Perkembangan Moral Remaja KAJIAN TEORI
42
Piaget berkesimpulan bahwa anak-anak berpikir melalui dua cara yang berbeda mengenai moralitas, tergantung pada kematangan perkembangannya,
yaitu: moralitas heteronom heteronomous morality adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang berlangsung antara usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan
aturan-aturan dipandang sebagai sifat-sifat mengenai dunia yang tidak dapat diubah dan dihilangkan dari control manusia. Moralitas otonom autonomous
morality adalah perkembangan moral dalam teori Piaget yang diperlihatkan oleh- oleh anak-anak yang lebih besar sekitar umur 10 tahun ke atas. Anak menjadi
menyadari aturan-aturan dan hukum-hukum yang diciptakan oleh orang, dan bahwa
dalam memutuskan
suatu tindakan,
seseorang seharusnya
mempertimbangkan intensi aktor maupun konsekuensinya.
81
Seorang pemikir heteronom menentukan benar atau baiknya perilaku dengan mempertimbangkan konsekuensi dari perilaku tersebut, bukan intense dari
aktor. Sebagai contoh, pemikir heteronom mengatakan bahwa memecahkan 12 piring secara tak sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue, itu lebih buruk
dibandingkan apabila memecahkan sebuah piring secara sengaja. Bagi seorang otonomis moral, malah kebalikannyalah yang benar. Intensi aktor dianggap
sebagai hal yang lebih penting. Pemikir heteronom juga berpendapat bahwa aturan-aturan itu tidak dapat
diubah dan dibuat oleh otoritas yang memiliki kuasa penuh. Ketika Piaget memperkenalkan sebuah aturan baru dalam permainan kelereng kepada
sekelompok anak kecil, mereka menolak. Sebaliknya anak-anak yang lebih besar- seorang otonomis moral, bersedia menerima perubahan dan mengenali aturan-
aturan tersebut hanya sebagai suatu kesepakatan yang disetujui bersama secara sosial dan dapat diubah melalui consensus.
Pemikir heteronom juga mempercayai immanent justice, gagasan bahwa apabila sebuah aturan dilanggar, maka hukuman akan segera diterima. Anak kecil
berpendapat bahwa pelanggaran secara otomatis berkaitan dengan hukuman. Kemudian Lawrence Kohlberg mengembangkan pemikiran tersebut
Piaget, melalui penelitiannya untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang mendasari perkembangan pemikiran moral. Kemudian dari penelusuran teori yang
81
John W. Santrock, Remaja, Op.cit., h. 302
43
dicetuskan Kohlberg, perkembangan moral telah memberikan dasar bagi analisis dari banyak pertanyaan yang berkaitan dengan moralitas.
Kohlberg mencoba untuk mengidentifikasi tahapan kognitif yang mendasari perkembangan pemikiran moral, melalui serangkaian penelitiannya.
Dia menanyakan kepada responden 72 Remaja laki-laki berusia 10, 13 dan 16 tahun, tentang apa yang mereka pikirkan mengenai perbedaan “pilihan moral”.
Pilihan moral tersebut antara lain adalah tentang kasus Heints yang menghadapi istrinya yang nyaris mati karena sakit kanker. Heints dihadapkan pada pilihan.
Apakah harus membiarkan istrinya sampai mati lantaran tidak bisa membelikan obat yang harganya sangat mahal, atau harus mengambil obat tersebut secara
paksa dari apoteker tersebut. Pada akhirnya Heints mengambil keputusan untuk masuk dengan paksa ke dalam toko obat tersebut guna mencuri obat untuk
istrinya. Para remaja tadi diminta untuk mengomentari keputusan Heints serta
mengidentifikasi alasan-alasannya. Kemudian berdasarkan tanggapan para remaja terhadap dilemma Heints tersebut, Kohlberg mengambil kesimpulan bahwa
perkembangan setiap individu itu melalui tiga fase tingkatan dari perkembangan moral, yang masing-masing memiliki sub tahapan.
Tahap-tahap Kohlberg Atas Perkembangan Moral Anak-anak dan Remaja
Tingkat Perkembangan Moral
Karakteristik Perkembangan Moral
1. Prakonvensional
1. Ketaatan terhadap hukuman: berupaya untuk
menghindari hukuman. 2.
Instrumental: aku akan melakukan itu jika kamu melakukan sesuatu untuk aku.
2. Konvensional 3.
Persetujuan interpersonal: aku akan melakukan itu dengan baik, dan kamu juga melakukannya,
sebagaimana aku melakukannya. 4.
Hukum dan aturan: saya akan melakukan itu sebab adalah hukum.
3. Postkonvensional
5. Kontrak sosial: saya akan melakukan itu sebab
hal itu adalah yang terbaik untuk semua orang. 6.
Etika Universal: aku akan melakukan itu sebab adalah hakkebenaran yang bersifat universal.
44
1. Tahap prakonvensional
Pada level prakonvensional, individu-individu merespon perhatian personal dan tindakan untuk memenuhi kebutuhan personal secara fisik dan
hedonistik. Tahap pertama orientasi hukuman. Individu-individu pada tahap pertama
penalaran moral melakukan penilaian judgments dalam terminologi konsekuensi secara fisik. Mereka menghindari hukuman dan bahkan
kadang-kadang mereka mengalah untuk menghindari hukuman. Tahap kedua orientasi instrumental. Individu-individu pada tahap kedua
perkembangan penalaran moral melakukan penilaian dalam cara atau aturan yang sesuai dengan kebutuhannya. Mereka tidak loyal terhadap
orang lain. Meskipun demikian, unsur-unsur berbagi rasa dan hubungan persahabatan, dilakukan dengan maksud untuk memenuhi kebutuhan dan
keuntungan pribadi, bukan diarahkan terhadap kepentingan dan loyalitas terhadap orang lain.
2. Tahap Konvensional
Pada tahap konvensional. Kebutuhan egosentrik digantikan dengan harapan terhadap grup. Konformitas, loyalitas, dan identifikasi dengan grup
berbasis pada penilaian moral. Tahap ketiga orientasi hubungan interpersonal. Berdasar penilaian moral,
remaja pada tahap ini sering kali dikenal sebagai anak laki-laki yang baik, atau anak perempuan yang manis. Perilaku pada tahap ini ditandai dengan
penerimaan perilaku oleh orang lain. Terutama dalam hal otoritas. Tahap keempat orientasi hukum dan aturan. Tugas, aturan, pemeliharaan
norma-norma sosial dan rasa hormat untuk otoritas membentuk basis keputusan moral pada tahap keempat perkembangan moral. Apa yang
benar adalah apa yang mendikte otoritas.
3. Postkonvensional
Sebagaimana diketahui bahwa tahap otonomi dan prinsip pada tahap sebelumnya menjadi basis penilaian moral pada tahap postkonvensional. Pada
tahap postkonvensional ketidaktaatan sosial masih dapat ditoleransi. Tahap kelima orientasi kontrak sosial. Pada tahap kelima ini, hak-
hakkebenaran menggantikan
otoritas individu.
Demikian pula
pengambilan keputusan, tergantung atau didasarkan pada kepentingan bersama. Penekanan pada consensus menjadi basis untuk mengembangkan
kontrak sosial.
45
Tahap keenam orientasi prinsip etika universal. Kesadaran, perkembangan penalaran logis, kekomprehensifan, dan universalitas menjadi basis
penilaian moral. Prinsip-prinsip abstrak menjadi basis keadilan. Pada tahap postkonvensional, individu mengikuti aturan sebagaimana adanya sesuai
dengan asa hukum universal. Pada tahap ini, individu tidak memerlukan penguatan untuk mengikuti suatu aturan.
82
Pada dasarnya “setiap tahapan dibedakan oleh alasan moral yang lebih kompleks, lebih konferhensif, lebih terintegrasi dan lebih membedakan dari pada
alas an tahapan sebelumnya.”
83
Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar
atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi. Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari
perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian.
Selain kasus Heints, Kohlberg juga mengidentifikasi isu dilema moral remaja dari kasus-kasus yang lain yang dapat menimbulkan konflik,
diantaranya: termasuk hukuman, property, afiliasi, otoritas, karakter watak, norma atau aturan-aturan, kesepakatan contrac, kebenaran,
kebebasan, kehidupan dan seks. Sebagai contoh, jika seorang remaja berada pada posisi dilemma antara otoritas dan afiliasi, maka remaja dapat
menggunakan pemikiran moral untuk mengambil keputusan, termasuk mengikuti standar moral, konsekuensi, kewajaran dan kesadaran moral
dengan perspektif sosial untuk mendukung pilihan itu.
84
Menurut perspektif psikoanalisa, Sigmund Freud sebagai tokoh dari aliran ini berasumsi bahwa mental dan kepribadian seseorang dipandang sebagai suatu
struktur yang tediri dari tiga unsur atau sistem, yakni yang pertama “id” Das Es
adalah sistem kepribadian yang paling dasar, sistem yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan. Id merupakan sistem yang bertindak sebagai penyedia atau
penyalur energi oleh sistem-sistem tersebut untuk operasi-operasi atau kegiatan- kegiatan yang dilakukannya, namun dalam soal energi ini id tidak bisa
mentoleransi penumpukan energi yang bisa menyebabkan meningginya taraf
82
Ibid., h. 55-56
83
Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, op. cit., h. 83
84
Syamsul Bachri Thalib, loc. cit., h. 54-55
46
tegangan individu secara keseluruhan, degan demikian individu membutuhkan sistem lain yang bisa mengarahkannya kepada pengurangan-pengurangan
ketegangan secara nyata atau sesuai dengan kenyataannya yaitu ego. Kedua, “ego” yang merupakan sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah
individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan. Menurut Freud, ego terbentuk pada struktur
kepribadian individu sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Ketiga , “Superego”
das Ueberich adalah sistem kepribadian yang berisikan nilai-nilai dan aturan- aturan yang sifatnya evaluatif menyangkut baik-buruk sebagai pengendali
dorongan-dorongan naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dalam cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat.
85
Meskipun ketiga sistem tersebut memiliki fungsi, kelengkapan, prinsip- prinsip operasi, dinamisme dan mekanismenya masing-masing, ketiga sistem
kepribadian ini satu sama lain saling berkaitan serta membentuk suatu totalitas sebagai pemelihara kelangsuangan hidup individu.
Dari pandangan psikoanalisa, “dorongan pembawaan innate terutama
dorongan seksual dan agresif dikontrol oleh perkembangan superego, demikian pula perilaku moral yang muncul sebagai hasil dari kecemasan yang berasosiasi
dengan pikiran dan perasaan bersalah, dikontrol oleh perkembangan superego yang sifatnya instintif
”.
86
Mengenai perkembangan kepribadian individu berlandaskan pada dua premis. Pertama, bahwa kepribadian individu dibentuk oleh berbagai jenis
pengalaman masa kanak-kanak awal. Kedua, energi seksual libido ada sejak lahir, dan kemudian berkembang melalui serangkaian tahapan psikoseksual yang
bersumber pada proses-proses naluriah organisme. Sigmund freud menegaskan serangkaian tahapan psikoseksual pada
manusia terdapat empat fase yang kesemuanya menentukan bagi pembentukan kepribadian dan masing-masing fase berkaitan dengan daerah erogan tertentu.
Adapun fase-fase tersebut adalah fase perkembangan yang berlangsung pada
85
E. Koswara, Teori-teori Kepribadian, Bandung: Eresco, 1991, cet ke-2, h. 32-34
86
Syamsul Bachri Thalib, op. cit., h. 57
47
tahun pertama dari kehidupan individu dan daerah yang erogan pada fase ini adalah mulut fase oral, yakni berkaitan dengan pemuasan kebutuhan dasar akan
makanan atau air. fase anal yang dimulai dari tahun kedua sampai ketiga dan pada fase ini fokus kepada energi libidal dialihkan dari mulut ke daerah dubur,
serta kesenangan atau kepuasan diperoleh dalam kaitannya dengan tindakan mempermainkan atau menahan faeces kotoran. Dengan demikian pada fase ini
disebut pulalah anak mulai diperkenalkan kepada aturan-aturan kebersihan oleh orang tuanya. fase falik berlangsung pada tahun keempat atau kelima, yakni fase
ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin. Dan fase genital terjadi pada masa-masa memasuki pubertas, individu
mengalami kebangkitan atau peningkatan dalam dorongan seksual, dan mulai menaruh perhatian terhadap lawan jenis.
87
Secara psikologis kaitannya dengan perkembangan moral remaja, gangguan atau kekacauan jiwa dan pada akhirnya melahirkan tindakan devian
menyimpang yang dialami oleh remaja ditimbulkan oleh karena frustasi kebutuhan seksual yang dialaminya pada masa kanak-kanak. Sigmund Freud
meyakinkan mengenai demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak, sehingga jika seorang anak tidak mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan
seksual secara wajar, maka ia akan mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa.
88
Perkembangan moral berdasarkan perspektif ini menekankan pada disiplin pengasuhan sejak dini hingga dewasa.
Perkembangan moralitas berdasarkan perspektif behavioristik adalah melalui model, proses imitasi, dan penguatan reinforcement. Remaja mengalami
perkembangan moral sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang menyediakan model perilaku moral. Syamsul Bachri Thalib menemukan bahwa
gender, status sosial ekonomi, religiositas, intelegensi, fokus kendali, dan karakteristik kepribadian dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Sebagai
contoh, ia menemukan bahwa faktor-faktor eksternal orang tua, teman sebaya, dan tokoh-tokoh agama,dll berpengaruh terhadap perkembangan remaja,
87
E. Koswara, Op.cit., h. 49-53
88
Akyas Azhari, Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Teraju Mizan, 2004, h. 50
48
termasuk perkembangan moralnya.
89
Teori ini adalah teori pembentukan moral yang berangkat dari proses imitasi, modeling, latihan-latihan dan pembiasaan.
Untuk mengokohkan perilaku-perilaku yang dibentuk harus dilakukan secara terus menerus dan diperlukan penguatan, sehingga menjadi kebiasaan.
Kemudian berdasarkan perspektif kognitif, internalisasi peran masyarakat dan belajar sosial berperan penting dalam perkembangan moralitas remaja, tetapi
keduanya bukan merupakan faktor tunggal yang cukup mengeksplanasi perkembangan moral dan perilaku remaja. Seperti halnya menurut Piaget,
perkembangan moral berkaitan dengan kemampuan kognitif remaja.
90
Dengan perkataan lain, perkembangan moral menurut perspektif ini menekankan pada
perkembangan penalaran rasional. Seseorang tersebut sadar secara moral, ketika ia sudah matang kognisinya.
Secara khusus moral dapat dipahami, lebih kepada interaksi kepada orang lain. Teori sosialisasi menekankan interaksi manusia dalam perkembangan moral,
sedangkan teori kognitif lebih menekankan peran kognisi, termasuk informasi- informasi yang relevan dengan proses perkembangan moral. Jadi perkembangan
moral remaja merupakan hasil dari interaksi yang kompleks nilai-nilai dan perilaku pengasuhan, aktivitas pemrosesan pikiran, dan faktor-faktor lingkungan
pada umumnya, termasuk lingkungan pergaulanteman sebaya, sekolah, aktivitas dalam kehidupan keseharian remaja di dalam keluarga.