TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

60 potensi-potensi yang tertanam di dalam dirinya. Menggunakan waktunya dalam ketaatan dan bergegas berlomba-lomba dalam kebaikan, diantaranya sungguh- sungguh dalam menuntut ilmu, menghindari kegiatan yang tidak perlu, menaati dan patuh terhadap peraturan dan lain-lain. Tujuan seluruh disiplin ialah membentuk perilaku sedemikian rupa hingga akan sesuai dengan peran-peran yang ditetapkan kelompok budaya, tempat individu diidentifikasi. Orang hidup memang bukan untuk peraturan, tetapi setiap orang pasti membutuhkan peraturan guna memudahkan urusan hidupnya. Analoginya sederhana, bisa diperhatikan pentingnya peraturan itu dalam lampu lalu lintas. Ketaatan setiap pengendara terhadap isyarat lampu lintas jelas membuat kondisi jalan menjadi tertib dan aman. Bayangkan ketika masing- masing pengendara mengebaikan peraturan berupa syarat lampu lalu lintas itu, pasti kondisi jalan akan kacau, macet dan bahkan memicu terjadinya kecelakan. Contoh di atas tentu bisa ditarik ke dalam ranah kehidupan yang lebih luas. Disiplin sangat ditekankan dalam urusan dunia, dan lebih-lebih urusan akhirat. Tidak heran jika Allah memerintahkan kaum beriman untuk membiasakan disiplin. Perintah itu antara lain tersirat dalam Al-Q ur’an:                                        Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung ”. QS. Al-Jumuah [62]: 9-10. 103 103 Departemen Agama., op. cit., h. 442 61 Menurut ayat di atas, keberuntungan akan diraih dengan disiplin memenuhi panggilan ibadah ketika datang waktunya dan kembali bekerja ketika sudah menunaikan ibadah. Bukan hanya urusan dagang yang harus ditinggalkan ketika sudah tiba waktu shalat. Ungkapan “tinggalkan jual beli” dalam ayat di atas berlaku untuk segala kesibukkan selain Allah. Dengan kata lain, ketika azan berkumandang, maka kaum beriman diserukan untuk bergegas memenuhi panggilan Allah itu. Meskipun demikian, bukan berarti kaum beriman harus terus menerus larut dalam urusan ibadah saja, ayat di atas juga memerintahkan supaya kaum beriman segera kembali bekerja setelah menunaikan ibadah. Dengan demikian, disiplin harus dilakukan secara seimbang antara urusan akhirat dan urusan dunia. Tidak dibenarkan mementingkan yang satu sambil mengabaikan yang lainnya. Jika sikap disiplin ditanamkan pada diri remaja, dan dilakukan oleh remaja secara seimbang antara urusan ibadahnya dan urusan pekerjaannya sekolah, kerja, dan kegiatan lainnya, akhirat dan dunia, maka itulah yang akan mengantarkan mereka kepada kesuksesan. Membiasakan disiplin dalam segala urusan secara seimbang itulah yang akan menjadikan hidup kita indah, tertata, dan diliputi keberkahan.

3. Percaya Diri

Percaya diri atau rendah hati tawadhu adalah merendahkan hati tanpa harus menghinakannya atau meremehkannya atas dasar persamaan. Karena rasa persamaan adalah sikap pribadi yang menganggap bahwa orang lain sama dengan kita. Namun, pribadi yang pecaya diri, harus mampu menunjukkan sesuatu yang unggul dari dirinya, baik berupa pengetahuan knowledge, keterampilan skill, maupun sikap atau perilaku attitude. 104 Lawan dari percaya diri yang jika berlebih adalah takabur. Seseorang yang takabur merasa dirinya lebih tinggi, lebih mampu, dan lebih sempurna daripada orang lain, padahal kenyataannya tidak. Ciri orang yang takabur adalah menganggap enteng orang lain, menjauhkan diri dari orang lain, mencela orang lain dan bisa juga bersikap sewenang-wenang. 104 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 91 62 Percaya diri merupakan sebuah kekuatan luar biasa, laksana reaktor yang membangkitkan segala energi yang ada pada diri seseorang untuk melakukan aktivitas dan meraih sukses, sehingga ia meyakini bahwa dirinya layak dan bernilai di hadapan masyarakat pergaulannya. Sikap percaya diri penting bagi remaja, agar ia tumbuh menjadi sosok yang mampu mengembangkan potensi dirinya. Al- qur’an menjelaskan tentang percaya diri dengan jelas dalam beberapa ayat yang mengindikasikan percaya diri seperti;           Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, Padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi derajatnya, jika kamu orang-orang yang beriman ”. QS. Ali-Imron [3]: 139. 105                     Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan Kami ialah Allah kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. QS. Fusshilat [41]: 30 106 Dari ayat di atas nampak bahwa orang yang percaya diri dikategorikan dengan sifat dan sikap seorang mukmin yang memiliki nilai positif terhadap dirinya dan memiliki keyakinan yang kuat. Tak dapat disangkal, percaya diri hampir selalu dikaitkan dengan kesuksesan, karena ia memang bekal utama dalam menghadapi tantang hidup. 105 Departemen Agama, op. cit., h. 53 106 Ibid., h. 383 63

4. Peduli

“Peduli dapat diartikan membuat atau menjaga hubungan persaudaraan. Islam mengajarkan kita untuk memelihara dan menyambung ikatan kekerabatan serta memperhatikan dan membantu kaum kerabat yang memerlukan pertolongan”. 107 Kepedulian merupakan sikap empati terhadap kesulitan, musibah dan penderitaan yang dialami orang lain. Sikap ini diperlukan dalam hidup bermasyarakat, dari skala kecil maupun skala besar di dalam keluarga, dunia kerja, masyarakat dan sebagainya.                    Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya ”.QS. Al-Maidah [05]:02 108                                    Artinya: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri ”. QS. An-Nisa [04]: 36 109 107 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 127 108 Departemen Agama, op. cit., h. 85 109 Ibid., h. 66 64 Di dalam rasa kepedulian terdapat unsur tolong menolong. Ketika seseorang ragu dalam memberikan rasa kepeduliannya terhadap orang lain yang membutuhkan, manusia harus ingat, bahwa tolong menolong merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, karena pada dasarnya manusia tidak dapat hidup sendirian. Sejak manusia lahir sudah membutuhkan bantuan orang lain, begitu pula saat beranjak remaja, dewasa dan ketika sudah bekerja, bahkan saat mati, manusia membutuhkan orang lain karena manusia tidak dapat mengubur dirinya sendiri. Sebaik-baik manusia untuk manusia, ialah yang paling bermanfaat bagi sesama manusia. Dengan sikap peduli, paling tidak akan memberikan manfaat untuk tetap terpeliharanya rasa persaudaraan dan persatuan, saling mencintai dan bekerjasama satu sama lain, menimbulkan rasa damai dan menciptakan kemakmuran, juga memperoleh pahala, kemuliaan dan keridhaan dari Allah SWT.

5. Mandiri

Setiap individu diberi potensi oleh Allah SWT, yang harus mampu menggali dan mengembangkan diri dengan baik sehingga hidup di dunia yang hanya satu kali ini tidak menjadi beban bagi orang lain, bahkan sering disebut, hidup seseorang akan terhormat jika ia dapat meringankan beban orang lain. “Manusia mandiri adalah manusia yang memiliki harga diri”. 110 mandiri adalah sumber percaya diri, penilaian menyeluruh mengenai diri sendiri dan bagaimana ia menjaga kehormatan diri, sehingga orang lain tidak menghinakannya. Memiliki harga diri berarti seseorang mempunyai kemampuan untuk menjaga perilaku etis dan menjauhi perilaku nista. Pendidikan dalam Islam menghimbau para orang tua untuk mengajarkan, mendidik, mengatur, memelihara dan membimbing pendidikan anak remaja mereka menjadi pribadi yang mandiri. Islam tidak bermaksud memporak- porandakan jiwa remaja dalam jangka pendek maupun panjang. Sehingga hidup dan urusan anak-anaknya hanya dipikirkan, diatur dan dikelola oleh kedua orang tuanya. Akan tetapi, tujuan utamanya adalah mengontrol peilaku remaja supaya 110 Srijanti, Purwanto dan wahyudi Pramono, op. cit., h. 101 65 tidak terbawa arus menyimpang dan keragu-raguan serta upaya membentuk kepribadian yang tidak terombang-ambing dalam kehidupan ini. Seperti Rasulullah saw. telah memberikan tauladan dalam mendidik anak- anak, beliau sangat memperhatikan pertumbuhan potensi anak, baik di bidang sosial maupun ekonomi. Beliau membangun sifat percaya diri dan mandiri pada anak, agar ia bisa bergaul dengan berbagai unsur masyarakat yang selaras dengan kepribadiannya. Dengan demikian, si anak mengambil manfaat dari pengalamannya, menambah kepercayaan pada dirinya, sehingga hidupnya menjadi bersemangat dan keberaniannya bertambah. Karena pada akhirnya nanti, masing-masing individulah yang dimintai pertanggung jawaban atas apa yang di perbuatnya di dunia. Firman Allah yang termaktub dalm Al- Qur’an surat Al- Mudattsir ayat 38 menyebutkan:       Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya ”. QS. Al-Mudattsir [74]: 38 111 Selanjutnya dalam surat Al-Mukminun ayat 62 disebutkan:                Artinya: “Kami tiada membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka telah dianiaya ”. QS. Al-Mukminun [23]: 62 112 Dari ayat di atas menjelaskan bahwa individu tidak akan mendapatkan suatu beban di atas kemampuannya sendiri, tetapi Allah Maha Tahu dengan tidak memberi beban individu melebihi batas kemampuan individu itu sendiri. Karena itu individu dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan persoalan dan pekerjaannya tanpa banyak tergantung pada orang lain. Ini dari pandangan Islam terhadap pendidikan remaja dengan di dukung oleh berbagai bukti dan argumentasi. Bahwa kemandirian dan kebebasan 111 Departemen Agama, op. cit., h. 460 112 Ibid, h. 276 66 merupakan dua unsur yang menciptakan generasi muda yang mandiri. Keduanya merupakan asas bangunan Islam. Rasulullah membiasakan anaknya untuk bersemangat dan mengemban tanggung. Jadi tidak mengapa remaja ketika di rumah disuruh mempersiapkan meja makannya sendirian. Ia akan menjadi pembantu dan penolong bagi yang lainnya. Dari pada anak menjadi pemalas dan beban bagi orang lain. Keuntungan menjadi pribadi mandiri adalah mempunyai wibawa sehebat- hebatnya peminta, pasti tidak akan mempunyai wibawa, hidup akan lebih tenang karena bertumpu pada kekuatan sendiri, dan seseorang akan semakin percaya diri dalam menghadapi hidup ini karena telah terlatih menghadapi masalah sendiri. B. Pendekatan Sosial dan Psikologi dalam Penanaman Nilai-nilai Moral bagi Remaja

1. Pendekatan Sosial

Salah satu karakteristik remaja yang sangat menonjol berkaitan dengan nilai adalah bahwa remaja sudah merasakan pentingnya tata nilai dan mengembangkan nilai-nilai yang ada sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk dalam mencari jalannya sendiri, untuk menumbuhkan identitas diri menuju kepribadian yang semakin matang. Pembentukan nilai-nilai ini dilakukan melalui pendekatan sosial dan yang akan dikembangkan melalui teori interaksi sosial. Berbicara interaksi sosial, berarti berbicara mengenai pergaulan dalam penyesuaian seseorang dengan lingkungannya. Untuk menggambarkan saling keterhubungan ini, penulis memberikan pengertian mengenai interaksi sosial, diambil dari buku Psychologi Sosial karangan Dr. W. A. Gerungan, “interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya ”. 113 Rumusan ini menggambarkan kelangsungan hubungan timbal balik dari interaksi sosial antara dua atau lebih manusia itu. 113 Gerungan DIPL. Psych., Psychologi-sosial, Jakarta: PT Eresco, 1981, cet.7, h. 61 67 Kelangsungan interaksi sosial ini sekalipun dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks. Interaksi sosial memegang peranan penting dalam perkembangan moral. Awal interaksi sosial terjadi ada di dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orangtua, saudara kandung, dan anggota keluarga lain dari apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Dalam hal ini penulis mencoba mengemukakan beberapa faktor yang mendasari kelangsungan interaksi sosial dalam penanaman nilai-nilai moral, ialah:

a. Imitasi

Telah diuraikan dalam sejarah pendek ilmu jiwa sosial mengenai pendapat Gabriel tarde, yang beranggapan bahwa “seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja. Kemudian arti kata dari imitasi itu sendiri adalah suatu proses peniruan atau meniru ”. 114 Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, namun peranan imitasi dalam interaksi sosial itu tidaklah kecil. Misalnya saja jika kita mengamati bagaiman seorang anak belajar berbahasa. Mula-mula ia seakan-akan mengimitasi dirinya sendiri, ia mengulang-ulangi bunyi kata seperti ma-ma-ma-ma atau ba-ba- ba-ba, ini berguna melatih fungsi-fungsi lidah dan mulutnya untuk berbicara. Kemudian ia mengimitasi orang lain, biasanya ibunya terlebih dahulu dalam mempelajari mengucapkan kata-kata pertama dan selanjutnya. Alat komunikasi tidak sebatas berbahasa, termasuk di dalamnya ialah cara- cara lain untuk menyatakan diri yang dapat dipelajarinya melalui proses imitasi. Misalnya tingkah laku tertentu yang dilakukan seseorang atau orang dewasa, antara lain: cara memberi hormat kepada orang yang lebih tua, cara menyatakan terima kasih kepada orang lain,cara menyatakan ungkapan senang kepada orang lain, cara-cara memberi isyarat tanpa bahasa, juga cara-cara berpakaian mode, dapat dipelajari remaja dengan jalan imitasi. Demikian pula halnya dengan perkembangan moral remaja. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya di bab dua, bahwa nilai moral itu berasal dari 114 Ibid., h. 62 68 adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat, kemudian penulis menambahkan penjelasan lagi bahwa imitasi itu mempunyai peranannya dalam hal ini, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas, juga mempunyai segi-segi yang negatif antara lain ialah hal-hal yang diimitasi itu kemungkinan salah atau secara moril dan yuridis ditolak. “Proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah serba besar. ” 115 Adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebiasaan orang untuk mengimitasi sesuatu tanpa kritik, dalam artian meniru apa adanya tanpa seleksi, terutama pada anak-anak, sejalan dengan ini, bahwa imitasi seperti ini juga terjadi pada remaja. Hal ini dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis. Akibatnya imitasi dalam interaksi sosial ini dapat menimbulkan kebiasaan malas berpikir kritis pada remaja. Bagi para orang tua yang bijak akan mengerti, mendukung, dan dirinya dapat menjadi model keteladanan yang dapat ditiru anaknya, akan tetapi, harus dengan pengarahan dan menyertakan alasan-alasannya, hikmah atau manfaat dari keteladanan itu, maka hal ini tidak akan menghambat perkembangan berpikir kritis pada remaja. Imitasi bukan menjadi dasar pokok dari semua interaksi sosial seperti yang diuraikan oleh Gabriel Tarde di atas, tetapi imitasi merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial, yang menyebabkan terjadinya keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku antara orang banyak. Dengan cara imitasi pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide dan adat istiadat dari suatu kelompok masyarakat. Dengan berimitasi orang tersebut dapat lebih mudah menjalin hubungan sosial dengan orang lain secara lebih luas. b. Sugesti “Sugesti adalah suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku orang lain tanpa kritik terlebih dahulu ”. 116 115 Ibid., h. 63 116 Ibid., h. 64 69 Yang dimaksud sugesti di sini adalah pengaruh pysic, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik. Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya dengan interaksi sosial adalah hampir sama. Bedanya ialah bahwa pada imitasi, seseorang mengikuti orang lain, sedangkan pada sugesti, seseorang memberikan pandangan atau sikap kepada orang lain, lalu diterima oleh orang lain. Sugesti dapat dipahami pemberian pengaruh atau pandangan dari satu pihak kepada pihak lain. Akibatnya, pihak yang dipengaruhi akan tergerak mengikuti pengaruh atau pandangan itu dan akan menerimanya secara sadar atau tidak sadar tanpa berpikir panjang. Sugesti biasanya diperoleh dari orang-orang yang berwibawa dan memiliki pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Akan tetapi, sugesti dapat pula berasal dari kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, ataupun orang dewasa terhadap anak-anak bisa ayah, ibu atau kakak mau pun orang dewasa lainnya. c. Identifikasi “Identifikasi adalah dorongan dari dalam diri seseorang untuk menjadi identik sama dengan orang lain ”. 117 Dalam hal ini proses identifikasi dapat diperoleh melalui cara-cara seseorang belajar norma-norma sosial. Dalam garis- garis besarnya remaja itu belajar menyadari bahwa dalam kehidupan itu ada norma-norma dan peraturan-peraturan yang hendaknya dipenuhi. Hal ini dapat dipelajarinya melalui dua cara, pertama-tama remaja mempelajarinya karena didikan orangtuanya, yang menghargai tingkah laku wajarnya dan memenuhi cita- cita tertentunya dan menghukum tingkah lakunya ketika ia melanggar norma- norma. Kemudian lambat laun remaja itu memperoleh pengetahuan mengenai apa yang disebut dengan perbuatan baik, dan apa yang disebut dengan perbuatan yang tidak baik, melalui didikan orangtuanya tersebut. Dalam artian dapat membedakan mana yang dan mana yang buruk. Identifikasi dilakukan oleh seseorang kepada orang lain yang dianggapnya ideal dalam suatu segi, untuk memperoleh sistem norma-norma, sikap dan nilai- 117 E. Koswara., op.cit, h. 71 70 nilai yang dianggapnya ideal atau yang masih kurang dalam dirinya. Pengalaman individu berhubungan dengan lingkungan sosial teman, orangtua atau orang dewasa lainnya, akan membawa pengaruh pada penilaian atau kemampuan untuk mengevaluasi diri dan orang lain. Ia dapat menilai kemampuan dan kelemahan diri sendiri maupun orang lain. Dari situ seseorang akan belajar dari pengalaman orang lain untuk memperbaiki diri sendiri, tetapi bisa juga untuk membantu perkembangan orang lain. 118 Dalam kaitannya dengan nilai moral dan perkembangan kepribadian remaja, pada interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan indentifikasi mempunyai fungsinya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Dari keteladanan melalui proses imitasi, dapat mendorong remaja ataupun suatu kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik. Selanjutnya apabila remaja telah dididik dalam suatu “tradisi” tertentu yang melingkupi segala situasi-situasi sosialnya, melalui pengkondisian diri dengan terus berlatih dalam mengkondisikan sikap, perilaku dan mentalnya, sehingga timbullah suatu kemauan dari diri remaja sendiri untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik tersebut. Namun hal ini dilakukan tetap pada pembiasaan diri remaja melakukan latihan-latihan tersebut. Kemudian setelah itu secara otomatis remaja akan mencontoh keteladanan perbuatan- perbuatan yang baik itu untuk diidentifikasi olehnya. Dengan begitu, remaja akan memiliki suatu kerangka cara-cara bertingkah laku dan sikap-sikap moral yang dapat menjadi pokok pangkal untuk memperluas perkembangan moralnya dengan positif, sehingga terlahirlah kepribadian yang baik.

2. Pendekatan Psikologi

Dalam pengembangan dan pembentukkan nilai-nilai moral sebagai pedoman, pegangan atau petunjuk bagi remaja dalam mencari jalannya sendiri dan untuk menumbuhkan identitas dirinya menuju kepribadian yang semakin matang di tengah-tengah masyarakat lingkungan sekitar mereka, selain melalui pendekatan sosial, penulis memilih pembentukkan nilai-nilai moral ini dilakukan 118 Agoes Dariyo, op. cit., h. 54 71 juga melalui pendekatan psikologi, ulasan yang akan dikembangkan berikut ini adalah teori penalaran, behavior dan kata hati.

a. Teori Penalaran

Pendekatan teori penalaran, seperti yang dikembangkan oleh Piaget dan Lawrence Kohlberg. Keduanya mengemukakan tahapan perkembangan moral berdasarkan perkembangan kognitif. Menurut Piaget, “perkembangan moral seseorang terjadi dalam dua tahap yang jelas. Tahap pertama disebut Piaget “tahap realisme moral” atau “moralitas o leh pembatasan.’ Tahap kedua disebutnya “tahap moralitas otonomi” atau “moralitas oleh kerja sama atau hubungan timbal balik” 119 Dalam tahap pertama, “perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Mereka menganggap orang tua dan semua dewasa yang berwenang sebagai yang berkuasa dan mengikuti peraturan yang diberikan kepada mereka tanpa mempertanyakan kebenarannya ”. 120 Dalam tahap perkembangan moral ini, anak menilai tindakan sebagai “benar” atau “salah” atas dasar konsekuensinya dan bukan berdasarkan motivasi di belakangnya. Mereka sama sekali mengabaikan tujuan tindakan tersebut. Sebag ai contoh: suatu tindakan dianggap “salah” karena mengakibatkan hukuman dari orang lain. Dalam perkembangan moral menurut Piaget, hal ini terjadi pada tahapan sensorimotor, praoperasional dan operasional konkret. Namun, dalam perkembangan moral pada tahap operasional konkret, anak menilai perilaku atas dasar tujuan yang mendasarinya. Tahap ini biasanya dimulai antara usia 7 atau 8 dan berlanjut hingga usia 11 atau lebih. Antara usia 6 ke 7 atau 8 tahun, konsep anak tentang keadilan mulai berubah. Gagasan yang kaku dan tindakan luwes mengenai benar dan salah, yang dipelajari dari orang tua, secara bertahap dimodifikasi. Akibatnya, anak mulai mempertimbangkan keadaan tertentu yang berkaitan dengan suatu pelanggaran moral. Misalnya bagi anak usia 5 tahun 119 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 79 120 Ibid., h. 79 72 berbo hong itu selalu “buruk”, tetapi anak yang lebih besar menyadari bahwa berbohong dibenarkan dalam situasi tertentu dan kerenanya tidak selalu “buruk”. Tahap kedua , perkembangan moral ini bertepatan dengan “tahapan operasional formal” dari Piaget dalam perkembangan kognitif, pada tahap ini anak sudah mampu mempertimbangkan semua cara yang mungkin untuk memecahkan masalah tertentu dan dapat bernalar atas dasar hipotesis dan dalil. 121 Hal ini memungkinkan anak untuk melihat masalahnya dari berbagai sudut pandangan dan mempertimbangkan berbagai faktor untuk memecahkannya. Kemudian, Kohlberg telah melanjutkan penelitian Piaget dan telah menguraikan teori Piaget secara terinci dengan memberi tiga tingkatan perkembangan moral alih-alih dua tingkatan dari Piaget, dan masing-masing tingkat terdiri atas dua tahap. Pada tingkat 1, “Prakonvensional”, “perilaku anak tunduk pada kendali eksternal. Dalam tahap pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Pada tahap kedua tingkat ini, anak menyesuaikan terhadap harapan sosial untuk memperoleh penghargaan. ” 122 Dalam hal ini, terdapat beberapa unsur resiprositas dan berbagi, tetapi hal itu lebih mempunyai dasar tukar-menukar daripada perasaan keadilan yang sesungguhnya. Tingkat 2, “Konvensional”, atau moralitas peraturan konvensional dan persesuaian. Dalam tahap pertama tingkat ini, “Anak menyesuaikan dengan peraturan untuk mendapat persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan hubunganbaik dengan mereka. Kemudian dalam tahap kedua tingkat ini, anak meyakini bahwa bila kelompok sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok, mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari kecaman dan ketidaksetujuan sosial ”. 123 Tingkat 3, oleh Kohlberg diberi nama “Pascakonvensional”, dalam tahap pertama tingkat ini, “anak yakin bahwa harus ada keluwesan dalam keyakinan- keyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan perubahan standar moral 121 Ibid., h. 80 122 John W. Santrock., Op.cit., h. 55 123 Ibid., h. 56 73 bila ini terbukti akan menguntungkan kelompok sebagai suatu keseluruhan. Dalam tahap kedua tingkat ini, orang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan bukan untuk menghindari dar kecaman sosial ”. 124 Ia terutama merupakan moralitas yang lebih banyak berdasarkan penghargaan terhadap orang lain bukan pada keinginan pribadi. Menurut analisis penulis, Kohlberg berkeyakinan bahwa tingkat-tingkat dan tahap-tahap ini merupakan sebuah rangkaian dan berkaitan dengan usia. Sebelum usia 9 tahun, sebagian besar anak menggunakan cara prakonvensional ketika dihadapkan pada dilemma moral. Di masa awal remaja, mereka bernalar secara lebih konvensional. Sebagian besar remaja bernalar pada tahap 3, dengan beberapa indikasi pada tahap 2 dan 4. Di masa dewasa awal, sejumlah kecil individu bernalar di tahap pascakonvensional. Kohlberg berpendapat bahwa orientasi moral individu terbentang sebagai konsekuensi dari perkembangan kognitif. Anak-anak dan remaja menyusun pemikiran moralnya seiring dengan perkembangannya dari satu tahap ke tahap berikutnya. Secara umum, alur pengembangan moral adalah suatu pengampunan dalam pertimbangan moral yang menggambarkan dengan jelas sikap yang benar atau salah terhadap komitmen personal dalam kesadaran alternatif kompetisi. Proses perkembangan remaja secara gradual mengalami perubahan dari perkembangan yang lebih otoritarian menjadi kurang otoriter seiring dengan perkembangan aspek-aspek kognitif dan kepribadian. “Remaja dalam perkembangan moralnya, tidak lagi terbatas pada pengalaman-pengalaman yang aktual atau konkret sebagai titik tolak pemikirannya. ” 125 Perkembangan moral remaja menurut Piaget mulai timbul pada tahap operasional formal di antara usia 11 hingga 15 tahun. Dan menurut Kohlberg mulai timbul pada tahap konvensional. Karakteristik yang paling menonjol dalam perkembangan moral remaja adalah sifatnya yang lebih abstrak. 124 Elezabeth B. Hurlock., op. cit, h. 80 125 John W. Santrock, op. cit, h.126 74 Mereka sudah dapat menciptakan situasi-situasi fantasi, peristiwa-peristiwa yang murni berupa kemungkinan-kemungkinan hipotesis atau hanya berupa proposal abstrak dan mencoba bernalar secara logis mengenainya. Indikator lain yang memperlihatkan kualitas abstrak dari pemikiran remaja adalah meningkatnya tendensi untuk berpikir mengenai berpikir itu sendiri. Pemikiran yang menyertai abstrak dari pemikiran formal operasional adalah pemikiran yang banyak mengandung idealism dan kemungkinan. Sementara anak- anak sering kali berpikir secara konkret mengenai hal-hal yang bersifat riil dan terbatas. Di samping berpikir abstrak dan idealistik, remaja juga sudah mulai bisa berpikir logis.

b. Teori Perilaku Moral behavior

Perilaku yang dapat disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribadi pada tempat kedua kelompok. Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemui pada anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja. 126 Belajar berperilaku dengan cara yang disetujui masyarakat merupakan proses yang panjang dan lama yang terus berlanjut hingga masa remaja. Ia merupakan salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Sebelum anak memasuki usia remajanya, mereka diharapkan mampu membedakan yang benar dan salah dalam situasi sederhana dan meletakkan dasar bagi perkembangan hati nurani. Sebelum masa kanak-kanak berakhir, anak diharapkan mengembangkan skala nilai dan hati nurani untuk membimbing mereka bila harus mengambil keputusan moral. Pengetahuan moral atau penalaran moral, tidak menjamin tingkah laku moral karena dimotivasi oleh faktor yang lain dari pengetahuan. Tekanan sosial, 126 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75 75 bagaimana perasaan remaja tentang dirinya, bagaimana mereka diperlakukan oleh anggota keluarga dan teman sebayanya, keinginan-keinginan pada saat itu dan banyak faktor lain yang mempengaruhi bagaimana remaja akan bersikap bila suatu pilihan harus diambil. Di samping menekankan faktor dari pengaruh-pengaruh lingkungan, kesenjangan yang terdapat di antara pemikiran moral dengan tindakan moral dan faktor lainnya tadi, behavioris juga menekankan bahwa perilaku moral itu bersifat situasional. Dengan kata lain remaja tidak selalu memperlihatkan perilaku moralnya konsisten di berbagai situasi sosial. Teori kognisi sosial mengenai perkembangan moral, menekankan adanya perbedaan antara kompetensi moral remaja, kemampuan untuk menghasilkan perilaku moral, dan performa moral, penampilan perilaku-perilaku moral di situasi khusus. Kompetensi atau kemahiran terutama bertumbuh dari proses- proses kognitif. Kompotensi dapat meliputi hal-hal yang mampu dilakukan dan diketahui oleh remaja, keterampilan yang dimiliki, kesadaran remaja mengenai peraturan-peraturan moral, kemampuan kognitif mereka untuk menyusun perilakunya. Sebaliknya, peforma atau perilaku moral remaja ditentukan oleh motivasi yang diterapkan ketika mereka menampilkan suatu perilaku moral tertentu. 127 Albert Bandura, juga berpendapat bahwa perkembangan moral paling baik dipahami apabila mempertimbangkan kombinasi dari faktor-faktor sosial dan kognitif. Khususnya yang melibatkan kontrol-diri. Ia menyatakan bahwa ketika mengembangkan “diri moral moral self, individu mengadopsi standar mengenai benar dan salah yang dapat berfungsi sebagai pedoman dan larangan dalam berperilaku. Itulah sebabnya perilaku moral yang akan dicapai harus terjadi dalam fase konsep moral yang jelas. 128

c. Teori Kata Hati

Pada saat lahir, tidak ada anak yang memiliki hati nurani atau skala nilai. Akibatnya, setiap anak yang masih kecil dapat dianggap nonmoral ketika ia 127 John W. santrock., op. cip., h. 314 128 Ibid., h. 14 76 melakukan kesalahan. Dan tidak seorang anak pun dapat diharapkan mengembangkan kode moral sendiri. Sebaliknya, setiap anak harus diajarkan standar kelompok tentang yang benar dan yang salah. Perumusan mengenai teori kata hatisuara hati terhadap perkembangan moral, sama halnya membahas mengenai perkembangan perasaan moral. Di antaranya berbagai perumusan gagasan mengenai perkembangan moral adalah konsep-konsep yang sentral bagi teori psikoanalisis, sifat dasar dari empati dan peran emosi bagi perkembangan moral. Sebagaimana yang telah dibahas oleh penulis di bab dua sebelumnya, teori psikoanalisis Sigmund Freud meyakini bahwa demikian pentingnya perkembangan masa kanak-kanak, yang menurut Freud seorang anak harus mengalami rangkaian tingkatan-tingkatan seksual secara wajar, agar tidak mengalami tingkah laku yang menyimpang ketika ia memasuki usia dewasa. Freud juga mendeskripsikan superego sebagai salah satu dari tiga struktur utama kepribadian seseorang dua struktur lainnya adalah id dan ego. Dalam teori psikoanalisis Freud, superego individu merupakan cabang moral dari kepribadian yang telah berkembang di masa kanak-kanak ketika anak-anak telah mampu menyelesaikan konflik Oedipud dan beridentifikasi dengan orang tua berjenis kelamin sama dengannya. Menurut Freud salah satu alasan yang membuat anak-anak menyelesaikan konflik Oedipus adalah untuk menghilangkan ketakutan kehilangan cinta orang tua dan dihukum karena memiliki harapan-harapan seksual yang tidak diinginkan terhadap orang tua dari jenis kelamin yang berbeda. Untuk mengurangi kecemasan, menghindari hukuman, dan mempertahankan afeksi orang tua, anak- anak membentuk superego dengan cara beridentifikasi pada orang tua. Dalam pandangan Freud, melalui identifikasi inilah, anak-anak menginternalisasikan standar-standar orang tua mengenai benar dan salah yang merupakan cerminan dari larangan-larangan sosial. Pada waktu yang sama juga, anak-anak mengarahkan rasa permusuhannya yang sebelumnya diarahkan ke orang tua sesama jenis kelamin, ke dalam dirinya. Permusuhan yang diarahkan ke dalam dirinya secara langsung kemudian dialami 77 sebagai kecenderungan untuk menghukum diri sendiri yang sifatnya tidak disadari, dan dikenali sebagai perasaan bersalah. Dalam penjelasan psikoanalisis mengenai perkembangan moral, kecenderungan untuk menghukum diri sendiri dalam bentuk perasaan bersalah ini akan menjaga agar anak-anak dan kelak ia remaja, dari kecenderungan untuk melanggar hukum. 129 Artinya, anak-anak dan remaja taat terhadap standar sosial untuk menghindari rasa bersalah. Kemudian, perasaan-perasan positif, seperti empati, juga berkontribusi terhadap perkembangan moral remaja. Perasaan empati berarti beraksi terhadap perasan orang lain yang disertai dengan respon emosional yang serupa dengan perasaan orang lain. Meskipun empati dialami sebagai kondisi emosional, perasaan empati memiliki komponen kognitif yang memiliki kemampuan untuk memahami kondisi psikologis dalam diri seseorang, atau yang biasa disebut sebagai pengambilan perspektif. 130 Jika disimak, teori psikoanalisis menekankan bahwa pengaruh dari perasaan bersalah yang tidak disadari terhadap perkembangan moral. Namun pada perspektif kontemporer, teori lain seperti teori dari Damon menekankan selain peranan empati, perasaan-perasaan positif lainnya seperti simpati, kekaguman, harga diri, maupun perasan-perasaan negatif seperti kemarahan, perasaan malu, perasaan bersalah, juga dapat berkontribusi bagi perkembangan moral remaja. Ketika dialami secara kuat, emosi-emosi ini mempengaruhi remaja untuk bertindak menurut standar-standar benar dan salah. 131 Emosi-emosi seperti empati, perasaan malu, perasaan bersalah, dan lain- lain, sudah dialami sejak awal perkembangan dan akan terus mengalami perubahan sepanjang masa kanak-kanak dan remaja. Emosi-emosi ini memberikan suatu landasan yang alamiah bagi pemerolehan nilai-nilai moral remaja, mengarahkan para remaja pada peristiwa-peristiwa moral dan memotivasi mereka untuk memberikan atensi terhadap peristiwa-peristiwa semacam itu. 129 Ibid., h. 316 130 Ibid., h. 317 131 Ibid., h. 318 78 C. Penerapan Pendekatan Sosial dan Psikologi Untuk Penanaman Nilai-nilai Moral Remaja dalam Keluarga Cepat atau lambat, kebanyakan remaja akan belajar bahwa bagi diri mereka sendiri penyesuaian dengan kebiasaan kelompok tempat ia berada membawa keuntungan, walaupun mereka tidak selamanya menyetujui kebiasaan itu. Pada waktu perkembangan kecerdasan mencapai tingkat kematangannya, perkembangan moral juga harus mencapai tingkat kematangannya. Bila hal ini tidak terjadi, maka individu dianggap sebagai orang yang tidak matang secara moral. Yakni seorang yang secara intelektual mampu berperilaku moral secara matang, namun berperilaku moral pada tingkat seorang anak. Dalam hal proses sosialisasi individu yang terjadi di sini, penulis lebih menekankan kepada lingkungan keluarganya, namun tidak berarti penulis mengucilkan proses sosialisasi dari segi lingkungan sekolah ataupun masyarakat. Karena walaubagaimanapun, dari ketiga lingkungan utama tersebut mempunyai saling keterkaitan. Misalnya dilihat dari segi kurikulum sekolah, nilai-nilai moral esensial yang sebelumnya telah dijelaskan oleh penulis, juga diterapkan di dalam pengajaran pendidikan agama islam di sekolah. Dalam lingkungan keluarga, “anak mengembangkan pemikiran tersendiri yang merupakan pengukuhan dasar emosional dan optimisme sosial melalui frekuensi dan kualitas interaksi dengan orang tua dan saudara-saudaranya. ” 132 Proses sosialisasi ini turut mempengaruhi perkembangan sosial dan gaya hidupnya di hari-hari mendatang. Dalam proses perkembangan sosial, anak juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah dan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya serta keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya. Ada sejumlah faktor dari dalam keluarga yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam proses perkembangan moralnya, yaitu kebutuhan akan rasa aman, dihargai, disayangi, diterima, dan kebebasan untuk menyatakan diri. Rasa aman 132 Mohammad Ali, Mohammad Asrori, op. cit., h. 93 79 meliputi perasaan aman secara material dan mental. Perasaan aman secara material berarti pemenuhan kebutuhan pakaian, makanan dan sarana lain yang diperlukan, namun orangtuapun harus menekankan sejauh tidak berlebihan dan tidak berada di luar kemampuan orang tua. Perasaan aman secara mental berarti pemenuhan oleh orang tua berupa perlindungan emosional, menjauhi ketegangan, membantu dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapinya, dan memberikan bantuan dalam menstabilkan emosinya. Manusia normal, baik anak maupun orang dewasa, senantiasa membutuhkan penghargaan atau dihargai oleh orang lain. Oleh karena itu, mempermalukan remaja di depan orang banyak di depan orang lain merupakan pukulan jiwa yang sangat berat baginya dan dapat berakibat buruk bagi perkembangana sosial remaja. Dalam aspek psikologi, remaja dapat terhambat atau bahkan tertekan, misalnya kemampuan dan kreativitasnya, sehingga mengakibatkan anak remajanya banyak berdiam diri. Sikap seperti ini muncul karena merasa bahwa sesuatu yang akan dikemukakannya tidak akan mungkin mendapat sambutan atau bahkan akan dipermalukan. Sebaliknya memberikan pujian ataupun teguran kepada remaja secara tepat adalah sangat baik. Cara ini akan dapat menimbulkan perasaan disayang pada diri remaja yang dinyatakan secara menyenangkan oleh orang tua. Menyatakan kasih sayang kepada remaja sampai anak remajanya menyadari bahwa dirinya disayang dan dibanggakan oleh orang tuanya adalah sesuatu yang penting. remaja harus mengetahui bahwa dirinya memang disayangi oleh orang tuanya. Seorang anak yang merasa dirinya disayangi akan memiliki kemudahan untuk dapat menyayangi orang tua dan keluarganya, sehingga akan merasakan bahwa dirinya dibutuhkan dalam keluarga. Dalam situasi demikian, remaja akan merasa aman, dihargai, dan disayangi. Remaja tidak merasa takut untuk menyatakan dirinya, pendapatnya, maupun mendiskusikan kesulitan yang dihadapinya karena merasa bahwa orang tua atau keluarganya ibarat sumber kekuatan yang selalu membantunya di mana pun dan kapan pun dirinya memerlukannya. Dengan kata lain, yang sangat dibutuhkan oleh remaja dalam perkembangan sosialnya adalah iklim kehidupan keluarga yang kondusif. Dikutip 80 oleh Mohammad Ali dan Mohammad Asrori dari Jay Kesler, mendefinisikan bahwa iklim kehidupan keluarga itu mengandung tiga unsur, yaitu 1. Karakteristik khas internal keluarga yang berbeda dari keluarga lainnya 2. Karakteristik khas itu dapat mempengaruhi perilaku individu dalam keluarga itu termasuk remajanya 3. Unsur kepemimpinan dan keteladanan di dalam keluarga, sikap, dan harapan individu dalam keluarga tersebut. 133 Karena remaja hidup dalam suatu kelompok individu yang disebut keluarga, salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi perilaku remaja adalah interaksi antaranggota keluarga. Harmonis tidaknya, intensif tidaknya interaksi antaranggota keluarga akan mempengaruhi perkembangan sosial remaja yang ada di dalam keluarga. Gardner dalam penelitiannya menemukan bahwa “interaksi antaranggota keluarga yang tidak harmonis merupakan suatu korelat yang potensial menjadi penghambat perkembangan sosial remaja ”. 134 Dari analisa penulis terhadap hal ini, wajar, jika iklim kehidupan keluarga memiliki pengaruh kuat terhadap perkembangan hubungan sosial remaja karena sebagian besar kehidupannya ada di dalam keluarga. Situasi interaksi antaranggota keluarga, perlakuan anggota keluarga terhadap remajanya, dan bahkan acara-acara TV dalam keluarga juga memiliki pengaruh kuat terhadap kondisi psikis anak remaja. Apalagi, perkembangan teknologi informasi melalui berbagai saluran TV yang setiap waktu dapat dinikmati remaja menghidangkan acara-acara yang bervariasi. Lebih-lebih jika ditambah dengan antena parabola berarti remaja dalm keluarga dapat menyaksikan sedikitnya 14 saluran dalam dan luar negeri. Jika demikian keadaannya, praktis remaja dapat menyaksikan acara TV selama 24 jam terus-menerus jika tidak ada pengendalian dari orang tua atau pengendalian diri sendiri. Betapa pentingnya peranan orang tua dalam pembentukkan pribadi anak. Lingkungan pertama yang memberikan pengaruh yang mendalam adalah lingkungan keluarganya sendiri. Dari anggota keluarganya itu, yaitu ayah, ibu dan 133 Ibid., h. 94 134 Ibid., h. 95 81 saudara-saudaranya, si anak memperoleh segala kemampuan dasar, baik intelektual maupun sosial. Bahkan penyaluran emosi banyak ditiru dan dipelajarinya dari anggota-anggota lain keluarganya. 135 Albert Bandura dalam teori kognitif sosialnya, menjelaskan bahwa “suatu ransangan itu dipersepsi oleh individu kemudian diberi makna berdasarkan struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya. Jika sesuai, ransangan tersebut dihayati dan terbentuklah sikap. Sikap inilah yang secara kuat memberikan bobot kepada perilaku individu ”. 136 Oleh sebab itulah, sikap diartikan sebagai kecenderungan untuk berperilaku. Seperti halnya yang telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya di bab dua. Perilaku yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing. Ia mencakup pemberian pertimbangan primer pada kesejahteraan kelompok dan penempatan keinginan atau keuntungan pribadi pada tempat kedua kelompok. Moralitas yang sesungguhnya jarang ditemui pada anak-anak, tetapi ia harus muncul selama masa remaja. 137 Melalui penerapan dari teori kognitif, behavior dan pembentukkan kata hati, dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama yang harus diterapkan oleh orang tua kepada remajanya: mempelajari apa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaimana dicantumkan dalam hukum, kebiasaan, dan peraturan. Mengembangkan hati nurani. Belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu bila perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok. Dan mempunyai kesempatan untuk interaksi sosial guna belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok. 138

1. Peran hukum, kebiasaan dan peraturan dalam perkembangan moral

Pokok pertama yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah latihlah mereka belajar apa yang diharapkan 135 Yulia Singgih D. Gunarsah dan Singgih D. Gunarsah, op.cit., h. 6 136 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 95 137 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75 138 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 75 82 kelompok dari anggotanya. Misalnya, berawal dari anggap saja kelompok dalam suatu keluarga, yang terdiri dari ayah, ibu, remajanya dan saudarai-nya. Harapan tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hokum, kebiasaan dan peraturan. Dalam setiap kelompok sosial, tindakan tertentu dianggap “benar” atau “salah” karena tindakan itu menunjang atau dianggap menunjang, atau pun dianggap menghalangi kesejahteraan anggota kelompok. Kebiasaan yang paling penting dibakukan menjadi peraturan hukum, dengan hukuman tertentu bagi yang melanggarnya. Sebagai contoh, mengambil harta milik orang lain, dianggap cukup serius karena mengganggu kesejahteraan kelompok. Karenanya ia merupakan pelanggar dan harus diberikan hukuman yang sesuai. Sudah merupakan kebiasaan untuk tidak menggunakan milik orang lain tanpa sepengetahuan dan izin si pemilik. Meskipun pelanggaran kebiasaan ini tidak akan mendatangkan tindakan hukum, namun ketidaksetujuan sosial akan merupakan hukuman seandainya terjadi suatu kerusakan. Pembuat hukum meletakkan pola perilaku moral bagi anggota kelompoknya. Di dalam keluarga, orang tualah yang bertanggung jawab membimbing anak dan harus membantu anak belajar menyesuaikan diri dengan pola yang setujui. Ini dilakukan dengan membuat peraturan, pola yang ditentukan untuk tingkah laku merupakan sebagai pedoman. Peraturan berbeda dengan hukum dalam beberapa hal yang penting. Pertama, peraturan dibuat oleh orang yang bertanggung jawab mengasuh anak, misalnya dalam keluarga adalah orang tua, hukum dibuat oleh pembuat hukum yang dipilih atau ditunjuk suatu Negara. Kedua, hukum menentukan hukuman menurut keinginan atau tingkah orang yang mengawasi anak tersebut. Ketiga, bila orang belajar tentang hukum, maka mereka juga belajar tentang hukum atas pelanggarannya. Keempat, beratnya hukuman atas pelanggaran hukum bervariasi dengan beratnya tindakan yang dilakukan. kelima, hukum lebih seragam dan konsisten dibandingkan dengan peraturan. 139 139 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 76 83 Tidak semua remaja menyadari kenyataan bahwa mereka akan dihukum bila mereka melanggar peraturan, sampai saat mereka betul-betul melanggarnya. Mereka juga tidak mengetahui dengan jelas bentuk hukumannya sampai mereka menerimanya. Bila suatu peraturan dilanggar, beratnya hukuman bervariasi sesuai dengan jenis pelanggarannya. Sebagai contoh, di rumah mungkin terdapat peraturan berbeda bagi anak laki-laki dan anak perempuannya, dan bagi anak yang lebih kecil dan lebih besar. Anak kecil tidak dituntut tunduk pada hukum dan kebiasaan seperti dituntut dari anak yang lebih besar. Namun setelah mereka mencapai usia lebih besar dan terus bertambah besar, orang tua mengajari mereka mengenai hukum yang berlaku, misalnya tidak mengambil barang di toko, tidak merusak atau memegang-megang barang milik orang lain tanpa seizin dari pemiliknya sekalipun itu milik saudara-saudaranya di rumah, menunjukkan sikap sopan dan hormat terhadap orang yang lebih tua, dan sebagainya. secara bertahap anak akan mempelajari peraturan yang ditentukan berbagai kelompok, yaitu kelompok tempat mereka mengidentifikasi diri, yaitu melalui interaksi sosialnya baik di rumah, sekolah dan lingkungan. Hal ini, membentuk dasar pengetahuan remaja tentang harapan berbagai kelompok. remaja juga akan belajar bahwa mereka diharapkan untuk mematuhi peraturan ini itu dan kegagalan dalam melakukannya akan mendatangkan hukuman atau kurangnya penerimaan sosial. Jadi, peraturan berfungsi sebagai pedoman perilaku anak dan sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan sosial, sebagaimana hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber motivasi bagi anak remaja dan orang dewasa.

2. Peran hati nurani dalam perkembangan moral

Pokok kedua yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah pengembangan hati nurani sebagai kendali internal bagi perilaku individu. Menurut tradisi, anak dilahirkan dengan “hati nurani” atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan yang salah. Sejalan dengan 84 tradisi tersebut, terdapat keyakinan bahwa perilaku yang salah merupakan akibat beberapa kelemahan bawaan, yang dianggap berasal dari pihak ibu atau ayah. Mereka yang menganut keyakinan ini berpendapat bahwa anak tidak dapat diperbaiki lagi. Akibatnya, mereka merasa tidak perlu mencurahkan waktu dan usaha untuk menerapkan penanaman pendidikan nilai moral di rumah. Padahal keyakinan seperti itu adalah hal yang sangat salah, bila kita tinjau lebih mendalam lagi, hati nurani seseorang tidak mungkin terbentuk tanpa usaha-usaha dari dirinya sendiri maupun dari luar ransangan, keteladanan, latihan,dll dari keluarga. Sekarang telah diterima secara luas bahwa tidak seorang anak pun dilahirkan dengan hati nurani dan bahwa setiap anak tidak saja harus belajar apa yang benar dan yang salah, tetapi juga harus menggunakan hati nuraninya sebagai pengendali perilaku. Ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak, guna sebagai pedomannya berperilaku di masa ia beranjak dewasa. 140 Membentuk standar tingkah laku internal terlalu rumit bagi remaja. Akibatnya, perilaku mereka, terutama harus dikendalikan oleh batas-batas yang ditentukan oleh lingkungan. Pembentukan kata hati seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai sensor atas perbuatannya, bila ia tidak mempunyai kemampuan intelektual untuk mengambil isi dan arti dari segala hal yang dilihatnya di lingkungan keluarga serta dialaminya melalui ajaran agama, dan ajaran-ajaran lainnya. Jadi walaupun contoh dan teladan di sekitarnya patut ditiru dan dijadikan petunjuk bagi hidupnya, ia tidak akan dapat mengikutinya, karena kemampuan berpikirnya nalar terlalu rendah. Sebaliknya, sekalipun remaja cukup cerdas dan mampu mengambil inti sari dari segala rupa ajaran, ia belum tentu memiliki hati nurani yang dapat berfungsi sebagai pengarah bagi perbuatan-perbuatannya apabila dalam lingkungan hidupnya tidak terdapat contoh atau tokoh yang dapat dijadikan teladan olehnya. Itulah sebabnya, bagaimana mengarahkan remaja bernalar atau berpikir mengenai aturan-aturan yang menyangkut etika berperilaku itu adalah hal pertama yang penting dilakukan oleh orang tuanya dalam memberikan penanaman nilai-nilai moral pada remaja, dan diiringi melalui pemberian keteladan. 140 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77 85 Dengan demikian, betapa pun tingginya taraf kemajuan teknologi yang dicapai dan kenikmatan hidup yang diperolehnya, taraf tersebut tidak dapat dipertahankan bila pribadi yang menjalaninya tidak memiliki kepribadian yang terbentuk sempurna. Artinya, tidak mempunyai kepribadian yang bertanggung jawab secara etis moral. Mengenai perkembangan remaja, sebelumnya penulis telah mendeskripsikan mengenai teori perkembangan kognitif menurut Jean Piaget. Yang menurutnya perkembangan moral seseorang berkaitan dengan kemampuan kognitifnya. Menurut Piaget remaja termotivasi untuk memahami dunianya secara aktif mengonstruksikan dunia kognitifnya sendiri. Ketika mengonstruksikan dunianya, remaja menggunakan skema. Skema adalah sebuah konsep atau kerangka kerja mental yang diperlukan untuk mengorganisasikan dan menginterpretasikan informasi. 141 Secara khusus tugas orang tua di sini adalah mengarahkan bagaimana anak-anak dan remajanya menggunakan skemanya untuk mengorganisasikan dan memahami pengalaman yang mereka alami. Dalam penerapannya, “Piaget menemukan anak-anak dan remaja menggunakan dan mengadaptasikan skema-skema mereka melalui dua proses, yaitu: asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah memasukkan informasi- informasi baru ke dalam pengetahuan yang sudah ada. Akomodasi adalah menyesuaikan sebuah skema yang sudah ada terhadap masuknya informasi baru ”. 142 Dengan kata lain proses asimilasi merupakan proses pemahaman dan penyerapan antara informasi-informasi yang baru, agar dapat menjadi satu dengan skemakerangka informasi yang dimiliki sebelumnya. Dan proses akomodasi merupakan proses mental individu untuk dapat menyesuaikan diri agar sesuai dengan kondisi lingkungan di luar dirinya. Setelah melalui dua proses tadi, suatu waktu remaja mengalami konflik kognitif atau mengalami ketidakseimbangan disequilibrium ketika remaja itu 141 John W. Santrock, op.cit., h. 123 142 John W. Santrock, op.cit., h. 123 86 berusaha untuk memahami dunianya. Kemudian proses lain juga diidentifikasi oleh Piaget yaitu keseimbanganekuilibrium equilibrium, di mana remaja mengubah pemikiran dari satu kondisi ke kondisi lain. 143 Proses keseimbangan ini dapat terjadi jika individu memiliki kemampuan untuk melakukan adaptasi penyesuaian diri agar terjadi keseimbangan, keselarasan maupun keharmonisan antara diri individu dengan lingkungan hidupnya. Sebelum terjadinya ekuilibrium ini, berarti individu mengalami suatu kondisi yang tak seimbang , lalu disinilah proses asimilasi dan akomodasi itu berlangsung. Dalam hal ini, berarti hati nurani telah diterangkan sebagai keseimbangan yang terkondisikan terhadap kecemasan mengenai beberapa situasi dan tindakan tertentu, yang telah dikembangkan dengan mengasosiasikan tindakan agresif dengan hukum. Hati nurani juga dikenal dengan sebutan “kata hati” atau “superego” menurut perspektif psikoanalisa, yang merupakan sebagai pengendali dorongan-dorongan dari naluri id agar dorongan-dorongan tersebut disalurkan dalam cara dan bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat. 144 Dengan kata lain, hati nurani merupakan standar internal yang mengendalikan perilaku individu. Seiring terjadinya pengarahan disequilibrium kepada equilibrium melalui proses asimilasi dan akomodasi, terlebih dahulu harus diusahakan supaya pribadi- pribadi remaja dibimbing dan diperkembangkan sedemikian rupa sehingga dalam perkembangannya akan menjadi manusia yang bertanggung jawab penuh secara etis moral. Lingkungan yang optimal bagi perkembangan kepribadian yang wajar adalah sangat penting. Keutuhan keluarga dan keserasian yang mengusai suasana di rumah merupakan salah satu faktor penting. Demikian pula sosok ayah dan ibu sebagai pengisi hati nurani yang pertama harus melakukan tugas ini dengan penuh tanggung jawab dalam suasana kasih sayang. Bila lingkungan hidup si remaja bertambah luas, akan lebih banyak sosok yang akan menjadi objek peniruan baginya rangka pengisian hati nuraninya. Apabila suatu lingkungan sulit untuk dikendalikan pengaruhnya terhadap perkembangan remajanya, ayah dan ibu harus menciptakan lingkungan lain yang 143 Ibid., h. 124 144 E. Koswara, op.cit., h. 34 87 diperkirakan menguntungkan dan tidak akan menyesatkan remaja. Namun yang lebih efektif adalah dengan meletakkan dasar-dasar yang kuat dalam pembentukan kata hati kepada remaja, melalui pengajaran dan ditanamkannya kepada remaja bahwa moral akhlak yang diajarkan di dalam Al- Qur’an bertumpu kepada aspek fitrah yang terdapat di dalam diri manusia, dan aspek wahyu agama, kemauan dan tekad manusiawi. agar ia dapat menimbang dan menilai sendiri pengaruh suatu lingkungan dalam usahanya memilih sosok dan menentukan pandangan baru yang akan menjadi bagian dari hati nuraninya kelak. Maka pendidikan moral akhlak perlu dilakukan dengan cara: 1 Menumbuh-kembangkan dorongan dari dalam diri remaja, yang bersumber pada iman dan takwa. Untuk ini perlu pendidikan agama. 2 Meningkatkan pengetahuan tentang akhlak melalui ilmu pengetahuan, pengalaman dan latihan, agar dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. 3 Meningkatkan pendidikan kemauan remaja, yang menumbuhkan pada manusia kebebasan memilih yang baik dan melaksanakannya. Selanjutnya kemauan itu akan mempengaruhi pikiran dan perasaan. 4 Latihan untuk melakukan nilai-nilai esensial untuk remaja serta mengajak orang lain untuk bersama-sama melakukan perbuatan baik tanpa paksaan. 5 Pembiasaan dan pengulangan menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja, sehingga perbuatan yang baik itu menjadi keharusan moral dan perbuatan akhlak terpuji, yang menjadi kebiasaan mendalam, tumbuh dan berkembang secara wajar di dalam diri remaja. 145 Dasar hati nurani yang kuat akan membimbing individu untuk menolak pandangan yang akan menghewankan remaja itu sendiri, dan memilih pandangan yang menganggap martabat manusialah sebagai makhluk yang berakhlak dan bertanggung jawab secara etis moral.

3. Peran rasa bersalah dan rasa malu dalam perkembangan moral

Pokok ketiga yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah pengembangan perasaan bersalah dan rasa malu. 145 Zakiah Daradjat, op. cit., h. 11-12 88 Setelah remaja mengembangkan hati nuraninya, hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku remaja tidak memenuhi standar yang ditetapkan hati nuraninya, maka anak merasa bersalah, malu atau kedua-duanya. Rasa bersalah dapat dijelaskan sebagai jenis evaluasi diri khusus yang negatif yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi. remaja yang merasa bersalah tentang apa yang telah dilakukannya, telah mengakui pada dirinya sendiri bahwa perilakunya jatuh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri. Namun, sebelum rasa bersalah ini dialami, minimal ada empat kondisi yang harus diarahkan oleh orang tua kepada remajanya. Pertama, remaja harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan yang salah atau baik dan buruk sebagai standar perilaku mereka. Kedua, mereka harus menerima kewajiban untuk disiplin mengatur perilakunya agar sesuai dengan standar yang telah mereka terima sebelumnya. Ketiga, mereka harus merasa bertanggung jawab atas setiap penyelewengan dari standar tersebut, dan mengakui bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan. Keempat, mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian antara perilaku mereka dengan standar internal mereka adalah perilaku yang telah terjadi. 146 Kemudian, “rasa malu telah didefinisikan sebagai reaksi emosional yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Penilaian ini, yang belum tentu benar-benar ada, mengakibatkan rasa rendah diri terhadap kelompoknya ”. 147 Adapun penilaian negatif ini dapat berbentuk apabila seseorang berbuat kurang sopan, merasa malu, atau seperti apabila seseorang mendapat penilaian negatif karena perilakunya jatuh di bawah standar kelompok. Moralitas dalam arti kata sebenarnya, selalu mencakup rasa bersalah. Orang harus berbuat sesuai dengan adat istiadat kelompok, dibimbing oleh standar 146 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 77 147 Ibid., h. 77 89 yang lebih dikendalikan dari dalam ketimbang dari luar. Ausabel telah menjelaskannya sebagai berikut, rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologi yang paling penting dalam proses sosialisasi. Ia juga merupakan unsur yang penting bagi kelangsungan hidup budaya karena ia merupakan penjaga yang paling efisien di dalam diri tiap individu, dan bertugas menjaga keselarasan perilaku individu dengan nilai moral masyarakatnya. 148 Bila remaja tidak merasa bersalah dan malu atas perilaku negatif yang telah ia perbuat, ia tidak akan merasa terdorong untuk belajar apa yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan tersebut.

4. Peran interaksi sosial dalam perkembangan moral

Pokok keempat yang penting dalam memberikan pelajaran menjadi pribadi bermoral kepada remaja ialah memberikan kesempatan kepada remaja untuk melakukan interaksi dengan anggota kelompok sosial. Tanpa interaksi dengan orang lain, mereka tidak akan mengetahui perilaku yang disetujui secara sosial, maupun memiliki sumber motivasi yang mendorongnya untuk tidak berbuat sesuka hatinya. Prinsip paling penting yang harus dipelajari oleh orang tua adalah perilaku anak yang menyimpang itu merupakan akibat dari kurangnya dorongan semangat oleh orang tuanya sehingga anak merasa dirinya tidak baik. Akibat lain, mereka merasa putus asa dan kecewa karena merasa dirinya tidak berhasil memenuhi keinginan orang tuanya atau kelompoknya. Hilangnya kepercayaan diri pada kemampuan yang mereka miliki itulah yang mengembalikan mereka kepada perbuatan yang kurang baik untuk menyelamatkan rasa harga diri. 149 Interaksi sosial awal terjadi di dalam kelompok keluarga. Remaja belajar dari orang tua, saudara kandung dan anggota keluarga lain, apa yang dianggap benar dan salah oleh kelompok tersebut. Dari penolakan sosial atau hukuman bagi perilaku yang salah, dan dari penerimaan sosial atau penghargaan bagi perilaku 148 Ibid., h. 78 149 Maurice Balson, Bagaimana Menjadi Orang Tua yang Baik, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, cet. 2, h. 84 90 yang benar, anak memperoleh motivasi yang diperlukan untuk mengikuti standar perilaku yang ditetapkan anggota keluarga. “Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral anak. Pertama, memberikan anak standar perilaku yang disetujui kelompok sosialnya. Kedua, memberikan mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut melalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial ”. 150 Membantu remaja agar memiliki kepercayaan kepada diri sendiri menjadi tugas dan kewajiban orang tua. Seluruh perilaku anak yang salah dan menyimpang bersumber dari hilangnya rasa percaya diri dan rasa takut berbuat, keadaan demikian terjadi karena mereka tidak mendapatkan dorongan semangat atau motivasi dari orang tuanya dan disamping itu juga tiadanya suasana saling membantu dalam kehidupan keluarganya. Motivasi utama dibalik semua perilaku tersebut adalah keinginan untuk diberi peranan, untuk diterima dalam keluarga atau anggota kelompok lainnya, dan untuk dapat memainkan fungsi peranan tersebut dalam kelompoknya. Dengan bila mereka ikut berperan dalam keluarga atau suatu kelompok, dan mereka merasa menjadi anggota yang berguna dan penting, barulah mereka dapat berfungsi dengan baik, dapat membantu dan bekerja sama. Dengan meluasnya cakrawala sosial hingga kepada lingkungan luar rumah dan sekolah, anak remaja melalui permainan dan komunikasi dengan teman-teman sebayanya mulai belajar bahwa beberapa standar perilaku yang dipelajari mereka di rumah sama dengan standar mereka berteman dan beberapa yang lainnya berbeda. Karena pengaruh yang kuat dari kelompok sosial pada perkembangan moral remaja, penting sekali bagi orang tua dan anggota keluarga lainnya saudarai untuk saling membantu dan tidak lengah mengarahkan mereka bahwa kelompok sosial tempat mereka mengidentifikasikan dirinya harus mempunyai standar moral yang sesuai dengan kelompok sosial yang lebih besar dalam masyarakat. Itulah sebabnya, orang tua harus mengontrol dan mengarahkan jenis teman bermain untuk anaknya jauh lebih penting dibandingkan dengan jumlahnya. 150 Elizabeth B. Hurlock, op. cit., h. 78 91 Kemudian berbicara fase perkembangan moral, bila moralitas yang sesungguhnya harus dicapai oleh remaja, maka perkembangan moral harus terjadi dalam dua fase yang jelas, yaitu: pertama, perkembangan perilaku moral. Kedua, perkembangan konsep moral. 151 Sumber lain menyatakan, bila perilaku moral sesungguhnya harus dicapai, maka ada beberapa jenis perkembangan moral yang harus terjadi, yaitu 1. Sensitifitas moral moral sensitifity. Kemampuan untuk menginterpretasikan dan menyadari akibat-akibat perilaku terhadap orang lain. Kemampuan ini berasal dari petimbangan kognitif maupun perasaan afektif 2. Kuputusan moral moral judgment. Kemampuan individu untuk dapat memutuskan suatu tindakan benar-salahnya, dengan memiliki kesadaran tentang moral yang tinggi. 3. Motivasi moral moral motivation. Kemampuan individu untuk melakukan tindakan moral di atas standar nilai-nilai diri sendiri. 4. Karakter moral moral character. Suatu sifa-sifat yang tumbuh dan berkembang dalam diri individu, sehingga dengan keberanian moral dapat melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai moral. Ia akan berupaya mematuhi aturan moral itu, walaupun dianggap merugikan diri sendiri. 152 Perkembangan moral remaja harus terjadi dalam dua fase yang jelas. Pertama, perkembangan perilaku moral. Remaja dapat belajar untuk berperilaku sesuai dengan cara yang disetujuinya. Salah satu prinsip dasar yang dapat digunakan orang tua sebagai pedoman untuk memahami perilaku anaknya adalah anggap bahwa anak berperilaku tertentu dengan tujuan untuk memperoleh tempat dalam keluarga. Salah satu kesalahan besar orang tua ialah terkadang lebih memusatkan pada perilaku itu sendiri daripada memahami tujuannya. Metode modeling bisa menjadi pilihan bagi orang tua untuk menunjang perkembangan perilaku moral remaja. Dengan cara menghadirkan sebuah model yang berargumen dengan menggunakan pemikiran moral satu tahap di atas tingkat 151 Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, op.cit., h. 80 152 Agoes dariyo., op.cit., h. 64 92 yang telah dicapai remaja. Metode modeling ini didasarkan pada konsep perkembangan kognitif mengenai ekuilibrium dan konflik. Dari sinilah terjadinya proses imitasi, sugesti dan identifikasi pada remaja. Dengan menyajikan informasi moral yang melampaui tingkat kognitif remaja, remaja akan mengalami disekuilibrium yang akan memotivasinya untuk melakukan restrukturisasi terhadap pemikiran moralnya. 153 Melalui metode modeling oleh orang tuanya, dengan memberikan keteladanan dalam menanamkan nilai-nilai esensial bagi remaja seperti yang telah dijelaskan sebelumnya oleh penulis. Kemudian dengan keteladanan yang disiplin, pada diri remaja akan terjadi proses imitasi. Remaja akan meniru segala kegiatan yang terjadi dalam keluarganya, bahkan mulai dari hal-hal yang kecil seperti gaya bahasaberbicara orang tua kepada dirinya mau pun orang lain, cara-cara berpakaian, dan sebagainya. Teladan moral adalah orang yang hidupnya patut untuk dijadikan contoh. Di dalam konteks keluarga, yang menjadi panutan atau teladan bagi para remaja adalah Ibu dan Bapak. Hubungan orang tua dan anak memperkenalkan mereka pada kewajiban mutual dalam hubungan interpersonal yang erat. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten dan berkepribadian baik. Di lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu, imitasi mempunyai peranannya, sebab mengimitasimengikuti suatu contoh yang baik itu dapat merangsang perkembangan watak seseorang. Melalui dari apa yang dilihatnyapelajarinya proses modeling yang baik dari orang tua melalui interaksi sosial, atau bisa juga dengan cara memberikan gambaran-gambaran keteladan yang dilakukan oleh orang lain misalnya para nabi dan sahabat, imitasi dapat mendorong individu atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan- perbuatan yang baik. Namun peranan faktor imitasi dalam interaksi sosial seperti yang digambarkan di atas juga bisa menjadi negatif. Apabila hal-hal yang dicontohkan oleh orang tua atau pun anggota lainnya dari keluarga adalah pencontohan yang 153 John W. santrock., op. cip., h. 307 93 kurang baik, mungkin salah atau pun secara moril ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi oleh anak, maka proses imitasi itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif pada remaja. Justru itulah sebagai orang tua hendaknya mengemas keteladanan kepada anak-anaknya secara baik dan juga berhati-hati. Dengan adanya teladan yang baik, maka akan menumbuhkan hasrat bagi remaja untuk meniru atau mengikutinya. Karena memang pada dasarnya dengan adanya contoh ucapan, perbuatan dan contoh tingkah laku yang baik dalam hal apapun, maka hal itu merupakan suatu amaliyah yang paling penting dan paling berkesan bagi pendidikan anak, maupun dalam kehidupan dan pergaulan mereka sehari-hari. Kemudian proses sugesti di sini terletak pada keterkaitannya dalam penalaran si remaja. Melalui metode persuasif, agar remaja tidak salah mengimitasi, orang tua tetap harus disiplin mengarahkan mereka dengan mengajak mereka merenungkan terlebih dahulu apa yang harus ia tiru dan apa yang tidak boleh ia tiru dengan memberinya standar perilaku yang disetujui kelompok sosial dan memberi mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar tersebut. Setelah mereka telah memiliki motivasi moral tersebut, maka orang tua bisa melanjutkan dengan metode pembiasaan dalam penanaman nilai-nilai moral pada remaja. Pada metode pembiasaan ini, orang tua melakukan pengkondisian diri remaja, diawali dengan memberikan mereka pelatihan-pelatihan melakukan beberapa nilai moral. Bila remaja belajar untuk bersikap sesuai dengan apa yang diterima secara sosial oleh anggota kelompoknya keluarga atau pun masyarakat dengan cara terus berlatih tetap dibawah arahan atau pembinaan dari orang tua, maka mereka akan melakukannya dengan mencoba suatu jenis perilaku untuk melihat apakah itu memenuhi standar sosial dan memperoleh persetujuan sosial. Bila tidak, mereka bisa diarahkan untuk mencoba lagi dan melakukan dengan cara yang lain, dan seterusnya begitu hingga memenuhi dan memperoleh persetujuan sosial. Hingga suatu saat, secara kebetulan dan bukan karena direncanakan, mereka akan menemukan caranya sendiri yang memberi hasil yang diinginkan, 94 yaitu dengan cara pembiasaan. Metode ini memang cukup menghabiskan waktu dan tenaga, dan hasil akhirnya pun seringkali jauh dari memuaskan. Jadi melalui keteladanan dan pembiasaan, melalui proses asimilasi maka remaja akan berupaya untuk mengubah hal-hal yang berasal dari luar, untuk disesuaikan dengan apa yang sudah ada dalam dirinya. Dan melalui proses akomodasi, remaja akan termotivasi untuk mengubah konsep, pemahaman ataupun pengertian yang lama, agar sesuai dengan yang baru. Disadari atau tidak disadari, remaja sedang melakukan proses identifikasi pada dirinya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan melalui studi pustaka dalam menanamkan nilai-nilai moral pada remaja dalam keluarga, penulis mengemukakan kesimpulan, bahwa: 1. Nilai-nilai moral esensial yang penting ditanamkan pada remaja di antaranya adalah jujur, disiplin, percaya diri, peduli dan mandiri. Nilai-nilai moral esensial ini merupakan nilai-nilai mendasarkan untuk membentuk akhlak muliakarakter pribadi remaja, yang bisa dimulai dari dini bahkan sebelum remaja. Penanaman nilai-nilai ini tidak sebatas pada pengajaran, tetapi menyentuh perasaan remaja agar mereka sadar akan kebenaran dan kesediaan untuk mengamalkannya. 2. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan pendekatan sosial yang dilakukan dengan cara interaksi sosial melalui proses imitasi, sugesti dan identifikasi. Pendekatan ini berfungsi untuk mempelajari contoh-contoh penerapan nilai-nilai moral secara konkrit dari keteladanan orang tua dan anggota keluarga lainnya secara praktis, dan tersedianya kondisi yang baik di dalam keluarga, ini memudahkan remaja untuk meniru. Selanjutnya orang tua membeiasakan dan mengontrol sikap dan perbuatan remaja. 3. Penanaman nilai-nilai moral pada remaja dapat digunakan juga pendekatan psikologi yang dilakukan dengan cara mempersiapkan mental remaja dengan membina kondisi mentalnya melalui pembinaan secara rasional, pengendalian perilaku moral dan pembentukkan kata hati. Pendekatan ini berfungsi membangun kesadaran remaja melalui pengetahuan dan kemampuan nalar dan hati nuraninya intuisi untuk meyakini bahwa nilai-nilai esensial itu memang merupakan nilai kebajikan dan bermanfaat yang harus diikuti atau diterapkan. 4. Dalam penerapannya, pendekatan sosial menekankan remaja untuk mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sehingga perilaku yang dilakukannya dapat diterima oleh masyarakat atau sesuai standar sosial. Kemudian dari segi pendekatan psikologi, lebih menekankan pada kesadaran 95 96 diri remaja dalam melakukan suatu perbuatan, kesadaran yang tinggi terhadap nilai-nilai esensial dapat mengontrol dan mengendalikan remaja dari perilaku yang menyimpang dari standar sosial.

B. Saran

1. Bagi orang tua hendaknya mempelajari perkembangan ciri-ciri jiwa remaja, dekat dengan anak remajanya agar terjalin komunikasi, sehingga dengan lancarnya komunikasi akan ada keterbukaan diantara keduanya, dan nasehat- nasehat orang tua akan lebih bisa didengar oleh remaja. Orang tua hendaknya juga melakukan keteladanan nilai-nilai moral esensial tadi jujur, disiplin, percaya diri, peduli,dsb baik dari segi perkataan dan perbuatan, karena apa saja yang dilihat maupun didengar oleh remaja, itulah yang akan mereka tiru. Orang tua juga hendaknya sadar akan tanggung jawab terhadap anak-anaknya agar mereka banyak memberikan perhatikan, pengawasan dan bimbingan yang sebaik-baiknya, ini dapat dilakukan melalui bacaan-bacaan seperti: koran, majalah, buku-buku. Atau penerangan TV, radio, mengikuti seminar-seminar atau pelatihan-pelatihan, sebagainya. 2. Bagi masyarakat hendaknya ikut menertibkan perilaku-perilaku masyarakat sekitar yang kurang kondusif demi menghindari kerusakan moral remaja, begitupun untuk guru-guru di sekolah. Masyarakat dan guru juga hendaknya menjadi figur teladan yang baik. 3. Bagi remaja hendaknya mengerti perkembangan dirinya, menekan gejolak emosionalnya sehingga mampu untuk mengendalikan sikap atau perbuatannya. Remaja juga hendaknya bersikap kritis terhadap perilaku yang ada di sekelilingnya, sehingga tidak hanya asal meniru tetapi juga mampu membedakan mana perilaku yang buruk dan mana perilaku yang baik untuk ikuti. Sibukkan diri dengan menyalurkan bakat-bakat yang ada di dalam diri melalui organisasi-organisasi tertentu, misalnya: organisasi sport, organisasi kesenian, pramuka, dan sebagainya, hal ini agar remaja tidak mempunyai waktu terluang yang tidak berguna. 97 DAFTAR PUSTAKA Ahmad Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 1991 Azhari Akyas, Psikologi Umum dan Perkembangan, Jakarta: Teraju Mizan, 2004 Agama Departemen, Al- Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2004, cet. 5, juz ke-21 Ali Mohammad dan Asrori Mohammad, Psikologi remaja, Jakarta: PT. Bumi Aksara 2011 Alisuf Sabri M, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Pedoman Ilmu jaya, 2007, cet. 3 Abdullah M. Yatimin, Studi Akhlak dalam Perspektif Al- Qur’an, Jakarta:Amzah, 2007, cet. 1 Bachri Thalib syamsul., Psikologi Pendidikan Berbasis Analisis Empiris Aplikatif, Jakarta: Kencana, 2010, cet. 1 Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977, cet. 4 Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996 Daradjat Zakiah, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 2003, Cet. 1 Darajat Zakiah, Ahmad Sadali, dkk., Dasar-dasar Agama Islam Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, cet ke-10 Daradjat Zakiah, Pendidikan islam Dalam Keluarga dan Sekolah, Bandung, CV Ruhama, 1994 Daradjat Zakiah, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1977. Cet. 4 Djunaidi Ghony Muhammad, Nilai Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1982 Dawam Ainurrofiq, Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Mitra Fajar Indonesia, 2006, cet 1 Erika Endang , “Peranan Pendidikan Akhlak dalam Keluarga terhadap Kecerdasan Spiritual Anak ”, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2010, skripsi 98 Farida. HM, “Peranan Pendidikan Agama Islam dalam Pengembangan Perilaku Sosial Anak Usia Dini”, Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2012, skripsi Gerungan W. A. DIPL. Psych, Psychologi-Sosial, Jakarta: PT Eresco, 1981, cet. 7 Herien Puspitawati, Seks Bebas dikalangan Remaja Pelajar dan Mahasiswa, Penyimpangan, Kenakalan, atau Gaya Hidup?? ,diakses pada tanggal 02Feb 2014, http:sule-gratis.blogspot.com201301seks-bebas-di- kalangan-remaja-pelajar.html Humanitas., Indonesian Psychological Journal, Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, 2008,Vol. 5 No.1 Haitami Salim Moh, Pendidikan Agama dalam Keluarga, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013 Hurlock Elizabeth B, Perkembangan Anak, Jakarta: Erlangga, 1978, Jilid 2 Edisi ke-6 Irawan Dedi. PATROLI, Aksi Tawuran Pelajar: 40 Pelajar Bajak Kopaja Untuk Tawuran, diakses pada tanggal 20 Maret 2014, http:www.indosiar.compatroli40-pelajar-bajak-kopaja-untuk- tawuran_111160.html Koswara E, Teori-teori Kepribadian, Bandung: Eresco, 1991, cet ke-2 Kompas.com. Mohammad Nuh., Kurikulum 2013, diakses pada tanggal 20 Maret 2014, http:edukasi.kompas.comread2013030808205286Kurikulum.2013 Kasiram. Moh, Metodologi Penelitian, Malang: UIN-Malang Press, 2008 cet. I Khiriah Husen Thaha, Konsep Ibu Teladan, Surabaya: Risalah Gusti, 1994 Listyarti Retno, Pendidikan Karakter dalam Metode Aktif, Inovatif dan kreatif, Jakarta: Esensi Erlangga Group, 2012 M Satibi, BNN Perkirakan 2015 Jumlah Pengguna Narkotika Capai 5,1 juta, diakses pada tanggal 20 Maret 2014, http:id.scribd.comdoc151518762BNN-Perkirakan-2015-Jumlah- Pengguna-Narkotika-Capai-5 Nata Abudin, Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, cet. 5 Narendrany Hidayati Heny dan Yudiantoro Andri, Psikologi Agama, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007