Konsep Keluarga dalam Islam

18 Keluarga adalah wadah pertama dan utama bagi pertumbuhan dan pengembangan anak. Jika suasana dalam keluarga itu baik dan menyenangkan, maka anak akan tumbuh baik pula. Jika tidak, maka akan terhambatlah pertumbuhan anak tersebut. Peranan orang tua dalam keluarga amat penting. Dialah yang mengantarkan dan membuat rumah tangganya menjadi surga bagi anggota keluarga. Menjadi mitra sejajar yang saling menyayangi dengan suaminya. 40 Dalam membicarakan pasal tempat-tempat pendidikan, memang benar bahwa rumah tangga dan masyarakat termasuk dalam kategori wadah dilaksanakannya pendidikan. Rumah tangga, memiliki pengaruh yang lebih dalam pendidikan terutama dalam aspek pengaruh bahasa dan percakapan, moral dan perilaku, perasaan dan sebagainya. Sejalan dengan hal itu, maka sebagai wadah dimana pendidikan dilaksanakan, rumah tangga atau keluarga berfungsi dan mempunyai tanggung jawab dalam tiga hal penting: a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangannya. 41 Pendidikan anak secara umum di dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh orang tua bahkan anggota keluarga lainnya, namun pengaruh dan akibatnya sangatlah besar. Terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupan anak atau pada masa balita di bawah lima tahun. Pada umur tersebut pertumbuhan kecerdasan anak masih terkait kepada panca inderanya dan belum bertumbuh pemikiran logis atau maknawinya abstrak, atau dapat kita katakan bahwa anak masih berpikir inderawi. Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga terutama para orang tua untuk lebih memperhatikan dan memahami ciri-ciri anak pada umur- umur tertentu dan mengetahui keperluan utama anak pada berbagai tahap umur, 40 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung, CV Ruhama, 1994, h. 47 41 Ulfatmi, op.cit., h. 27 19 hal ini guna mencapai tujuan dan fungsi-fungsi pendidikan dalam keluarga, yang salah satunya adalah mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasanya yang akan datang dalam memenuhi perannya sebagai orang dewasa. Karena dalam kondisi apapun pada dasarnya manusia memerlukan pemeliharaan, pengawasan, dan bimbingan yang serasi dan sesuai agar pertumbuhan dan perkembangannya berjalan secara baik dan benar. Keluarga merupakan lapangan pendidikan yang pertama, dan pendidiknya adalah kedua orang tua. Orang tua bapak dan ibu adalah pendidik kodrati. Mereka pendidik bagi anak-anaknya karena secara kodrati ibu dan bapak diberikan anugerah oleh Tuhan Pencipta berupa naluri orang tua. Karena naluri ini, timbul rasa kasih dan sayang para orang tua kepada anak-anaknya, hingga secara moral, keduanya merasa terkena beban tanggung jawab untuk memelihara, mengawasi, melindungi dan membimbing keturunan mereka. Pendidikan keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan anak. Perkembangan agama adalah terjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan manusia sangat kompleks. Namun demikian, melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat di dalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan tenaga kejiwaan ini pulalah, agama itu dalam menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Rasul yang mulia menekankan tanggung jawab itu kepada kedua orang tua. 42 Berkaitan dengan perkembangan agama, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya bergantung pada bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orangtuanya. Kehidupan moral tidak dapat dipisahkan dari keyakinan beragama. Karena nilai-nilai moral yang tegas, pasti dan tetap, tidak berubah karena keadaan, tempat dan waktu, adalah nilai yang bersumber kepada agama. Karena itu dalam 42 Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Bandung: CV Pustaka Setia, 2008, Cet. 1, h. 55 20 pembinaan anak khususnya generasi muda, perlulah kehidupan moral dan agama itu sejalan dan mendapat perhatian yang serius terutama bagi kedua orang tua. 43 Dalam pendidikan dan pembinaan generasi muda, peranan wanita sangat penting, karena seorang ibulah biasanya yang paling lama berada di rumah di sisi anak-anaknya dan pembinaan itu berarti pembinaan segala aspek dari kehidupan mereka, terutama pembinaan pribadi yang mulai sejak si anak lahir, bahkan sejak dalam kandungan. Di samping itu perlu kita sadari bahwa pembinaan pribadi dan moral itu terjadi melalui semua segi pengalaman hidup, baik melalui penglihatan, pendengaran dan pengalamanperlakuan yang diterimanya. Atau melalui pendidikan dalam arti yang luas. Maka semakin besar umur si anak semakin banyak ia bergaul dengan ibunya dan semakin banyaklah ia menyerap pengalaman yang akan ikut membina pribadinya dari ibunya sendiri. Namun, tidak bisa kita pungkiri, bahwa peranan seorang bapak yang sebagai kepala rumah tangga pemimpin juga sangat penting peranannya bagi anak-anaknya. Dilihat dari ajaran Islam, anak adalah amanat Allah SWT, dan setiap amanat wajib dipertanggung jawabkan. Karena itu kedua orang tua memiliki tanggung jawab yang besar bagi anak-anaknya, terutama dalam penyelenggaraan pendidikan dalam keluarga dan pembinaan pribadinya. Peran kedua orangtua dalam pendidikan anak menjadi dasar bagi perkembangan pola pikir, perilaku dan sikap anak yang terbentuk, dengan harapan anak-anak yang tumbuh nanti menjadi anak yang shaleh dan berbudi pekerti baik. 3. Interaksi Harmonis dalam keluarga Masyarakat merupakan ajang hidup anak remaja di samping keluarga dan lingkungan sekolah. Masyarakat merupakan kelompok manusia yang sudah cukup lama mengadakan interaksi sosial dalam kehidupan bersama yang diliputi oleh struktur serta sistem yang mengatur kehidupan. Disamping itu di dalamnya terdapat pula kebudayaan dan salah satu unsur pokok masyarakat, yakni: Solidaritas sosial. Di dalam kehidupan manusia pastinya terjadi interaksi sosial di 43 Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, h. 131 21 antara individu dengan individu yang masing-masing mamiliki kesadaran dan pengertian tentang hubungan timbal balik tersebut. 44 Adanya kesadaran dan pengertian akan tercerminnya dalam sifat kehidupan sehari-hari mereka yang satu sama lainnya merasa saling bergantung. Memang di dalam kehidupan sehari-hari seorang individu ternyata jarang sekali untuk mampu memenuhi segala kebutuhan hidupnya secara sendiri. Dengan demikian hubungan manusia dengan manusia lainnya di dalam masyarakat memerlukan perekat dan bekal agar hubungan tersebut terjalin dengan baik dan akrab. Agar dapat menjalin hubungan dengan baik antar sesama individu, maka peranan keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat dibutuhkan. Seperti halnya yang telah kita ketahui sebelumnya, keluarga terdiri dari suami, isteri dan anak-anaknya. Anak-anak inilah yang nantinya berkembang dan mulai bisa belajar melalui pengenalan itu. Apa yang dilihatnya, pada akhirnya akan memberinya suatu pengalaman individual. Dari situlah ia mulai dikenal sebagai individu. Individu ini pada tahap selanjutnya mulai merasakan bahwa telah ada individu-individu lainnya yang berhubungan secara fungsional. Individu-individu tersebut adalah keluarganyalah yang memelihara cara pandang dan cara menghadapi masalah-masalahnya, membinanya dengan cara menelusuri dan meramalkan hari esoknya untuk mempersiapkan pendidikan, keterampilan dan budi pekertinya. Akhirnya keluarga menjadi semacam model untuk mengidentifikasikan sebagai keluarga menjadi yang broken home, moderate atau keluarga yang harmonis. Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal anak, sangat berpengaruh secara langsung terhadap perkembangannya sebelum maupun sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat. Jadi sebagian besar anak dibesarkan oleh keluarga, di samping itu kenyataan menunjukkan bahwa di dalam keluargalah anak mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang pertamakali. Pada dasarnya keluarga merupakan lingkungan kelompok sosial yang paling kecil, akan 44 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka Cipta, 1989, cet. 1, h. 16-17 22 tetapi juga merupakan lingkungan paling dekat dan terkuat di dalam mendidik dan membina anak, dengan demikian seluk beluk kehidupan keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan anak dan remaja. Sudarsono menjelaskan, “sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan juga untuk seterusnya, sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga, maka sepantasnyalah ketika kemungkinan adanya deviasi pada perkembangan anak khususnya remaja sebagian besar pula bisa berasal dari keluarga. ” 45 Dalam kenyataannya sering terjadi hubungan individu dengan individu atau bahkan hubungan individu dengan kelompok mengalami gangguan yang disebabkan karena terdapat seorang atau sebagian anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain, gangguan-gangguan yang terjadi tidak jarang muncul dari perbuatan- perbuatan anak remaja yang tidak terpuji serta mengancam hak-hak orang lain di tengah-tengah masyarakat, antara lain: a. Mengancam hak milik orang lain misalnya: pencurian, penipuan dan penggelapan. b. Mengancam hak-hak hidup dan kesehatan orang lain, seperti: pembunuhan dan penganiayaan. c. Mengancam kehormatan orang lain dan bersifat tidak susila, seperti: pemerkosaan dan perzinahan. 46 Perbuatan-perbuatan anak remaja tersebut pada akhirnya akan menimbulkan keresahan sosial sehingga kehidupan di dalam keluarga karena perbuatan si remaja tadi dan dalam masyarakat tidak harmonis lagi, ikatan solidaritas menjadi runtuh. Secara yuridis formal perbuatan-perbuatan mereka jelas melawan hukum tertulis atau undang-undang. Kemudian jika ditinjau dari segi moral dan kesusilaan, perbuatan-perbuatan tersebut melanggar moral, menyalahi norma-norma sosial dan bersifat anti susila. Kenakalan remaja yang dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat, sebenarnya bukanlah suatu keadaan yang berdiri sendiri, kenakalan remaja akan muncul karena beberapa 45 Ibid., h. 20 46 Ibid., h. 18-19 23 sebab, baik karena keadaan lingkungan masyarakat dan terlebih bisa juga karena keadaan keluarga si remaja. Pada hakikatnya, kondisi keluarga yang menyebabkan timbulnya kenakalan remaja itu bersifat kompleks. Di antaranya kondisi tersebut dapat terjadi karena kelahiran anak di luar perkawinan yang syah menurut hukum atau agama. Di samping itu kenakalan anak atau remaja juga dapat disebabkan keadaan keluarga yang tidak normal, yang mencakup keadaan ekonomi keluarga, terutama menyangkut keluarga miskin atau keluarga yang menderita kekurangan jika dibandingkan dengan keadaan ekonomi penduduk pada umumnya. Bahkan sering terjadi dalam keadaan mendesak seluruh anggota keluarga ikut mencari nafkah untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi keluarga seperti ini biasanya memiliki konsekuensi lebih lanjut dan kompleks terhadap anak-anak, antara lain: hampir setiap hari anak terlantar, biaya sekolah anak-anak tidak tercukupi, di samping itu biaya kebutuhan lainnya juga tidak tercukupi. Akibatnya akan kompleks pula, dalam kondisi yang serba sulit dapat mendorong anak atau remaja menjadi sembarangan bergaul, kemudian bisa terpengaruh gaya hidup temen sebayanya, sehingga bisa menjadi penyebab deviasi pada perkembangan anak dan remaja. 47 Dalam perspektif teori sosial-psikologi memandang bahwa kebutuhan- kebutuhan remaja itu adalah berkaitan erat dengan pemuasan kebutuhan mereka dalam kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan psikologi yang pokok akan mengarahkan tercapainya rasa aman. Kebutuhan-kebutuhan tersebut menurut Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, adalah sebagai berikut: a. Kebutuhan untuk menerima afeksi dari kelompok atau individu lain, meliputi: 1 Menerima rasa kasih sayang dari keluarga atau orang lain di luar kehidupan keluarga 2 Menerima pemujaan atau sambutan hangat dari teman-temannya 3 Menerima penghargaan dan apresiasi dari guru dan pendidik lainnya. b. Kebutuhan untuk memberikan sumbangan kepada kelompoknya, meliputi: 1 Menyatakan afeksi kepada kelompoknya 2 Turut serta memikul tanggung jawab kelompok 47 Ibid., h. 20-21 24 3 Menyatakan kesediaan dan kesetiaan kepada kelompok 4 Menghayati keberhasilan dalam kelompok c. Kebutuhan untuk memahami d. Kebutuhan untuk mempelajari dan menyelidiki sesuatu Jika dikaji lebih lanjut tentang interaksi dalam keluarga. Keluarga memiliki pengaruh yang paling mendasar dalam perkembangan remaja. Untuk mencapai ketenteraman dan kebahagiaan dalam keluarga, di antaranya memang diperlukan penciptaan suasana yang baik adalah usaha menciptakan terwujudnya saling pengertian, saling menerima, saling menghargai, saling percaya dan saling menyayangi di antara suami isteri dan antara seluruh anggoata keluarga lainnya. 48 Untuk pencapaian tujuan tersebut maka setiap rumah tangga dituntut untuk memiliki pola pembinaan terencana untuk keluarga khususnya terhadap anak. Di antara pola pembinaan terencana tersebut ialah memberi suri tauladan yang baik kepada anak-anak dalam berpegang teguh pada ajaran-ajaran agama dan akhlak yang mulia, menyediakan bagi anak-anak peluang-peluang dan suasana praktis di mana mereka mempraktekkan akhlak yang mulia yang diterimanya dari orang tuanya, memberi tanggung jawab yang sesuai kepada anak-anak supaya mereka merasa bebas memilih dalam tindak-tanduknya, menunjukkan bahwa keluarga selalu mengawasi mereka dengan sadar dan bijaksana dalam sikap dan tingkah laku kehidupan sehari-hari mereka, menjaga mereka dari pergaulan teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat yang dapat menimbulkan kerusakan moral. Dengan demikian, jelas bahwa keluarga atau rumah tangga dengan anggota kelompoknya pada dasarnya dapat diidentifikasi sebagai sebuah kelas yang menjalankan proses transformasi perilaku, pengetahuan serta sikap, terutama sikap terampil dan mandiri. Selain itu sebagai sebuah lembaga pendidikan rumah tangga berkepentingan menyediakan pendidikan pra-nikah agar keharmonisan yang telah dicapai dapat diwariskan kepada generasi sesudahnya. 49 Ada banyak problema yang bisa dijadikan bahan ajar terhadap remaja-remaja yang beranjak dewasa di dalam keluarga sebagai bekal bagi mereka ketika berumah tangga. 48 Zakiah Daradjat, op.cit., h. 47 49 Ulfatmi, op.cit., h. 27 25 Isyu-isyu kekerasan dalam rumah tangga, perilaku seks remaja dan akibatnya, ragam pesoalan suami isteri, pengaturan ekonomi dan pendidikan, perilaku berumah tangga serta memahami hubungan rumah tangga dengan masyarakat semuanya adalah bahan kajian yang bisa ditransfer kepada para remaja dalam rangka mempersiapkan diri mereka munuju gerbang pernikahan.

C. Remaja dan Ciri-ciri Perkembangannya

1. Pengertian Remaja Remaja ada di dalam tempat marginal. Berhubung ada macam-macam persyaratan untuk dapat dikatakan dewasa, maka lebih mudah untuk dimasukkan kategori anak dari pada kategori dewasa. Baru pada akhir abad ke-18 maka masa remaja dipandang sebagai periode tertentu lepas dari periode kanak-kanak. Meskipun begitu kedudukan dan stasus remaja berbeda dari pada anak. “Remaja berasal dari kata latin adilenscere kata bendanya, adolensecentia yang berarti re maja, yang berarti pula “tumbuh” atau tumbuh menjadi dewasa”. 50 Lazimnya masa remaja dianggap sebagai permulaan seorang anak secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai usia matang secara hukum. Umur remaja dalam pandangan hukum dapat diketahui dari posisinya dimata hukum. Undang-Undang No. 22 2009 tentang lalu lintas, pasal 81 ayat 2 menetapkan syarat usia 17 tahun untuk SIM-A Surat Izin Mengemudi Mobil dan SIM-C surat izin mengemudi Sepeda Motor. Undang-undang ini tidak mengecualikan mereka yang sudah menikah di bawah usia tersebut dan memperlakukan semua yang di bawah usia tersebut sebagai belum cukup usia, atau belum dewasa untuk mengemudi kendaraan bermotor. Sementara itu, Undang-Undang No. 10 2008, tentang Pemilu, pasal 1 angka 22 menetapkan usia 17 tahun atau sudah menikah sebagai batas usia seseorang berhak memilih dalam pemilihan umum. 51 Dalam hubungannya dengan hukum, tampaknya hanya Undang-Undang Perkawinan saja yang mengenal konsep “remaja walaupun secara tidak terbuka. 50 Zakiah darajat, Psikologi, Bandung: Teraju Mizan, 1974, h. 178 51 Sarlito W Sarwono, Psikologi Remaja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011, Cet. 14. H. 7-8 26 Usia minimal untuk suatu perkawinan menurut undang-undang tersebut adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria pasal 7 UU No. 1 1974 tentang perkawinan. Jelas bahwa undang-undang tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak-anak sehingga mereka sudah boleh menikah. Dari segi ajaran Islam istilah remaja atau kata yang berarti remaja tidak ada dalam Islam. Di dalam Al-Quran ada kata alfiyatu-fityatun yang artinya orang muda. Seperti firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Kahfi :                  Artinya: “ingatlah tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: Wahai Tuhan Kami, berikanlah rahmat kepada Kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi Kami petunjuk yang Lurus dalam urusan Kami ini ”. QS. Al-Kahfi [18]: 10 52 Dan terdapat pula kata baligh yang menunjukkan seseorang tidak kanak- kanak lagi, misalnya dalam surat An-Nuur:                       Artinya: “Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur baligh, Maka hendaklah mereka meminta izin, seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya.dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. An-Nur [24]: 59 53 Pada kata baligh tersebut terdapat istilah kata baligh yang dikaitkan dengan mimpi. Kata baligh dalam istilah hukum Islam digunakan untuk penentuan umur awal kewajiban-kewajiban melaksanakan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari. “Masa remaja merupakan masa yang penting dalam rentang kehidupan. Masa ini dikenal sebagai suatu periode peralihan, suatu masa perubahan yang sangat pesat, usia bermasalah, saat dimana individu mencari identitas, usia yang 52 Departemen Agama, op. cit., h. 235 53 Ibid., h. 285 27 menakutkan, masa yang tidak realistic dan pada akhirnya mengalami masa ambang dewasa”. 54 Kemudian mengenai perkembangan remaja. Para ahli psikologi pada umumnya menunjuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakterisitik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan kemampuan dan karakterisitik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis sering dikenal istilah “kematangan”. 55 Perkembangan berkaitan erat dengan pertumbuhan. Berkat adanya pertumbuhan maka pada saatnya anak akan mencapai kematangan. Perbedaan antara pertumbuhan dan kematangan, pertumbuhan menunjukkan perubahan biologis yang bersifat kuantitatif, seperti bertambah panjang ukuran tungkai, bertambah lebarnya lingkar kepala, bertambah beratnya tubuh, dan semakin sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf. Adapun tahapan fase perkembangan individu berdasarkan psikologis. Para ahli menggunakan aspek psikologis sebagai landasan menganalisa tahap perkembangan yang khas bagi individu pada umumnya dapat digunakan sebagai masa perpindahan dari fase yang satu ke fase yang lain dalam perkembangannya. Dalam hal ini para ahli berpendapat bahwa dalam perkembangan pada umumnya individu mengalami kegoncangan. Kegoncangan tersebut terjadi dua kali yaitu pada tahun ketiga dan keempat dan pada permulaan masa pubertas. Berdasarkan dua masa kegoncangan tersebut, perkembangan individu dapat digambarkan melewati tiga periode atau masa, yaitu: a. Dari lahir sampai masa kegoncangan pertama tahun ketiga atau keempat yang disebut masa kanak-kanak. b. Dari masa kegoncangan pertama sampai masa kegoncangan kedua yang disebut masa keserasian bersekolah. 54 M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007, cet. 3, h. 25 55 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op. cit., h. 11 28 c. Dari masa kegoncangan kedua sampai akhir masa remaja yang disebut masa kematangan. 56 Pendapat para ahli tentang pembagian fase atau rentangan usia adalah beragam, tetapi pada umumnya setiap fase melewati atau melalui proses perkembangan yang sama. Dan pada umumnya fase usia tersebut terdapat pada tiga fase usia yaitu masa kanak, masa remajapuber, dan masa dewasa. Jika berbicara fase perkembangan remaja, maka batas usia remaja lebih banyak bergantung kepada keadaan masyarakat di mana remaja itu hidup. Yang dapat ditentukan dengan pasti adalah permulaannya yaitu puber pertama atau mulainya perubahan jasmani dari anak menjadi dewasa kira-kira umur akhir 12 atau permulaan 13 tahun. 57 Atau disebut masa remaja pertama yaitu pada usia 13- 16 tahun dan masa remaja terakhir pada usia 17-21 tahun. 2. Ciri-ciri Masa dan Perkembangan Remaja “Perkembangan pribadi manusia menurut psikologi berlangsung sejak terjadinya konsepsi sampai mati yaitu sejak terjadinya sel bapak-ibu konsepsi sampai mati individu senantiasa mengalami perubahan-perubahan atau perkembangan ”. 58 Perkembangan yang dimaksud adalah merupakan istilah perkembangan secara umum yang diartikan sebagai serangkaian perubahan dalam susunan yang berlangsung secara teratur, progresif, jalin menjalin dan terarah kepada kematangan atau kedewasaan. Masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat baik dalam perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Alisuf Sabri mengemukakan ada empat ciri perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu: 1 Meningkatnya emosi, intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis yang terjadi; perubahan emosi ini banyak terjadi pada masa awal remaja. 56 Heny Narendrany Hidayati dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, cet. 1, h. 75 57 Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Cet. 4. h. 109 58 M. Alisuf Sabri, op. cit., h. 10