25 Sedangkan perbandingan dari skripsi yang penulis
buat berjudul “ akhlak Guru Menurut al-Ghazali
”. Adapun subjek dari skripsi ini bersifat khusus yaitu membahas tentang” akhlak guru” yakni bagimana sosok guru memberikan
peranannya kepada anak didiknya dengan baik dalam membentuk kepribadian, sehingga hasilnya anak didiknya memiliki perilaku yang baik dan menjadi anak
yang sholeh dambaan setiap umat sesuai dengan pandangan Islam. Dan metode yang digunakan adalah metode penelitian kepustakaan library research dengan
pendekatan teknik analisis deskriptif. Untuk pengumpulan data dilakukan dengan membaca, menelaah buku-buku, majalah,surat kabar dan bahan-bahan informasi
lainnya, terutama yang berkaitan dengan judul skripsi yang dibuat oleh penulis
29
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Pendidikan Akhlak Menurut Al-Ghazali
a. Arti Pendidikan Akhlak
Al-Ghazali adalah salah satu ulama yang banyak memberikan perhatian dan penelitian dalam ilmu akhlak, sehingga hampir dalam kitab-
kitab yang dikarangnya selalu ada hubungannya dengan materi pendidikan akhlak, seperti kitab
Ihya’ Ulumu al-Din atau Mizan al-Amal. Berbicara tentang pendidikan akhlak sama dengan berbicara tentang tujuan
pendidikan, karena banyak sekali dijumpai pendapat para ahli yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah pembentukan akhlak. Al-
Ghazali mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah pembentukan akhlak, sebagaimana al-Ghazali katakan dalam kitab Mizan al-Amal: yang
dikutip dan diterjamahkan oleh Zaenuddin, dkk “tujuan murid dalam
mempelajari segala ilmu pengetahuan pada masa sekarang, adalah kesempurnaan dan keutamaan jiwanya”.
1
Pendapat al-Ghazali didukung Athiyah Abrasyi yang mengatakan bahwa pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa dan tujuan
pendidikan Islam.
2
Demikian pula Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan utama pendidikan Islam adalah identik dengan tujuan hidup setiap
muslim, yaitu untuk menjadi hamba Allah, yaitu hamba yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya dengan memeluk agama Islam.
3
Senada dengan hal itu Sikun Pribadi mengatakan bahwa
: “Psycho-Hygiene sebagai satu aspek daripada tujuan pendidikan. Psycho-Hygiene atau kesehatan
jiwa merupakan suatu kondisi yang mutlak untuk produktif, kreatif dan
1
Zainuddin, dkk, Seluk BelukPendidikan dari al-Ghazali, Jakarta: Bumi aksara, 1991, cet.1, h. 44.
2
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1974, cet. II, h. 15.
3
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung, al- Ma’arif,
1980, cet. IV, h. 48-49.
30
progresif. Sebab sebelum kondisi itu terjadi kita tidak akan memperoleh manusia yang dapat melaksanakan segala cita-
cita yang luhur”.
4
Selain itu, Mahmud Yunus mengatakan”tugas yang pertama dan terutama yang
terpikul atas pundak alim ulama, guru agama dan pemimpin Islam ialah mendidik anak-anak, para pemuda, putra-putri, orang-orang dan
masyarakat umumnya supaya semuanya itu berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang halus”.
5
Jadi dapat dipahami bahwa pendidikan akhlak menurut al-Ghazali pada hakikatnya adalah tujuan utama pendidikan itu sendiri, karena akhlak
adalah aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun suatu Negara. Menurut al-Ghazali akhlak adalah hasil dari
pendidikan, latihan, pembinaan dan perjuangan keras dan sungguh- sungguh. Sebagaimana al-Ghazali katakan
“seandainya akhlak itu tidak menerima perubahan, maka batallah fungsi wasiat, nasihat, dan pendidikan
d an tidak pula fungsinya hadis nabi yang mengatakan “perbaiki akhlak
sekalian”.
6
Sebagaimana dijelaskan dalam al- Qur’an surat ar-Ra’ad 13
ayat 11:
Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila
4
Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan FIP IKIP, 1982, h.56.
5
Mahmud Yunus, Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Jakarta: Hida Karya Agung,1978, h. 12.
6
Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz.III, Beirut: Darul al-Fikri, t.t, h.54.
31
Allah menghendaki keburukan terhadapa suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain dia.
7
Hal ini sejalan dengan pemikiran Ibnu Miskawaih dalam pembahasan akhlak karakterwatak. Menurutnya watak itu adalah yang
bersifat alami dan ada watak yang diperoleh melalui kebiasaan atau latihan. Kedua watak terseebut menurut Ibnu Miskawaih bahwa watak itu
hakikatnya tidak alami, walaupun kita diciptakan dengan menenrima watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan
pengajaran.
8
Sama halnya dengan yang dikatakan Abuddin Nata bahwa pembentukan atau pendidikan akhlak diartikan sebagai usaha sungguh-
sungguh dalam rangka membentuk anak, dengan menggunakan sarana pendidikan dan pembinaan yang terprogram dengan baik dan dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh dan konsisten.
9
Pendapat al-Ghazali berbeda dengan Nativisme yang dipelopori oleh Arthur Schopenhauer 1778-1860, dari Jerman. Beliau mengatakan
bahwa bakat mempunyai peranan penting. Tidak ada gunanya orang mendidik kalau bakat anak memang jelek. Sehingga pendidikan
diumpamakan „merubah emas jadi perak’ jadi suatu hal yang tidak mungkin. Dengan demikian faktor lingkungan dan pendidikan menurut
aliran ini tidak bisa berbuat apa-apa dalam mempengaruhi perkembangan seseorang. dalam pendidikan ilmu aliran ini dikenal sebagai aliran
Pedagogik Pesivisme yaitu pendidikan yang tidak dapat dipengaruhi perkembangan anak ke arah kedewasaan yang dikehendaki oleh
pendidik.
10
Senada dengan aliran empirisme dipelopori oleh John Locke 1632-1704. Beliau mengatakan bahwa pendidikanitu perlu sekali. Teori
ini dikenal dengan teori tabularasa. Menurut teori ini lingkunganlah yang
7
Kementrian Agama RI, al- Qur’an dan Terjamah,Jakarta:Karya Mulya, 2012,h.337.
8
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al akhlak wa Tathhir al- A’raq, Beirut: Mansyurrah Dar al-
Maktabah al-Hayat, 1398 H, h. 25.
9
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, h. 156.
10
Amir Dien Indrakusuma, op.cit., h. 83.
32
menjadi penentu pekembangan seseorang. karena baik buruknya perkembangan pribadi seseorang sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan
atau pendidikan. Berbeda dengan aliran Nativisme, para ahliyang mengikuti aliran „Empirisme’ berpendapat bahwa perkembangan itu
sepenuhnya ditentukan oleh faktor lingkunganpendidikan sedangkan faktor dasarpembawaaan tidak berpengaruh sama sekali.
11
Pendapat al-Ghazali sejalan dengan aliran konvergensi dipelopori oleh William Stem 1871-1938. Aliran ini mengakui kedua-duanya. Jadi
pendidikan itu perlu sekali, tetapi semua ini terbatas karena bakat daripada anak didik. Aliran ini menjembatani atau memenengahi kedua teori
sebelumnya yang bersifat ekstrim yaitu teori Nativisme, sesuai dengan namanya Konvergensi yang artinya perpaduan, maka berarti teori ini tidak
memihak bahkan memadukan pengaruh kedua unsur pembawaan dan lingkungan tersebut dalam proses perkembangan.
12
Dengan penjelasan tersebut dapat dimengerti bahwa al-Ghazali berpendapat bahwa pendidikan akhlak itu sangat diperlukan, karena akhlak
seseorang dapat dirubah dengan jalan pendidikan dan pembinaan yang dilakukan oleh orang tua, guru ataupun lembaga pendidikan. Secara tidak
langsung, al-Ghazali tidak sependapat dengan aliran nativisme yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak perlu dibentuk karena akhlak adalah
instinct garizah yang dibawa sejak lahir, sehingga orang yang bakatnya pendek misalnya tidak dapat dengan sendirinya meninggikan dirinya,
demikian pula sebaliknya. b.
Sistem Pendidikan Akhlak Perhatian Islam terhadap pendidikan akhlak dapat pula dilihat
terhadap pembinaan jiwa yang harus didahulukan daripada pembinaan fisik, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan
11
Alifus Sabri, Pengembangan Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. I, h. 173.
12
Amir Dien Indrakusuma, op.cit., h. 83.
33
yang baik yang pada tahap selanjutnya akan mempermudah menghasilkan kebaikan dan kebahagian pada seluruh kehidupan manusia.
13
Hal ini sejalan dengan Yatimin Abdullah, yang mengatakan bahwa pendidikan akhlak Islam diartikan sebagai latihan mental dan fisik yang
menghasilkan manusia berbudaya tinggi untuk melaksanakan tugas kewajiban dan tanggung jawab dalam masyarakat selaku hamba Allah.
14
Sistem pendidikan akhlak menurut al-Ghazali terbagi dua yaitu pendidikan non formal dan formal, al-Ghazali berkata:
Pendidikan akhlak ini, berawal dari non formal dalam lingkup keluarga, mulai pemeliharaan dan makanan yang dikonsumsi.
Selanjutnya, bila anak telah mulai Nampak daya khayalnya untuk membeda-bedakan sesuatu tamyiz, maka perlu diarahkan kepada
hal positif. Al-ghazali juga menganjurkan metode cerita hikayat, dan keteladanan uswah al-hasanah. Anak juga perlu dibiasakan
melakukan sesuatu yang baik. Di samping itu, pergaulan anakpun perlu diperhatikan, karena pergaulan dan lingkungan itu memiliki
andil sangat besar dalam pembentukan kepribadian anak-anak. yang kedua yaitu pendidikan formal, bila anak sudah mencapai usia
sekolah, maka kewajiban orang tua adalah menyekolahkan ke sekolah yang baik, dimanaia diajarkan al-
Qur’an, hadits dan hal-hal yang bermanfaat. Anak perlu dijaga agar tidak terperosok kepada
yang jelek, dengan pujian dan ganjaran reward. Jika anak itu melakukan kesalahan, jangan dibukakan didepan umum. Bila
terulang lagi, diberi ancaman dan sanksi yang lebih berat dari yang semestinya. Anak juga punya hak istirahat dan bermain, tetapi
permainan adalah yang mendidik, selain sebagai hiburan anak.
15
Yatimin Abdullah mengatakan bahwa pendidikan akhlak Islam merupakan suatu proses mendidik, memelihara, membentuk dan
memberikan latihan mengenai akhlak dan kecerdasan berfikir baik yang bersifat formal maupun informal yang didasarkan pada ajaran-ajaran
Islam.
16
Perhatian al-Ghazali terhadap faktor makanan baik orangtua atau anak merupakan hal menarik. Ini menurutnya akan menjadi gen baik dan
13
Muhammad al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Ter. Moh. Rifa’i dari judul asli Khluk
al-Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993, h. 13.
14
Yatimin Abdullah, Studi Akhlak dalam Perspektif al- Qur’an, Jakarta: Mizan, 2007, h.
22.
15
Al-Ghazali, Ihya’ Ulumu al-din, Kairo: Daar al-Takwa, 2000, h. 624-627.
16
Yatimin Abdulah, op.cit., h. 22.
34
buruk bagi perkembangan generasi. Demikian pula pendidikan di rumah serta pergulan. Dalam kontek ini al-Ghazali setuju dengan aliran
konvergensi yang menyatakan pendidikan ditentukan oleh titik temu faktor pembawaan anak dan pendidikan yang dibuat secara khusus atau melalui
interaksi dalam lingkungan sosial. Fitrah dan kecenderungan ke arah yang baik yang ada dalam diri manusia dibina secara intensif melalui berbagai
metode.
17
c. Tujuan Pendidikan Akhlak
Al-Ghazali menjelaskan yang disebut dengan al- sa’adah yaitu
mampu hidup dengan baik di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan ini dapat dicapai kalau dalam kehidupan manusia ada satu nilai baik al-khair
atau nilai tambah al-fhadail, oleh al-Ghazali dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Nilai intelektual dan sikap moral yang meliputi ilmu
pengetahuan, hikmah, kebijaksanaan, kesucian, sifat-sifat baik, keberanian, moral, dan cinta keadilan.
b. Nilai fisik dan energi yang meliputi kesehatan jasmani dan
rohani, kemampuan psikis, ketampanan, dan kecantikan serta umur panjang.
c. Nilai tambah yang bersifat spiritual berupa hidayah Allah
SWT, petunjuk kebenaran-Nya serta perlindungan-Nya.
18
Senada yang dikatakan Ibnu Miskawaih, tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong
melakukan perbuatan yang benilai baik atau pribadi susila, sehingga akan memperoleh kebahagian disisi Allah di akhirat kelak dan hidup dengan
prilaku yang baik di dunia. Dengan begitu diharapkan akan memperoleh kebahagian al-
sa’adah.
19
Pendapat al-Ghazali ini tidak berbeda dengan
17
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, cet. 1, h. 113.
18
Mahjuddin, Konsep Pendidikan Akhlak dalam al- Qur’an dan Petunjuk Penerapannya
Dalam Hadis, Jakarta: Kalam Mulia, 2000, cet. 1, h. 5.
19
Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, Yogyakarta: al-Amin press, 1997, h. 70.