5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Tipe seksualitas spons Petrosia petrosia nigricans adalah gonokhorik
karena hanya ditemukan gamet betina pada preparat histologis fragmen yang berbeda.
2. Oosit yang ditemukan pada sampel kolam pemeliharaan tidak
menunjukkan perkembangan yang berbeda pada setiap fase bulan fase bulan barumati, fase bulan ¼, fase bulan ¾, fase bulan purnama dan
belum mencapai kematangan reproduksi seksual. 3.
Kondisi fisik dan kimia pada kolam pemeliharaan dengan ukuran serta volume air yang ada belum dapat menopang perkembangan reproduksi
spons khususnya jumlah dan ukuran oosit. 4.
Habitat buatan kolam pemeliharaan mempengaruhi reproduksi seksual spons. Nilai jumlah dan ukuran oosit spons hasil transplantasi di kolam
pemeliharaan terbukti berbeda signifikan dengan spons non transplantasi di laut. Sampel hasil transplantasi di kolam pemeliharaan mengalami
penghambatan perkembangan reproduksi, baik jumlah maupun ukuran oosit.
5.2. Saran
1. Perlu adanya pengukuran parameter fisik dan kimia lainnya, seperti kuat
arus, intensitas cahaya bulan, DO, pH. Data parameter merupakan informasi penting dalam mengontrol kondisi lingkungan hidup biota.
41
42
2. Perlu adanya observasi perbandingan tingkah laku individu pada saat di
habitat buatan maupun di habitat aslinya, sehingga dapat diketahui perbedaan tingkah laku individu dari setiap habitatnya.
3. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai gamet jantan sehingga
informasi mengenai karakteristik organ reproduksi spons dapat lebih lengkap dan informatif.
4. Untuk memperoleh hasil maksimal, diusahakan tidak adanya cahaya lain
selain cahaya bulan, agar mengetahui pengaruh cahaya bulan terhadap proses gametogenesis sepenuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, I. dan A. Budiyanto. 1996. Mengenal Spons Laut Demospongia Secara Umum. Oseana. Volume XX 2 : 15-31.
Bavelander, G. dan J. A. Ramaley. 1988. Dasar-dasar Histologi Ed.8. Diterjemahkan oleh Wisnu Gunarso. Erlangga. Jakarta, Indonesia.
Bergquist, P. R. 1978. Sponges. University of California Press. Berkeley and Los Angeles, United States of America.
Brusca, R. C. dan G. J. Brusca. 1990. Invertebrates. Sinauer Associates, Inc. Sunderland. Massachusetts, United States of America.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit Kanisius. Yogyakarta, Indonesia. Fromont, J. 1988. Aspects of the reproductive biology of Xestospongia
testudinaria Great Barrier Reef. Proceedings of the 6th International Coral Reef Symposium. Australia. Hal 685-691.
Fromont, J. 1994. Reproductive development and timing of tropical sponges Order Haplosclerida from the Great Barrier Reef, Australia. Coral Reef.
132 : 127-133. Gunarso, W. 1989. Bahan Pengajaran Mikroteknik. Pusat Antar Universitas Ilmu
Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Haris, A. 2005. Pertumbuhan, Sintasan, Perkembangan Gamet, dan Bioaktivitas
Ekstrak dan Fraksi Spons Aaptos aaptos Schmidt yang Ditransplantasikan pada Lingkungan yang Berbeda. [Disertasi]. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Harrison, F. W. dan L. De Vos. 1991. In F. W. Harrison dan J. A. Westfall ed., Microscopic Anatomy of Invertebrates. Vol. 2.A. John Wiley dan
Sons.Inc. Publication. New York, USA. Hal 28-29. Hoppe, W. F. dan M. J. M. Reichert. 1987. Predictable annual mass release of
gametes by the coral reef sponge Neofibularia nolitangere Porifera: Demospongiae. Marine Biology. 94: 277-285.
Hooper, J. N. A. 2000. Sponguide: Guide to spons collection and identification. http:www.Qmuseum.qid.gov.auorganizationsectionsSessileMarineInve
rtebratesindeks.asp. [2 Juli 2010] Hooper, J. N. A. dan R.W.M. Van Soest. 2002. Systema Porifera: a guide to the
classification of sponge. Kluwer AcademicPlenum Publisher. New York, USA.
43
44
Ismet, M. S. 2007. Penapisan senyawa bioaktif spons Petrosia sp. dari lokasi yang berbeda. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia.
Kardono K. 2006. Distribusi dan preferensi habitat spons kelas demospongiae di Kepulauan Seribu Propinsi DKI Jakarta. [tesis]. Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia. Kim D.K., M.Y. Lee, D.S. Lee, J.R. Lee, B.J. Lee, dan J.H. Jung. 2002.
Polyacetylenes from a marine sponge Petrosia sp. inhibit DNA replication at the level of initiation. Cancer Lett. 1851 : 95-101.
Kobayashi, M. dan R.Rachmaniar. 1999. Overview of Marine Natural Product Chemistry. Prosiding Seminar Bioteknologi Kelautan Indonesia I ’98, 14-
15 Oktober 1998, Jakarta, Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, Indonesia. Hal 23-32.
Kozloff, E.N. 1990. Invertebrates. Saunders College Publishing. Philadelphia. MacMillan, S.M. 1996. Starting A Successful Commercial Sponge Aquaculture
Farm. CTSA Publication. Honolulu, Hawai. McConnaughey, B.H. 1970. Introduction to Marine Biology. C.V. Mosby
Company. Tokyo, Japan.
Munro, M.H.G., R.T. Luibrand, dan J.W. Blunt. 1989. The Search for Antivaral and Anticancer Compounds from Marine Organisms. In P.J. Scheuer ed..
Bioorganic Marine Chemistry. Springer Verlag. Volume 1: 94-176. Permata, W. D., R.A Kinzie, dan M. Hidaka. 2000. Histological studies on the
origin of planulae of the coral Pocillopora damicornis. Marine Ecology Progress Series. 2001: 191-200.
Ramili, Y. 2007. Struktur morfologis dan perkembangan gonad spons Aaptos aaptos di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. [Disertasi]. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor, Indonesia. Rani, C. 2004. Reproduksi Seksual Karang Sklerentina Acropora nobilis dan
Pocillopora verrucosa di Terumbu Karang Tropik Pulau Barang Lompo, Makasar. [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Indonesia.
Rani, C. dan A. Haris. 2005. Metode Transplantasi spons laut Aaptos aaptos dengan teknik fragmentasi di terumbu karang Pulau Barang Lompo,
Makasar. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanudin, Makasar. Torani. 152 : 106-114.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta, Indonesia.
45
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut. Pengetahuan mengenai biota laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. Jakarta, Indonesia. Ruppert, E.E. dan R. D. Barnes.1991. Invertebrates Zoology. Sixth Edition.
Saunders College Publishing. Philadelphia. Sara, M. 1992. Porifera. In K.G. Adiyodi, R.G. Adiyodi ed.. Reproductive
Biology of invertebrates. John Willey Sons Chisester. New York. Simpson, A. 1984. Reproduction in Octocorals Subclass Octocorallia: A Review
of Published Literature. Darling Marine Center, University of Marine. http:www.google.co.idsearch?q=reproductive+biology+of+Octocorallia
ie=utf-8oe=utf-aq=trls=org.mozilla:en=US:officialclient=firefox-a [6 Juli 2011]
Susanna. 2006. Kajian kualitas perairan terhadap kelimpahan dan senyawa bioaktif antibakteri spons demospongiae di Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
[tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lampiran 1. Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut
No. Parameter Satuan Baku
Mutu
FISIKA
1 Kecerahan
M Coral: 5, mangrove: - , lamun: 3
2 Kebauan -
alami
3
3 Kekeruhan
a
NTU 5
4 Padatan tersuspensi total
b
Mgl Coral: 20, mangrove: 80, lamun:20
5 Sampah -
Nihil 1
4
6 Suhu
c o
C Alami
3c
, coral: 28-30
c
, mangrove: 28-32
c
, lamun: 28-30
c
7 Lapisan minyak
5
- Nihil
15
KIMIA
1 pH
d
- 7 – 8,5
d
2 Salinitas
e
o Alami3
e
, coral: 33-34
e
, mangrove: sd 34
e
, lamun: 33-34
e
3 Oksigen terlarut DO
mgl 5
4 BOD
5
mgl 20
5 Ammonia total NH3-N
mgl 0,3
6 Fosfat PO4-P
mgl 0,015
7 Nitrat NO3-N
mgl 0,008
8 Sianida CN-
mgl 0,5
9 Sulfida H2S
mgl 0,01
10 PAH Poliaromatik hidrokarbon
mgl 0,003
Sumber: Keputusan Menteri Lingkungan Hidup no 179 tahun 2004 Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan sesuai
dengan metode yang digunakan. 2.
Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat siang,
malam dan musim. 4.
Pengamatan oleh manusia visual. 5.
Pengamatan oleh manusia visual. Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan tipis thin layer dengan ketebalan 0,01 mm.
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat
menyebabkan eutrofikasi. Pertumbuhan plankton yang berlebihan dipengaruhi oleh nutrient, cahaya, suhu, kecepatan arus, dan kestabilan plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan 10 kedalaman
euphotic b.
Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan konsentrasi rata-rata musiman
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan 2
o
C dari suhu alami d.
Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan 0,2 satuan pH Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan 5 dari rata-rata musiman
Lampiran 2. Prosedur pembuatan preparat histologis dengan metode parafin
1. Pengambilan jaringan atau sampel spons yang akan dibuat preparat
histologis 2.
Fiksasi sampel spons yang telah diambil menggunakan larutan formalin 10
3. Sampel yang telah difiksasi kemudian didesilifikasi dengan menggunakan
larutan campuran antara HCl absolute, Formalin 37, Asam Formik dengan komposisi 0,5 : 0,5 : 0,25 yang ditambahkan air destilasi hingga
100 ml selama ± 24 jam
4. Proses dehidrasi yang dilakukan dengan merendam sampel spons pada
larutan alkohol bertingkat; alkohol 70 24 jam, alkohol 80 24 jam, alkohol 90 24 jam, alkohol 95 24 jam, dan alkohol 100 1 jam
sebanyak tiga kali ulangan.
5. Penjernihan clearing dengan menggunakan larutan xylol selama 1 jam
sebanyak tiga kali ulangan. Perendaman pada larutan xylol ulangan ketiga dilakukan selama 30 menit di luar inkubator dan 30 menit di dalam
inkubator.
6. Infiltrasi parafin infiltration ke dalam jaringan atau sampel spons
menggunakan parafin cair dalam inkubator bersuhu 65 C. Proses infiltrasi
dilakukan selama 1 jam sebanyak tiga kali ulangan. 7.
Penanaman sampel spons embedding menggunakan parafin cair pada cetakan dan kemudian didinginkan hingga terbentuk blok parafin.
8. Pemotongan blok parafin sampel spons dan dipasang pada blok kayu dan
diberi keterangan. 9.
Pemotongan jaringan sectioning menggunakan mikrotom putar dengan ketebalan ± 5
μm. 10.
Penempelan sayatan jaringan spons afiksasi pada kaca preparat dan pemberian label.
11. Deparaffinisation dengan merendam preparat secara bertahap pada larutan
xylol selama 3 menit sebanyak tiga kali ulangan. 12.
Rehidrasi dengan merendam preparat pada larutan alkohol secara bertahap selama masing-masing 3 menit alkohol 100 sebanyak tiga kali ulangan,
alkohol 95, alkohol 90, alkohol 80, alkohol 70, air keran 5-10 menit, akuades 5-10 menit.
13. Pewarnaan jaringan menggunakan pewarna Hematoksilin-Eosin.
Pewarnaan menggunakan hematoksilin dilakukan selama 20 detik dan kemudian direndam dengan air keran dan akuades selama ± 5menit.
Pewarnaan dengan eosin dilakukan selama 5-7 menit dan kemudian direndam dengan air keran dan akuades selama ± 5menit.
14. Proses dehidrasi dengan merendam preparat pada alkohol bertingkat;
alkohol 70 -alkohol 95 selama ±5 – 10 detik sambil diaduk, alkohol 100 sebanyak tiga kali ulangan selama ± 1 menit.
15. Penjernihan menggunakan larutan xylol selama ± 3 menit sebanyak tiga
kali ulangan. 16.
Proses mounting yang dilakukan dengan melekatkan kaca penutup cover glass
di atas jaringan spons menggunakan entelan.
Lampiran 3. Data mentah ukuran oosit spons pada fase bulan mati dan bulan ¼ kolam
ukuran oosit spons pada fase bulan
mati kolam
geometrik mean
d.trpjg d.trpndk