rendah serat, serta berat badan yang berlebihan juga dapat memici terjadinya diabetes melitus tipe 2 Foster, 1998.
2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya diabetes mellitus tipe 2 adalah riwayat keluarga dengan diabetes melitus, obesitas
berat badan ≥ 20 dari berat badan ideal atau IMT ≥ 25 kgm2, aktivitas fisik yang kurang, gangguan toleransi glukosa atau gangguan glukosa
darah puasa sebelumnya, hipertensi tekanan darah ≥ 14090 mmHg, dislipidemia HDL-
kolesterol ≤ 35 mgdL dan atau kadar trigliserida ≥ 250 mgdL. Di samping itu, juga perlu diperhatikan riwayat diabetes melitus
gestasional atau melahirkan bayi dengan berat badan bayi lahir 9 pound dan mempunyai riwayat penyakit vaskular.
2.1.4 Gejala Klinis
Menurut Perkeni, gejala diabetes melitus dapat dibagi menjadi gejala khas dan gejala tidak khas. Gejala khas terdiri dari poliuria, polidipsia,
polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas di antaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh,
gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pria, dan pruritus vulva wanita.
2.1.5 Patogenesis
Pada diabetes mellitus tipe 2 terdapat dua masalah utama, yaitu berhubungan dengan insulin resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Akibat berikatannya insulin dengan reseptor tersebut,
terjadi resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2 disertai dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian, insulin menjadi tidak efektif
untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah, harus
terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan pada penderita
Universitas Sumatera Utara
toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang
normal atau sedikit meningkat. Namun untuk mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin, maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi
diabetes mellitus tipe 2 Brownlee, 2005.
2.1.6 Diagnosis
Dalam menegakkan diagnosis diabetes mellitus, patokan yang dijadikan acuan tentu saja adalah pemeriksaan glukosa darah. Dalam hal ini dikenal
adanya istilah pemeriksaan penyaring dan uji diagnostik diabetes mellitus. 1. Pemeriksaan Penyaring
Menurut Purnamasari 2009, pemeriksaan penyaring ditujukan untuk mengidentifikasi kelompok yang tidak menunjukkan gejala diabetes
melitus tetapi memiliki risiko. Pemeriksaan penyaring dilakukan pada semua individ
u dewasa dengan Indeks Masa Tubuh IMT ≥ 25 kgm2 dengan faktor risiko lain sebagai berikut:
a. Aktivitas Fisik Kurang b. Riwayat keluarga menderita diabetes melitus pada turunan pertama
c. Masuk kelompok etnis risiko tinggi African American, Latino, Native American, Asian American, Pacific Islander
d. Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan berat ≥ 4000 gram atau riwayat diabetes melitus gestasional.
e. Tekanan darah ≥ 14090 mmHg atau sedang dalam terapi obat antihipertensi.
f. Kolestrol HDL ≤ 35 mgdl dan atau trigliserida ≥ 250 mgdl g. Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
Universitas Sumatera Utara
h. Riwayat Toleransi Glukosa terganggu TGT atau Glukosa Darah Puasa Terganggu GDPT
i. Keadaan lain yang berhubungan dengan resistensi insulin obesitas, akantois nigrikans
j. Riwayat penyakit kardiovaskular Pemeriksaan penyaring dilakukan dengan memeriksa kadar Gula Darah
Sewaktu GDS atau Gula Darah Puasa GDP. Selanjutnya dapat dilanjutkan dengan Tes Toleransi Glukosa Oral TTGO standar. Dari
pemeriksaan GDS, dapat dikatakan diabetes melitus jika terdapat kadar GDS ≥ 200 mgdl dari sampel plasma vena ataupun darah kapiler. Pada
pemeriksaan GDP, dikatakan diabetes melitus jika diperoleh kadar GDP ≥ 126 mgdl dari sampel plasma vena atau ≥ 110 mgdl dari sampel darah
kapiler Purnamasari, 2009.
2. Uji Diagnostik
Uji diagnostik dikerjakan pada kelompok yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes mellitus. Bagi yang mengalami gejala khas diabetes
mellitus, kadar GDS ≥ 200 mgdl atau GDP ≥ 126 mgdl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes mellitus. Sedangkan pada pasien
yang tidak memperlihatkan gejala khas diabetes mellitus, apabila ditemukan kadar GDS atau GDP yang abnormal maka harus dilakukan
pemeriksaan ulang GDSGDP atau bila perlu dikonfirmasi pula dengan TTGO untuk mendapatkan sekali lagi angka abnormal yang merupakan
kriteria diagnosis diabetes mellitus GDP ≥ 126 mgdl, GDS ≥ 200 mgdl pada hari yang lain, atau TTGO ≥ 200 mgdl. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1. Langkah- langkah diagnosis diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu.
Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
2.1.7 Penatalaksanaan
Pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan fungsi sel ß pankreas. Hal yang mendasar dalam pengelolaan
diabetes melitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup, yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur.
Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur bila tidak ada kontraindikasi tetap harus dijalankan
American Diabetes Association, 2008. a. Edukasi
Berupa pendidikan dan latihan tentang pengetahuan pengelolaan penyakit diabetes mellitus bagi pasien dan keluarganya.
Universitas Sumatera Utara
b. Diet Bertujuan untuk mempertahankan kadar normal glukosa darah dan lipid,
nutrisi yang optimal, serta mencapaimempertahankan berat badan ideal. Adapun komposisi makanan yang dianjurkan bagi pasien adalah sebagai
berikut: karbohidrat 60-70, lemak 20-25, dan protein 10-15. c. Latihan Jasmani
Berupa kegiatan jasmani sehari-hari berjalan kaki ke pasar, berkebun, dan lain-lain dan latihan jasmani teratur 3-4xminggu selama ± 30 menit.
d. Intervensi Farmakologis Diberikan jika target kadar glukosa darah belum bisa dicapai dengan
perencanaan makan dan latihan jasmani. Intervensi farmakologis dapat berupa Obat Hipoglikemik Oral OHO insulin sensitizing, insulin
secretagogue, penghambat alfa glukosidase dan Insulin. Intervensi farmakologis dengan insulin dapat diberikan pada kondisi penurunan berat
badan yang cepat, hiperglikemia berat disertai ketosis, ketoasidosis diabetik, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik, hiperglikemia dengan
asidosis laktat,stress berat infeksi sistemik, operasi besar, AMI, stroke, diabetes melitus gestasional yang tak terkendali dengan perencanaan
makanan, dan gangguan fungsi ginjalhati yang berat Gustaviani, 2006.
2.2 Neuropati Diabetik 2.2.1 Defenisi
Neuropati diabetik adalah gejala dan atau tanda disfungsi saraf penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes melitus setelah dilakukan
eksklusi penyebab lainnya. American Diabetic Association, 2005; Boulton,2004; Syahrir, 2006.
Universitas Sumatera Utara