Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat

44

BAB III HADHANAH ANAK KEPADA BAPAK DI PENGADILAN AGAMA

JAKARTA BARAT

A. Sekilas Tentang Pengadilan Agama Jakarta Barat

1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Jakarta Barat

Pengadilan Agama yang telah ada sejak zaman kesultanan, secara yuridis baru diakui oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan surat keputusan Raja Belanda, yakni Raja Williem III tanggal 19 juni 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatbland 1882 No. 152 Tentang Pengadilan Agama Di Jawa Dan Madura. 1 Terhadap Stbl. 1882 No. 152 para ahli hukum bersepakat bahwa hal tersebut merupakan hasil dari teori Receptio In Complexu LWC Van den Berg. Keberadaan Peradilan Agama mulai digugat ketika lahirnya teori Hukum Adat oleh Van Vollen-Hoven dan Snouck Hurgronje dengan teori Receptie, akibat dari teori tersebut pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali kedudukan Peradilan Agama karena Stbl. 1882 No. 152 dianggap merupakan suatu kesalahan pemerintah Hindia Belanda yang mengakui terbentuknya Peradilan Agama Stbl. 1882 No. 152 yang intinya memperlakukan undang-undang agama, diganti 1 Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, cet.Ke-1, Jakarta: Rajawali Press, 2000, h. 51. dengan Stbl. Tahun 1907 No. 204, Stbl. Tahun 1919 No. 262 yang intinya memperhatikan undang-undang agama. 2 Pasca proklamasi kemerdekaan, tanggal 17 Agustus 1945 berdasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan kemudian dipertegas dengan Peraturan Presiden No. 2 pada tanggal 10 Oktober 1945 dalam Pasal 1, dijelaskan: Segala badan-badan negara yang ada sampai berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut Undang- undang Dasar, maka tetap berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang- undang tersebut. 3 Dengan demikian Peradilan Agama sebagai produk hukum kolonial Hindia Belanda masih dipergunakan di Indonesia. Di zaman pemerintahan Hindia Belanda Pengadilan Agama berkembang, daerah demi daerah dalam keadaan yang tidak sama, baik namanya, wewenangnya maupun strukturnya. Legitimasi keberadaan Pengadilan Agama waktu itu didasarkan pada pasal 75 ayat 2 Regerings Reglement RR yang berbunyi : “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk kepada putusan hakim 2 Dadang Muttaqien, “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama Dalam Persfektif Sosiologi Hukum”, artikel diakses pada 3 Desember 2010 dari http:msi- uii.net.baca.asp?kategori=rubrikmenu=259 2 Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 1999, h. 39. 3 Peraturan Presiden No.2 tahun 1945 Tentang Pembaharuan Tata Hukum Kolonial Menjadi Tata Hukum Nasional. agama atau kepada masyarakat mereka menurut undang-undang agama atau ketentuan- ketentuan agama mereka”. 4 Pada mulanya Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta hanya terdapat tiga kantor yang dinamakan Kantor Cabang yaitu: a. Kantor Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara b. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Tengah c. Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya sebagai induk. 5 Ketiga kantor cabang tersebut termasuk dalam wilayah yuridiksi hukum cabang Mahkamah Islam Tinggi Surakarta. Kemudian pada tanggal 16 Desember 1976 telah keluar Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 71 Tahun 1976 tentang pembentukan cabang Mahkamah Islam, yang menyatakan bahwa semua Pengadilan Agama di propinsi Jawa Barat termasuk Pengadilan Agama yang berada di Daerah Ibu Kota Jakarta Raya berada dalam wilayah hukum Mahkamah Islam Tinggi Cabang Bandung. Istilah Mahkamah Islam Tinggi kemudian berkembang menjadi Pengadilan Tinggi Agama PTA. 6 Setelah itu perpindahan Pengadilan Tinggi Agama Surakarta ke Jakarta didasari oleh Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 1985, akan tetapi realisasi pelaksanaannya terjadi pada tanggal 30 Oktober 4 Regerings Reglement pasal 75 ayat 2 Tentang Tata Hukum Kolonial. 5 Dadang Muttaqien, dkk, Peradilan Agama Dan Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, h. 40. 6 Indolaw, “Keputusan Menteri Agama No. 71 Tahun 1976 Tentang Pembentukan Cabang Mahkamah Islam”, artikel diakses pada 3 Desember 2010, dari www.indolaw.netSeitenSachindexHead.html 1987 lalu secara otomatis wilayah hukum Pengadilan Agama di wilayah DKI Jakarta menjadi wilayah hukum hukum Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. 7 Perkembangan yang terjadi dari masa ke masa bahwa terbentuknya kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat merupakan jawaban dari perkembangan masyarakat Jakarta. Faktor terbentuknya kantor cabang Pengadilan Agama Jakarta Barat adalah sesuai dengan banyaknya jumlah penduduk di wilayah Jakarta Barat dan bertambahnya pemahaman penduduk serta tuntutan masyarakat Jakarta Barat yang wilayahnya cukup luas. Kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat mengalami perpindahan tempat. Pertama kali kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat berada di jalan Limo Kebayoran Lama, yang merupakan dana dari sebuah yayasan. Dikarenakan status kepemilikan bangunan masih Hak Guna Bangunan HGB maka gedung Pengadilan Agama lalu berpindah tempat, yang terletak di jalan Flamboyan II2, Cengkareng Barat Jakarta Barat. Tergolong tidak strategis karena tidak dilewati kendaraan umum atau jaraknya ± 1500 M dari jalan Kamal Raya dan berdampingan dengan rumah susun Cengkareng. 8 Gedung Pengadilan Agama Jakarta Barat yang dibangun pada tahun 1994 dan selesai pada tahun 1997 adalah milik Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Kemudian olehnya diserahterimakan kepada Pengadilan Agama Jakarta Barat 7 Ibid., h. 41. 8 Laporan Pengadilan Agama Jakarta Barat Tahun 2009, h. 45. pada tanggal 19 Mei 1997 9 untuk dipergunakan sebagai tempat kegiatan Pengadilan Agama Jakarta Barat dalam melaksanakan tugas penegakan hukum dan keadilan. Pada saat ini kondisinya sebagai berikut: 1. Luas Tanah Luas tanah kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya adalah 3.056 M² yang seluruhnya berupa tanah darat. 2. Luas Bangunan kantor Pengadilan Agama Jakarta Barat seluruhnya 2.400 M². 10 Pengadilan Agama Jakarta Barat sebagaimana instansi yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman dalam menjalankan tugasnya yang menjadi landasan hukum dan landasan kerjanya adalah: 1. Undang-undang Dasar 1945. 2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman. 3. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 4. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. 5. Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. 6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaan undang-undang Nomor 1 tahun 1974. 7. Keputusan Ketua Menteri Agama RI Nomor KMA 004 SK II 1992 tanggal 24 Februari 1992 tentang susunan organisasi dan tata kerja kepaniteraan 9 Ibid., h. 45. 10 Ibid., h. 46. Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama dan keputusan Menteri Agama RI Nomor 303 Tahun 1990 tentang susunan organisasi dan tata kerja kesekretariatan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. 8. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA 001 SK I 1991 tanggal 24 Januari 1991 tentang pola pidana dalam Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. 9. Keputusan Menteri Agama RI Nomor KMA 006 SK III 1994 tentang pengawasan dan evaluasi atas hasil pengawasan oleh pengadilan tingkat banding dan pengadilan tingkat pertama. 10. Undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Pengadilan Agama. 11. Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2004 tentang perubahan satu bab dibawah Mahkamah Agung RI. 11

2. Letak Geografis