Berdasarkan uraian di atas maka judul dalam penulisan skripsi ini adalah: Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72
Tahun 2005 Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo
I. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana pelaksanaan pemerintahan desa berdasarkan Peraturan
pemerintah nomor 72 tahun 2005? 2.
Bagaimana prosedur pemilihan kepala desa berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005?
3. Apa saja yang menjadi kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru
Kecamatan Munthe Kabupaten Karo?
J. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pelaksanaan pemerintahan desa berdasarkan
Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005. b.
Untuk mengetahui bagaimana Prosedur Pemilihan Kepala Desaberdasarkan Peraturan pemerintah nomor 72 tahun 2005
c. Untuk mengetahui kendala Pemilihan Kepala Desa Kutambaru
Kecamatan Munthe Kabupaten Karo
2. Manfaat Penulisan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat,sebagai berikut : a.
Secara Teoritis Sebagai usaha pengembangan ilmu hukum administrasi negara
khususnya yang berhubungan dengan sistem pemerintahan Desa yang berkaitan dengan proses pemilihan Kepala Desa berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 72 Tahun 2005 b.
Secara Praktis Memberikan masukan kepada masyarakat, berkaitan dengan proses
pemilihan Kepala Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005
K. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang Prosedur Pemilihan Kepala Desa
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo,ini belum pernah dilakukan baik dalam
judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya
pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan
akademis
L. TinjauanPustaka
1. Pengertian Desa
Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara dan bangsa ini
terbentuk. Struktur sosial sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa
merupakan institusi sosial yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan
tingkat keragaman yang tinggi membuat desa mungkin merupakan wujud bangsa yang paling konkret.
Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 12 tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama
lain, selanjutnya Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas- batas wilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui danatau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di
kabupatenkota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenahi desa adalah keanekaragaman, partisipasi, ekonomi, otonomi asli, demokratisasi dan
pemberdayaan masyarakat.
Menurut H.A.W. Widjaja Desa adalah: “Suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya
masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung
di bawah camat dan berhak untuk menyelenggarakan rumah tangganya dalam ikatan NKRI.”
3
Dalam Peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 72 tahun 2005melalui Pasal 1 mendefinisikan : “Desa atau dengan nama lain, sebagai
suatukesatuan masyarakat hukum yag memiliki batas-batas wilayah yang berwenangdan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat,
berdasarkanasal-usul dan adat istiadat setempat yang dihormati dan daam system
pemerintahan Negera Kesatuan Republik Indonesia. 2.
Otonomi Desa
Bagi masyarakat Desa, Otonomi Desa bukanlah menunjuk padaotonomi Pemerintah Desa semata-mata, tetapi juga otonomi masyarakatdesa dalam
menentukan diri mereka dan mengelola apa yang mereka milikiuntuk kesejahteraan mereka sendiri. Otonomi Desa berarti juga memberi ruang yang
luas bagi inisiatif dari bawahdesa. Kebebasan untukmenentukan dirinya sendiri dan keterlibatan masyarakat dalam semuaproses baik dalam pengambilan
keputusan berskala desa, perencanaan danpelaksanaan pembangunan maupun kegiatan-kegiatan lain yang dampaknyaakan dirasakan oleh masyarakat desa
sendiri, merupakan pengejawantahanotonomi desa. Keberadaan otonomi desa mengacu pada konsep komunitas,yang tidak hanya dipandang sebagai suatu unit
wilayah, tetapi juga sebagaisebuah kelompok sosial, sebagai suatu sistem sosial, maupun sebagai suatukerangka kerja interaksi.
3
Wijaya, H.A.M. Otonomi Desa. Jakarta : Grafindo Persada, 2008, hal 9
Akhir-akhir ini, tuntutan daerah untuk diberi otonomi yang seluas- luasnyamakin menonjol. Bahkan, beberapa daerah memilih untukmemisahkan diri
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mendirikanNegara baru, misalnya Sulawesi Selatan, Maluku dan Aceh, serta Papua. Kondisi seperti inisebagian
orang dinilai sebagai benih-benih terjadinya disintegrasi bangsasebaliknya, oleh sebagian orang dinilai bahwa pemberian otonomi yangseluas-luasnya ini
merupakan satu-satunya jalan keluar untukmempertahankan integrasi nasional.Dalam sejarah ketatanegaraanIndonesia, fenomena tentang daerah yang
memiliki otonomi seluas-luasnyatadi sesungguhnya bukan hal yang baru bahkan bukan lagi sesuatu yangmembahayakan keutuhan Bangsa dan Negara.Demikian
pula, keberadaandesa-desa adat yang memiliki susunan asli ternyata tidak menimbulkangagasan pemisah diri dari unit pemerintahan yang begitu luas.Oleh
karenaitu, otonomi luas sesungguhnya bukan paradoksi bagi integrasi bangsa dansebaliknya.Artinya cita-cita memberdayakan daerah melalui kebijakanotonomi
luas tidak perlu disertai dengan sikap “buruk sangka” yangberlebihan tentang kemungkinan perpecahan bangsa.
Kekhawatiran inijustru akan menunjukkan bahwa pemerintahan pusat memang kurangmemiliki “political will” yang kuat untuk memberdayakan daerah.
Dengandemikian, ide untuk kembali menyeragamkan sistem pemerintahan daerahdengan alas an untuk menjaga keutuhan dan persatuan bangsa antara
lainmelalui penghapusan “daerah istimewa” dan penyeragaman pemerintahandesa, adalah sangat tidak kontekstual dan tidak konseptual.
Perubahankebijakan tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah
termasukpemerintahan desa dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menjadi UU Nomor 22 Tahun 1999, UU
No 32tahun 2004 serta yang terbaru dengan adanya perubahan Undang- UndangPemerintahan Daerah melalui penetapan Undang-Undang Nomor 12
Tahun2008, membawa implikasi yang sangat besar. Salah satu implikasi tersebutadalah bahwa desa tidak sekedar merupakan wilayah administrative
sebagaikepanjangan tangan pemerintahan pusat di daerah pelaksana asasdekonsentrasi, tetapi memiliki lebih merupakan kesatuan masyarakathukum
yang memiliki otonomi luas. Berdasarkan kerangka waktunya timeframe, perkembangan otonomi pada kesatuan hukum masyarakat terkecildesa
mengalami pergeseran yang sangat fluktuatif, dimana pada satu desamemiliki otonomi yang sangat luas most desentralized, sedang disaat laindesa tidak
memiliki otonomi sama sekali dan hanya berstatus sebagaiwilayah administrative most centralized. Pada awalnya, terbentuknya suatukomunitas bermula dari
berkumpul dan menetapnya individu-individu disuatu tempat terdorong oleh alasan-alasan yang mereka anggap sebagaikepentingan bersama.Alasan-alasan
untuk membentuk masyarakat yangmasih bersifat sederhana atau tradisional ini adalah pertama untuk hidup,kedua untuk mempertahankan hidupnya terhadap
ancaman dari luar, danketiga untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya.
4
Kumpulan individu-individu yang membentuk desa dan merupakansebuah daerah hukum ini, secara alami memiliki otonomi yang sangat luas,lebih luas dari
pada otonomi daerah-daerah hukum diatasnya yang lahir dikemudian hari, baik
4
Sutardjo Kartohadikoesoema, “Desa”, Bandung: Sumur,2010, hal : 78
yang terbentuk oleh bergabungnya desa-desa dengansukarela atau yang dipaksakan oleh pihak-pihak yang lebih kuat. Otonomiatau kewenangan desa itu
antara lain meliputi hak untuk menentukan sendirihidup matinya desa itu, dan hak untuk menentukan batas daerahnya sendiri.Selanjutnya disebutkan juga bahwa
masyarakat sebagai daerah hukum,menurut hukum adat mempunyai norma-norma sebagai berikut : berhakmempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-
batas yang sah,berhak mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri,berhak memilih dan mengangkat Kepala Daerahnya atau
MajelisPemerintahan sendiri, berhak mempunyai harta benda dan sumberkeuangan sendiri, berhak atas tanah sendiri, dan berhak memungut
pajaksendiri.
5
Namun dalam penyusunan peraturan tentang pemerintahan desasebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1979,kenyataannya desa bukan lagi dianggap sebagai kesatuan masyarakathukum yang otonom, khususnya dalam masalah administrasi pemerintahansecara umum.
Selanjutnya pada masa pemerintahan Republik Indonesia,pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa mendapat landasan
yuridispada Pasal 18 UUD 1945 yang mengakui kenyataan histories bahwasebelum proklamasi kemerdekaan, di Indonesia sudah terdapat
daerahdaerahSwapraja yang memiliki berbagai hak dan wewenang dalampenyelenggaraan berbagai urusan di wilayahnya. Ini berarti, desa
secarateoritis juga memiliki hak yang bersifat autochtoon atau hak yang telahdimiliki sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Indonesia.
5
Ibid., hal 228
Terlebih lagi dengan pembentukan kelurahan, maka kesatuanmasyarakat “Desa” ini hanya berstatus wilayah administrative yangditempatkan sebagai kepanjangan
tangan pemerintah pusat pelaksana asasdekonsentrasi.
3. Sejarah Otonomi Desa
Pasang surut keadaan Pemerintahan Desa sekarang ini adalah sebagai akibat pewarisan undang-undang lama yang pernah ada, yang mengatur
Pemerintahan Desa sejak penjajahan Belanda, yaitu Inlandsche Gemeente Ordonnantie atau IGO Stbl No. 831906 yang berlaku untuk Jawa dan Madura
dan Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengewesten atau IGOB Stbl No.
4901938 jo Stbl No. 6811938 yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura.
Desa di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Hermawan WarnerMuntinge, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa penjajahan
kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jendral Inggris yangberkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah laporanya tertanggal
14Juli 1817 kepada pemerintahanya disebutkan tentang adanya Desa-desa didaerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa. Dan dikemudian hari ditemukan
jugadesa-desa di kepulauan luar jawa yang kurang lebih sama dengan desa yangada dijawa.
6
Keberadaan otonomi desa secara tidak langsung erat kaitannya dengankeberadaan pemerintahan desa.Karena selama ini otonomi desa juga
mengaturketentuan tentang keberadaan pemerintah desa yang pasa saat ini terdiri
6
.Sadu Wasistiono, M..Irawan tahir, Prospek Pengembangan Desa;Bandung: Fokus Media, 2007. hal 7
dariunsur perangkat desa dan badan permusyawaratan desa.
7
Perkembangan pemerintahan desa di Indonesia pada perkembangannyabanyak mengalami perubahan di tiap periodenya. Hal ini terkait
dengan pasangsurut pergeserannya dari sistem penjajahan ke pola sentralisasi dankedesentralisasi. Sejarah perkembangan pemerintahan desa secara legal
formaldiawali dari: Selain itu,keberadaan
otonomi desa juga terkait dengan peraturan perundang-undanganyang mengatur tentang pemerintahan desa yang di Indonesia sudah lahir sejakkeberadaannya di
era pemerintahan Hindia Belanda Penjajahan sampaiterbitnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang PemerintahanDaerah.
a. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Ketentuan yang mengatur khusus tentang Desa pertama kali terdapatdalam Regeringsregelement RR tahun 1854 yaitu Pasal 71 yang mengaturtentang
Kepala Desa dan Pemerintahan Desa, sebagai pelaksana dariketentuan tersebut, kemudian Pemerintah Kolonial mengeluarkan peraturanInlandse Gemeente
Ordonantie IGO pada tahun 1906, yaitu peraturan dasarmengenahi Desa khusus di Jawa dan Madura33. IGO pada dasarnya tidakmembentuk Desa, melainkan
hanya memberikan landasan sebagai bentukpengakuan adanya Desa sebelumnya. Warisan Undang-Undang lama yang pernah ada yang mengatur
tentangdesa, yaitu Inlandsche Gementee Ordonantie Stbl. 1906 Nomor 83 yangberlaku untuk Jawa dan Madura dan Inlandsche Gementee
OrdonantieBuitengewesten Stbl. 1983 Nomor 490 jo Stbl. 1938 Nomor 681
7
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 200 ayat 1
yang berlakudi luar Jawa dan Madura. Pengaturan dalam kedua Undang-Undang ini tidakmengatur pemerintahan desa secara seragam dan kurang
memberikandorongan kepada masyarakatnya untuk tumbuh kearah kemajuan yang dinamis.Akibatnya desa dan pemerintahan desa yang ada sekarang ini
bentuk dancoraknya masih beraneka ragam, masing-masing daerah memiliki ciri- cirinyasendiri, yang kadang-kadang merupakan hambatan untuk pembinaan
danpengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya.Sedangkan disebutkan juga bahwa :“Sebagai peraturan desa
pranata tentang Pemerintahan Desa IGOS83 Tahun 1906 yang berlaku untuk pulau Jawa dan Madura dan IGOBS1938 untuk daerah diluar Jawa dan Madura
merupakan landasan pokokbagi ketentuan-ketentuan tentang susunan organisasi, rumah tangga dantugas kewajiban, kekuasaan dan wewenang Pemerintah Desa,
KepalaDesa dan Anggota Pamong Desa.”
8
8
Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hal 31.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa ada dua ketentuan dasar yangmengatur Pemerintahan Desa IGO untuk Jawa dan
Madura, IGOB untuk luarJawa dan Madura.Pasal 1 Inlandsche Gementee Ordonantie IGO tahun 1906Staatblad Nomor 83 menyatakan “Penguasaan Desa
dijalankan oleh KepalaDesa dibantu beberapa orang yang ditunjuk olehnya, mereka bersama-samamenjadi Pemerintah Desa”. Ketentuan tersebut adalah yang
berlaku pertamakali di Negara kita yang pada waktu itu dibawah kekuasaan PemerintahanKolonial Belanda menyangkut Kelembagaan Pemerintahan desa,
Kepala Desadipilih langsung oleh masyarakat yang pelaksanaannya diatur dengan ketentuanBupati.
IGO manetapkan bahwa Kepala Desa dibantu beberapaorang yang ditunjuk olehnya. Pengertian ditunjuk olehnya dijelaskan pada Pasal2 ayat 2
IGO Staatblad Nomor 83 yang mengatur “Tentangmengangkatmelepas anggota Pemerintah Desa, kecuali Kepala Desadiserahkan kepada adat-istiadat kebiasaan
pada tempat itu”. Jadi pada masa ituotonomi desa telah diatur secara konteks yuridis dan ini merupakan periodeawal pemberian kewenangan kepada desa untuk
berkembang sesuai dengankemampuan dan adat-istiadat yang berlaku ditingkat lokal.Demikianlah secara institusionalkelembagaan Pemerintah Desa terdiridari
Kepala Desa dan beberapa orang yang ditunjuk oleh adat kebiasaan.Pendapat lain menyebutkan, yaitu:“Meskipun Pasal 1 kelihatannya kabur mengenai siapa yang
menjadiPemerintah Desa, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa PemerintahDesa bersifat 1 satu orang eenhofding bestuur”.
9
Disamping itu pengaturan tentang Pemerintah Desa kemudian oleh PemerintahBelanda diterbitkan Inlandsche Gementee Ordonantie Buitengewesten
IGOBtahun 1938 yang berlaku diluar pulau Jawa dan Madura. Sumber lainmenyebutkan bahwa:“Ketentuan-ketentuan yang berlaku di desa-desa diluar
pulau Jawa danMadura ialah IGOB pada hakekatnya tidak berbeda dengan peraturanperaturanyang dicakup dalam IGO yang berlaku di pulau Jawa
danMadura.”
10
Tetapi secara garis besar, Saparin menyebutkan bahwa :
9
Bayu Surianingrat, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Bandung: Ghalia Yayasan Beringin KORPRI unit Depdagri ,2011, hal :98
10
Sumber Saparin, Tata Pemerintahan dan Administrasi Pemerintahan Desa, Jakarta Ghalia Indonesia, 1986, hal : 35
a Adanya ketentuan mengenai kewajiban Pemerintah Desa untuk setiapakhir
triwulan membuat anggaran dan belanja. Dalam IGO hal ini tidakdijumpai. b
Ketentuan mengenai kerja bakti bagi warga desa, untuk kepentinganumum. Di dalam IGOB warga desa ganti rugi, misalnya
membayarsejumlah uang yang disetor ke kas desa; c
Mengenai masalah tanah bengkok, didalam IGOB tidak dijumpaikarena diluar Jawa dan Madura, tersedia banyak tanah bila setiaporang mau
berusaha. b.
Masa Pendudukan Militer Jepang Pengalaman penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia
sedikitmengalami perubahan setelah adanya pendudukan Militer Jepang. Mengutipdari tulisan Bayu bahwa pada masa Pemerintahan Militer Jepang ini
telahditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 Pasal 2 sebagai berikut:“Pembesar Tentara Dai Nippon memegang kekuatan pemerintahan
militeryang tertinggi dan juga segala kekuasaan yang dahulu ada di tanganGubernur Jenderal. Selanjutnya Pasal 3 berbunyi semua badan-
badanpemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan Undang-Undang daripemerintah terdahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal sajatidak
bertentangan dengan aturan pemerintahan militer.”
11
Dengan demikian ternyata pendudukan militer Jepang tidak mengubahsecara mendalam ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan
pemerintahansepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan militer.Satu-
11
Bayu Surianingrat, Op.cit., hal 99
satunya peraturan mengenahi desa yang dikeluarkan olehPenguasa Militer Jepang adalah Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 1944.Peraturan ini hanya mengatur dan
merubah Pemilihan Kepala Desa Ku-tyooyang menetapkan jabatan Kepala Desa menjadi empat tahun
12
c. Masa Indonesia Merdeka
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan tentang PemerintahanDesa esensinya tidak mengalami perubahan sejak jaman Kolonial Belanda,pendudukan
militer Jepang dan masa Indonesia Merdeka sebelum tahun 1979.pandangan ini didasarkan pada fakta-fakta sejarah sebagai berikut:
1 IGO dan IGOB berlaku efektif 1906-1942;
2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 dan Osamu Seirei 1942-1945,
secara substantif tetap memberlakukan IGOIGOB; 3
1945-Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979. Dalam kurun waktu yang relative panjang, IGOIGOB secara tidak resmi
tetapdipakai sebagai rujukan dalam penyelenggaraan Pemerintahan desa sampaiterbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.Melihat kenyataan itu
terkesanbahwa Pemerintah Republik Indonesia seperti tidak mampu membuat peraturanPemerintah Desa sendiri.Barangkali didorong kebutuhan dan
gunamenghasilkan kesan tidak mampu, pemerintah kemudian berhasil menyusunPerundang-undangan Pemerintah desa dengan lahirnya Undang-
UndangNomor 19 Tahun 1965 Tentang Desa Praja. Undang-Undang ini di undangkanpada tanggal 1 September 1965 karena tengah terjadi peristiwa
12
Sadu Wasistiono., M..Irawan tahir, Op. cit., hal 19
G30SPKIsecara praktis Undang-Undang ini belum sempat diberlakukan, TAP MPRS No.XXIMPRS1966, tanggal 5 Juli 1966 menunda berlakunya Undang-
UndangNomor 19 Tahun 1965.kemudian dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun1969, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku
lagi.Demikianlah setelah terjadinya peristiwa G30SPKI tahun 1965 secaratidak resmi IGOIGOB tetap digunakan sepanjang tidak bertentangan
dengankepentingan umum dan UUD 1945. kemudian lahirlah Undang-Undang Nomor 5Tahun 1979 yang merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat
Indonesia yangsudah merdeka selama 33 tahun. Harapan itu terwujud dengan ditetapkannyaUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa,
menurutUndang-undang ini adalah:“Desa diartikan satu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduksebagai kesatuan masyarakat termasuk didalamnya
kesatuanmasyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendahdibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya
sendiridalam ikatan NKRI”.
13
Adapun isi materi Undang-undang ini adalah mengatur desa secara seragam diseluruh wilayah Indonesia mulai penyelenggaraan pemerintahan
desa,administrasi desa, unsur-unsur desa, pembentukan desa, organisasipemerintahan desa, hak dan kewajibannya. Sebagai landasan yang
dipakaidalam penyusunan Undang-Undang ini adalah Pancasila. UUD 1945 Pasal 18 yang berbunyi:“Pemabagian Daerah Indonesia atas daerah besar kecil dengan
bentuksusunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang
13
Phillipus M. Hadjon, dkk, “Pengantar Hukum Administrasi Indonesia Introduction to The Indonesian Administrative Law”, Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1994, hal : 122.
denganmamandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistempemerintahan Negara dan hak asal-usul dalam daerah yang
bersifatistimewa.”
14
Dan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat NomorIVMPR1978 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara selanjutnya
disebut GBHN yangmenegaskan bahwa perlu memperkuat pemerintahan desa agar mekin mampumenggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam
pembangunandanmenyelenggarakan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. DalamUndang-Undang ini mengakui adanya kesatuan masyarakat
termasukdidalamnya kesatuan masyarakat hukum, adat-istiadat, dan kebiasaan- kebiasaanyang masih hidup sepanjang masih menunjang
kelangsunganpembangunan dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, yang dimaksudpemerintahan desa dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
adalahkegiatan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakanorganisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat. Tetapi
kenyataanyang terjadi selama 30 tigapuluh tahun system pemerintahan yang dipakaiadalah sentralistis sehingga menimbulkan gejolak di tingkat masyarakat
untukmenuntut adanya kekuasaan yang lebih besar kepada desa atau sering
disebutotonomi desa atau penerapan sistem desentralisasi. M.
Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data dan bahan-bahan yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan maksud agar
14
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan nilai ilmiahnya, maka diusahakan memperoleh dan mengumpulkan data-data dengan mempergunakan metode
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah hukum normatif yang bersifat deskriptif.Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang mengelola dan mempergunakan data sekunder. Namun dalam penelitian hukum deskriptif yang dimaksudkan penelitian itu juga termasuk
dilakukannya survey ke lapangan melalui wawancara kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini
15
2. Pendekatan Penelitian
.”
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis-empiris. Pendekatan yuridis digunakan untuk menganalisis berbagai peraturan perundang-undangan
terkait dengan Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, sedangkan pendekatan empiris digunakan
untuk menganalisis hukum yang dilihat sebagai prilaku masyarakat yang berpola dalam kehidupan masyarakat yang selalu berinteraksi dan berhubungan dalam
aspek kemasyarakatan.
16
15
Soerjono Soekanto dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta Cet. V, Ind- Hillco, 2001, hal. 13.
16
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999, hal. 36.
3. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini berupa penelitian studi kasus dengan penguraian secara deskriptif analitis tentang apa yang sekarang
berlaku dan apa yang semestinya berlaku.
17
Spesifikasi pada penelitian ini adalah deskriptif, karena data yang diperoleh dari penelitian berusaha memberikan gambaran tentang proses dan
seputar permasalahan yang ada dalam pelaksanaan perjanjian leasing, serta menganalisisnya sehingga suatu kesimpulan yang bersifat umumSejalan dengan
pendapatnya Peter Mahmud Marzuki bahwa:
18
4. Sumber Data
“Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang
bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai
ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.”
Sumber data diperoleh dari :data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Penelitian ini, bahan hukum yang digunakan oleh peneliti adalah
penjelasan terhadap sumber bahan hukum dalam pendekatan yuridis normatif terdapat bahan hukum yang dikaji meliputi:
19
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia. Press, Jakarta: 2008, hal.4.
18
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Surabaya: Kencana Perdana Media Group, 2007, hal 22.
19
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2004, hal 31.
a. Data primer, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, terdiri
dari: 1
Peraturan dasar, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
2 Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. b
Peraturan Pemerintahan Nomor 72 Tahun 2005 b.
Datasekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari:
1 Pustaka di bidang ilmu hukum,
2 Hasil penelitian di bidang hukum,
3 Artikel-artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet.
c. Data tersier
Bahan yang memberikan petunjuk, maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hokum
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara: a.
Penelitian Kepustakaan Library Research Dalam hal ini mencari dan mengumpulkan serta mempelajari data dengan
melakukan penelitian atas sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis berupa buku-buku karangan pasa sarjana dan ahli hukum yang bersifat
teoretis ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan Field Research dalam bentuk studi kasus
Pengumpulan data melalui riset dilakukan dengan melakukan wawancara kepada pihak yang terkait dalam proses pemilihan kepala desa Kutambaru
Kecamatan Munthe Kabupaten Karoyang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini.
6. Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah metode deskriptif, hal ini dilakukan terhadap data yang sifatnya data sekunder yang diperoleh melalui kajian
kepustakaan.Selanjutnya menganalisis data primer maupun data sekunder yang berbentuk dokumen. Data yang telah diperoleh kemudian dikumpulkan yang
selanjutnya diolah dan dianalisis untuk dapat dipertanggungjawabkan. N.
Sistematika Penulisan
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menguraikan bab demi bab sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan
metode penelitian dan sistematika penulisan BAB II
PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005
Bab ini akan membahas tentang Pemerintahan Desa, Badan Perwakilan Desa BPD, Kepala Desa dan Peran Kepala Desa
BAB III PROSEDUR PEMILIHAN KEPALA DESA BERDASARKAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005 Pada bab ini akan membahas Penjaringan dan Kampanye Calon
Kepala Desa, Pemungutan dan Perhitungan Suara serta Pengumuman dan Penetapan Calon Terpilih dan Pengesahan dan
Pelantikan Calon Terpilih serta Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa
BAB IV KENDALA PEMILIHAN KEPALA DESA KUTAMBARU
KECAMATAN MUNTHE KABUPATEN KARO Pada bab ini akan membahas tentang Gambaran Umum Desa
Kutambaru Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo dan Kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 2005 serta Upaya mengatasi kendala dalam Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 72
Tahun 2005 BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh
rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan kesimpulan yang dibuat berdasarkan uraian penelitian, kemudian
dilengkapi dengan saran yang mungkin bermanfaat di masa yang akan datang untuk penelitian lanjutan.
33
BAB II PEMERINTAHAN DESA BERDASARKAN PERATURAN
PEMERINTAH NOMOR 72 TAHUN 2005
D. Pemerintahan Desa
Desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara ini terbentuk. Struktur sosial
sejenis desa, masyarakat adat dan lain sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang penting. Dengan tingkat keragaman yang tinggi,
membuat desa merupakan wujud bangsa yang paling konkret.
20
Pengaturan mengenai desa di Indonesia telah ada sejak zaman kolonial.Inlandshe Gemeente Ordonantie IGO diberlakukan untuk Jawa dan
Madura serta Inlandshe Gemeente Ordonantie voor Buitengewesten IGOB untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura.Pemerintah desa di Pulau Jawa pada
waktu itu terdiri dari lurah, bahoe, lebe, kabayan dan kamitua.Mereka adalah golongan pendiri desa yang dikepalai oleh lurah.Lapisan ini mendapat
keistimewaan dalam penguasaan tanah.Tanah-tanah ini biasanya disebut bebau atau bengkok tanah jabatan yang didapat selama mereka menduduki jabatan-
jabatan tersebut.Mereka juga mendapat hak-hak istimewa dari pemerintah kolonial karena tanah perkebunan yang dipakai pemerintah kolonial berasal dari
lapisan pemerintah desa ini, selain itu pemerintah desa juga menjadi andalan bagi perekrutan tenaga kerja perkebunan.Hak istimewa yang diperoleh pemerintah desa
20
HAW. Widjaja. Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat dan Utuh. Jakarta: Rajawali Pers, 2008, hal 4
misalnya seperti tanah yang dikuasainya terbebas dari cultuurdienst bekerja untuk menanam tanaman ekspor. Untuk menghasilkan uang, para pamong desa
tersebut mempekerjakan penduduk desanya untuk mengolah tanah bengkok miliknya atau dapat juga menyewakan tanah bengkok kepada orang lain
21
Pola penguasaan tanah pada masa penjajahan kolonial ini sesungguhnya berbeda dengan pranata tradisional sebelum Belanda menjejakkan kaki di
Indonesia.Kala itu, raja adalah penguasa mutlak atas tanah.Tanah bengkok pada masa itu merupakan tanah gaji yang diberikan raja untuk dikelola oleh
pejabat.Dari hasil bumi tanah tersebut, sebagian hasilnya diberikan kepada kas kerajaan.Pejabat kemudian menyuruh orang untuk mengelola tanah
bengkok.Pengelola tanah bengkok ini disebut bêkêl. Pengaturan IGO dan IGOB ini milik pemerintah kolonial ini bertahan
cukup lama dan baru diganti dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja. Kesamaan antara IGO dan IGOB dengan Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1965 yakni sama-sama memandang desa sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum volkgemeenschappen memiliki hak ada
istiadat dan asal usul sehingga nama dan bentuk desa tidak diseragamkan. Pada masa pemerintahan Orde Baru, peraturan perundang-
undanganmengenai desa diubah dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
mengadakan penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional.Selain itu, administrasi desa dipisahkan dari hak adat istiadat dan hak
21
Edi Cahyono,www.geocities.com diakses tanggal 28 Juli 2014.
asal usul. Desa diharuskan mengikuti pola yang baku dan seragam sedangkan hak otonomi untuk mengatur diri sendiri ditiadakan. Saat itu, Presiden Soeharto
sendiri telah berjanji bahwa pembangunan masyarakat miskin yang umumnya tinggal di pedesaan akan mendapat perhatian utama pemerintah. Akan tetapi, pada
kenyataannya masih terdapat permasalahan dalam pembangunan pedesaan. Sebagaimana diungkapkan Mike Coppin dalam Rural Society Journal:
There are a number of internal problems involved in making development programs work in Indonesia. One is the sheer number and accessibility of
Indonesias tens of thousands of villages. AMD ABRI Masuk Desa, a rural development program run by the armed forces, which mainly supports
infrastructure services and vocational training, has yet to reach more than two thirds of the villages. Another problem is ensuring that projects are locally
appropriate; the new rule that villages can choose their areas of development for use of Inpres funds should assist in achieving that goal. A major problem is
corruption a recent survey rated Indonesia the worst country in Asia for graft Ada sejumlah masalah internal dalam pembuatan program kerja pembangunan di
Indonesia. Salah satunya adalah banyaknya desa di Indonesia yang mencapai puluhan ribu. AMD ABRI Masuk Desa, sebuah program pembangunan
pedesaan yang dijalankan oleh angkatan bersenjata yang mendukung layanan infrastruktur dan pelatihan kejuruan, bahkan belum mencapai lebih dari dua
pertiga jumlah desa. Masalah lain adalah memastikan sudah sesuaikah proyek- proyek dengan kondisi setempat; aturan baru bagi desa dimana dapat memilih area
untuk pembangunan desa mereka dengan danaInpres harus membantu dalam
mencapai tujuan tersebut. Masalah utama adalah korupsi survei terbaru, Indonesiaadalah negara terburuk di Asia untuk korupsi
22
Setelah terjadi reformasi, pengaturan mengenai desa diubah dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang secara
nyata mengakui otonomi desa dimana otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya bukan berdasarkan penyerahan
wewenang dari Pemerintah. Selain itu, terjadi perubahan dalam aspek pemerintahan desa.Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa sebagai unsur
eksekutif dan Badan Perwakilan Desa BPD sebagai unsur Legislatif.Pengaturan inilah yang tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979.Dalam
pelaksanaan tugasnya, Kepala Desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui BPD.
Pengaturan mengenai desa kembali mengalami perubahan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pengaturan mengenai desa di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian ditindaklanjuti oleh Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
tentang Desa. Dalam hal kewenangan secara prinsipil tidak ada perubahan yang mendasar dalam pengaturan mengenai kewenangan desa. Sama halnya dengan
peraturan sebelumnya, baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 mendefinisikan desa atau
yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
22
Mike Coppin. “NGOs and Rural Development in Indonesia”. Rural Society Journal.Vol.9, No.3. 1995, hal 52
masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perubahan mendasar tampak dalam aspek sistem pemerintahan baik pemerintahan desa maupun terkait hubungannya dengan hierarkhis pemerintahan
diatasnya. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD. Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk
memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada BupatiWalikota, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada
BPD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. Untuk meningkatkan pelayanan di dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa sekretaris desa akan diisi oleh Pegawai Negeri Sipil PNS.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial
budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya jumlah penduduk, luas wilayah, bagian wilayah kerja,
perangkat, serta sarana dan prasarana pemerintahan.Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau
pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada.Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi
memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung. Sementara itu, disisi lain desa juga dapat diubah statusnya menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa
Pemerintah Desa bersama BPD dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat.
Secara eksternal, desa sejak lama berada dalam konteks formasi Negara state formation yang hierarkhis-sentralistik.Perjalanan sejarah Indonesia
mencatat, pemerintahan desa sebenarnya merupakan wujud konkret selfgoverning community pemerintahan sendiri yang berbasis masyarakat yang dibentuk secara
mandiri
23
.Jika dilihat dari definisi desa yang dipahami sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur dan mengurus
kepentingannya sendiri, ini mengindikasikan bahwa desa itu mempunyai otonomi. Namun, menurut Hanif Nurcholis, otonomi desa bukan otonomi formal seperti
yang dimiliki pemerintah kabupatenkota maupun provinsi, tapi berdasarkan asal- usul dan adat istiadat
24
Otonomi desa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang diperoleh secara tradisional dan bersumber dari hukum adat.Otonomi desa merupakan
otonomi yang asli, bulat, dan utuh serta bukan pemberian dari pemerintah sehingga pemerintah pusat berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki
desa
25
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sendiri sesungguhnya telah mengakui adanya otonomi desa sebab desa melalui pemerintah desa dapat
diberikan penugasan maupun pendelegasian dari Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah Daerah untuk melaksanankan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan
.
23
Abdul Gaffar Karim. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 269
24
Hanif Nurcholis. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo, 2005, hal 136
25
H.A.W Widjaja, Op. cit., hal, 165
bagi desa yang berasal dari pemekaran, otonomi desa memberikan kesempatan untuk berkembang mengikuti pertumbuhan desa itu sendiri.
26
Sebagai struktur pemerintahan terbawah yang memiliki otonomi sendiri, desa mempunyai beberapa kewenangan.
Secara umum, kewenangan desa terbagi menjadi empat, diantaranya adalah:
1 Generik, yakni urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-
usul desa. 2
Devolutif, yakni kewenangan yang melekat pada desa, seperti misalnya menyusun Peraturan Desa, menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa
Pilkades, dan pengelolaan Badan Usaha Milik Desa 3
Distributif, yakni urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Misalnya
dalam hal pembuatan Kartu Tanda Penduduk KTP, Ijin Mendirikan Bangunan IMB di jalan desa, atau mengelola pasar desa.
4 Tugas Pembantuan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah KabupatenKota. Misalnya dalam hal Pemilihan Umum Pemilu atau pemungutan Pajak Bumi Dan Bangunan PBB.
Disamping kewenangan secara umum tersebut, berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan desa dibedakan menjadi : 1
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa
26
Titik Triwulan Tutik. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2006, hal 225
2 Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkota yang
diserahkan pengaturannya kepada desa 3
Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupatenkota
4 Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan
diserahkan kepada desa Pemerintahan desa menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005,
dijalankan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa: 1
Pemerintah Desa, terdiri atas: a
Kepala Desa Kepala Desa dipilih langsung melalui Pemilihan Kepala Desa Pilkades
oleh penduduk desa setempat.Kepala Desa bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Wewenang
kepala desa antara lain: 1
Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD
2 Mengajukan rancangan peraturan desa
3 Menetapkan Peraturan Desa yang telah mendapat persetujuan bersama
BPD 4
Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa APB Desa untuk dibahas
dan ditetapkan bersama BPD Kepala Desa mempunyai kewajiban memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa kepada
BupatiWalikota melalui Camat, memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD, dan menginformasikan laporan
penyelenggaraan pemerintahan desa kepada masyarakat. b
Perangkat Desa Perangkat Desa bertugas membantu Kepala Desa melaksanakan tugas dan
wewenangnya. Perangkat Desa ini terdiri dari: 1
Sekretaris Desa Sekretaris desa adalah staf yang memimpin Sekretariat Desa dimana
kedudukannya diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan. Sekretaris desa bertugas membantu kepala desa di bidang
pembinaan administrasi dan memberikan pelayanan teknis administrasi kepada seluruh perangkat pemerintah desa. Ia diangkat oleh Sekretaris
Daerah KabupatenKota atas nama BupatiWalikota. 2
Perangkat Desa lainnya a
Sekretariat desa b
Pelaksana teknis lapangan c
Unsur kewilayahan 2
Badan Permusyawaratan Desa BPD Badan Permusyawaratan Desa merupakan lembaga perwujudan demokrasi
dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat.BPD beranggotakan wakil dari penduduk desa berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan
mufakat.Anggota BPD terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama dan tokoh masyarakat lainnya.Masa jabatan anggota BPD
adalah 6 tahun dan dapat diangkatdiusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.Pimpinan dan Anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan
sebagai Kepala Desa dan Perangkat Desa. Selain Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa, terdapat lembaga-lembaga lain yang dapat dibentuk di
desa-desa, yaitu lembaga kemasyarakatan yang ditetapkan dengan peraturan desa, asalkan pembentukannya berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Lembaga kemasyarakatan dimaksud bertugas membantu pemerintah desa dan merupakan mitra dalam memberdayakan masyarakat desa.
27
Lembaga kemasyarakatan ini ditetapkan dengan Peraturan Desa.Salah satu fungsi lembaga kemasyarakatan adalah sebagai penampungan dan penyaluran
aspirasi masyarakat dalam pembangunan.Lembaga kemasyarakatan desa ini misalnya seperti Rukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna, dan
lembaga pemberdayaan masyarakat.
Pada saat reformasi bergulir tahun 1998 di Indonesia, penyelenggaraanpemerintahan di daerah juga menjadi salahsatu sasaran reformasi.
Revisi UUNo 5 Tahun 1974 dan UU No 5 Tahun 1979 menjadi tidak terelakan lagi, maka lahirlah UU No22 Tahun 1999 tentanag Pemerintahan Daerah yang
sekaligus mengatur Daerahotonom dan Desa dalam satu paket, yang kemudian dalam perjalananya direvisi kembali menjadi UU No 32 Tahun2004 serta di ubah
kemabali menjadi UU No12 Tahun 2008. UU No12 Tahun 2008 tersebut tidak
27
Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2006, hal 327
saja mengatur dan sekaligus membawaperubahan di daerah provinsi, kabupaten dan kota, Namur juga memberikanlandasan bagi perubahan yang mendasar di
desa. Salah satu perubahanmendasar dalam pengaturan mengenahi desa adalah munculnya BPD BadanPermusyawaratan Desa yang merupakan lembaga
tersendiri dan memilikifungsi yang sangat luas seperti mengayomo adat sitiadat, membuat PeraturanDesa, menampung dan menyalurkan Aspirasi masyarakat serta
melakukanpengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintaha Desa. Desa yang pada awalnya di definisikan sebagai statu wilayah
yangditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasukdidalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasipemerintahan terendah langsung dibawah camat, berubah rumusanya menajdikesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur
danmengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adatistiadat setempat.
28
Kajian hukum terhadap otonomi desa biasanya berkaitan denganbagaimana negara memperlakukan desa. Dilihat secara mendalam
maknapengaturan sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 UUD 1945 berikutpenjelasnya, maka dapat dikatakan bahwa esensi dari Pasal
tersebutmencerminkan pengakuan negara terhadap apa yang disebut dengana otonomidesa dewasa ini. Lebih dari itu dengan menyebutkan desa sebagai susunan
asliyang memiliki hak asal usul, maka menurut UUD 1945 hanya desa yangdipastikan memiliki otonomi.Adapun daerah-daerah besar dan kecil lainya,
28
Peraturan Pemerintah .No 72 Tahun 2005 tentang Desa
semacam provinsi,kabupaten ataupun kota yang dikenal dalam sistem pemerintahan daerah saatini, dapat saja bersifat otonom karena pemberian pusat
terhadap hak otonombagi daerah-daerah tersebut, inilah yang kita kenal dengan otonomi daerahsebagai konsekuensi diberlakukanya politik desentralisasi di
indonesia. Sejak Tahun 1955, sudah terbentuk sebuah lembaga di desa yangberfungsi
merencanakan segala kebutuhan desa bersama-sama denganperangkat desa, dengan debutan Badan Perencanaan Pemerintah Desa Bappensa, nama ini lalu
berubah menjadi Badan Musyawarah DesaBamudes, dan berubah nama lagi menjadi Lembaga Musyawarah Desa LMDpada saat berlakunya UU No 5
Tahun 1979 sampai lahirnya UU No 22 Tahun 1999 yangmengintroduksi Badan Perwakilan Desa BPD yang kemudian di rubah dalamUU No322004 dan UU
No 12 Tahun 2008 menjadi Badan Permusyawaratan DesaBPD.Baik ditinjau dari aspek Yuridis formal maupaun fungsinya, memangada perbedaan yang cukup
substancial antara LMD dan BPD.LMD memilikifungsi legislasi saja, sementara BPD selain berfungsi legislasi juga berfungsimengontrol pemerintahan desa, dan
juga menampung dan menyalurkanaspirasi masyarakat. Desa berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2008 ini adalah Desa atau yang disebut dengan namalain, selanjutnya Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki
batas-bataswilayah yuridiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentinganmasyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat
yangdiakui danatau dibentuk dalam sistem pemerintahan nasional dan berada
dikabupatenkota. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenahi desaadalah keanekaragaman, partisipasi, ekonomi, otonomi asli, demokratisasi
danpemberdayaan masyarakat. Desa yang dimaksud menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004,termasuk antara lain Nagari di Sumatra barat, Gampong di Provinsi NAD,Lembang di Sulawesi Selatan, Kampung di Kalimantan Selatan dan Negeri
diMaluku. Dalam Undang-undang ini mengakui juga otonomi oleh Desa ataupundengan sebutan lainnya dan kepala desa melalui pemerintahan desa
dapatdiberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupunpemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah yang
bersifatadministrative, seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupunkarena transmigrasi, ataupun karena alasan lain yang warganya
pluralistis,majemuk ataupun heterogen maka otonomi desa akan diberikan kesempatanuntuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu
sendiri.Sebagai perwujudan demokrasi, dalam penyelenggaraan pemerintahandesa, dibentuk Badan Permusyawaratan Desa BPD ataupun
sebutan lain yangsesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan, yang berfungsisebagaia lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa,seperti pembuatan dan pelaksanaan peraturan desa, anggaran pendapatan danbelanja desa, keputusan kepala desa. Didesa dibentuk lembaga
kemsyarakatanyang berkedudukan sebagai mitra kerja pemerintahan desa dalammemberdayakan masyarakat desa.
Kepala desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa,yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabanya disampaikankepada Bupati
atau Walikota, melalui camat. Kepada BPD, kepala desa wajibmemberikan keterangan laporan pertanggungjawabanya dan kepada rakyatmenyampaikan
informasi pokok-pokok pertanggungjawabanya, namun tetapharus memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakandanatau meminta
keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertaliandengan pertanggungjawaban yang dimaksud.
Pemerintah Desa terdiri atas kepala desa dan perangkat desa lainya.Kepala desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa WNRI.Pemilihankepala desa
dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa WNRI.Pemilihankepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta haktradisionalnya sepanjang masih
hidup dan yang diakui keberadaanya berlakuketentuan hukum adat setempat.Jabatan kepala adesa adalah enam tahun dandapat dipilih kembali hanya
satu kali masa jabatan berikutnya.Sangatlah jelas berdasar ketentuan mengenai desa diatas, yaitu desa diera reformasi sekarang mempunyai kewenangan dan
diakui sebagai salah satudaerah yang memiliki “kekuatan” dengan nama otonomi desa. Dengan adanya“kekuatan” ini desa memperoleh kekuasaan dalam
menentukan kebijakandalam berprakarsa dan berinisiatif sesuai dengan potensi yang dimiliki, baiksumber daya manusia dan sumber daya alamnya untuk
berkembang sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Mengenai halitu dapat diperoleh penjelasan terkait kewenangan desa.
Menurut ketentuan Pasal 206 UU No 32 tahun 2004 Juncto Pasal 4 PPNo 72 Tahun 2005 Juncto Permendagri No 30 tahun 2006, urusan pemerintahanyang
menjadi kewenangan desa mencakup:: a.
Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usuldesa b.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkotayang diserahkan pengaturannya kepada desa
c. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi
danataupemerintah kabupatenkota d.
Urusan pemerintahan lainya yang oleh peraturan perundang- undangandiserahkan kepada desaTugas pembantuan yang berasal dari
pemerintah, pemerintah provinsi,danatau pemerintah kabupatenkota kepada desa, harus disertai denganpembiayaan, sarana dan prasarana, serta
sumber daya manusia sehinggatugas tersebut dapat terlaksana dengan baik. Di Desa dibentuk BPD yang berfungsi menetapkan Peraturan
Desabersama Kepala Desa dengan masukan dari aspirasi masyarakat. Anggota BPDadalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan
caramusyawarah dan mufakat, sedangkan pimpinan BPD dipilih dari dan olehanggota BPD yang masa jabatannya adalah enam tahun dan dapat
dipilihkembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Di Desa dibentuk lembagakemasyarakatan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa, yang
bertugasmembantu Pemerintah Desa dan merupakan mitra dalam memberdayakanmasyarakat Desa. Yang dimaksud dengan kemasyyarakatan desa,
sepertiRukun Tetangga, Rukun Warga, PKK, Karang Taruna dan LembagaPemberdaya Masyarakat.
Keuangan Desa ialah semua hak dan kewajiban desa yang dapatdinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupabarang yang
dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hakdan kewajiban.Keuangan desa tersebut diperoleh dari sumber pendapatandesa. Terdiri
dari pendapatan asli desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusidaerah KabupatenKota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dandaerah yang
diterima oleh KabupatenKota, serta bantuan lain dari pemerintah,peemrintah provinsi dan pemerintah KabupatenKota, termasuk pula hibah dansumbangan
dari pihak ketiga. Yang dimaksud dengan sumbangan dari pihakketiga, dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf danatau sumbangan lain sertapemberian
sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajiban-kewajiban pihakpenyumbang. Belanja Desa digunakan untuk membiayai penyelenggaraanpemerintahan desa
dan pemberdayaan masyarakat desa. Pengelolaankeuangan desa dilakukan oleh kepala desa yang dituangkan
dalam peraturandesa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa.Desa dapat mendirikan Badan usaha miliki desa, sesuai dengankebutuhan dan potensi
desa.Disamping itu desa dapat mengadakan kerjasamauntuk kepentingan desa dan untuk kerjasama dengan pihak ketiga dapatdibentuk badan kerjasama desa. Dalam
pembangunan kawasan perdesaanyang dilakukan oleh kabupatenkota danatau pihak ketiga harusmengikutsertakan Pemerintah Desa dan BPD, dengan
memerhatikankepentingan masyarakat desa, kewenangan desa, kelancaran,
pelaksanaaninvestasi, kelestarian lingkungan hidup, keserasian kepentingana antar kawasandan kepentingan umum.
E. Badan Permusyawarakatan Desa BPD