam hal ini Mahmud Syakir berkomentar:

“Banyaknya pasal-pasal dalam tafsir ath-Thabârî menyulitkan saya untuk memahami kitab ini. Untuk memahami maknanya, saya harus membaca dua sampai ttiga kali. Hal ini terjadi sebab metode penulisan saya berbeda dengan metode yang digunakan ath-Thabari. Akan tetapi, tanda baca dalam kitab itu sedikit menolong memperjelas setiap ungkapan-ungkapannya.”

37

Muhammad Bakr Ismail,Ibnu Jarîr ath-Thabârî wa Manhajuhu fî at-Tafsîr, (Mesir:

Dâr al-Manar, 1991), h. 102.

38

Thameem Ushama,Metodologi Tafsir al-Quran Kajian Kritis Objektif dan

Komprehensif, (Jakarta: Penerbit Riora Cipta, 2000), Cet. I, h. 68.

39

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(37)

Disamping menggunakan gaya bahasa tertentu, ath-Thabârî pun menggunakan metode dan orientasi tertentu. Tafsir ini menggunakan metodetahlili40 karena menafsirkan ayat berdasarkan susunan mushafi, sedangkan orientasi yang dignakannya adalah orientasi gabungan karena tafsir ini menggabungkan orientasi penafsiranbi al-matsur dan orientasi penafsiranbi al-ra’yî.41 Karena banyaknya jumlah hadis yang dimasukkan didalamnya, tafsir ini hampir dinilai secara particular menjadi contoh penting tafsir bi al-matsur. Namun Jami’ al-Bayân

lebih dari sekedar koleksi dan kompilasi materi tafsir yang luas. Struktur karya yang sangat hati-hati menunjukkan dengan jelas pandangan dan penilaian yang sungguh-sungguh. Ath-Thabârî sangat jelas memahami isu-isu metodologi dari halaman-halaman pertamanya. Ia mengawali karyanya dengan bab pengantar yang hampir mendekti sejumlah pemikiran hermeneutik. Selain perhatiannya terhadap bahasa dan leksikal, ath-Thabârî mendiskusikan status problematika tafsir bi al-rayî (interpretasi dengan opini pribadi), keberatan orang-orang yang menentang semua kegiatan penafsiran tersebut, dan reputasi penafsir-penafsir sebelumnya, apakah mereka yang dihormati atau ditolak dimasa yang lalu. Persoalan yang menjadi perhatian disini adalah bab

40

Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud tafsir

al-tahliliialah metode penafsiran ayat-ayat al-Quran yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran dengan mengikuti tertib susunan atau urutan-urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Quran itu sendiri dengan sedikit banyak melakukan

analisis di dalamnya. Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit

Pustaka Firdaus, 2001, h. 110.

41

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(38)

dimana ath-Thabârî berusaha mendiskusikan berbagai macam cara agar seorang individu sampai pada pengetahuan interpretasi (di sini ia menggunakan istilahta’wil42) al-Quran.43

Penggunaan katata’wilpada saat mengungkapkan pendapatnya sendiri tentang penafsiran ayat-ayat tertentu merupakan kekhususan kitab tafsir ini yang tidak dimiliki oleh kitab tafsir lainnya. Nampaknya, ath-Thabari menggunakan kata itu dalam pengertian “tafsir” sebagaimana umumnya digunakan para mufassir lainnya. Dalam hal ini, as-Suyuti berkomentar bahwa motivasi ath-Thabârî menamai kitabnya dengan Jami’ at-Ta’wil an al-Qurân adalah untuk memperlihatkan bahwa kitab ini tidak hanya menyingkapkan makna lafaz-lafaz al-Quran, tetapi juga disertai analisis struktur kalimatnya, makna yang tersurat di dalamnya,, analisis bahasa, dan lain-lain.44

Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan yang dimiliki tafsir ath-Thabârî di atas, maka kitab ini kemudian mempunyai nilai tinggi. Di dalam Lisan al-Mizan, disebutkan bahwa Ibnu Huzaimah pernah meminjam kitab tersebut dan baru selesai dibacanya setelah dua tahun dan

42

Secara bahasa,ta’wilberasal dari kataal-awl berarti ‘kembali’; atau dari kataal-ma’al

berarti tempat kembali. Muhammad Husain Zahabi mengemukakan bahwa dalam pandangan

ulama salaf,ta’wil memiliki dua macam pengertian, Pertama, menafsirkan teks dan menerangkan

maknanya tanpa mempersoalkan apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan apa yang

tersurat atau tidak. Kedua, ta’wil adalah substasi yang dimaksud dari sebuah pembicaraan itu

sendiri. Lihat Lihat Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu Al-Quran 2, Jakarta: Penerbit Pustaka

Firdaus, 2001, h. 19-20.

43

Research for Quranic studies (RQIS),Hermeneutik al-Quran: Pandangan ath-Thabari

dan Ibnu Katsir, (Bandung: Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Jati, 2002), Vol. I, h.6

44

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(39)

menilai bahwa tidak ada mufassir yang lebih pandai dari pada ath-Thabârî.45

B. Ibnu Katsîr

1. Riwayat Hidup Ibnu Katsîr

Dalam khazanah disiplin ilmu-ilmu al-Quran, dikenal dua tokoh dengan nama Ibnu Katsîr.Pertama,Ibnu Katsîr dengan nama lengkap Abû Muhammad Abdullah bin Katsîr ad-Dary al-Makky yang lahir di Mekkah pada tahun 45 H/665M. Ia adalah seorang ulama dari generasi tabi’in yang dikenal sebagai salah seorang imam tujuh dalam qira’ah sab’ah (bacaan yang tujuh.46). Kedua, Ibnu Katsîr yang kitab tafsirnya menjadi objek penulisan buku ini, yakni Ibnu Katsîr yang muncul lebih kurang enam abad setelah kelahiran Ibnu Katsîr yang pertama. Nama lengkapnya adalah Imâd ad-Din Abû al-Fidâ’ Ismâil bin al-Khatib Syihab ad-Din Abî Hafsah Umar bin Katsîr al-Quraisy asy-Syafi’i.47 Ia lahir di Mijdal dalam wilayah Basrah pada tahun 700 H/1300 M. Predikat al-Busrawy sering dicantumkan di belakang namanya karena ia lahir di Basrah. Demikian pula predikat ad-Dimasyqi sering menyertai namanya. Hal ini berkaitan dengan kedudukan kota Basrah yang menjadi bagian kawasan Damaskus, atau mungkin disebabkan kepindahannya semenjak kanak-kanak ke sana. Pendapat lain mengatakan bahwa predikat al-Busry berkaitan dengan 45

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h 68.

46

Subhi Shahih, Mabahits fî ‘Ulûm, Beirut: Dâr al-Qalâm, 1998) h. 248; Kamaluddin

Marzuki, ‘Ulûm al-Quran (Bandung: Rosdakarya, 1992), h. 104.

47

Muhammmad Basuni Faudah, Tafsir al-Quran: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir,


(40)

pertumbuhan dan pendidikannya. Dan predikat Asy-Syafi’I berkaitan dengan mazhabnya.48 Ia meninggal pada tahun 774 H/1374 M. Pada usia sekitar tujuh tahun, pendapat lain mengatakan tiga tahun, Ibnu Katsîr telah ditinggal wafat oleh ayahnya sehingga ia tidak sempat menerima didikan langsung dari ayahnya. Ditangan kakaknyalah, Kamâl ad-Dîn Abd. Wahhab, Ibnu Katsîr pertma kalinya meniti tangga keilmuan menyusul kepindahannya ke Damaskus pada tahun 707 H. Kegiatan mencari ilmu kemudian dijalaninya dengan lebih serius di bawah bimbingan para ulama semasanya. Diantaranya adalah Baha ad-Dîn al-Qasimy bin Asakir (w. 723H), Ishaq bin Yahya al-Amidî (w. 728 H), Taqy ad-Dîn Ahmad bin Taimiyyah (w. 728 H). Bahkan Ibnu Katsîr menjadi murid Ibnu Taimiyyah yang terbesar.

2. Karya-Karya Ibnu Katsir

Berbagai cabang ilmu keislaman dipelajari secara mendalam oleh Ibnu Katsîr, terutama hadis, fiqih, sejarah, dan tafsir. Dalam keempat bidang ini dapat dijumpai karya-karya tulisnya sehingga wajar apabila gelara-Hadist, al-Muhaddits, al-Faqih dan al-Mu’arrikh melekat di depan namanya49. Namun, popularitas karya-karyanya di bidang sejarah dan tafsirlah yang memberi andil terbesar dan mengangkat namanya menjadi tokoh ilmuwan yang dikenal di dunia Islam.

48

Muhammad Nusaib ar-Rifa’I,Tafsir al-Ali al-Qadir li Ikhtishar Tafasir Ibnu Katsir(t.t.,

Juz I), h. xi

49

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(41)

Karya tulis sejarah yang dimaksud adalah kitabal-Bidayah wa an-Nihayah terdiri atas 14 jilid besar yang memaparkan berbagai peristiwa yang terjadi semenjak awal penciptaan alam sampai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H atau enam tahun sebelum wafatnya. Sedang karya tafsirnya yang dimaksud adalah Tafsîr al-Qurân al-Adzîm atau sering disebut dengan namaTafsir Ibnu Katsîr.50

Di bawah ini akan disebutkan beberapa karya Ibnu Katsir: A. Dalam bidang Tafsir51:

- Tafsir al-Quran al-Adzîm, atau lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsîr, diterbitkan pertama kali di kairo pada tahun 1342 H/1923 M.

- Fudhail al-Quran, kitab ini berisikan ringkasan sejarah al-Quran, diterbitkan pada halaman akhir Tafsir Ibnu Katsîr sebagai penyempurna.52

Di dalamnya banyak dipengaruhi kitab al-Siyasah al-Syar’iah karya Ibnu Taimiyyah.

B. Dalam bidang Hadis53:

- Kitab Jami’ al-Masanid wa as-Sunah (Kitab penghimpun musnad dan as-Sunah), yaitu kumpulan hadis-hadis yang terdapat di dalam musnad Ibnu Hambal,kutûb al-sittah, dan sumber-sumber lainnya,

50

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.

51

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan

Tafsir Ibnu Katsir, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet I, h. 70.

52

Abd al-Hayy al-Farawi, Metode Tafsir Maudhu’i, penerjemah Suryan A. Jamrah,

(Jakarta: Rajawali Pers, 1994), h, 87-88

53

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(42)

berdasarkan nama para sahabat yang meriwayatkannya secara alfabetis.

- Takhrij al-Hadis Adillah al-Tanbih li ‘Ulum al-Hadîs, dikenal dengan al-Bait al-Hadîs, merupakan takhrij terhadap hadis-hadis yang digunakan dalil oleh asy-Syiraji dalam kitabnyaal-Tanbih.

- Al-Takmilah fî Ma’rifat as-Sighat wa al-Dhu’afa wa al Mujahil, merupakan perpaduan dari kitab Tahzib al-Kamâl karya al-Mizzi dan Mizan al-I’tidal karya Zahabi, kitab ini berisi riwayat perawi-perawi hadis.

- Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs, merupakan ringkasan dari kitab Muqaddimah Ibnu Shalah (w. 642 H/1246 M), karya ini keudian disyarah oleh Ahmad Muhammad Syakir dengan judulBaits al-Hadis fî Ikhtisar ‘Ulûm al-Hadîs.

- Syarah Sahih al-Bukhâri, merupakan kitab penjelasan terhadap hadis-hadis Bukhâri tetapi tidak selesai dan kemudian dilanjutkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani (952 H/1449 M).

C. Dalam bidang Sejarah:

- Al-Bidayah wa al-Nihayah, kitab ini merupakan rujukan terpenting bagi sejarawan yang memaparkan berbagai peristiwa sejak awal penciptan sampai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 768 H. sejarah dalam kitab ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar: Pertama, sejarah kuno yang menuturkan mulai dari riwayat penciptaan sampai kenabian Muhammad Saw., dan kedua, yaitu sejarah Islam mulai dari periode Nabi Saw. di Mekkah sampai


(43)

pertengahan abad 8 H. kejadian-kejadian setelah hijrah disusun berdasarkan tahun kejadian.

- Al-Kawaktib al-Darari,cuplikan darial-Bidayah wa al-Nihayah.

- Al-Manaqib al-Imam as-Syafi’i. - Thabaqah as-Syafi’iyah.

- Al-Fushul fi Shirat al-Rasulataual-Sirah al-Nabawiyyah.

D. Dalam bidang Fiqih:

- Al-Jihad fî Talab al-Jihad, ditulis tahun 1368-1369 M, untuk menggerakkan semangat juang dalam mempertahankan pantai Lebanon (Syiria) dari serbuan raja Franks dari Cyprus, karya ini banyyak memperoleh inspirasi dari kitab Ibnu Timiyyah: al-Siyasah al-Syariyyah.

- KitabAhkam, kitab fiqih yang didasarkan pada al-Quran dan hadis. - Al-Ahkam ‘ala Abwab al-Tanbih, kitab ini merupakan komentar

dari kitabal-Tanbihkarya asy-Syiraji.

3. Metode Penulisan Tafsir al-Quran al-Adzim

Metode penafsiran tafsir Ibnu Katsîr bila diteliti termasuk dalam kategori tafsir tahlili yang bercorak bil-matsur54. Pada awal mukaddimah tafsirnya beliau memberi keterangan:

54

Tahlili adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan memaparkan aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta meneragkan makna-makna yang tercakup

di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecendrungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat

tersebut. Sedangkan corak bil-ma’tsur yaitu menfsirkan al-Quran dengan al-Quran, al-Quran

dengan as-Sunnah, karena ia berfungsi sebagai penjelas Kitabullah, al-Quran dengan perkataan para sahabat, karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau apa yang dikatakan, atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’in, karena pada umumnya mereka

menerimanya dari para sahabat. Lihat Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Quran,

diterjemahkan oleh Mudzakir, AS (Jakarta: PT: Pustaka Litera Antar Nusa 2000) Cet. V, h. 482-483.


(44)

“Cara penafsiran yang paling baik adalah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Sebab sesuatu yang dikemukakan secara global pada suatu ayat akan dijumpai penjelasannya pada ayat lain. Jika ternyata pada ayat lain tidak dijumpai pula penjelasannya akan dijumpai dengan sunnah. Nabi Saw sebagai penjelas al-Quran. ….Jika di sana pun tidak dijumpainya, kembalilah kepada perkataan sahabat. Sebab mereka lebih mengetahui seluk beluk dan sebab-sebab turunnya al-Quran disamping pemahamannya yang sempurna serta ilmu shahih yang dimilikinya. ….Jika di sana pun tidak juga dijumpainya, kembalilah kepada perkataan-perkataan tabi’in55

Namun, perlu diperhatikan bahwa dimasukkannya kitab tafsir dalam kategori yang bercorak bi al-ma’tsur tidak berarti menutup kemungkinan bagi penulisnya untuk memasukkan juga unsur-unsur non-riwayat, seperti kupasan ijtihad. Corakbi al-Ma’tsur yang digunakan kitab tafsir di atas terbukti ketika terlihat bahwa Ibnu Katsîr tidak hanya pengumpuul riwayat saja, tetapi juga sebagai kritikus yang mampu mentarjih sebagian riwayat bahkan pada saat-saat tertentu menolaknya, baik dengan alasan karena riwayat-riwayatnya itu fantastic, tidak dapat dicerna oleh akal sehat maupun alasan-alasan lainnya.56

Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci dan sistematika tentang penafsiran Ibnu Katsîr:

1. Penjelasan sekitar sûrah dan ayat al-Quran

Dalam mengemukakan tentang penjelasan sekitar surat al-Quran, Ibnu Katsîr mengawalinya dengan menyebutkan nama-nama surat itu sendiri disertai dengan hadis-hadis yang menerangkan kepada hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau

55

Ibnu Katsir,Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, terjemahan H. Salim Bahreisy dan H.

Said Bahreisy, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), cet, ke-2, h. 133.

56

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unnsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(45)

menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang mudah disertai dengan hadis-hadi yang menerangkan kepada hal tersebut. Selanjutnya untuk memulai penafsiran, sebelumnya beliau menyebutkan satu ayat kemudian menafsirkan ayat tersebut dengan redaksi yang mudah serta ringan serta menyertainya dengan dalil dari ayat yang lain, lalu membandingkan ayat-ayat tersebut sehingga maksud dan artinya jelas57.

2. Menyebutkan hadis sampai kepada perawinya

Para ahli tafsir mengatakan Ibnu Katsîr merupakan tafsir bi al-Matsur yang terbaik dan berada setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarîr ath-Thabârî, bahkan ada juga yang mengatakan lebih tinggi dengan tafsir ath-Thabârî dalam beberapa masalah58. Kelebihan-kelebihan tertentu yang dimiliki tafsir Ibnu Katsîr tersebut terlihat dari cara yang dilakukan Ibnu Katsîr menafsirkan al-Quran dengan hadis, yaitu beliau menulis matan hadis dengan lengkap serta merangkaikan urutan-urutan sanadnya sampai kepada rawi terakhir. Kemudian beliau meneliti dan mengomentari hadis tersebut apakah sahih atau tidak59. Hal ini dilakukan karena kenyataan sejarah dimana kaum Yahudi dan kaum Zindik yang sengaja menyalah gunakan ajaran-ajaran Islam, diantaranya adalah membuat hadis-hadis palsu. Disadari atau tidak

57

Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,

1976), h. 254.

58

Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,

1976), h 75.

59

Muhammad husain adz-Zahabi,Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, terjemahan Didin


(46)

kemudian sejumlah mufassir banyak sekali yang mengutip kisah-kisah Israiliyyat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Quran.

3. Menjelaskan munasabah ayat

Cara ini dipandangnya dapat memperjelas penafsiran ayat, disamping mempermudah pembaca dalam mengumpulkan ayat-ayat sejenis, sehingga masing-masing ayat bisa menafsirkan ayat-ayat sejenis lainnya. Juga agar pengertian satu ayat dengan ayat lainnya yang mengandung tema serupa tidak terputus-putus, untuk hal ini Ibnu Katsîr meletakkannya di tempat penafsiran perkalimat atau perkata sebagai penguat penafsiran tersebut. Hal ini dapat kita lihat dari contoh berikut:

Ketika penafsirkan surat al-Fâtihah ayat 4: (

ﻚ ﻟ ﺎ ﻣ

) Beliau hubungkan kata (

ﻚ ﻠ ﻣ

) pada surat an-Nâs ayat 2 (

ﻚ ﻠ ﻣ

) lalu dikaitkan dengan surat al-Hasyr ayat 23:







































Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.

4. Menerangkan sebab-sebab turunnya ayat

Dalam hal ini yang dijadikan Ibnu Katsîr untuk menerangkan sebab-sebab turunnya ayat adalah hadis-hadis nabi Muhammad Saw,


(47)

pembahasan asbab an-nuzul untuk masing-masing ayat biasanya dicantumkan di depan sebelum pembahasan ayat dimulai. Begitu juga dengan asbab an-nuzul surat-surat dicantumkan di depan sebelum pembahasan tafsir tersebut dilakukan60.

5. Memperluas masalah hukum

Membaca riwayat hidup ibnu Katsîr, para ulama sepakat menegaskan bahwa beliau adalah seorang ahli hadis yang handal juga seorang ulama fiqh yang mashur dan mahir dalam mengutarakan permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Kemahiran berfatwanya turut mempengaruhi jalan pemikirannya dalam menafsirkan ayat-ayat hukum. Hal ini terbukti ketika beliau membahas satu masalah ayat hukum ia buatkan suatu pembahasan khusus dengan menafsirkan secara panjang lebar, dengan bersandarkan kepada hadis Nabi Saw dan pendapat para ulama, untuk mengisi kandungan ayat tersebut61.

Sebagian ulama berpendapat bahwa pemikiran beliau dalam masalah fiqih banyak dipengaruhi oleh jalan pemikiran gurunya Ibnu Taimiyyah. Namun demikian, meskipun Ibnu Katsîr dikenal sebagai murid besar Ibnu Taimiyyah– yang mana beliau dikenal dengan sosok kontroversial - selama ini belum terdengar nada-nada negatif yang diarahkan kepadanya. Pendapat di bawah ini merupakan bukti bagi kebesaran Ibnu Katsîr dan kitab tafsirnya:

60

Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,

1976), h. 256

61

Muhammad Husain ad-Dzahabi, at-tafsir wa al-Mufassirun, (Bairut: Dar al-Fikr,


(48)

a. As-Suyuti berkata: “Tafsir Ibnu katsîr merupakan karya tafsir yang tidak ada duanya. Belum pernah ditemukan kitab tafsir yang sistematik dan karakteristiknya menyamai kitab tafsir ini”62.

b. Muqni Abdul Halim Mahmud berkata: “Tafsir Ibnu Katsîr merupakan karya tafsir yang terbaik. Oleh karena itu, tafsir ini menjadi rujukan ulama sesudahnya”.

Demikian kiranya sosok Ibnu katsîr yang piawai, cerdas, dan diterima oleh masyarakat Islam di seluruh dunia. Semoga Allah Swt mengampuni dosa-dosanya dan menerima segala kebaikannya, amien.

62

Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir Ath-Thabari dan


(49)

BAB III

SEKILAS TENTANG ISRÂÎLIYYÂT

A. Pengertian Israiliyyat

Ditinjau dari segi etimologis, kata “Isrâîliyât” adalah bentuk jamak dari kata Israiliyyah (

ِ

) . Yakni bentuk kata yang dinisbatkan pada kataisrâîlyang berasal dari bahasa Ibrani,Israyang berarti hamba danilyang bermakna Tuhan.63 Dari segi historis,Isrâîlberkaitan dengan Nabi Ya’qub bin Ishaq bin Ibrâhîm a.s., di mana keturunan beliau yang berjumlah dua belas yang disebut dengan Banî Isrâil.64 Terkadang Isrâîliyât identik dengan Yahudi, kendati sebenarnya tidak demikian. Bani Israil merujuk pada garis keturunan bangsa, sedangkan Yahudi merujuk pada pola pikir, termasuk di dalamnya agama dan dogma. Menrut Adz-Zahabi, perbedaan Yahudi dan Nasrani, bahwa yang terakhir disebut ini ditujukan pada mereka yang beriman kepada risalah Isa a.s.65 Dua kelompok masyarakat ini, menurut Quraisy Shihab yang disepakati pula oleh seluruh ulama dinamakan Ahl Kitab.66 Setelah mereka kembali ke negeri asal mereka membawa bermacam-macam berita keagamaan yang mereka temui dari negara-negara yang mereka jumpai.67

63Zainul Hasan Rifa’I, “Kisah Israiliyyat dalam penafsiran”, dalam Sukardi K.D (ed),

Belajar Mudah ‘Ulum al-Quran;Studi Khazanah al-Quran,Jakarta: Lentera, 2002, h. 277.

64

Muhammad Chirzin,al-Quran dan Ulumul Quran, (Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti

Prima Yasa, 1998), h. 78.

65Supiana dan M.Karman, ‘Ulûmul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi,

(Bandung: Pustaka Islamika) h. 197.

66

M.Quraisy Shihab, Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1996, Cet. I, h. 147-148.

Namun perlu dicatat di sini bahwa Abduh dan Rasyid Ridha memasukkan Majusi, Sabi’in, Hindu,

Budha, Konfusius, Shinto dan agama lainnya sebagaiAhl Kitab.Untuk jelasnya lihat al-Manâr,

Jilid XI, Beirut: Dâr al-Fikr, h. 200.


(50)

Sehubung dengan definisi Israiliyyat secara istilah, para ulama berbeda pendapat tentang definisi Israiliyyat yang mereka kemukakan :

1. Husein Adz-Zahabi dalam kitabnya At-Tafsir wa Al-Mufassirun mengatakan :

.

Walaupun makna lahiriah dari Israilliyyat berarti pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran al-Quran, kami mendefinisikannya lebih luas dari itu, yaitu pengaruh kebudayaan Yahudi dan Nasrani terhadap Tafsir.

Definisi lain Israiliyyat yang diemukakan Adz-Zahabi adalah Israiliyyat mengandung dua pengertian :

a. Kisah dan dongeng kuno yang disusupkan dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali kepada sumbernya, yaitu: Yahudi, Nasrani atau lainnya.

b. Cerita-cerita yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber-sumber lama.68

2. Muhammad Khalifah dalam kitabnya Dirasat fi Manahij Al-Mufassirin,

mengatakan69 :

68

Muhammad Husein Adz-Zahabi, Israiliyyat Dalam Tafsir dan Hadis, (Bogor: PT


(1)

Berdasarkan ayat di atas, Ibnu Taimiyyah memberikan keterangan bahwa Allah memberi kabar tiga pendapat tentang jumlah Ashhabul Kahfi. Dua pendapat pertama dilemahkan, sedangkan pendapat ketiga didiamkan yang berarti menunjukkan akan kebenaran. Jika yang terakhir pun keliru, pasti akan dilemahkan sebagaimana dilakukanNya terhadap dua pendapat pertama. Ia kemudian memberikan syarat bahwa mempermasalahkan jumlah mereka termasuk sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Ia katakan, “Katakanlah bahwa Tuhanku yang paling mengetahui jumlah sebenarnya”. Sebab, tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit orang saja yang memang mendapat petunjuk dari-Nya. Itu sebabnya pula, Ia berfirman, “ Karena itu, janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka kecuali pertengkaran lahir saja.” Yakni janganlah engkau menyibukkan diri dengan sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Janganlah bertanya tentangnya karena tidak ada yang mengetahuinya kecuali sedikit orang.188


(2)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian yang penulis paparkan di atas yang terdiri dari beberapa bab terdahulu, dapatlah diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Israiliyyat merupakan kisah-kisah yang berasal dari Ahli Kitab yang menjelaskan nas-nas al-Quran dan Hadis. Israiliyyat dapat berupa kisah-kisah atau yang lainnya, serta dapat sejalan dan dapat pula tidak sejalan dengan Islam. Namun perlu diingat pada umumnya Israiliyyat berisi cerita-cerita dan dongeng-dongeng buatan non muslim yang masuk ke dalam Islam. Dan ulama-ulama sepakat bahwa sumber utama Israiliyyat adalah ajaran Yahudi dan Nasrani, sebagaimana tercermin dari kata Israiliyyat itu sendiri.

2. Sejauh ini para pengamat tafsir menempatkan ath-Thabari dan Ibnu Katsir pada posisi yang sama, yaitu mufassir yang menggunakan corak bil ma’tur dalam kitab tafsirnya masing-masing. Namun, ternyata kedua mufassir itu tidak selamanya memiliki kesamaan dalam menafsirkan al-Qur’an. Keduanya memiliki perbedaan jelas ketika mengemukakan Israiliyyat. 3. Perbedaan mengemukakan Israiliyyat antara ath-Thabari dan Ibnu Katsir


(3)

sejarah walaupun ia juga melakukan kritikan dalam beberapa riwayat. Sedangkan studi kritisnya terhadap kualitasnya sepenuhnya dipercayakan kepada para pembaca. Lain halnya dengan Ibnu Katsir, pengutipan Israiliyyat dalam kitab tafsirnya tidak sekedar mengumpulkan data sejarah, tetapi lebih jauh ia bertujuan mengkritik kualitasnya meskipun tidak setiap riwayat itu dikritiknya.

B. Saran-Saran

1. Kisah Israiliyyat yang tidak sejalan dengan Islam bila tidak dikomentari atau dikritik merupakan bahaya besar bagi kemurnian ajaran Islam khususnya al-Quran dan hadis. Karena ketidaktahuan masyarakat akan hal ini, akan timbul anggapan bahwa kisah Israiliyyat tersebut sebenarnya merupakan ajaran Islam. Padahal al-Quran terkenal karena kemurniannya dan Allah pun menjaga keasliannya.

2. Tafsir Al-Quran Al-Adzim dan Tafsir Jami’ Al-Bhayaan merupakan kitab tafsir bi al-mastur yang dihinggapi kisah-kisah Israiliyyat. Ini merupakan bukti bahwa kitab tafsir dengan orientasi bi al-matsur, yang menyandarkan periwayatannya kepada perkataan Nabi, sahabat, tabi’in, bukan merupakan jaminan bahwa kitab ini terhindar dari kisah-kisah Israiliyyat sehingga dibutuhkan kritik terhadap semua riwayat yang terkandung di dalamnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abd Halim Mahmud, Mani, Prof., Dr., Metodologi Tafsir, Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Adz-Zahabi, Muhammad Husein, Penyimpangan-Penyimpangan Dalam Menafsirkan Al-Quran,Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.

___________, Tafsîr Wa Al-Mufassirûn, Beirut: Syirkah Dâr al-Arqam bin Abû al-Arqam.

___________, Israiliyyat Dalam Tafsir Hadis, Bogor: PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1993, Cet. 1.

Ali Ash-Shaabuuniy, Muhammad, Prof., Dr.,Studi Ilmu Al-Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, Cet I.

Anwar, Rasihan, Melacak Unsur-Unsur Israiliyyat Dalam Tafsir al-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir,Bandung: CV. Pustaka, 1999, Cet. I.

Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsîru Al-Aliyyul Qadîr Lî Ikhtisari Tafsîr Ibnu Katsîr,Muktabah Ma’rif, 1819.

Ath-Thabari, Ibnu Jarir,Jâmi’ Al-Bayân Fî Tafsîr Al-Qurân,Beirut: Dâr Al-Fikr, 1988.

Bukhari, Abû ‘Abdullah Muhammad bin Ismâ’il bin Ibrâhîm bin al-Mughirah bin bardizbah,Shahîh al-Bukhâri, Beirut: Dâr Al-Fikr.

Chirzin, Muhammad, Al-Quran dan Ulûmul Qurân, Yogyakarta: Penerbit Dana Bakti Prima Yasa, 1998.

Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam,Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999, Cet. I.

Hasan Rifa’I, Zainul, “Kisah Israiliyyat dalam penafsiran”, dalam Sukardi K.D (ed), Belajar Mudah ‘Ulum al-Quran;Studi Khazanah al-Quran, Jakarta:


(5)

Hanbal, Ahmad bin,Musnad,Jilid IV, Beirut: Al-Maktabah Al-‘Ilm Wasar Sadir. Hufi, Ahmad Muhammad Al-, Ath-Thabarî, Kairo: Al-Majlis Al-A’la Lî

Asy-Syu’un Al-Islamiyyah, 1987.

Ibrahim, Muhammmad Abu Fadl,Tarîkh Ath-Thabarî, dalam Ath-Thabrî, Tarîkh Ar-Rushul Wa Al-Mulk,Mesir: Dâr Al-Ma’arif, 1960.

Ismail, Muhammad Bakr, Ibnu Jarîr Ath-Thabarî Wa Manhajuh Fî At-Tafsîr, Kairo: Dâr al-Manâr, 1991.

Karman, M dan Supiana, ‘Ulûmul Qur’an dan Pengenalan Dasar Metodologi, Bandung: Pustaka Islamika.

Katsir, Muhammad Ismail Ibn,Tafsîr al-Qurân Al-Azhîm,[t.k.], [t.p.], [t.t.]. ____________, Qişaş Al-Anbiya, Beirut: Dâr Al-Fikr.

Katsir, Ibnu, Al-Bidâyah Wa Al-Nihâyah, Beirut: Maktabah al-Ma’Arif, 1966, Cet. I.

Khalidi, Shalah Al,Kisah-Kisah Al-Quran Pelajaran Dari Orang-Orang Dahulu, Jakarta: Penerbit Gema Insani Press, 1999.

Khalifah, Ibrâhîm Abd.Rahman Muhammad, Dirâsat fî Manahaj Al-Mufassirîn, Kairo: Maktabah Al-Azhariyyah, 1974.

Ma’rifat, M.Hadi,Sejarah Al-Quran, Jakarta: Al-Huda, Cet I.

Majdid, Nurcholits, Pengaruh Israiliyyat dan Orientalisme Terhadap Islam, dalam Abdurrahman Wahid, et. El., (Ed.),Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia,Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990.

Muhammad, Muhammad Abdurrahim, Tafsir Nabawi, Jakarta: Pustaka Azzam, 2001.

Nurdin, H.M. Amin dan Afifi Fauzi Abbas (ed.),Sejarah Pemikiran Dalam Islam, Jakarta: pustaka Antara, 1996.

Qardawi, Yusuf, Berinteraksi Dengan Al-Quran, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I.

Qattan, Manna Al, Mahabits Fî ‘Ulûm Al-Qurân, Mesir: Mansyurat Al-Ashr La-Hadis, 1973.


(6)

Shâlih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al-Quran, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996, Cet. I

Sharbasi, Ahmad, Qissat At-Tafsîr, Beirut: Dâr Al-Qalâm, 1962.

Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyrakat,Bandung: Mizan, 1992, Cet. I.

Suma, Muhammad Amin, Prof., Dr., MA., SH., H.,Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (I), Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

Syakir, Ahmad Muhammad,Umdah Al-Tafsîr, Juz I, Mesir: Dâr Al-Ma’rif, 1956 Syuhbah, Muhammad bin Muhammad Abu, Al-Israiliyyat Wa Al-Maudhu’at Fî

Kutub At-Tafsir,Kairo: Maktabah al-Sunnah, 407H.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Cet. I

Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Quran, Kajian Kritis, Objektif dan Komprehensif,Jakarta: Penerbit Riora Cipta.

Warson, Munawwir Ahmad,Kamus Al-Munawwir,Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Cet. 14.