38
A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat.
72
Ia menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah yang padanan saja, yang umum
dipakai sarjana, yaitu delik dari bahasa latin Delictum. Memang jika kita perhatikan hampir semua penulis hukum juga menggunakan juga istilah delik di
samping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping menggunakan “perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno
Adji, di samping menggunakan islitlah “perbuatan pidana” juga menggunakan
islitalh “delik”.
73
Menurut ahli hukum pidana yang lain yaitu Simons, sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar freit atau tindak pidana adalah kelakuan
yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab.
74
Menurut Moeljatno sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa perbuatan pidana
itu dapat dipersamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit, yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut Molejatno, criminal act
berarti kelakuan akibat, yang disebut juga actus reus.
75
Dalam pengertian tindak pidana, para pakar memiliki uraian mengenai istilah yang dapat mewakili konsep strafbaar feit atau criminal act, ada tujuh
72
Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2005, cet.I. hlm.96
73
Ibid.
74
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet II, hlm. 88
75
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005, cet I, hlm. 96
39
istilah yang mewakili, yaitu 1 tindak pidana, 2 peristiwa pidana, 3 delik, 4 pelanggaran pidana, 5 perbuatan yang boleh dihukum, 6 perbuatan yang dapat
dihukum, dan 7 perbuatan pidana. Menurut Nurul Irfan, istilah apapun yang dipakai, pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang
diatur oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.
76
b. Kategorisasi Tindak Pidana
Secara teoritis tindak pidana dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas
kejahatan dan pelanggaran.
77
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita terbagi atas kejahatan misdrijven dan pelanggaran overtredingen.
Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.
78
Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau
tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai tindak kejahatan dalam undang- undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala in se, yang artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat
perbuatan tesebut memang jahat.
79
76
M.Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 6
77
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101.
78
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, Cetakan Keenam, 2000. hlm.71
79
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101
40
Sebaliknya, pelanggaran adalah “wetsdeliktern” yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah adanya wet yang
menentukan demikian. Namun, sejak sebelum Wetbook v. Strafrecht mulai berlaku, pandangan seperti itu telah ditentang. Hal itu disebabkan bahwa adanya
pelangggaran juga sudah ada sebelum adanya ketentuan wet, yang memang sudah dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut.
80
Pembagian delik atau tindak pidana atas kejahatan dan pelanggaran ini muncul dalam WvS KUHP Belanda pada tahun 1886, yang kemudian turun ke
KUHP Indonesia pada tahun 1918.
81
Pembagian delik kejahatan dan delik pelanggaran ini menimbulkan perbedaan secara teoritis. Sering disebut kejahatan
sebagai delik hukum, artinya sebelum hal itu diatur dalam undang-undang, sudah dianggap seharusnya dipidana. Sedangkan pelanggaran sering disebut sebagai
delik undang-undang, yang artinya setelah tercantum dalam undang-undang maka hal tersebut dapat dipandang sebagai delik.
82
Manurut Moeljatno, KUHP di Indonesia hanya membagi delik kejahatan dan pelanggaran itu didasarkan atas berat atau entengnya pidana saja.
83
Selain daripada sifat umum bahwa ancaman pidana bagi delik kejahatan adalah lebih
berat daripada pelanggaran, maka dapat dikatakan bahwa
84
:
80
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000. hlm.71
81
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, hlm. 106
82
Ibid.
83
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,hlm.72
84
Ibid.
41
1. Pidana penjara hanya diancamkan pada kejahatan saja
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan kesengajaan atau
kealpaan yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jaksa, sedangkan jika menghadapi pelanggaran maka hal itu tidak perlu.
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tak dapat dipidana pasal 54. Juga
pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana pasal 60. 4.
Perihal tenggang daluarsa, baik hak untuk menentukan maupun hak penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan.
5. Dalam hal perbarengan Concursus para pemidanaan berbeda untuk
pelanggaran dan kejahatan. Kumulasi pidana yang enteng lebih mudah daripada pidana berat pasal 65, 66-70.
Pembagian tindak pidana pun tidak hanya terbagi dalam delik kejahatan dan pelanggaran, tindak pidana pun dikategorisasikan dalam delik materiil dan delik
formil. Yang pertama adalah perbuatan pidana yang dalam perumusanya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang. Perbuatan pidana formil adalah
perbuatan pidana yang telah dianggap selesai dengan telah dilakukanya perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan akibatnya, seperti
yang tercantum dalam pasal 362 KUHP dan pasal 160 KUHP. Sedangkan perbuatan pidana materiil adalah perbuatan pidana yang perumusannya
dititikberatkan pada akibat yang dilarang. Perbuatan pidana ini baru dianggap telah terjadi atau dianggap telah selesai apabila akibat yang dilarang itu telah
terjadi.
85
85
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.102.
42
Selain kategorisasi di atas, pembagian tindak pidana juga dapat dibedakan atas delik aduan dan delik biasa. Delik aduan adalah perbuatan pidana yang dalam
penuntutannya hanya dilakukan jika ada pengaduan dari pihak yang terkena atau dirugikan. Delik biasa adalah delik yang tidak mempersyaraktkan adanya
pengaduan untuk penuntutannya, seperti pembunuhan, pencurian dan penggelapan.
86
c. Unsur-unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya tiap-tiap perbuatan pidana harus terdiri dari atas unsur- unsur lahir oleh karena perbuatannya, yang mengandung kelakuan dan akibat
yang ditimbulkan karena hal itu, yakni suatu kejadian dalam alam lahir kejadian yang nyata.
87
Satochid Kartanegara mengatakan bahwa unsur-unsur delik terdiri dari dua golongan, yaitu unsur-unsur objektif dan unsur-unsur subjektif. Unsur-unsur
objektif adalah unsur-unsur yang terdapat di luar diri manusia, yang semuanya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
88
Adapun unsur- unsur subjektif yaitu unsur yang terdapat di dalam diri pembuat. Unsur-unsur
Subjektif ini berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan seseorang terhadap suatu perbuatan yang dilakukannya.
89
86
Ibid. hlm.103
87
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000, hlm.58
88
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Bagian Satu, Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th, hlm. 65
89
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992, hlm. 29
43
Menurut Mahrus Ali, dalam bukunya dasar-dasar hukum pidana, ketika dikatakan bahwa perbuatan pidana atau delik adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana bagi yang melakukanya, maka unsur-unsur perbuatan pidana meliputi beberapa hal, yaitu
90
: 1.
Perbuatan itu berwujud suatu kelakukan, baik aktif maupun pasif, yang mengakibatkan timbulnya suatu hal atau keadaan yang dilarang oleh hukum.
2. Kelakukan yang timbul tersebut harus bersifat melawan hukum baik dalam
pengertianya yang formil maupun materiil. 3.
Adanya hal-hal atau keadaan tertentu yang menyertai terjadinya kelakuan dan akibat yang dilarang oleh hukum. Dalam unsur yang ketiga ini terkait
dengan beberapa hal yang wujudnya berbeda-beda sesuai dengan ketentuan pasal hukum pidana yang ada dalam undang-undang. Misalnya, berkaitan
dengan diri pelaku delik, tempat terjadinya delik, keadaan sebagai syarat tambahan bagi pemidanaan, dan keadaan yang memberatkan pemidanaan.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Moeljatno, ia mengatakan bahwa yang merupakan unsur-unsur atau elemen perbuatan pidana adalah adanya kelakuan
dan akibat perbuatan, adanya hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan, adanya keadaan tambahan yang memberatkan pidana, adanya unsur melawan
hukum yang objektif maupun unsur yang melawan hukum subyektif.
91
Dalam bukunya pun Moeljatno kembali menekankan, bahwa sekalipun dalam rumusan delik tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan dikira bahwa
perbuatan tersebut lalu tidak bersifat melawan hukum. Meskipun perbuatan
90
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.100.
91
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000. hlm.63
44
pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan elemen batin yaitu sifat
melawan hukum yang subjektif.
92
Dalam hukum pidana, istilah “sifat melawan hukum” adalah satu frasa yang memiliki empat makna. Keempat makna tersebut adalah sifat melawan hukum
umum, sifat melawan hukum khusus, sifat melawan hukum formil, dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan hukum umum diartikan sebagai syarat
umum dapat dipidana suatu perbuatan. Sedangkan sifat melawan hukum khusus biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Sifat
melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan.
93
Di dalam KUHP Indonesia yang berlaku sekarang, adakalanya perkataan “melawan hukum” dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik
dan adakalanya tidak. Jika perkataan “melawan hukum” dirumuskan dan dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal demikian memiliki arti
penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak dipidananya orang yang berwenang atau berhak melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang
diatur dalam undang-undang.
94
Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dikenal dua jenis, yaitu sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil. Sifat
melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
92
Ibid.
93
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.142.
94
Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UUM Press, 2008, hlm. 211.
45
hukum apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam undang-undang.
95
Sedangkan ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan itu tidak hanya
didasarkan pada undang-undangn saja, atau hukum tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis. Suatu perbuatan dikatakan
telah memenuhi unsur melawan hukum materiil apabila perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim atau kepatutan yang hidup
dalam masyarakat.
96
d. Tujuan Pemidanaan
Menurut Remmelink hukum pidana bukan bertujuan untuk diri sendiri tetapi ditujukan untuk menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat hukum.
Penjagaan tertib sosial untuk sebagian besar sangat tergantung pada paksaan.
97
Teori pemidanaan yang menjelaskan tentang tujuan pemidanaan dalam sistem hukum Eropa Kontinental yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan.
Sedangkan teori pemidanaan dalam sistem hukum Anglo Saxon yaitu teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.
98
Dalam karya tulis ini, penulis akan lebih menjelaskan teori tujuan pemidanaan Eropa
Kontinental.
95
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.45
96
Ibid. hlm.147
97
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, hlm. 30
98
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.186.
46
1. Teori Absolut
Teori absolut bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban.
99
Teori absolut memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan
yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori ini mengedepankan bahwa sanksi dalam
hukum pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan sesuatu kejahatan yang merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan sehingga sanksi bertujuan untuk memuaskan tuntutan keadilan.
100
Teori ini mirip dengan teori retribution dalam Anglo Saxon.
Teori pembalasan mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkanya pidana. Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidak perlu untuk memikirkan mamfaat menjatuhkan
pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar. Maka drai itu, teori ini disebut teori absolut, karena penjatuhan pidana merupakan
hal yang mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi keharusan. Hakikat suatu pidana ialah pembalasan.
101
99
Ibid. hlm.187.
100
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998, hlm. 49.
101
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, hlm. 33
47
2. Teori Relatif
Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaanya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana
special prevention dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta secara umumnya bertujuan untuk mencegah masyarakat luas
general prevention dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainya.
102
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam menyelenggarakan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan untuk prevensi terjadinya kejahatan.
Wujud pidana ini berbeda-beda, yaitu : menakutkan, memperbaiki, atau membinasakan. Prevensi ini dibedakan menjadi dua, yaitu prevensi umum dan
khusus. Prevensi umum yaitu bertujuan untuk menghendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik.
103
Sedangkan prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel Belanda dan von Liszt Jerman mengatakan bahwa tujuan
prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku dader untuk mengulangi perbuatanya, atau mencegah bakal pelanggar melasanakan perbuatan jahat yang
direncakanaya.
104
3. Teori Gabungan
Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat dalam teroti absolut dan teori relatif. Di samping mengakui bahwa
penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga
102
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.190.
103
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, hlm. 34
104
Ibid. hlm.37.
48
dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.
105
Dalam rancangan KUHP nasional, telah diatur tentang tujuan penjatuhan pidana, yaitu
106
: 1.
Mencegah dilakukanya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
2. Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikanya orang yang baik dan berguna. 3.
Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
4. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana pasal 5.
Dalam ayat 2 pasal di atas dikatakan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dengan demikian dapat dikatan bahwa yang tercantum dalam rancangan KUHP merupakan penjabaran teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha
prevensi, koreksi, kedamain dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana.
107
105
Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.191
106
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT.Yarsif Watampoe, 2005, cet I, hlm. 38
107
Ibid, hlm. 39
49
BAB III KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM
a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam Islam perdamaian dikenal dengan kata al-islah yang artinya memperbaiki, mendamaikan dan menghilangkan sengketa atau kerusakan,
berusaha mewujudkan perdamaian, membawa keharmonisan, menganjurkan orang untuk berdamai antara satu dengan lainnya, dan melakukan perbuatan
baik berperilaku sebagai orang suci.
108
Secara bahasa, akar kata islah berasal dari lafazh
ح –
حلصي –
حلص اص yang
berarti “baik”, yang mengalami perubahan bentuk. Kata islah merupakan bentuk mashdar dari wazan
ل عفإ yang berarti memperbaiki, memperbagus, dan
mendamaikan, penyelesaian pertikaian. Kata
ح اص merupakan lawan kata dari ة يس د سف rusak. Sementara kata حلص إbiasanya secara khusus digunakan untuk
menghilangkan persengketaan yang terjadi di kalangan manusia.
109
I ṣ lah ialah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan
antara dua pihak yang sedang saling berperkara. I ṣ lah merupakan sebab untuk
mencegah suatu perselisihan dan memutuskan suatu pertentangan dan pertikaian. Pertentangan itu apabila berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, maka
dari itu islah mencegah hal-hal yang menyebabkan kehancuran, menghilangkan hal-hal yang membangkitkan fitnah dan pertentangan, serta yang menimbulkan
108
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997, hlm. 740
109
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm.13.
50
sebab-sebab yang menguatkan, yakni persatuan dan persetujuan, hal itu merupakan suatu kebaikan yang dianjurkan oleh syara.
110
Konsep islah dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al’afwu, bahkan ada
beberapa ulama yang menyamakan antara islah dan al’afwu. Namun, dari Islah
dan al’afwu berbeda secara definisi maupun konsep. Secara ringkas dapat
disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh
pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian di antara kedua belah pihak. Sedangkan
al’afwu adalah media penyelesaian perkara kejahatan qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang
masih memungkinkan dilakukan qisash. Dalam konteks jinayat dan lebih khusus lagi persoalan pembunuhan, secara implisit menarik satu garis pembeda antara
al’afwu dan ishlah dengan melihat arti makna inisiatif kompensasi itu berasal. Jikalau inisiatif pemberian kompensasi terhadap hukuman qisas tersebut berasal
dari kedua belah pihak, maka itu dikatakan ishlah perdamaian. Sedangkan jika inisiatif pemberian kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja tepatnya
pihak korban, maka yang demikian itu masuk dalam kategori al’afwu pemaafan.
111
Pembedaan antara islah dan al’afwu tersebut dapat dikatakan hanya terdapat
pada tataran konsep saja, sedangkan dalam praktik, sangat mungkinkan terjadi
110
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
455
111
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm. 27-28.
51
persamaan teknis dalam pelaksanaannya sebagai satu metode penyelesaian suatu jarimah. Bahwa islah merupakan konsep perdamaian secara umum untuk masalah
keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan, dan mencakup pula dalam bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil kesepakatan para pihak.
Sedangkan al’afwu merupakan satu konsep penyelesaian perkara praktis berupa
pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman dengan konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat kompensasi atau
tanpa kompensasi.
112
Secara istilah, islah bisa diartikan sebagai perbuatan terpuji dalam kaitannya dengan perilaku manusia. Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum, islah
dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik. Dengan kata lain, perbuatan baik
lawan dari perbuatan tidak baik.
113
„Abd Salam menyatakan bahwa makna shalaha yaitu memperbaiki semua amal perbuatannya dan segala urusannya. Dalam perspektif tafsir, al-Thabarsi dan
al-Zamakhsyari dalam tafsirnya berpendapat, bahwa kata islah mempunyai arti mengkondisikan sesuatu pada keadaan yang lurus serta mengembalikan fungsinya
untuk dimanfaatkan.
114
M. Quraish Shihab berpendapat bahwa, ada puluhan ayat dalam Al- Qur’an
berbicara tentang kewajiban melakukan salah dan islah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata
ṣ alah diartikan sebagai antonym dari kata fasad kerusakan,
112
Ibid.
113
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. hlm.14
114
Ibid
52
yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-
Qur’an dalam dua bentuk: Pertama islah yang selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah salah yang digunakan sebagai bentuk kata
sifat. Sehingga, salah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan
kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk
menghadirkan nilai tersebut dan hal yang dilakukannya itu dinamai islah.
115
b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Setiap sengketa yang timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap
sengketa dapat diselesaikan sehingga keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipulihkan. Dalam setiap masyarakat telah berkembang berbagai tradisi mengenai
bagaimana sengketa ditangani. Sengketa dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-
forum lain yang tidak resmi disediakan oleh negara.
116
Islah dalam Islam merupakan satu konsep yang utuh dalam penyelesaian suatu perkara. Secara mendasar terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses
islah, yang pertama adalah pengungkapan kebenaran, kedua, adanya para pihak, yaitu pihak yang berkonflik dalam hal kejahatan dan harus ada korban serta
115
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
464
116
Eman Suparman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004, hlm. 18
53
pelaku, sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Yang ketiga, islah merupakan proses sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
117
Terdapat anggapan selama ini bahwa dalam suatu perkara atau kasus hukum, terutama pada kasus-kasus pidana, pilihan penyelesaian perkara melalui peradilan
menjadi pilihan utama, karena itulah satu-satunya penyelesaian perkara yang dianggap legal di negeri ini. Namun demikian, salah satu alternatif penyelesaian
perkara yang dianggap lebih mudah sehingga tidak memerlukan waktu yang panjang untuk selesainya sebuah perkara yaitu dibuatnya lembaga pemaafan.
Lembaga pemaafan dapat menangani segala jenis jarimah dalam Islam, maka dapat dikatakan bahwa ditetapkannya lembaga pemaafan dalam sistem hukum
pidana nasional menjadi sangat urgen, bukan saja karena lembaga ini diakui dalam hukum tetapi juga karena keberadaan lembaga pemaafan ini akan
mengurangi masalah yang dihadapi oleh para pihak yang bertikai.
118
Pandangan bahwa Islam sangat menekankan penyelesaian perkara di luar mekanisme peradilan, juga dapat ditelusuri dari berbagai konsep dalam Al-
Qur ’an. Yakni konsep islah perdamaian, sebagaimana ditegaskan dalam QS Al-
Hujurat49 : 9.
119
117
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm.31.
118
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.450
119
Ibid, hlm. 455
54
“Dan jika ada dua kelompok dari orang-orang mukmin bertikai, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat aniaya
terhadap yang lain maka tidaklah kelompok yang berubuat aniaya itu sehingga ia kembali keoada perintah Allah, jika ia telah kembali maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orangorang yang berlaku adil
.” Ayat di atas menggunakan kata
إ. Kata ini untuk menunjukan bahwa
pertikaian antar kelompok orang beriman sebenarnya diragukan atau jarang terjadi. Karena orang-orang itu adalah orang yang beriman juga dan memiliki
tujuan yang sama. Kata iqtatalu
ولتتق إ
terambil dari kata qatala
لتق . Ia dapat
berarti membunuh atau berkelahi atau mengutuk. Dengan demikian, perintah fa qatilu pada ayat di atas tidak tepat bila langsung diartikn perangilah, karena
memerangi mereka boleh jadi merupakan tindakan yang terlalu besar dan jauh. Terjemahan yang lebih netral untuk kata tersebut
– lebih-lebih dalam konteks ayat ini
– adalah tindaklah. Dengan demikian, ayat di atas menuntun kaum beriman agar segera turun tangan melakukan perdamaian begitu tanda-tanda perselisihan
nampak. Jangan tunggu sampai rumah terbakar, tetapi padamkanlah api sebelum menjalar.
120
Kata iqtatalu
ولتتقإ berbentuk jamak, sedang tha’ifatani تفء ط berbentuk
dual. Sepintas mestinya kata iqtatalu berbentuk dual juga. Tetapi tidak demikian kenyataanya. Hal tersebut karena
– menurut sementara pakar – di sebabkan karena
120
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al- Qur’an Volume 13,
Jakarta: Lentera Hati, 2007, hlm. 244
55
jika terjadi peperangan atau perkelahian antara dua kelompok, yang akhirnya menjadi lebih dari dua orang, tetapi tetap itu menjadi dua pihak. Kata ashlihu
وحلصأ terambil dari kata ashlaha حلصأ yang asalnya adalah shaluha حلص.
Dalam kamus-kamus bahasa, kata ini dimaknai dengan anonym kata fasada
دسف
yang artinya rusak. Ia diartikan juga dengan manfaat. Dengan demikian shaluha berarti tiadanya atau terhentinya kerusakan atau diraihnya manfaat, sedang ishlah
حاصإ adalah upaya menghentikan kerusakan atau meningkatkan kualitas sesuatu
sehingga manfaatnya lebih banyak lagi. Dalam konteks hubungan antar manusia, maka nilai-nilai itu tercermin dalam keharmonisan. Apabila terjadi kerusakan,
maka hal ini menuntut adanya islah, yakni perbaikan agar keharmonisan pulih, dan sebagai dampaknya akan lahir aneka manfaat dan kemashlahatan.
121
Ayat di atas merupakan landasan hukum untuk memaafkan tindak pidana Al- Baghyu pemerontakan. Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan untuk
mendamaikan. Namun jika salah satu kelompok dari dua golongan masih memberontak dan melampaui batas maka diperbolehkan untuk memerangi mereka
hingga mereka kembali jalan yang benar. Namun, pemberontakan yang dimaksud ialah bahwa pemberontakan hanya dilakukan kepada kepala negara yang sah dan
berdaulat. Apabila dilakukan oleh sekelompok orang ketika hukum di suatu negara tidak berjalan dan terjadi kekosongan kepemimpinan resmi, maka itu tidak
disebut pemberontakan.
122
Selain dasar hukum perdamaian dan pemaafaan di atas, dasar hukum perdamaian juga tertera dalam hadis Nabi SAW dari Sahl bin Saad ra : “bahwa
121
Ibid. hlm. 244 -245
122
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.66-67
56
sesungguhnya penduduk Quba berperang-perangan berkelahi sampai mereka berlempar-lemparan dengan batu. Lalu hal itu dikabarkan kepada Rasulullah saw,
Beliau bersabda: marilah kita pergi ke sana dan kita damaikan mereka. HR.Imam Bukhari, Kitab Shahihul Bukhari, Terjemah, Juz III, hal 76, no
1248.
123
Dari penjelasan di atas, dapat diketahui doktrin Islam tentang penyelesaian perkara adalah penyelesaian secara damai dan musyawarah di antara pihak-pihak
yang berperkara tanpa harus melalui proses hukum di depan hakim pengadilan. Hal-hal yang saat ini baru muncul dan menunjukkan kekurangan dari sistem
peradilan konvensional, sebenarnya telah disadari dalam Islam sehingga dianjurkan untuk tidak terburu-buru membawa setiap perkara ke pengadilan.
Karena jiwa yang telah didoktrin dengan ajaran pemaafan merupakan jiwa yang menjadi tujuan setiap muslim untuk mencapai ketaqwaan, maka diyakini perkara
itu dapat diselesaikan di antara pihak-pihak berperkara. Doktrin Islam tentang lembaga alternatif penyelesaian perkara pidana bahkan telah merupakan hukum
postif yang berlaku dalam negara dan masyarakat Islam mendahului doktrin sistem hukum manapun. Lembaga itulah yang dikenal sebagai lembaga pemaafan
yang terukir dalam sejarah awal Islam.
124
123
Misnawati Mistiah, Samudrailmu.blogspot.com, blog ini diakses pada 10 Desember 20014 pukul 19.30 WIB
124
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm
460.
57
c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Salah satu ketentuan mengenai hubungan antar orang perorang adalah mekanisme penyelesaian konflik ketika manusia menghadapi sengketa hukum.
Al-Quran mengatur proses penyelesaian sengketa ini melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan. Proses penyelesaian sengketa melalui jalur non
pengadilan dapat dilakukan di antaranya oleh seorang hakam Pihak ketiga.
125
Ḥakam ini berfungsi sebagai penengah pendamai dari dua atau lebih pihak yang sedang berperkara. Istilah teknis penyelesaian perkara non-litigasi,
ḥ akam sejajar dengan mediator atau arbitator.
126
Menurut Amin Suma, salah seorang anggota tim revisi KUHP, beliau pernah menyatakan bahwa salah satu konsep pertanggungjawaban pidana dalam fikih
jinayah yang bisa diadopsi KUHP adalah lembaga pemaafan. Seorang terdakwa bisa saja terbebas dari sanksi pidana jika ia dimaafkan oleh korban atau keluarga
korban. Ketika diwawancarai oleh Nanang Shaikhu dari UIN Online, Amin Suma mengatakan “Saya pernah menjadi tim perumus RUU KUHP. Saya memaparkan
bahwa salah satu institusi dalam pidana Islam terdapat “pemaafan”. Institusi ini setahu saya adalah khas milik hukum pidana Islam, dalam hukum pidana lain
tidak ada. Dalam pidana Islam, seseorang yang melakukan pembunuhan tetapi jika pihak keluarga korban memaafkan, maka ia bebas sama sekali dari hukum.
125
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
126
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
461.
58
Kalau dalam hukum pidana lain tidak demikian, tetap perbuatanya harus diproses.
127
Penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam dapat dilakukan melalui lembaga
“pemaafan” dengan menghadirkan Hakam di antara pihak yang sedang berperkara. Dalam kamus Munjid
disebutkan bahwa, “arbitrase” dapat disepadankan dengan istilah “tahkim”. Tahkim sendiri berasal dari kata
“hakkama”. Secara etimologi, tahkim berarti menjadikan seseorang sebagai pencegah suatu sengketa. Secara umum, tahkim memiliki pengertian yang sama
dengan arbitrase yang dikenal dewasa ini yaitu pengangkatan seseorang atau lebih sebagai wasit oleh dua orang yang berperkara atau lebih, guna menyelesaikan
perselisihan perkara mereka secara damai, orang yang menyelesaikan disebut dengan “hakam”.
128
Menurut Abu al-Ainain Fatah Muhammad, pengertian tahkim menurut istilah fiqih adalah sebagai bersandarnya dua orang yang bertikai kepada seseorang yang
mereka ridhai keputusannya untuk menyelesaikan perkara para pihak yang bersengketa. Sedangkan menurut Said Agil Husein al Munawar pengertian
“tahkim” menurut kelompok ahli hukum Islam mazhab Hanafiyah adalah memisahkan persengketaan atau menetapkan hukum di antara manusia dengan
ucapan yang mengikat kedua belah pihak. Sedangkan pengertian “tahkim”
menurut ahli hukum dari kelompok Syafi ’iyah yaitu memisahkan pertikaian
127
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
450.
128
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
59
antara pihak yang bertikai atau lebih dengan hukum Allah atau menyatakan dan menetapkan hukum syara’ terhadap suatu peristiwa yang wajib dilakukanya.
129
Hakam dalam Firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 35 :
“Dan jika kamu khawatir persengketaan diantara keduanya, maka
kirimkanlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah member taufik kepada suami-istri-mu iyu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
.” Fungsi utama hakam adalah mendamaikan. Tetapi jika mereka gagal,
apakah mereka dapat menetapkan hukum dan harus dipatuhi oleh suami-istri yang bersengketa itu? Ada yang mengiyakan dengan alasan Allah menamai mereka
hakam dan, dengan begitu, mereka berhak menetapkan hukum sesuai dengan kemashlahatan, baik disetujui oleh para pihak maupun tidak. Pendapat ini juga
dianut oleh sejumlah sahabat Nabi SAW, juga kedua imam mazhab Malik dan Ahmad Ibn Hanbal.
130
Meskipun konsep tahkim, al-hakam, dan hakamain, dalam Al- Qur’an lebih
mengacu pada perkara perdata, yaitu perceraian, tetapi dalam perkembangannya, ternyata konsep tersebut juga digunakan dalam perkara-perkara yang terkait
dengan pidana. Seperti, perkara yang terjadiantara Ali bin Abi Talib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan yang menyebabkan terjadinya perang Siffin
129
Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB
130
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al- Qur’an Volume 2.
Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm.522.
60
diselesaikan dengan sebuah mekanisme yang dikenal dalam sejarah sebagai “tahkim”.
131
Firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 178 :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf membayar
diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang
melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih
.” Menurut Quraish Sihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat ini menjelaskan
bahwa Allah mewajibkan qisash jika - wahai keluarga terbunuh- menghendakinya sebagai sanksi akibat pembunuhan. Tetapi pembalasan itu harus melalui pihak
yang berwenang dengan ketetapan bahwa, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Jangan menuntut seperti adat
Jahiliah, membunuh orang merdeka walau yang terbunuh adalah hamba sahaya, jangan juga menuntut balas terhadap dua atau banyak orang kalau yang terbunuh
secara tidak sah hanya seorang, karena makna qisash adalah “persamaan”. Tetapi
131
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hal.
455.
61
jika keluarga teraniaya korban ingin memaafkan dengan menggugurkan sanksi itu, dan menggantinya dengan tebusan, maka itu dapat dibenarkan.
132
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya sekemanusiaan, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah yang diberi maaf membayar diat yakni tebusan kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik pula. Jangan sekali-kali yang memaafkan
menuntuk tebusan yang tak wajar. Yang demikian itu, adalah ketetapan hukum tersebut, yakni suatu keringanan dari Tuhan kamu agar tidak timbul dendam atau
pembunuhan beruntun, ia juga merupakan rahmat bagi keluarga korban dan pembunuh.
133
Jarimah qisash dalam fiqih jinayah ada 2, yaitu qisash karena melakukan jarimah pembunuhan, dan qisash karena melakukan jarimah pengaiayaan. Adapun
jarimah pembunuhan menurut ulama fiqih terbagi dalam 3 kategori, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi-sengaja dan tersalah.
134
Adapun sanksi hukuman qisash hanya berlaku bagi tindak pidana pembunuhan yang pertama, yakni pembunuhan sengaja. Adapun dua jenis
pembunuhan yang lain sanksinya dalah diyat. Demikian juga sanksi pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh keluarga korban, sanski hukumanya juga berupa
diyat. Mengenai jumlah diyat yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana adalah berupa diyat berat, ataupun diyat ringan. Perbedaan kedua diyat tersebut terletak
pada jenis dan umur unta, tetapi jumlah untanya tetap sama baik diyat ringan
132
Quraish Sihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an Volume 1,
Jakarta : Lentera Hati, 2007, hal. 393
133
Ibid.
134
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hlm.5-7.
62
maupun diyat berat, yakin sama-sama 100 ekor unta. Untuk diyat ringan, hanya terdiri dari 20 ekor unta umur 0-1 tahun, 20 ekor yang lain berumur 1-2 tahun, 20
ekor yang lain umurnya 2-3 tahun, 20 ekor yang lain umur 3-4 tahun, dan 20 ekor lagi berumur 4-5 tahun. Sedangkan diyat berat terdiri dari tiga kategori terakhir di
atas ditambah 40 ekor unta yang sedang mengandung atau bunting.
135
Kasus pidana yang secara jelas dapat diserahkan kepada lembaga pemaafan ini, adalah jarimah pembunuhan, sebab kasus itulah yang disebutkan secara tegas
dan langsung dalam Al- Qur’an, yang memberikan hak kepada keluarga korban
untuk menentukan jenis hukuman apa yang diberikan kepada pelaku tindak pidana. Namun ada Hadis Nabi saw. yang menunjukkan bahwa kasus-kasus
pidana yang lain pun dapat diselesaikan melalui mekanisme lembaga pemaafan ini.
136
Dalam wewenangnya sebagai lembaga pemaafan, hendaknya melihat jarimah apa yang menjadi pertikaian di antara para pihak. Dalam hukum pidana Islam,
dikenal tiga macam jarimah tindak pidana, yaitu jarimah Hudud, Qisash, dan Ta’zir. Jarimah sendiri menurut bahasa, berasal dari kata Jarama yang artinya
berusaha dan bekerja. Sedangkan menurut istilah, seperti dikemukakan oleh Imam al-Mawardi, Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang yang bersifat syari
mahzura t syar’iyyah, yang diancam oleh Allah SWT dengan sanksi had atau
ta’zir.
137
135
Ibid.
136
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
456
137
Ibid. hlm. 456.
63
Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan gugurnya „uqubah
hukuman dalam syari’at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan jani meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti diyat, tentu
saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam kasus tindak pidana qatl alkhata’ pembunuhan tidak sengaja maka hukuman terhadap hartanya tetap
harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi gugur jika para
pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih ringan dari pada
diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah diwajibkan diyat,
karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf afw dari korban atau walinya. Adapun dalam
perkara hudud tidak boleh ada maaf, karena ia menyangkut hak Allah. Maaf yang diberikan, baik itu diberikan oleh korban ataupun wali al-amr adalah tidak sah.
138
Secara bahasa, lafal hadd atau hudud berarti pencegahan, dan yang dimaksud dengan hudud Allah adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah karena dilarang.
Jarimah Qisash dan Diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman Qisash atau diyat. Baik Qisash maupun diat keduanya adalah hukuman yang sudah
ditentukan oleh syara ’. Perbedaan qisash dengan hukuman hadd adalah bahwa
hadd merupakan hak Allah masyarakat, sedangkan qisash dan diat adalah hak manusia individu. Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana
138
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Hlm. 63.
64
dikemukakan oleh Mah mud Syaltut adalah “suatu hak yang manfaatnya kembali
kepada orang tertentu”. Pengertian hak manusia di sini adalah bahwa hukuman tersebut bisa dihapuskan atau dimaafkan oleh korban atau keluarganya.
Sedangkan, jarimah takzir adalah jarimah yang di ancam dengan hukuman takzir. Pengertian takzir menurut bahasa ialah
ta’dib atau memberi pelajaran atau menolak dan mencegah, akan tetapi menurut istilah, sebagaimana dikemukakan
oleh imam Al-Ma wardi bahwa “Takzir itu adalah hukuman pendidikan atas dosa
tindak pidana yang belum di tentukan hukumannya oleh syara’.
139
Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata ع
رز -
رزْعي
yang secara etimologis berarti
عْ ل و دّل , yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti ّصن
menolong dan menguatkan. Hal ini serupa dalam firman Allah SWT berikut :
Artinya : “Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan agama-Nya, membersarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di
waktu pagi dan petang.” Q.S. Al-Fath : 9.
140
Kata ta’zir dalam ayat diatas juga memiliki arti
وقو ن عأو ّقو و ّع
yaitu membersarkan, memperhatikan, membantu, dan menguatkan Agama Allah. Sementara itu Al-Fayyumi dalam Al-Misbah Al-Munir mengatakan bahwa
ta’zir adalah pengajaran dan tidak termasuk ke dalam kelompok had.
141
139
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013, hlm.
465-467
140
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013, hlm.136
141
Ibid.
65
Menurut Nurul Irfan dalam buku fiqih Jinayah, ta’zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan
dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud ataupun kafarat. Karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung
oleh Alqur’an dan hadis. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kepentingan
umum.
142
Ta’zir memang tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud. Namun, bukan berarti tidak boleh lebih keras dari hudud, bahkan sangat dimungkinkan di
antara sekian banyak jenis dan bentuk ta’zir berupa hukuman mati.
143
Berbeda dengan hudud, menurut Makhrus Munajat, jarimah hudud umumnya diartikan sebagai tindak pidana yang macam dan sanksinya ditetapkan secara
mutlak oleh Allah SWT, sehingga manusia tidak berhak untuk menetapkan hukuman selain hukum yang ditetapkan Allah. Alasan para fuqaha
mengklasifikasikan jarimah hudud sebagai hak Allah, pertama, karena perbuatan yang disebut secara rinci oleh Al-
Qur’an sangat mendatangkan kemaslahatan baik perorangan maupun kolektif. Kedua, jenis pidana dan sanksinya secara definitif
disebut secara langsung oleh lafal yang ada dalam Al-Qur ’an, sementara pidana
lain tidak.
144
Jika mengacu pada hadis-hadis Nabi SAW yang telah dikemukakan. Saling memaafkanlah kalian dalam kasus-kasus hukum sebelum datang kepada saya
142
Ibid. hlm.140
143
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012, hlm. 147
144
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.462
66
untuk mendapatkan putusan, sebab kasus hukum apa saja yang sampai kepada saya, maka saya wajib menegakkan hadd. Hadis ini mengindikasikan bahwa
kasus-kasus hukum apa pun dapat diselesaikan melalui mekanisme Lembaga Pemaafan.
145
Rasulullah bersabda Dari Abu Syuraih al-Khaza ’iy berkata, “Saya mendengar
Rasulullah SAW berkata, Barangsiapa ditimpa pembunuhan atau penganiayaan al-khubl adalah al-jarah, yakni penganiayaan badan, maka ia berhak memilih
salah satu dari tiga hal; menjatuhkan haknya, mengambil diyat, atau memaafkan, maka jika berkehendak yang keempat ambillah dari k
edua tangannya.”
146
Dalam hadis lain pun yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dari Amr bin Syuaib dari Bapak
dari Kakeknya, Rassulullah SAW bersabda, yang artinya: “Barang siapa dengan
sengaja membunuh, maka si pembunuh diserahkan kepada wali korbannya. Jika wali ingin melakukan pembalasan yang setimpal qisash, mereka dapat
membunuhnya. Jika mereka tidak ingin membunuhnya, mereka dapat mengambil diyat
denda. Dan bila mereka berdamai, itu terserah kepada wali mereka.” kasus-kasus hukum sebaiknya diusahakan untuk diselesaikan melalui jalur non
litigasi sebelum dibawa ke pengadilan. Maka, lembaga pemaafan dapat berfungsi sebagai alternatif penyelesaian perkara sebelum kasus itu diajukan ke pengadilan.
Jika perkara-perkara yang tergolong jarimah hudud masih diperdebatkan menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan, maka perkara-perkara lainnya yang termasuk
145
Ibid. Hlm.465
146
Misnawati, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Samuderailmu.blogspot.com. Artikel ini di akses pada 12 Desember 2014 pukul
19.00 WIB
67
jarimah qisash diat dan jarimah takzir, sama sekali tidak ada masalah jika menjadi kewenangan Lembaga Pemaafan.
147
Orang yang berhak memiliki dan memberikan pengampunan atau perdamaian adalah orang yang memiliki hak qishash. Jumhur ulama yang terdiri atas Imam
Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad berpendapat bahwa pemilik qishash adalah semua ahli waris, baik zawil furudh maupun ashabah, laki-laki maupun
perempuan dengan syarat mereka itu akil dan baligh. Lain halnya dengan Imam Malik, menurutnya pemilik hak qishash adalah ashabah laki-laki yang paling
dekat derajatnya dengan korban dan perempuan yang mewarisi dengan syarat- syarat tertentu mereka adalah mustahik ahli waris qishash.
148
Sedangkan, untuk jarimah qisash para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya perdamaian, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur.
Perdamaian dalam qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar dari pada diat, sama dengan diat, atau lebih kecil dari diat. Juga boleh dengan cara
tunai atau utang angsuran, dengan jenis diat atau selain jenis diat dengan syarat disetujui diterima oleh pelaku jarimah. Akan tetapi, dalam hukum qishash itu
terkandung dua hak, yaitu hak Allah masyarakat dan hak manusia individu, penguasa negara masih berwenang untuk menjatuhkan hukuman ta’zir. Pendapat
ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah. Hukuman ta’zir menurut malikyah adalah penjara selama satu tahun dan jilid dera sebanyak seratus kali.
147
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.466
148
Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia
2012, hlm.30.
68
Akan tetapi menurut S yafi’iyah, Hanabilah, Ishak, dan Abu Tsaur, pelaku tidak
perlu dikenakan hukuman ta’zir.
149
Salah satu jarimah qisash adalah pembunuhan, Ibn Qudamah dalam kitabnya al-Mughni menyebutkan bahwa Imam Malik, al-Laist dan al-
Auza’i telah menetapkan bahwa si pembunuh apabila dimaafkan oleh wali korban, maka dia
dijatuhi hukuman jilid dan penjara selama satu tahun. Sedangkan al- Syafi’i, Ishak,
Ibn Munzir dan Abu Tsaur berpendapat bahwa si pembunuh boleh diberi kebebasan penuh. Memperkuat pendapat Malik di atas, Abd al-Qadir Audah
dalam bukunya al- Tasyri’ al-Jina’i al-Islami menegaskan bahwa jika pihak
korban memaafkan pembunuh, maka yang gugur hanyalah hak-hak perorangan private rights yaitu hukuman qisash atau diyat saja. Sedangkan hak Allah yang
dilanggar harus tetap dijatuhi hukuman oleh hakim berupa hukuman ta’zir.
150
Adapun dasar pelaksanaan islah menurut Abd al-Qadir Audah selain QS. Al- Baqarah 2:178, adalah
Hadis Rasulullah SAW yang artinya “Barang siapa melakukan pembunuhan sengaja qatl al-amd, maka terserah kepada wali si
terbunuh apakah akan menuntut qisash atau akan mengambil diyat, hak islah sepenuhnya diserahkan kepadanya.” HR. Abu Daud dan al-Turmuzi. Menurut
Wahbah al-Zuhaily, hukum yang ada pada islah sama dengan hukum yang ada pada „afw. Siapa yang memberi maaf maka dia telah melakukan islah. Apa yang
terjadi pada islah juga sama dengan yang terjadi pada „afw, yakni sama-sama
menggugurkan qisash. Maaf dalam perkara ta’zir dapat dilakukan oleh wali al-
149
Ibid.
150
Ibid.
69
amr. Karena ia yang mempunyai hak untuk memberi maaf secara sempurna dalam tindak pidana ta’zir.
151
d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam
Islah atau sulh adalah suatu proses penyelesaian perkara ketika para pihak bersepakat mengakhiri perkara mereka secara damai. Islah sulh memberikan
kesempatan para pihak untuk memikirkan jalan terbaik dalam menyelesaikan perkara. Para pihak memperoleh kebebasan mencari jalan keluar agar perkara
mereka dapat diakhiri. Al- Qur’an menganjurkan memilih sulh sebagai sarana
penyelesaian perkara yang didasarkan pada pertimbangan bahwa sulh dapat memuaskan para pihak, dan tidak ada pihak yang merasa menang dan kalah dalam
penyelesaian perkara mereka. Sulh mengantarkan pada ketentraman hati, kepuasan dan memperkuat tali silaturahmi para pihak.
152
Masyarakat memiliki tata nilai dan norma yang dijadikan acuan bersama dalam menata hubungan sosial. Islah sebagai salah satu nilai hidup, dapat
memberikan identitas pada masyarakat, yaitu masyarakat yang mengutamakan perdamaian dan kebaikan bersama demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta
kekompakan di antara individu dalam masyarakat.
153
Islah dinilai mampu mengobati luka hati rakyat. Islah dapat mencegah masyarakat membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam,
151
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm.65
152
Umar At-Tamimi, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, Desember 2013,
hlm.465.
153
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm.51
70
melainkan menutup luka itu dengan pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan bangsa.
154
Dengan demikian, islah lebih bermakna psikologi sosial-politik, demi menjaga agar masyarakat terhindar dari kekerasan berdimensi apa pun secara
berkelanjutan. Untuk tujuan akhir tersebut, berarti individu, kelompok, dan negara “harus menanggung ketidakadilan yang memilukan” dan membuka pintu maaf
untuk pelaku. Dengan demikian, islah adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan tatanan hidup yang lebih baik di masa
depan. Singkatnya, islah lebih menekankan pencapaian tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana.
155
Formula islah sejalan dengan ajaran agama. Sebab, agama memandang semua manusia dan muslim bersaudara, maka perbaikilah persaudaraan antarsesama.
Islam membolehkan peristiwa pidana diselesaikan melalui qisas-diyat, tetapi memaafkan lebih baik dan lebih dekat kepada taqwa.
156
Memahami dan mengaplikasikan islah dalam kehidupan masyarakat tidak selalu hanya dapat diterapkan dalam kalangan muslim. Islah dapat diaplikasikan
dalam masyarakat manapun. Sebab secara esensial, islah merupakan nilai yang bersifat universal. Kendatipun dapat dipahami bahwa islah yang hakiki hanya
dirujukkan kepada konsep Islam, tetapi dampak sosial yang lahir dari ishlãh dapat digunakan dan dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.Termasuk dalam
konteks kehidupan antar bangsa, nilai islah sangat relevan untuk dijadikan nilai
154
Ibid. hlm.8-9.
155
Ibid..
156
Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia, November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB
71
universal guna menyatukan umat manusia dalam suatu kesatuan kebenaran dan keadilan.
157
Islah dalam hukum pidana Islam secara konsep sudah diatur dalam Al-Qur ’an
dan hadis, hal ini tentunya menjadikan Islam sebagai agama yang sangat toleran dan menjungjung tinggi hak asasi manusia dengan tidak melupakan kepentingan
umum. Adapun islah dapat dilakukan atas jarimah-jarimah selain jarimah hudud. Hal ini berdasarkan hukum, bahwa jarimah hudud merupakan hak Allah yang
ketentuanya sudah secara jelas tertulis di dalam Nash. Islah diharapkan dapat membawa kedamaian para pihak tanpa meninggalkan rasa dendam maupun
penyesalan, yang akhirnya keadaan sosial masyarakat kemabali rukun.
157
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, hlm. 53
72
BAB IV
PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH
a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung Jawaban Pidana Anak.
Kasus pelanggaran lalu lintas tak jarang mengakibatkan kecelakaan. Tak hanya oleh orang dewasa, kasus pelanggaran serta kecelakaan lalu lintas pun
banyak dilakukan oleh anak di bawah umur. Maraknya kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak di bawah umur diharapkan dapat menjadi pelajaran bagi para
orang tua agar lebih mengawasi dan menjaga putra putri mereka, selain mengancam nyawa dan psikologis si anak, terjadinya kecelakaan juga
menyebabkan anak mempunyai catatan kelam dalam hukum yang bisa mempengaruhi masa depannya.
158
Salah satu kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak-anak adalah kasus pelanggaran lalu lintas yang terjadi pada hari Minggu tanggal 8 September
2013 sekitar pukul 01.00 WIB, bertempat di Jalan Tol Jagorawi KM 08.400 A arah selatan wilayah Jakarta Timur. Kejadian melibatkan kendaraan Mitsubhisi
Lancer Nopol B-80-SAL, dengan kendaraan Daihatsu Grand Max Nopol B-1347- UZJ, dengan kendaraan Toyota Avanza Nopol B-1882-UZ. Diketahui bahwa
pengemudi kendaraan Mitsubhisi Lancer adalah Achmad Abdul Qadir Jaelani berusia 13 tahun, Laki-laki, pekerjaan pelajar, tempat tinggal di Pinang Emas
158
thesis.umy.ac.iddata publikt38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum’at 13 Maret
2015 pukul 14.45.WIB
73
VIID4 RT83 Pondok Indah Jaksel. Pengemudi kendaraan Mitsubhisi Grand Max teridentifikasi sebagai Nugroho Brury Laksono berusia 35 tahun, jenis kelamin
laki-laki, pekerjaan karyawan swasta, dan beralamat di Kampung Bendungan Melayu Rt 00601 Rawa Badak Selaran Koja, Jakut. Sedangkan pengemudi
kendaraan Toyota Avanza teridentifikasi sebagai Hendra Sasongko, laki-laki, pekerjaan swasta, dan beralamat di Asrama Janang Ratmil RT0202 Jakarta
Utara.
159
Kecelakaan beruntun yang terjadi di Tol Jagorawi 8 September tersebut menewaskan enam orang dan sembilan lainnya luka-luka ini, kecelakaan maut
yang terjadi pada pukul 00:24 dini hari ini menjadikan Abdul Qodir Jaelani atau yang akrab dipanggil Dul sebagai tersangka utama penyebab kecelakaan tersebut.
Anak bungsu musisi Ahmad Dhani yang mengendarai mobil sedan dengan plat polisi B 80 SAL ini menabrak pagar pemisah dan masuk ke jalur berlawanan,
yang kemudian mobil yang dikendarainya menghantam mobil Avanza dan Grandmax yang berisi 13 penumpang yang datang dari arah berlawanan. Peristiwa
yang terjadi di kilometer 8+200 ini terjadi ketika Dul memacu kendaraan dari arah Cibubur menuju Jakarta. Tiba-tiba saja mobil yang dikemudikan Dul lepas
kendali dan menabrak pembatas jalan. Diduga mobil yang dikendarai Dul melaju dengan kecepatan di atas 100 Km per jam.
160
159
Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir 13 tahun. http:ferli1982.wordpress.com20131016analisa-kasus-kecelakaan-lalu-
lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul 15.00WIB
160
e-journal.aujy.ac.id56762KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 13.10 WIB.
74
Lebih jelasnya, kronologis pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan ini terjadi ketika Mobil Mitsubishi Lancer B 80 SAL yang dikendarai oleh Dul
datang dari arah selatan menuju utara menabrak pagar tengah hingga melayang ke arah jalur berlawanan. Mobil itu menghantam Daihatsu Grandmax B 1347 UZJ
dan terdorong mengenai Avanza B 1882 UZ. Akibat kecelakaan yang terjadi sekitar pukul 00.45 WIB. Korban meninggal di TKP sebanyak 6 orang sedangkan
1 orang meninggal di rumah sakit, jadi korban yang meninggal sebanyak 7 orang, dan 9 orang mengalami luka-luka.
161
Kasus kecelakaan maut ini menjadikan Dul sebagai tersangka, disebabkan Dul lalai dan mengakibatkan tujuh korban tewas. Selain itu, Dul juga dijerat pasal
berlapis yaitu pasal 310 ayat 3 dan 4 UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas, serta pasal 105 tentang ketertiban, 106 tentang mengemudi dengan wajar dan
berkonsentrasi, dan pasal 281 tentang kewajiban pengemudi mmeiliki SIM.
162
Pasal 310 ayat 3 UULAJ No.22 t ahun 2009 : “Setiap orang yang
mengemudikan kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan lalu lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 229 ayat 4, dipidana dengan penjara paling lama 5 lima tahun danatau denda paling banyak Rp.10.000.000,00 sepuluh juta rupiah
.”
163
Pasal 310 ayat 4 yaitu : “Dalam hal kecelakaan sebagaimana dimaksud
pada ayat 3 yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia, dipidana dengan
161
thesis.umy.ac.iddata publikt38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum’at 13 Maret
2015 pukul 14.45.WIB
162
Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir 13 tahun. http:ferli1982.wordpress.com20131016analisa-kasus-kecelakaan-lalu-
lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul 15.00WIB
163
UU No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
75
pidana penjara paling lama 6 enam tahun danatau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 dua belas juta rupiah.
”
164
Kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Dul mengakibatkan dirinya harus berhadapan dengan hukum. Menurut pasal 1 Undang-undang no.11
tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
165
Jika ditinjau dari segi yuridis, dul masih berumur 13 tahun yang dalam hal ini masih dalam kategori
anak anak. Namun dalam undang undang no 11 tahun 2012 tentang sistem peradilam anak, anak dalam kasus anak yang berkonflik dengan hukum adalah
anak yang telah berumur 12 tahun dan di bawah 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Kejadian itu seharusnya bisa menjadi renungan bagi para orang tua,
terutama yang memiliki anak remaja agar tidak bersikap permisif dan harus menerapkan disiplin pada anak.
166
Di Indonesia sudah memiliki beberapa perangkat hukum yang mengatur tentang hukum bagi anak, baik sebagai pelaku pidana maupun sebagai korban dari
suatu tindak pidana. Perlindungan hukum kepada anak adalah upaya hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak anak fundamental rights and freedom of
children serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan
164
Ibid.
165
UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
166
Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi, UIN Sunan Kalijaga, 2014. Hlm.4
76
anak.
167
Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di
bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.
168
Dalam pasal 5 ayat 1 UU No.11 tahun 2012, sistem peradilan anak wajib mengedepankan pendekatan kedilan restorative. Untuk mewujudkan keadilan
restorative diperlukan pelibatan seluruh orang-orang yang punya kepentingan dari suatu tindak pidana yakni pelaku, korban, keluarga korban serta masyarakat. Yang
dimaksud pelibatan di sini ialah orang-orang yang punya kepentingan harus dilibatkan dalam diskusi untuk menentukan respon yang pantas terhadap suatu
kejahatan, yang mana tujuannya adalah untuk memperkuat nilai-nilai saling menghormati, mengasihi dan memaafkan diantara pemangku kepentingan. Untuk
memastikan pelaku memikul tanggung jawab pemenuhan kompensasi baik terhadap korban maupun masyakarat, atas dampak kejahatanya.
169
Proses peradilan anak harus bertujuan pada terciptanya Keadilan Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses
Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk
membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak,
167
Muhammad Rajab Ali, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar,
2012, hlm 4
168
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006, hlm. 5
169
Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta : LBH Jakarta, 2012, hlm.21
77
dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.
170
Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan anak, wajib mengupayakan disversi sebagaimana yang telah diatur dalam UU No.11 tahun
2012 tentang disversi. Berdasarkan pasal 6 UU tersebut, disversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar
proses peradilan, menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada
anak.
171
Dilihat dari tujuannya, proses peradilan anak lebih mengedepankan perdamaian para pihak, sehingga menghindari penjatuhan hukuman yang
dikhawatirkan akan menganggu psikologis anak. Dalam sistem peradilan anak, skema yang dijalankan adalah yaitu setelah terjadi tindak pidana, kemudian
dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh petugas, setelah itu dilakukanya disversi yang melibatkan pihak anak, korban, keluarga atau wali anak, serta
penyidik atas rekomendasi lembaga kemasyarakatan.
172
Kesepakatan disversi dapat berbentuk pengembalian kerugian dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali kepada orang tua
atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan; atau pelayanan masyarakat paling lama 3 bulan.
Namun apabila disversi tidak menyelesaikan perkara, maka proses peradilan
170
Penjelasan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
171
UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
172
Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta : LBH Jakarta, 2012, hlm.46
78
pidana bagi anak dapat dilanjutkan dilaksanakan dengan Acara Peradilan Anak di persidanagan. Batas umur 12 dua belas tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke
sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 dua belas tahun dianggap belum
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
173
b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pealnggaran Lalu Lintas Oleh AQJ
Kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan oleh AQJ membuatnya menjadi seorang tersangka. Hal ini disayangkan oleh ketua Komisi
Perlindungan Anak Indonesia KPAI yaitu Arist Merdeka Sirais. Menurutnya hal ini terlalu terburu-buru dan seharusnya polisi bisa menjadi fasilitator terjadinya
restoratif justice penyelesaian kasus di luar pengadilan melihat adanya upaya dari keluarga Ahmad Dhani untuk menemui keluarga korban dan berdamai. Saya
menilai Dhani, sebagai orangtua Dul sudah berupaya untuk mengisi peluang adanya restoratif justice dengan menemui keluarga korban. Dengan begitu, Dhani
yang berupaya meminta maaf atas apa yang dilakukan Dul, semestinya dilihat polisi sebagai upaya restoratif justice. Bahkan pemberian santunan sebagai tanda
permintaan maaf yang tulus dan perhatian keluarga Dul, bisa mempermulus hal itu, ujar Arist.
174
173
UU no.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak
174
Hasiloan Eko, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di Luar Pengadilan, www.tribunenews.commetropolitan20130901cara-ahmad-dhani-sebagai-
upaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB
79
Restorative justice, atau penyelesaian di luar pengadilan terhadap anak, sangat mungkin dilakukan, dan polisi seharusnya memberi peluang itu atau bahkan
memfasilitasinya dengan mengajak pihak keluarga Dul dan keluarga korban duduk bersama. Bersamaan dengan itu, pengumpulan fakta untuk proses hukum
terus dilakukan oleh polisi untuk mengantisipasi jika restorative justice tidak berhasil dilakukan. Peluang restorative justice oleh polisi ini adalah hak diskresi
polisi. Dalam dunia hukum dan perpsektif anak, sebenarnya ada peluang di mana kasus ini bisa diselesaikan secara islah atau damai dengan catatan pihak korban
mau menerimanya dan memaafkan Dul atas permintaan keluarga atau Dhani. Polisi dengan hak diskresinya harus melihat hal ini. Setelah Dul ditetapkan
menjadi tersangka oleh polisi, restorative justice masih tetap dilakukan. Syaratnya, keluarga korban sudah memaafkan, tidak menuntut, tidak merasa
dirugikan dan menerima semuanya sebagai musibah.
175
Kriminolog dari Universitas Padjadjaran Yesmil Anwar menyatakan bahwa penyelesaian kasus kecelakaan yang melibatkan Abdul Qodir Jaelani Dul
dilematis. Menurutnya, perlu kehati-hatian dari aparat penegak hukum untuk menuntaskannya. Meskipun di sisi lain, Ahmad Dhani memberi respons positif
dan akan bertanggung jawab pada keluarga korban. Bila pihak Ahmad Dhani dan keluarga para korban sepakat berdamai, itu merupakan hal positif. Hal itu sah
secara hukum. Namun, ia menyatakan bahwa musyawarah itu juga harus menyertakan polisi sebagai penegas perdamaian antara dua pihak. Sebaliknya, bila
175
Ana Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru,megapolitan.kompas.comread20130910 0839160penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul
19.00 WIB
80
pihak Ahmad Dhani dan keluarga korban berdamai tanpa sepengetahuan polisi, hal itu akan sia-sia.
176
Dalam kasus ini, pihak Ahmad Dhani mencoba mendekati keluarga korban dengan cara mengunjungi keluarga korban mati dan korban luka-luka. Hal ini
dilakukan pihak AQJ sebagai itikad baik untuk mempertanggungjawabkan perbuatan AQJ secara damai. Salah satu korban luka-luka bernama Nugroho
Brury mengaku mendapatkan santunan dari pihak AQJ, santunan itu sebesar 18 juta per enam bulan. Selain itu, ketika korban masuk rumah sakit, Ahmad Dhani
selaku orangtu AQJ membantunya dengan melunasi semua biaya perawatan hingga keluar dari rumah sakit.
Sejauh ini untuk tanggung jawabnya saya puas sekali ya, kita nggak merasa dipersulit. Segala urusan dipermudah, urainya ketika
diwawancarai oleh media online detik.
177
Proses islah yang dilakukan oleh pihak AQJ nyatanya tidak berpengaruh terhadap penghentian proses peradilanya. Proses restorative justice yang
dilakukan Ahmad Dhani dan keluarga korban, tidak menghentikan proses peradilan AQJ dan akhirnya pada tanggal 16 Juli 2014, sidang pembacaan putusan
AQJ dilakukan. Dalam tuntutan jaksa penutut umum, putra bungsu Dhani itu dituntut dua tahun masa percobaan dan satu tahun penjara. Apabila selama masa
176
Oris Riswan, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com read20130912526864873dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel ini diakses
pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB
177
Maulidi Riswoyo, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan, Hot.detik.comread201310161425102387032230korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-santunan-
rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB
81
percobaan dua tahun tersebut AQJ Dul melakukan perbuatan melanggar hukum, maka dia akan menjalani hukuman kurungan satu tahun penjara.
178
Dalam sidang pembacaan putusan, AQJ ditetapkan bebas oleh majlis hakim Jakarta Timur, vonis ini berbanding terbalik dari keputusan jaksa penuntut umum
JPU yang menuntut Dul dengan tiga dakwaan kumulatif Pasal 310 Undang- Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Dakwaan pertama yakni Pasal 310 ayat
4, kedua Pasal 310 ayat 2 dan 3 dan ketiga, Pasal 310 ayat 1. Ancaman hukuman dalam pasal ini terendah satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun
serta denda Rp 5 juta subsider tiga bulan kerja sosial. Sementara maksimal enam tahun penjara
.
179
Ketua Majelis Hakim yaitu Pertianti, membacakan putusan dengan mengungkapkan beberapa pertimbangan mengapa membebaskan terdakwa.
Majelis hakim tidak sependapat jika terdakwa diberikan pidana bersyarat. Pengamatan majelis, terdakwa masih dapat dibina untuk meperbaiki
kesalahannya. Adapun pertimbangan lain mengacu pada UU No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak. Lebih lanjut Petrianti menambahkan, ada beberapa
pertimbangan lainnya yaitu telah terjadinya perdamaian antara korban dan keluarga besar terdakwa. Para korban dan keluarga korban tidak ingin kasus ini
dibawa ke ranah hukum karena sudah diselesaikan secara kekeluargaan. Keluarga terdakwa secara sungguh-sungguh menyatakan tanggung jawab. Di mana
178
Gusti Sawabil, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com metropolitan20140716dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses pada 13 Maret
2015 pukul 19.20 WIB
179
Tri Harnigsih, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas, www.sayangi.comgayahidup1selebritiread25306tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-akhirnya-
divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB
82
keluarga terdakwa, telah menanggung biaya pengobatan, pendidikan anak korban, dan pemakaman para korban. Usai membacakan beberapa pertimbangan lainnya,
Petrianti akhirnya memutuskan bahwa AQJ dinyatakan bebas dan akan dikembalikan kepada kedua orangtuanya, karena masih di bawah umur.
180
Selain itu, hakim juga menolak hukuman bersyarat dari jaksa agar AQJ menjalani kerja sosial dan denda Rp5.000.000. Hakim menyatakan AQJ
menunjukkan sikap sopan dan bertindak baik selama menjalani persidangan, serta dianggap bukan anak yang nakal. Majelis hakim menganggap AQJ kurang
perhatian orang tua sehingga masih bisa diberikan pembinaan. Hakim mempertimbangkan hal lain yang meringankan hukuman AQJ karena adanya
perdamaian antara keluarga terdakwa dengan para korban. Keluarga terdakwa dianggap bertanggung jawab menanggung biaya pengobatan dan pemakaman para
korban yang luka maupun meninggal dunia. Bahkan keluarga AQJ bersedia menanggung biaya pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban yang
meninggal dunia. Fetrianti mengungkapkan kasus AQJ tergolong restoratif justice dengan mempertimbangkan pergantian Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 tentang peradilan anak yang diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012.
181
Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kecelakaan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa islah atau upaya damai yang dilakukan oleh
pihak AQJ dan keluarga korban berguna sebagai pertimbangan hakim. Hal ini
180
Ibid.
181
Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas, bandung.bisnis.comread2014071634247513075kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-ahmad-
dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB.
83
dapat terlihat ketika proses restorative justice yang dilakukan oleh pihak AQJ tidak menghentikan proses peradilan. Sebagaimana dalam UU no.11 tahun 2012,
apabila proses disversi dalam mewujudkan keadilan restoratif tidak tercapai, maka proses peradilan anak tetap dilanjutkan dalam acara peradilan pidana anak.
182
Namun proses disversi tersebut bukanlah sesuatu yang sia-sia, hakim dalam menetapkan keputusanya menjadikan islah para pihak sebagai pertimbangan, yang
akhirnya menjadikan sebuah keputusan yang bermamfaat bagi semua pihak.
c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum Positif
Kecelakaan lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ adalah bentuk pelanggaran lalu lintas, yang dalam hal ini ia dikenakan pasal 310 ayat 1-4. Kitab Undang-
undang Hukum Pidana menjelaskan bahwa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas adalah berupa pidana penjara,
pidana kurungan, pidana denda maupun pengumuman putusan hakim. Lamanya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tergantung kepada akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Semakin berat akibat tindak pidana kecelakaan lalu lintas tersebut, maka ancama pidanya semakin lama juga.
Pengaturan tersebut terdapat dalam pasal 359, 360, dan 361. Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
ini, adapun sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana kecelakaan lalu lintas terdiri atas pidana penjara, pidana kurungan maupun denda. Pemberian
182
Pasal 13 UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.
84
pidana tersebut tergantung kepada jenis kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pelaku, baik kecelakaan lalu lintas ringan, kecelakaan lalu lintas sedang,
maupun kecelakaan lalu lintas berat.
183
Status AQJ yang masih berusia 13 tahun mengkatogerikan dirinya sebagai anak-anak. Setelah diterbitakannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, telah
diatur secara khusus tentang hukum pidana materil, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana bagi anak yang telah melakukan tindak pidana. Oleh
karena itu, Undang-undang No 3 tahun 1997 merupakan hukum yang khusus lex spesialis dari hukum yang umum lex generalis yang tertuang dalam kitab
Undag-undang Hukum Pidana KUHP dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Acara Pidana KUHAP.
184
Kemudian pada tahun 2012, pemerintah menggeluarkan UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak,
menggantikan UU No. 3 tahun 1997. Dalam UU No.11 tahun 2012, keadilan restoratif dapat dilakukan oleh para
pihak yang berperkara. Keadilan restoratif yang dilakukan tentu bertujuan untuk memberikan hal baik, bagi anak maupun bagi korban. Menurut pasal 1 UU No.11
tahun 2012 keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
183
Hotmarta Adelia, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan Studi Kasus
Pengadilan Negeri Medan, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014, hlm.22
184
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, cet -1, hlm.75
85
Di luar konteks hukum peradilan anak, keadilan restoratif memang memiliki banyak mamfaat serta efektifitas bagi para pihak. Mamfaat dan efektifitas yang
paling dirasakan oleh para pihak adalah bahwa pelaku tindak pidana tidak harus membayar kes
alahanya melalui pemenjaran, korban pun tidak “dimamfaatkan” sebagai saksi yang akhirnya hanya bisa menerima takdir atas musibah yang ia
terima tanpa mendapatkan ganti rugi ataupun pemulihan, sedangkan yang pelaku kejahatan hanya membayar kesalahanya dengan pemenajraan, meninggalkan
korban tanpa memikirkan dampak kejahatanya terhadap diri korban yang menderita, baik fisik maupun psikologis. Dalam restorative justice, pelaku
kejahatan dan korban dapat bersama-sama menentukan jalan keluar yang menguntungkan bagi mereka.
185
Keadilan restoratif tentu dapat dilakukan, tetapi harus tetap memperhatikan kriteria yang ada. Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis
dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya strafsoort, berat
ringan pidana straftmaat, cara bagaimana pidana dilaksanakan strafmodus, dan kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek
sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku, latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah
pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan
185
Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus
2013. hlm.12
86
atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.
186
Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, tentu saja islah atau perdamaian para pihak dapat dilakukan, selain karena usia AQJ yang masih
anak-anak dan harus menggunakan UU No.11 tahun 2012, perbuatan serta sikap AQJ juga memenuhi kriteria dalam aspek sosilogis dan yuridis untuk dilakukanya
sebuah keadilan restoratif. Islah yang dilakukan pihak AQJ dan korbanya tidak hanya membuat AQJ
bebas dari hukuman disebabkan usianya yang masih muda dan masih memiliki masa depan yang panjang, tetapi islah juga membuat para korban menjadi lebih
tenang disebabkan oleh pihak AQJ yang bertanggung jawab. Saat menggelar jumpa pers dikediamanya pada tanggal 10 Januari 2014 Pondok Pinang Jakarta
Selatan, Ahmad Dhani selaku ayah AQJ mengatakan bahwa besok sore keluarga para korban selamat di undang kerumahnya untuk membicarakan seputar
santunan yang diminta agar tidak diberikan perbulan lagi, tetapi diakumulasikan. Mereka ini mohon tidak lagi diberi santunan bulanan tapi langsung dalam
nominal tertentu untuk membuka usaha, bisnis. Alhasil kami berhasil kumpulkan sejumlah uang yang diminta. Saya, Al, El, Dul, Mulan, Safeea, kami berenam
bareng-bareng ya, pas korbannya enam, selain itu, untuk korban meninggal, pihak AQJ masih menjalankan tanggung jawabnya dengan memberikan santunan
hingga anak-anak korban selesai sekolah. Yang selamat iya sudah selesai. Tapi
186
Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40
87
kalau korban yang jadi janda, tetap akan kita santuni sampai anak sekolahnya selesai semua.”
187
Oleh karena para pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan AQJ telah sepakat atas perdamaian dan santunan yang diberikan pihak
AQJ, maka tujuan dari sistem restorative justice telah tercapai. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yunan Hilmi dalam jurnal hukum Rechtsvinding, bahwa tujuan
akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian
perkara pidana yang menguntungkan semua pihak.
188
d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum Pidana Islam
Dalam hukum pidana Islam, islah dapat diterapkan berdasarkan landasan hukum yang termuat dalam Al-
Qur’an, antara lain adalah surat Al-Baqarah ayat 178 :
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qisash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa
187
Agus Prianto, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www. kapanlagi.comshowbizselebritikorban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-50-juta-
2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB
188
Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan
Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04
88
yang mendapatkan suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah yang diberi maaf
membayar diat kepada yang member maaf dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih.” Pada kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, perbuatan yang ia lakukan
menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka. Dalam perspektif hukum Islam, perbuatan yang dilakukan oleh AQJ dikenakan jarimah qisash. Namun,
usia AQJ yang masih dibawah umur membuatnya tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana. Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur tindak
pidana untuk jarimah dapat dibedakan tiga bagian, yaitu: Pertama unsur formal al-rukn al-
syar’i, kedua unsur material al-rukn al-madi, ketiga unsur moral al-rukn al-adabi.
189
Al-rukn al- syar’i atau unsur formil yaitu unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi kepada pelaku tindak pidana.
Kemudian Al-rukn al-madi atau unsur materil ialah unsur yang menyakatan bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti melakukan
sebuah jarimah, baik yang bersifat positif aktif dalam melakukan sesuatu, maupun yang bersifat negatif pasif dalam melakukan sesuatu. Sedangkan, Al-
rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak di bawah umur, atau sedang
berada di bawah ancaman.
190
189
M.Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.2
190
Ibid. hlm.3
89
Adapun jika ada perbedaan pendapat, apakah AQJ sudah mumayiz atau masih dalam kategori anak-anak, maka perbuatan AQJ pun tidak dapat dikenakah
jarimah qisash disebabkan bahwa kecelakaan lalu lintas tersebut adalah ketidaksengajaan. Menurut Abdul Qadir Audah, yang dapat menyebabkan
gugurnya „uqubah hukuman dalam syari’at yaitu, Pertama, pelaku kejahatan
jani meninggal dunia. Akan tetapi jika hukuman itu adalah hukuman maliyah seperti diyat, tentu saja tidak dapat menggugurkan hukumanya, seperti dalam
kasus tindak pidana qatl alkhata’ pembunuhan tidak sengaja maka hukuman
terhadap hartanya tetap harus dijalankan. Kedua, qisash dan diyat menjadi gugur apabila kedua belah pihak melakukan islah. Fuqaha sepakat bahwa qisash menjadi
gugur jika para pihak melakukan islah. Untuk perkara qisash, jika terjadi islah, maka kadar pelaksanaan islah boleh melebihi diyat ataupun boleh juga lebih
ringan dari pada diyat, karena ia tidak ada sangkut pautnya dengan harta. Namun, islah dalam perkara diyat tidak boleh dilakukan melebihi dari yang telah
diwajibkan diyat, karena kelebihan terhadap diyat dihitung sebagai riba. Ketiga, hukuman dapat gugur jika pelaku mendapat maaf afw dari korban atau
walinya.
191
Meskipun hukuman qisash dan diyat tidak dapat dijatuhi oleh sebab tidak terpenuhinya unsur-unsur qisash karena AQJ masih dibawah umur dan
dikhawatirkan terdapat syubhat, AQJ tetap dikenakan hukum, yakni dengan jarimah ta’zir. Menurut Nurul Irfan dalam bukunya yang berjudul Fiqih Jinayah,
sanksi yang diberikan dalam jarimah ta’zir dapat bermacam-macam, dari sanksi
191
Arif Hamzah, Tesis, Konsep Ishlah Dalam Perspektif Fikih, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008. Hlm. 63.
90
yang ri ngan, hingga sanksi yang berat. Sanksi ta’zir yang berkaitan dengan badan
dapat berupa hukuman cambuk, ataupun mati. Selain itu, hukuman ta’zir juga dapat berupa penjara, pengasingan, pembayaran denda, perampasan penyitaan,
hingga peringatan tertulis, nasihat, celaan, pemecatan, pengumuman kesalahan, dsb.
192
Adapun tujuan dan syarat- syarat sanksi ta’zir yaitu, pertama, sebagai upaya
preventif pencegahan, hal ini ditujukan bagi orang lain yang belum melakukan jarimah, kedua, untuk membuat jera represif, dimaksudkan agar pelaku tidak
mengulangi perbuatan jarimah di kemudian hari. Yang ketiga adalah adanya islah kuratif
, ta’zir harus mampu membawa perbaikan perilaku terpidana di kemudian hari. Dan yang terakhir adalah sebagai upaya edukatif pendidikan, yang
diharapkan dapat mengubah pola hidup ke arah yang lebih baik.
193
Dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan kematian para korban oleh AQJ, yang kemudian pihak AQJ mepertanggungjawabkan
perbuatanya dengan cara melakukan islah kepada para pihak dan memberikan santunan kepada para korban, hal ini lah yang kemudian membuat hakim harus
mempertimbangkan 2 hal, yang pertama adalah bahwa AQJ masih dalam usia anak-anak, dan yang kedua adalah pihak AQJ telah melakukan islah dengan para
korban. Sehingga, hukuman ta’zir yang diberikan hakim kepada AQJ menjadi hukuman yang ringan, yakni dikembalikan kepada orang tua, untuk dididik dan
diarahkan agar pola hidup serta masa depanya menjadi lebih baik.
192
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.147
193
Ibid. hlm.142
91
Pengembalian AQJ kepada orangtuanya oleh hakim, dengan pertimbangan karena islah yang dilakukan para pihak, tidaklah bertentangan dengan hukum
pidana Islam. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Al-
Nasa’i dan Al-Baihaqi, dari Aisyah ra, bahwa Nabi bersabda :
ع ْنع ئ
ش ل ق ْنع هَّل يضر
ل ق ْ ّص هَّل لْ سر
َّ أ مَّس هْيّع هَّل
ّيق ي
د حْل َّإ ْم رثع ْي ْل
“Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perubuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud
.” Hal ini sejalan dengan pendapat Abdul Qadir Audah yang menyatakan
bahwa, hukuman hudud, qisash, diyat tidak boleh diubah-ubah oleh hakim, sedangkan ta’zir dapat disesuaikan. Objek pertimbangan hakim dalam bidang
hudud, qisash, diyat hanya sebatas pada tindak pidananya, bukan pelakunya. Sedangkan pada hukuman ta’zir, untuk memaafkan atau memberatkan hukuman
dapat dilihat dari dua sisi, yakni tindak pidana yang dilakukan serta siapa pelaku tindak pidana tersbut.
194
194
M. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqih Jinayah, cet I , Jakarta : Hamzah, 2013, hlm.140
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis paparkan tentang penyelesaian tindak pidana melalui islah dalam hukum positif dan hukum pidana Islam, serta analislis islah
dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, maka banyak hal yang sebenarnya dapat ditarik kesimpulan. Berikut adalah beberapa point penting yang menjadi inti
dari pembahasan skripsi penulis. 1. Islah dalam hukum positif merupakan penyelesaian perkara di luar pengadilan
dikenal dengan disebut Alternative Dispute Resolution disingkat ADR adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai bentuk penyelesaian sengketa selain
dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi
atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. kebijakan ini juga dikenal dengan keadilan restoratif restorative justice. pada umumnya
hukum pidana positif tidak mengenal keadilan restoratif, namun pada preakteknya hal ini dapat dilakukan, yakni melalui jalur perdamaian yang
dilakukan para pihak dengan menggunakan wewenang kepolisian sebagai penengah dan mewujudkan keadilan restoratif, karena aparat kepolisian
memiliki hak diskresi. 2. Dalam hukum pidana Islam, islah Konsep islah dikatakan banyak terjadi
kemiripan dengan al’afwu. Namun, dari Islah dan al’afwu berbeda secara
93
definisi maupun konseptual. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa ishlah merupakan satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh
masing-masing pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh pihak ketiga dan berakhir dengan kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian diantara kedua
belah pihak. Sedangkan al’afwu adalah media penyelesaian perkara kejahatan
qisash dengan melepaskan hak qisash dari korban kepada pelaku, yang masih memungkinkan dilakukan qisash. Islah dalam hukum pidana Islah dapat
dilakukan melalui lembaga pemaaf, yakni dengan adanya seorang hakam sebagai penengah pendamai diantara kedua pihak yang berperkara. Hak iIslah
diberikah kepada ahli waris korban maupun si korban yang masih hidup. Dalam pelaksanaanya, islah dapat dilakukan untuk jarimah qisash, diyat, serta
jarimah ta’zir. Sedangkan untuk jarimah hudud, tidak dibenarkan karena hudud merupakan hak Allah dan sangat jelas aturanya dalam Nash.
3. Islah yang dilakukan para pihak dalam kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ menjadi pertimbangan hakim. Baik ditinjau dalam hukum
positif maupun hukum pidana Islam. Dalam hukum positif, kasus AQJ tetap disidangkan hingga proses pembacaan vonis, yang artinya, proses islah tidak
menghentikan penyidikan kasus, tetapi islah menjadi pertimbangan hakim ketika memutuskan dan mengembalikan AQJ kepada kedua orangtuanya.
Dalam hukum pidana Islam, islah yang dilakukan para pihak pun menjadi pertimbangan hakim karena kasus AQJ termasuk dalam jarimah ta’zir.
94
B. Saran-saran
Setelah penulis manarik kesimpulan dari uraian skripsi ini, penulis memberikan saran-saran sebagai berikut.
1. Seharusnya, para pembuat undang-undang di negeri ini, lebih memperhatikan keadaan korban dan pelaku, tidak hanya mengedepankan kepentingan negara.
Korban dan pelaku harus sama-sama dipulihkan, korban tidak boleh hanya dijadikan sebagai saksi dan kemudian ditinggalkan pelaku yang menjalani
hukuman, sedangkan korban sendiri menderita kerugian yang harus ia tanggung sendiri.
2. Konsep islah dalam hukum pidana Islam telah ada, jauh sebelum hukum positif lahir. Konsep islah dalam hukum pidana Islam seharusnya dapat menjadi
pertimbangan para penegak hukum untuk membuat undang-undang kearah yang lebih baik.
3. Dalam melakukan islah, hendaknya pemerintah membuat standar pelaksanaan, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan penegak hukum dalam
menengahi penyelesaian perkara pidana. Kejadian islah seperti kasus AQJ hendaknya menjadi pelajaran dan menjadi koreksi agar islah dapat berjalan
lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
A.Wahid, Yani, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.
A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 2010.
Alghifarri, Aqsa, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH Jakarta, 2012.
Dirdjosisworo, Soedjono, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung : Armico, 1984
Emerzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005 Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII.
Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013. Irfan, Nurul, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Amzah, 2014. Irfan, Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012.
Irsan, Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005. Kamil, Ahmad, Fauzan M, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008.
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam
Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi, UIN Sunan Kalijaga, 2014 Lamintang, P.A.F dan Samosir, Djisman, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan
Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992.