Penetapan hak dan hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz ( analisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat perkara nomor 228/pdt.g/2009/pa.jb)

(1)

PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI ANAK BELUM MUMAYIZ

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

NOVA ANDRIANI

NIM: 107044200445

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

ANAK BELUM MUMAYIZ

(Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

NOVA ANDRIANI

NIM: 107044200445

Dibawah Bimbingan: Pembimbing

Dr. Abdurrahman Dahlan, MA NIP: 19581110 198803 1001

KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “PENETAPAN HAK HADHANAH KEPADA BAPAK BAGI ANAK BELUM MUMAYIZ (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat

Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)”, telah diujikan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam.

Jakarta, 24 Mei 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum

Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH.,MA.,MM NIP. 19550505 198203 1012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH.,MA

NIP. 19500306 197603 1001 : (...)

Sekretaris : Hj. Rosdiana, MA

NIP. 19690610 200312 2001 : (...)

Pembimbing : Dr. Abdurrahman Dahlan, MA

NIP. 19581110 198803 1001 : (...)

Penguji I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA NIP. 19760807 200312 1001 : (...)

Penguji II : Mu’min Rouf, M.Ag


(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 2011

Nova Andriani


(5)

i

KATA PENGANTAR





Alhamdulillah, dengan penuh rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita baginda Rasul yang mulia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umat Islam yang selalu menjaga sunnah dan mengamalkannya semoga kita

mendapat syafa’atnya di akhirat kelak.

Atas berkah dan rahmat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan yang diharapkan, patutlah rasa syukur penulis panjatkan kepada-Nya serta rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan di fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat rampung tanpa adanya bantuan orang lain yang begitu berharga dan bermakna bagi penulis, dengan demikian dalam kesempatan yang berharga ini penulis menghaturkan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada:


(6)

ii

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA.

2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM beserta segenap pimpinan, karyawan, dan staf yang berdedikasi tinggi dan sepenuh hati memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas spiritual dan intelektual kepada Mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.

3. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Sekretaris Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Ibu Hj. Rosdiana, MA, serta Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA yang tiada henti memberikan dukungan, motivasi, serta bimbingan demi kelancaran penulisan skripsi ini.

4. Pembimbing skripsi, Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA yang senantiasa ikhlas meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga beliau selalu dalam lindungan dan rahmat Allah SWT.

5. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Barat, Bapak Drs. H. Musfizal Musa, SH., MH berserta seluruh staf jajarannya baik Panitera, Panitera Muda Hukum yang telah memberikan penulis izin untuk melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan penelitian. Para hakim, khususnya kepada Ibu Dra. Ida Hamidah, MH yang telah meluangkan waktunya untuk diwawancarai serta


(7)

iii

membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan dalam penyusunan skripsi ini.

6. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan selama penulis belajar di kampus tercinta, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang banyak membuka cakrawala dan wacana berpikir penulis. Tidak lupa juga teruntuk Habib Zein Ali Al-Jupri, Umi Syifa, para guru penulis dari masa kecil sampai sekarang yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Serta para Asatidz/Asatidzah MAKN Surakarta. Terima kasih atas segala keiklasan dalam mencurahkan ilmunya kepada penulis. Serta pihak-pihak terkait, para pimpinan dan staf Perpustakaan Utama, Perpustakaan Fakultas Syariah Dan Hukum, Perpustakaan Fakultas Dirasat Islamiyah, dan Perpustakaan Lentera Hati yang telah memberikan fasilitas dan membantu penulis mencari data demi terselesaikannya skripsi ini.

7. Rasa Ta’zhim dan terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Sukirno dan Ibunda tercinta Waginah yang telah memberikan motivasi, dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, kasih sayang serta doa munajatnya yang tak henti-henti kepada Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesuksesan dalam penyelesaian studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan arti kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini. 8. Mbak-mbkku tercinta, Susilowati, SE, Dwi Hartini, ST, dan Tri Priyantini,

S.Kom, yang telah banyak berkorban demi membantu finansial penulis dalam menyelesaikan studi ini. Syukron katsiron atas segala doa, kesabaran, jerih payah,


(8)

iv

serta nasihat yang senantiasa memberikan semangat tanpa jemu hingga Ananda dapat menyelesaikan studi. Tiada kata yang pantas selain ucapan doa, sungguh jasamu tiada tara dan semoga Allah SWT memberikan pahala yang berlipat ganda. Dan juga adik-adikku tercinta, Agung Rahmadi dan Kiki Rizki Alfarizi yang telah memberikan support dan keceriaan dalam setiap kehidupan penulis. 9. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam angkatan 2007 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang dalam menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah Dan Hukum tercinta, semoga ukhuwah islamiyah diantara kita tetap terjaga selamanya. Dan tidak lupa teruntuk kakak kelasku yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan sumbangsih saran dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman Pengurus dan Anggota Moot Court Community (MCC) Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, BEM Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, serta kawan-kawan KKN_SCC 2010 yang senantiasa berbagi cerita, pengalaman, dan wawasan.

11. Teman-teman IKAMAKSUTA RAYA (Ikatan Alumni Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri Surakarta-Jakarta Raya), khususnya yang kuliah di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang selalu siap untuk berbagi, saling mengingatkan, saling mendoakan, saling support serta saling membantu satu sama lain.


(9)

v

Penulis menyadari bahwa masih banyak nama-nama yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, kepada semua pihak yang telah memotivasi dan memberi inspirasi kepada penulis untuk mencapai suatu cita-cita dan telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung, moril maupun materil. Hanya ucapan terima kasih yang penulis haturkan semoga segala bantuan tersebut diterima sebagai amal ibadah di sisi Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak akan diterima dengan baik. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.

Jakarta, 6 Mei 2011 Penulis,


(10)

vi

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian... 6

E. Review Studi Terdahulu ... 9

F. Analisis Data ... 11

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II HADHANAH ANAK DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIF A. Pengertian Hadhanah ... 15

1. Menurut Fikih ... 15

2. Menurut Hukum Perdata ... 19

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI... 22

B. Dasar Hukum Hadhanah... 28

C. Syarat-syarat Hadhanah ... 31

D. Pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah ... 34


(11)

vii

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI... 38

E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah ... 39

BAB III HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat... 44

1. Sejarah Singkat... 44

2. Letak Geografis ... 49

3. Struktur Organisasi... 53

B. Deskripsi/Duduk Perkara... 55

C. Profil Dan Pihak Yang Terlibat... 58

D. Pertimbangan Hukum Hakim... 60

BAB IV TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT TENTANG HAK HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK A. Peranan Hakim Dalam Penyelesaian Perkara Hadhanah Anak.. 65

B. Segi-Segi Persamaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif... 67

C. Segi-Segi Perbedaan Dengan Fikih Dan Hukum Positif... 72

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 77

B. Saran-Saran... 79


(12)

viii

1. Pedoman Wawancara... 81 2. Hasil Wawancara... 84 3. Permohonan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat... 90 4. Keterangan Melakukan Wawancara di Pengadilan Agama Jakarta Barat... 91 5. Permohonan Kesediaan Menjadi Pembimbing Skripsi... 92 6. Putusan Perkara No.228/Pdt.G/2009/ PA.JB... 93


(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal dan berpasang-pasangan agar mereka cenderung satu sama lain, saling menyayangi dan saling mencintai. Bagi umat Islam terdapat aturan untuk hidup bersama yaitu seperti yang dijelaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.1

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2, menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqanghalizhan) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2 Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran agama Islam mempunyai nilai ibadah.

Dalam Islam, pernikahan bukanlah semata-mata sebagai kontak keperdataan biasa, tetapi mempunyai nilai ibadah Al-Qur‟an sendiri menggambarkan tali

1

Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 7. 2

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), Cet. Ke-2, (Jakarta: Logos, 1999), h. 140.


(14)

perkawinan itu sebagai tali yang kokoh (mitsaqan ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.3

Tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk memenuhi petunjuk Allah dalam rangka membina keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Selain itu juga untuk menghasilkan serta melestarikan keturunan.

Idealnya sebuah kehidupan rumah tangga adalah hidup rukun, bahagia, dan tentram. Namun, sebuah kehidupan rumah tangga tidak selamanya berjalan dengan baik, ada kalanya keadaan itu tidak baik dan terlebih lagi bisa ke arah pada perceraian. Walaupun perceraian sesuatu yang tidak disenangi oleh Allah tetapi apabila semua cara sudah dilakukan, ternyata tidak bisa dipertahankan maka perceraian adalah jalan keluarnya.

Berbagai permasalahan timbul akibat terjadinya perceraian, baik permasalahan harta bersama sampai permasalahan siapa yang lebih berhak mengasuh anaknya (hadhanah) termasuk mengenai nafkah yang akan diberikan kepada anak tersebut.

Pemeliharaan anak setelah terjadi perceraian dalam bahasa Fikih disebut

hadhanah. Dalam Islam, hak mengasuh anak adalah menjadi tanggung jawab yang besar yang harus dijalankan oleh pihak-pihak yang terkait yaitu baik ibu maupun bapak karena anak adalah titipan sang Khalik yang harus kita rawat, apabila kita tidak melaksanakan semua itu dengan baik maka kita akan dikenai hukum Allah.

3

Tim Penulis, Relasi Suami Istri Dalam Islam, (Jakarta: Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 1.


(15)

3

Anak adalah seorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.4 Sedangkan menurut KHI, anak adalah orang yang belum genap 21 tahun dan belum pernah menikah dan karenanya belum mampu untuk berdiri sendiri. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Dalam hal pendidikan, orang tua sangat bertanggung jawab dalam hal ini, karena undang-undang mengamanahkan terhadap orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap anak. Sebagaimana terdapat pada Pasal 26 ayat (1) huruf (a) UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak: “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak”.5

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 huruf (a), menyebutkan bahwa dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. Kemudian, dalam Pasal 156 huruf (a), akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya.6

4

UU No. 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: PT. Citra Umbara, 2003), h.4.

5

Ibid., h. 4. 6

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 151.


(16)

Dari ketentuan di atas, dapat kita lihat bahwa peranan ibu sangatlah penting terhadap anak yang belum mumayiz apabila di dalam rumah tangga terjadi perceraian. Adapun siapa yang lebih berhak mengasuh anak yang belum mumayiz, bila kita melihat argumen di atas, maka yang berhak mengasuh anak yang belum mumayiz

adalah pihak ibu.

Pada poin yang telah disebutkan di atas, pada dasarnya anak yang belum

mumayiz jatuh ke tangan ibu, tapi tidak demikian adanya yang terjadi di Pengadilan Agama. Banyak pihak yang mengajukan perkara tentang hak hadhanah anak setelah terjadinya perceraian, dimana anak merupakan hasil dari perkawinan yang selama ini mereka jalani bersama serta harus melepaskan ikatan perkawinan dikarenakan alasan-alasan yang memicu retaknya hubungan perkawinan.

Kemudian, bagaimana majelis hakim yang menangani perkara hak hadhanah

anak sehingga terjadi penetapan hak tersebut, jika anak yang diperebutkan, masih di bawah umur tidak jatuh ke tangan ibu, melainkan kepada bapak. Tentunya majelis hakim mempunyai pertimbangan hukum hakim terhadap putusan yang ditetapkan.

Oleh karena itu, menjadi hal yang menarik untuk diteliti, putusan majelis hakim, dasar hukum, alasan-alasan serta implikasi lain dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap yang disepakati oleh majelis hakim. Inilah yang menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji dalam skripsi dengan judul “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB)”.


(17)

5

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Menyadari karena luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka penulis membatasi masalah pada Penetapan hak asuh anak (hadhanah) terhadap anak belum mumayiz.

2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya Islam, baik dari nash maupun fikih, pengasuhan anak yang belum mumayiz berada pada ibu, demikian juga diatur dalam hukum materiil atau undang-undang. Pada kenyataannya anak yang belum mumayiz diputus oleh hakim, bahwa hadhanah anak bisa jatuh kepada bapak. Hal ini yang ingin penulis teliti mengenai putusan hakim terhadap hadhanah anak yang belum mumayiz

yang jatuh kepada bapak terhadap perkara hadhanah di Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara No. 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

Untuk memecahkan masalah yang ada, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam memutuskan perkara hak

hadhanah anak kepada bapak dalam putusan perkara nomor

228/Pdt.G/2009/PA.JB?

2. Apa dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut?


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Untuk mengetahui metode majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam menentukan hak hadhanah akibat perceraian dalam putusan perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

2. Untuk mengetahui dasar hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz.

Adapun manfaat secara teoritis dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan penjelasan tentang cara hakim memutuskan suatu perkara dan metode-metode yang digunakan hakim dalam menetapkan suatu keputusan. 2. Untuk memperkaya khazanah keilmuan di lingkungan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta khususnya di Fakultas Syariah dan Hukum.

D. Metode Penelitian

Metode dalam sebuah penelitian merupakan hal yang penting dan harus dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Metodologi dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku.

Dalam penyusunan skripsi ini, metode yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:


(19)

7

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini diaplikasikan model pendekatan kasus, yaitu mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus lalu dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum.7

Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang menekankan kualitas sesuai dengan pemahaman deskriptif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus yang berkenaan dengan penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum

mumayiz yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Barat.

Adapun jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum normatif. Sedangkan jenis data yang digunakan yaitu data kualitatif.8

2. Metode Pengumpulan Data

Sumber data penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian berupa data primer dan data sekunder.9 Adapun sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

7

Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet. II, (Jawa Timur: Baymedia Publising,2006), h. 321.

8

Ibid., h. 45. 9

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 141.


(20)

a. Data Primer : 1. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

2. Wawancara mendalam (indept interview) terhadap hakim untuk mendapatkan informasi tentang

bagaimana pertimbangan hakim dalam

menetapkan perkara.

b. Data sekunder : 1. Buku-buku dan kitab-kitab yang berkenaan dengan

Hadhanah.

2. Artikel-artikel yang berkaitan baik dari surat kabar maupun elektronik.

Adapun metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Putusan perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB, yaitu teknik pengumpul data

dengan cara meng-copy putusan tersebut kemudian dianalisis oleh penulis.

 Wawancara mendalam (indept interview), yaitu teknik pengumpul data untuk mendapat informasi dengan cara mengajukan pertanyaan dan meminta penjelasan kepada hakim yang memutus perkara tersebut.10

 Kajian kepustakaan, untuk memahami teori-teori dan konsep yang berkenaan

dengan metode ijtihad hakim melalui berbagai buku dan literatur yang dipandang mewakili (representative) dan berkaitan dengan obyek penelitian.

10

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), h. 36.


(21)

9

Obyek dalam penelitian ini adalah putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama Jakarta Barat yaitu putusan perkara Nomor

228/Pdt.G/2009/PA.JB. 3. Teknik Penulisan Skripsi

Penulisan yang digunakan adalah deskriptif analisis yaitu dengan cara penulisan yang menggambarkan permasalahan yang didasari pada data-data yang ada, lalu dianalisis lebih lanjut untuk kemudian diambil kesimpulan. Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007. Serta penulisan ayat Al-Qur‟an dan Hadits ditulis satu spasi, termasuk terjemahan Al-Quran dan Hadits dalam penulisannya diketik satu spasi meskipun kurang dari enam baris dan penulisan skripsi ini menggunakan ejaan yang disempurnakan (EYD), kecuali nama pengarang dan daftar pustaka ditulis di awal.11

E. Review Studi Terdahulu

Adapun penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian antara lain:

1. Skripsi oleh Aditya Nur Pratama, Tahun 2009 Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah, Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Judul “Pencabutan Hak Asuh Anak Dari Ibu (Studi Analisis Putusan Pengadilan

11

Tim Penulis Fakultas Syariah dan Hukum, Pedoman Penulisan Skripsi, cet.I, (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h. 11.


(22)

Agama Depok No. 430/Pdt.G/2006/PA.Dpk)”. Berisi tentang landasan teori seputar hak asuh (hadhanah) anak meliputi pengertian hadhanah, dasar hukum

hadhanah, syarat-syarat hadhinah dan hadhin, masa hadhanah serta analisa terhadap putusan Pengadilan Agama tentang pencabutan hak asuh anak dari ibu. Secara umum, skripsi tersebut membahas tentang pencabutan hak asuh (hadhanah) anak dari ibu, sedangkan penelitian penulis tentang hak asuh (hadhanah) anak belum mumayiz kepada bapak.

2. Skripsi oleh Firman Sulaeman, Tahun 2005, Jurusan Ahwal Al-Syakhshiyah, UIN

Jakarta. Judul “Hak Pemeliharaan Anak yang Belum Mumayiz Akibat Perceraian (Studi Kritis terhadap Pasal 105 Point A KHI)”. Berisi tentang pembahasan

mengenai efektifitas penerapan pasal 105 point A KHI sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di lingkungan Pengadilan Agama. Dari segi isi skripsi, skripsi tersebut membahas tentang efektifitas penerapan pasal 105 point A KHI dalam menyelesaikan sengketa hadhanah di Peradilan Agama, dengan melakukan studi kritis terhadap Pasal 105 point A KHI, sedangkan penelitian penulis dengan menganalisis putusan hakim tentang hadhanah anak dan juga menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.

3. Skripsi oleh Sabarudin, Tahun 2008, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah,

Konsentrasi Peradilan Agama, UIN Jakarta. Judul “Hadhanah Perspektif Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟i dan Prakteknya Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan

(Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PA.JS


(23)

11

murtad di Pengadilan Agama Jakarta Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PA.JS serta

ditinjau menurut mazhab Imam Hanafi dan Syafi‟i. Secara umum, skripsi tersebut berisi tentang hak asuh (hadhanah) anak bagi orang tua yang murtad dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan juga membandingkan antara dua perspektif yaitu mazhab Imam Hanafi dan Mazhab

Imam Syafi‟i mengenai hadhanah, sedangkan penelitian penulis tidak membandingkan keduanya tetapi hanya menganalisis pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara.

Dari beberapa judul skripsi di atas, sudah jelas berbeda pembahasannya dengan skripsi yang akan dibahas penulis. Adapun penelitian ini memfokuskan pada analisis yurisprudensi putusan majelis hakim terhadap hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz dengan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB.

F. Analisis Data

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis mengenai alasan dan dasar hukum yang dijadikan pegangan hakim dalam menetapkan keputusan terhadap kasus yang dibahas. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan content analysis (analisis isi) dan mengidentifikasi apa yang menjadi perhatian (concerns) penulis yaitu terhadap putusan hakim yang berkenaan dengan hadhanah anak di Pengadilan Agama Jakarta Barat, serta apa yang menjadi persoalan (issues).


(24)

Dalam melakukan identifikasi ini proses yang akan penulis lakukan antara lain:

1. proses kategorisasi, yaitu proses menyusun kembali catatan dari hasil observasi atau wawancara menjadi bentuk yang lebih sistematis.

2. proses prioritas, yaitu dengan memilih mana yang kategori yang dapat ditampilkan dan mana yang tidak perlu ditampilkan.

3. proses penentuan kelengkapan, yaitu untuk mengetahui kategori yang dihasilkan sudah cukup atau belum.12

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mempermudah pembahasan dan agar penulisan skripsi ini lebih terfokus dan sistematis, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab Pertama, sebagai penelitian ilmiah maka pada bab ini diawali dengan pendahuluan merupakan penjelasan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam bab tertentu yang memberikan gambaran secara umum dan menyeluruh tentang skripsi ini dengan menguraikan tentang latar belakang masalah yang menjelaskan alasan mengapa masalah yang diangkat perlu diteliti. Menurut penulis, masalah penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz perlu diteliti karena dalam ketentuan fikih maupun hukum positif (dalam hal ini ketentuan

12

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h.135.


(25)

13

hukum yang termuat dalam KHI) menyatakan bahwa hak hadhanah bagi anak belum

mumayiz adalah hak ibunya. Namun, hal ini berbeda dengan putusan hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat yang menetapkan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz. Pembatasan dan perumusan masalah yang diteliti, yaitu membatasi pada masalah penetapan hak hadhanah bagi anak belum mumayiz dengan

rumusan masalah “penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum

mumayiz”. Pertanyaan yang dirumuskan yaitu bagaimana metode ijtihad hakim dan dasar pertimbangan hukum yang digunakan dalam memutuskan perkara tersebut. Pada bab ini juga berisi tentang metode penelitian yang digunakan oleh penulis, review studi terdahulu dengan mendata dan mengevaluasi seluruh studi, terutama skripsi yang lebih membahas fokus yang berkaitan dengan penelitian yang penulis teliti sehingga terlihat perbedaannya dengan skripsi yang telah ada. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan content analysis (analisis isi) dan mengidentifikasi concerns penulis terhadap putusan hakim yang berkenaan dengan hadhanah anak di Pengadilan Agama Jakarta Barat. Sistematika penulisan ini berisi tentang deskripsi daftar isi dari penelitian ilmiah bab per bab dalam bentuk esai yang menggambarkan alur logis dan struktur dari bahasan skripsi.

Bab kedua, untuk memudahkan pembaca memahami inti dari permasalahan yang penulis teliti, maka terlebih dahulu penulis menyajikan kajian kepustakaan terkait mengenai landasan (kerangka) teori yang didasarkan pada teori-teori yang relevan dengan tema penelitian penulis dengan memaparkan gambaran umum tentang hadhanah anak menurut perspektif fikih dan hukum positif (Hukum Perdata,


(26)

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam).

Bab ketiga, tidak semua hak hadhanah anak merupakan hak bapak, maka penulis memfokuskan objek penelitian ini pada kasus putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB. Penulis menyajikan data hasil penelitian, berupa deskripsi data berkenaan dengan variabel yang diteliti secara objektif dalam arti tidak dicampur dengan opini penulis. Pada bab ini, penulis menjelaskan sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat meliputi: sejarah singkat, letak geografis dan struktur organisasi. Selain itu, menjelaskan deskripsi/duduk perkara serta pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Bab keempat, pada bab ini, penulis menganalisis permasalahan yang diteliti dengan melihat dari segi-segi persamaan dan perbedaan dengan fikih dan hukum positif terhadap penetapan hak hadhanah kepada bapak bagi anak belum mumayiz

serta menjelaskan hal-hal yang menjadi pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara tersebut.

Bab kelima, pada bab ini berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas masalah yang dirumuskan berdasarkan data yang diperoleh serta saran-saran dan harapan penulis.


(27)

15

BAB II

HADHANAH ANAK DALAM FIKIH DAN HUKUM POSITIF

A. Pengertian Hadhanah

1. Menurut Fikih

Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,

hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia mengumpulkan (mengempit) telurnya itu ke dalam dirinya di bawah (himpitan) sayapnya.1 Demikian pula sebutan

hadhanah diberikan kepada seorang perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak, dada, serta pinggulnya.2

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakkan sesuatu dekat tulang rusuk atau di pangkuan.3 Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.

Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan mendidik seseorang

1

Ahmad Warson, Kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progresif, 1997), h. 296.

2

Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan: Dar al-Fikr, 1973), h. 339. 3

DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid II, h. 206.


(28)

yang belum mumayiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.4

Dalam kajian fikih, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang meliputi pendidikan dan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat merusaknya.5

Para ulama Fikih mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.6

Dalam kitab Subulus salam disebutkan bahwa hadhanah adalah pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.7

Dalam literatur fikih, hadhanah didefinisikan dalam beberapa terminologis, diantaranya:

4

Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.293.

5

Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 67. 6

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 287. 7

Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960), h. 227.


(29)

17

a. Menurut Muhammad Ibnu Ismail Al-Shan‟ani:8

.

Artinya: “Memelihara orang yang belum mampu mengurus diri sendiri dan menjaganya dari sesuatu yang dapat membinasakan atau membahayakan”.

b. Menurut Sayyid Sabiq:9

.

Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya menegakkan

kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”. c. Menurut Qalyubi Dan Umairah:10

.

Artinya: “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya

dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.

8

Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-Turas Al-Araby, 1960), h. 227.

9

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289. 10

Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.


(30)

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang belum mumayiz

supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan tanggung jawab. Hadhanah

diartikan dengan pemeliharaan dan pendidikan. Yang dimaksud mendidik dam memelihara disini adalah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum sanggup mengatur sendiri.11

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan dalam

hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.12

Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu kewajiban orang tua terhadap

anak yang telah digariskan dalam islam, yakni

,

memelihara anak sebagai

amanah Allah yang harus dilaksanakan dengan baik.13

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak, anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:14

1. Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.

11

Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391. 12

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.279.

13

Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49. 14

Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama, 2005), h. 177.


(31)

19

2. Hak anak dalam kesucian keturunannya. 3. Hak anak dalam pemberian nama yang baik. 4. Hak anak dalam menerima susuan.

5. Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.

6. Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi kelangsungan hidupnya.

7. Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fikih. Barulah setelah diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya.15

2. Menurut Hukum Perdata

Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV. Pada pasal 289 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai siapa yang paling berhak

15

Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h.298-299.


(32)

memelihara atau mengasuh anak yang masih di bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.16

Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal adanya pisah meja dan ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.17

16

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 72.

17


(33)

21

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan memelihara anak.18

Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan perceraian, dan

setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang di bawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau

melepas mereka dari kekuasaan orang tua”.19

Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang tua baik dari ibu maupun ayah.

18

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2009), h. 211.

19

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 72.


(34)

Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”. Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.20

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah

20


(35)

23

menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.21

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan sekunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.22

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:

21

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 428- 429.

22


(36)

(1) semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya;

(2) penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.23

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.24 Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz

diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.25

23

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.

24

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149. 25

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.


(37)

25

Pada pasal 45 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, yang mana kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.26 Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.27

Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.28

26

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14.

27

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 14-15.

28

Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14-15.


(38)

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.

3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. 29

Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum mumayiz

dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.30

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka

29

Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.

30


(39)

27

kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alas an pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali, M. Yahya Harahap (1975: 216) menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.31

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan di luar pengadilan.32 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

31

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.

32


(40)

Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.33

B. Dasar Hukum Hadhanah

Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena apabila anak yang masih di bawah umur dibiarkan begitu saja akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:

a. Al-Qur‟an

Sebagaimana firman Allah SWT :













































































































































33

Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 15.


(41)

29

































.

)

رق لا

:

/

.(

Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu sendiri.34







































































.

(

ميرحتلا

:

٦٦

/

٦

)

.

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah

34


(42)

terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.35

b. As-Sunnah

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :36

:

:

)

.(

Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang perempuan berkata kepada

Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini telah

menjadikan perutku sebagai tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya

dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak terhadapnya selama belum menikah”.

35

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 328.

36

Abu Daud Sulaiman bin Al-„Asy‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h. 525.


(43)

31

Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak daripada bapak selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih besar daripada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang daripada bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah menjadi hilang.37

C. Syarat-Syarat Hadhanah

Seorang hadhinah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah.

Adapun syarat-syarat hadhanah, antara lain:

1. Baligh dan berakal sehat; hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang berakal sehat dan tidak terganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Imam Ahmad bin Hanbal menambahkan agar yang melakukan

hadhanah tidak mengidap penyakit menular.38

37

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 528. 38

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 172.


(44)

2. Dewasa; anak kecil, meskipun tergolong mumayiz, tetap bergantung pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya. Sehingga tidak layak mengasuh orang lain.39

3. Mampu mendidik.

4. Amanah dan berakhlak; sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya untuk menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nantinya si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.40 5. Islam; anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim

(non muslim), sebab hadhanah merupakan masalah perwalian. Sedangkan Allah SWT tidak membolehkan seorang mukmin di bawah perwalian orang kafir.

Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 141:



...















...

.

)

ءاسنلا

:

/

)

Artinya: “... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang-orang-orang yang beriman.

Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena tentu akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya berdasarkan ajaran agamanya. Akibatnya, di kemudian hari anak akan sulit melepaskan diri darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam anak.41

39

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 533. 40

Ibid., h. 531. 41


(45)

33

6. Ibunya belum menikah lagi, jika si ibu telah menikah lagi dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah menjadi hilang.

7. Merdeka, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya, sehingga tidak ada kesempatan untuk mengasuh anak kecil.42

Menurut Imamiyah, pengasuh harus terhindar dari penyakit-penyakit menular. Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pengasuh harus terbebas dari penyakit lepra dan belang dan yang terpenting dia tidak membahayakan kesehatan si anak.43

Peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti terlihat jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur pemeliharaan anak sedemikian rupa. Namun, baik Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun KHI tidak membahas mengenai syarat-syarat pihak yang berhak atas pengasuhan. Ini berbeda dengan aturan fikih yang menetapkan bahwa seorang pengasuh harus memenuhi beberapa kriteria jika ingin mendapatkan hak asuhnya.44

42Ali Abdulloh, “Hadhanah”, artikel diakses pada 11 Januari 2011 dari http://aliabdulloh.blogspot.com.

43

Muhammad Jawad Mugniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 418. 44

Arskal Salim, dkk, Demi Keadilan dan Kesetaraan, (Ciputat: Puskumham UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 69.


(46)

D. Pihak Yang Berhak Melakukan Hadhanah

1. Menurut Fikih

Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama menyimpulkan, kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah.45 Karenanya, urutan orang-orang yang berhak mengasuh anak, sebagai berikut: Ibu, tetapi jika ada faktor yang membuatnya tidak layak didahulukan, maka hak pengasuhan dialihkan kepada ibunya (nenek) dan seterusnya. Lalu, jika ada faktor yang menghalangi mereka didahulukan maka dialihkan kepada ibu ayah (nenek). Berikutnya adalah saudara perempuan kandung, saudara perempuan dari ibu, saudara perempuan dari ayah, putri saudara perempuan kandung, putri saudara perempuan dari ibu, bibi kandung dari ibu (al-khalah asy-syaqiqah), bibi dari ibu (al-khalah li-umm),bibi dari ayah (al-khalah li-ab), putri saudara perempuan dari ayah, putri saudara laki-laki kandung, putri saudara laki-laki dari ibu, putri saudara laki-laki dari ayah, bibi kandung dari ayah (al-„ammah asy-syaqiqah), bibi dari ibu (al-„ammah li-umm), bibi dari ayah (al-„ammah li-ab), saudara perempuan nenek dari ibu (khalah al-umm), saudara perempuan nenek dari ayah (khalah li-ab), saudara perempuan kakek dari ibu

(„ammah al-umm), saudara perempuan kakek dari ayah („ammah li-ab), dengan megutamakan yang memiliki hubungan kandung di antara mereka.46

45

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.680.

46


(47)

35

Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat wanita di antara orang-orang di atas, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada kerabat laki-lakinya berdasarkan urutan hak menerima waris. Dengan demikian, hak asuh beralih kepada ayah, kakek dari ayah, dan seterusnya. Berikutnya adalah saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki dari ayah, putra saudara laki-laki kandung, putra saudara laki-laki dari ayah, putra saudara laki-laki kandung, putra saudara laki-laki dari ayah, paman kandung dari ayah, paman dari ayah, saudara laki-laki kandung

kakek dari ayah („amm abihi asy-syaqiq), dan saudara laki-laki kakek dari ayah

(„amma abihi li’ab).47

Jika tidak terdapat kerabat laki-laki ashabah, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada mahram kerabat laki-lakinya yang bukan ashabah. Dengan demikian, hak asuh diberikan secara urut kepada kakek dari ibu, saudara laki-laki dari ibu, putra saudara laki-laki dari ibu, saudara laki-laki kakek dari ibu, saudara laki-laki kandung ibu, saudara laki-laki nenek dari ayah (al-khal li-ab), dan saudara laki-laki nenek dari ibu (al-khal li-umm).48

Jika anak kecil tersebut tidak punya kerabat sama sekali, maka hakim menunjuk pengasuh wanita yang akan mendidiknya. Karena pengasuhan anak kecil merupakan suatu keharusan, dan orang yang paling pantas yang mengasuhnya adalah kerabatnya sendiri. Sementara ada kerabat yang hubungannya lebih dekat daripada

47

Ibid., h. 530. 48


(48)

yang lain. Karenanya, wali-wali anak tersebut didahulukan karena merekalah yang memiliki wewenang dasar untuk memenuhi kemaslahatannya. Tapi jika mereka tidak ada, atau sekalipun ada tapi tidak layak mengasuh, maka hak asuh dialihkan kepada kerabat yang lebih dekat dan seterusnya. Jika tidak punya kerabat sama sekali, maka hakim bertanggung jawab menunjuk orang yang layak mengasuhnya.49

Sebagaimana hak mengasuh anak pertama diberikan kepada ibu, maka para ahli fikih menyimpulkan bahwa keluarga ibu dari seorang anak lebih berhak daripada keluarga bapaknya.

Menurut kalangan mazhab Hanbali berpendapat bahwa hak asuh anak dimulai dari ibu kandung, nenek dari ibu, kakek dari ibu, bibi dari kedua orang tua, saudara perempuan seibu, saudara perempuan seayah, bibi dari kedua orang tua, bibinya ibu, bibinya ayah, bibinya ibu dari jalur ibu, bibinya ayah dari jalur ibu, bibinya ayah dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara laki-laki, anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah kemudian kerabat terdekat.50

Menurut kalangan mazhab Hanafi hak asuh berturut-turut dialihkan dari ibu kepada:

1) Ibunya ibu. 2) Ibunya ayah.

3) Saudara-saudara perempuan kandung.

49

Ibid., h. 530. 50

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.683.


(49)

37

4) Saudara-saudara perempuan seibu. 5) Saudara-saudara perempuan seayah.51

6) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung. 7) Anak perempuan dari saudara seibu.

8) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.52

Sedangkan menurut kalangan mazhab Maliki, hak asuh berturut-turut dialihkan dari ibu kepada:

1) Ibunya ibu dan seterusnya ke atas. 2) Saudara perempuan ibu sekandung. 3) Saudara perempuan ibu seibu.

4) Saudara perempuan nenek perempuan dari pihak ibu. 5) Saudara perempuan kakek dari pihak ibu.

6) Saudara perempuan kakek dari pihak ayah. 7) Ibu ibunya ayah.

8) Ibu bapaknya ayah dan seterusnya.53

Menurut mazhab Syafi‟i, hak atas asuhan secara berturut-turut adalah: 1) Ibu.

51

Ibid., h. 683. 52

Muhammad Uwaidah dan Syaikh Kamil Muhammad, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 456.

53

Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Dalam Kalangan Ahlussunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 87.


(50)

2) Ibunya ibu dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat itu mereka adalah pewaris-pewaris si anak.

3) Ibu dari ibunya ayah dan seterusnya hingga ke atas dengan syarat mereka adalah pewaris-pewarisnya pula.

4) Saudara-saudara perempuan kandung. 5) Saudara-saudara perempuan seibu. 6) Saudara-saudara perempuan seayah.

7) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung. 8) Anak perempuan dari saudara seibu.

9) Demikian seterusnya hingga pada bibi dari pihak ibu dan ayah.54

2. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan KHI

Dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan: 55

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

54

Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.683.

55

UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.16-17.


(51)

39

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 huruf (a) anak yang belum mumayiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1. wanita-wanita dalam garis lurus dari ibu; 2. ayah;

3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah; 4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu; 6. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.56

E. Pendapat Ulama Tentang Masa Hadhanah

Hadhanah (pengasuhan) anak berakhir ketika anak kecil, laki-laki ataupun perempuan, tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita dewasa, mencapai tamyiz

dan sudah bisa mandiri, yakni diperhitungkan dapat mengerjakan sendiri kebutuhan-kebutuhan dasarnya, seperti makan, berpakaian, dan membersihkan diri (mandi dan lainnya). Masa ini tidak dapat ditentukan pada usia tertentu, melainkan ukurannya adalah tamyiz dan lepas dari ketergantungan. Selama anak kecil sudah mumayiz dan tidak lagi bergantung pada pelayanan wanita, serta dapat mengerjakan sendiri seluruh kebutuhan dasarnya maka berakhirlah masa pengasuhannya.

56

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h. 138.


(52)

Tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur‟an dan hadis yang menerangkan dengan tegas tentang masa (jangka waktu) hadhanah. Mengenai hal ini, para ulama berijtihad dalam menetapkan masa (jangka waktu) hadhanah.

a. Menurut mazhab Hanafi, hadhanah anak laki-laki berakhir pada saat anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan telah dapat mengurus keperluannya sehari-hari dan bagi anak perempuan berakhir apabila telah datang masa haid pertamanya.57

Pendapat mazhab Hanafi yang lain mengatakan bahwa masa hadhanah berakhir bilamana si anak telah mencapai umur 7 tahun bagi laki-laki, dan 9 tahun bagi perempuan. Mereka menganggap bagi perempuan lebih lama, sebab agar dia dapat menirukan kebiasaan-kebiasaan kewanitaan dari perempuan (ibu) yang mengasuhnya. Selain itu juga, agar anak tersebut lebih dahulu merasakan kebiasaan haid di bawah bimbingan pengasuhnya.58

b. Menurut mazhab Imam Malik, masa hadhanah anak laki-laki itu berakhir dengan ihtilam (mimpi), sedangkan masa hadhanah untuk anak perempuan berakhir dengan sampainya ia pada usia menikah. Jika ia sampai pada usia menikah, sedangkan ibu dalam masa iddah, maka ia lebih berhak terhadap anak putrinya sampai ia menikah (lagi). Jika tidak sedang demikian, maka anak itu dititipkan

57

Abd.Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 185. 58

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 186.


(53)

41

kepada ayahnya atau jika ayahnya tidak ada, maka ia dititipkan atau digabungkan kepada wali-walinya.59

c. Menurut mazhab Imam Syafi‟i, masa hadhanah anak, baik laki-laki maupun perempuan, berakhir ketika sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun. Jika telah sampai usia tersebut dan ia termasuk yang berakal sehat, maka ia dipersilakan untuk memilih antara ayah dan ibunya. Ia berhak untuk ikut siapa saja di antara mereka yang ia pilih.60 Dalil yang mereka pergunakan adalah sebagai berikut:

:

Artinya: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra ia berkata, “Ada seorang perempuan yang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan aku sedang duduk di sampingnya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku ingin membawa anakku. Anak itu telah mengambilkan air untukku dari sumur Abu „Anbah. Ia telah memberi manfaat padaku dengan nafkah yang diberikannya”. Lalu nabi Muhammad SAW bersabda, “Ambillah bagian olehmu berdua padanya”. Suaminya berkata, “Siapakah yang membenciku karena mengurus anakku? “Nabi SAW bersabda, “Ini ayahmu dan ini ibumu, maka peganglah tangan yang engkau kehendaki”. Lalu anak itu memegang tangan ibunya; maka ibunya pun berangkat membawanya”.61

59

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 186-187.

60

Ibid., h. 187. 61

Abu Daud Sulaiman bin Al-„Asy‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h. 526.


(1)

PEDOMAN WAWANCARA

1. Sudah berapa lama ibu menjabat sebagai hakim?

2. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah selama ini yang anda lakukan sebagai seorang hakim?

3. Perkara hadhanah biasanya diajukan setelah putusnya perkawinan, lalu siapakah yang paling banyak dari pihak yang berperkara yang mengajukan hak asuh anak?

4. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini, butuh waktu berapa lama? Dan perlu berapa kali sidang?

5. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah banyak hambatan alias terulurnya waktu dalam memutuskan perkara?

6. Bagaimana pengalaman ibu selama menjadi hakim, apakah pernah mendapat perkara hadhanah anak yang diberikan kepada bapak?

7. Menurut ibu hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak hadhanah anak diberikan kepada pihak bapak bukan kepada pihak ibu?

8. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam putusan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB?

9. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga hak hadhanah anak belum mumayiz diberikan kepada bapak?


(2)

HASIL WAWANCARA

Hari/ Tanggal : Senin, 7 Februari 2011 Waktu : 13.00-15.00 WIB

Tempat : Ruang Hakim IV Pengadilan Agama Jakarta Barat Nama Responden : Dra. Ida Hamidah, MH

Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Jakarta Barat

1. Sudah berapa lama ibu menjabat sebagai hakim?

Saya menjabat sebagai hakim selama 17 tahun yaitu mulai dari tahun 1993 sampai sekarang ini yaitu tahun 2010. Pada tahun 1993, saya menjabat sebagai hakim di Pengadilan Agama Tangerang. Kemudian, pada tahun 2003, saya berpindah tugas ke Pengadilan Agama Jakarta Barat dan menjabat sebagai hakim di Pengadilan Agama Jakarta Barat sampai saat ini. 2. Bagaimana proses penyelesaian perkara hadhanah selama ini yang anda

lakukan sebagai seorang hakim?

Perkara hadhanah ini terkadang diajukan dalam sebuah pokok perkara yaitu apabila terjadi penyimpangan, seperti mengingkari sebuah kesepakatan, atau salah satu pihak orang tua si anak dihalang-halangi untuk tidak bertemu dengan anak. Sehingga, dengan pelarangan tersebut menyebabkan tidak tercapainya kasih sayang orang tua kepada anak. Kemudian, ada juga perkara hadhanah ini diajukan semata-mata demi menjaga kepentingan anak, maka para pihak yaitu orang tua anak tersebut tidak ingin


(3)

mempermasalahkan pengasuhan terhadap anak tersebut. Dengan kata lain, pihak orang tua anak sepakat bahwa pengasuhan anak diberikan kepada pihak manapun yang lebih berhak atas pengasuhannya baik pihak ibu maupun pihak bapak.

Dalam pengasuhan anak, sebagaimana pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a. Baik ibu atau bapak berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.

Perkara hadhanah ini diajukan setelah putusnya perkawinan, dengan alasan yang beraneka ragam, salah satunya yaitu karena si anak ditelantarkan begitu saja oleh orang tua yang mengasuhnya. Adapun mengenai orang yang berhak atas pengasuhan atau pemeliharaan anak yaitu melihat kepada agama dan akhlak dari si pemegang hak asuh anak tersebut.

3. Perkara hadhanah biasanya diajukan setelah putusnya perkawinan, lalu siapakah yang paling banyak dari pihak yang berperkara yang mengajukan hak asuh anak?


(4)

Apabila cerai talak putusannya verstek, maka yang mengajukan adalah pihak ibu dari anak tersebut. Pada umumnya, pihak ibu karena tidak sedikit pula ibu yang meminta kepada Pengadilan agar hak asuh anak diberikan padanya. 4. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini, butuh waktu berapa lama? Dan

perlu berapa kali sidang?

Sidang maraton dilakukan seperti biasa yaitu mulai dari mediasi, pembacaan gugatan, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian, kesimpulan, dan terakhir yaitu putusan. Dalam menyelesaikan perkara hadhanah ini membutuhkan waktu kurang lebih 6 bulan, yaitu perkara masuk ke Pengadilan pada bulan Februari dan diputus dengan Berkekuatan Hukum Tetap pada bulan September.

5. Apakah dalam menyelesaikan perkara hadhanah banyak hambatan alias terulurnya waktu dalam memutuskan perkara?

Hambatannya yaitu karena tempat tinggal tergugat jauh di luar wilayah Jakarta Barat, yaitu di daerah Jakarta Selatan. Surat panggilan atau relaas yang ditujukan kepada tergugat dikirim melalui pos selama satu bulan. Namun, perkara hadhanah ini tidak terulur atau tepat waktu.

6. Bagaimana pengalaman ibu selama menjadi hakim, apakah pernah mendapat perkara hadhanah anak yang diberikan kepada bapak?

Saya pernah memberikan putusan perkara hadhanah yakni memberikan hak hadhanah anak kepada bapak, ketika putusan tersebut saya putuskan di Pengadilan Agama Jakarta Barat.


(5)

7. Menurut ibu hakim, faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan hak hadhanah anak diberikan kepada pihak bapak bukan kepada pihak ibu? Faktornya yaitu melihat kepada kepentingan si anak. Karena kepentingan anak adalah hal yang paling utama. Bila kepentingan anak diabaikan oleh orang tua yaitu si ibu maka boleh jadi hak hadhanah anak tersebut diberikan kepada si bapak. Kemudian melihat kepada faktor sosiologis dan psikologis anak tersebut. Kedekatan antara anak dengan bapaknya dapat menjadikan suatu alasan yang menjadikan hak hadhanah diberikan kepada pihak bapak. Selain itu juga, melihat kepada agama serta akhlak si pemegang hak

hadhanah tersebut karena pemegang hadhanah berkewajiban untuk

mengasuh serta mendidik anak menjadi baik.

8. Bagaimana metode ijtihad majelis hakim dalam menetapkan suatu keputusan dalam putusan perkara nomor 228/Pdt.G/2009/PA.JB?

Hakim dalam memutuskan suatu perkara, berijtihad berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan menggunakan dasar pemikiran yang rasional yang tidak bertentangan dengan syariat Islam serta menggunakan konsep maslahah al-mursalah. Dilihat dari segi kemaslahatan anak. Anak tersebut sudah sekolah dan merasa nyaman tinggal bersama bapaknya. Dan apabila anak diasuh oleh ibunya akan menyengsarakan si anak, sebab dibutuhkan waktu yang lama untuk anak beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, baik lingkungan di sekolah maupun di sekitarnya.

9. Apa yang menjadi pertimbangan majelis hakim, sehingga hak hadhanah anak belum mumayiz diberikan kepada bapak?


(6)

1. Pertimbangannya yaitu mengedepankan kepentingan anak. Hal ini merupakan paling utama yang harus dilakukan. Karena kepentingan anak adalah hal yang paling penting dan harus diutamakan.

2. Pertimbangan yuridis dan normatif seperti merujuk kepada peraturan perundang-undangan, yaitu pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Selain itu, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas kepentingan bagi anak. 3. Pertimbangan psikologis dan sosiologis anak. Dalam kasus ini,

meskipun anak masih di bawah umur tetapi ia berada dalam pemeliharaan bapaknya dan telah bersekolah, hubungan emosional anak dengan bapaknya lebih erat dibandingkan dengan ibunya. maka secara kejiwaan hakim bisa melihat hal tersebut.

4. Pertimbangan dari segi pemegang hadhanah anak. Adapun syarat-syarat hadhanah antara lain:

1. Baligh dan berakal sehat. 2. Dewasa.

3. Mampu mendidik. 4. Amanah dan berakhlak. 5. Islam.

6. Ibunya belum menikah lagi. 7. Merdeka.