Cara Manusia Bereksistensi Eksistensialisme Jean-Paul Sartre

1996 : 39 menyatakan bahwa “le délaissement implique que nous choisissons nous-mêmes notre être. Le délaissemen t va avec l’angoisse” kesendirian menandai bahwa kita memilih sendiri untuk ada. Kesendirian ada dengan adanya kecemasan. Keputusasaan atau désespoir juga menandai eksistensi manusia. Perasaan putus asa didasari oleh kenyataan bahwa manusia tidak akan pernah tahu apa yang terjadi setelah ia membuat sebuah pilihan. Menurut Sartre 1996 : 47 manusia sebaiknya berbuat tanpa harapan. Artinya, manusia tidak memikirkan akibat apapun yang akan muncul dari tindakannya sehingga ia dapat dengan bebas bertindak. Tiga hal tersebut, kecemasan, kesendirian, dan keputusasaan tidak pernah dapat lepas dari eksistensi manusia. Konsekuensi manusia ada di dunia ini adalah menjadikan ketiga hal tersebut sebagai motivasi untuk beraksi dan membuat pilihan. Hanya dengan cara itulah manusia mampu menemukan esensinya. Seperti perkataan Sartre 1996 : 53 bahwa “tu n’es rien d’autre que ta vie” kamu tidak lain adalah hidupmu.

2. Cara Manusia Bereksistensi

Sartre berpendapat bahwa terdapat dua cara bereksistensi. Ia membagi « ada » atau être menjadi dua, yaitu être-en-soi being-in-itself dan être-pour-soi being-for-itself. Être-en-soi dapat dideskripsikan sebagai « ada » yang tidak berkesadaran atau wujud fisik manusia. Manusia berbeda dengan benda-benda yang esensinya telah ditentukan sebelum mereka ada. Sebagai contoh printer, ia adalah benda. Benda ini dirancang dan dibuat oleh seseorang sesuai desain yang ia inginkan. Jika printer tersebut dirancang bertinta hitam, maka desain tersebut membatasi apa yang dapat dilakukan oleh benda tersebut, yaitu hanya dapat menghasilkan printout berwarna hitam bukan warna yang lain. Tinta hitam memberi esensi pada printer. Jadi, cara bereksistensi yang tidak berkesadaran atau yang disebut être-en-soi dapat bermakna l’essence précède l’existance esensi mendahului keberadaannya. Sedangkan être-pour-soi adalah « ada » yang berkesadaran atau kesadaran manusia itu sendiri. Secara lebih detail, kesadaran tidak pernah identik bahkan sama dengan dirinya sendiri. Artinya, kesadaran être-pour-soi tidak mempunyai identitas, hanya dapat diketahui melalui kemampuan manusia dalam bertanya dan menerima jawaban baik negatif maupun positif. Sesuatu yang ditanyakan dalam hal ini adalah objek être-en-soi bukan dirinya sendiri être-pour-soi. Misalnya seorang calon mahasiswa yang ingin mengetahui prosedur pendaftaran mahasiswa baru di suatu universitas, ia berusaha bertanya pada petugas pendaftaran bukan pada dirinya sendiri. Kesadaran tidak akan muncul tanpa sesuatu Muzairi : 2002. Berdasarkan contoh pada paragraf sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa calon mahasiswa tidak akan bertanya mengenai prosedur pendaftaran mahasiswa baru jika mahasiswa tersebut sudah tahu. Ketidaktahuan akan prosedur pendaftaran mahasiswa baru tersebut merupakan bentuk kesadarannya. Menurut Sartre melalui Muzairi 2002 :113, Kesadaran merupakan bentuk kebebasan mengatasi objek être-en-soi. Oleh karena itu, manusia dalam menjalani hidupnya di dunia, tidak dapat hanya mengandalkan fisiknya. Ia harus mencari sendiri jati diri atau esensinya. Hal ini tidak lain agar hidup yang ia jalani penuh makna.

3. Relasi Antarmanusia