Kedudukan islah dalam menyelesaikan tindak pidana menurut perspektif hukum positif dan hukum pidana islam (studi analisis pelanggaran lalu lintas oleh AQJ)

(1)

KEDUDUKAN ISLAH DALAM MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA

MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN

HUKUM PIDANA ISLAM

(Studi Analisis Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

ANNISA RAHMI FAISAL NIM : 1111045100004

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

ABSTRAK

Annisa Rahmi Faisal 1111045100004, Jurusan Kepidanaan Islam, Prodi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1436 H/ 2015, vii + 94 halaman.

Penelitian ini berjudul “Kedudukan Islah Dalam Menyelesaikan Tindak Pidana Menurut Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ). Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran tentang kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana di Indonesia dan dalam hukum pidana Islam. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa penelitian pustaka (library research). Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari KUHP, Undang-undang, serta kitab fiqih. Dan data sekunder diperoleh dari buku-buku hukum yang ditulis oleh para ahli hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukan bahwa islah dalam penyelesaian tindak pidana dapat dilakukan sebagai jalan keluar yang baik, tanpa melalui proses persidangan dan menguntungkan para pihak yang terlibat baik korban maupun pelaku kejahatan. Secara spesifik islah tidak diatur dalam hukum positif Indonesia, namun proses penyelesaian islah sudah lama dikenal sebagai keadilan restoratif (restoratif justice), proses islah dalam hukum positif hendaknya diketahui penyidik agar dapat menghentikan proses peradilan ke pengadilan. Dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang diskresi kepolisian, polisi mempunyai pijakan yuridis untuk menetapkan filosofi

restoratif justice. Adapun tindak pidana yang dapat diselesaikan secara islah adalah tindak

pidana ringan serta tindak pidana oleh anak, namun pada praktiknya tindak pidana sedang dan beratpun tidak menutup kemungkinan para pihak untuk melakukan islah. Pada tindak pidana anak sebagaimana yang diatur dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak menegaskan konsep keadilan restoratif sebagai jalan keluar permasalahan, hal ini ditujukan untuk mempebaiki keadaan si anak. Sedangkan dalam hukum Islam, konsep islah sudah lama ada sejak jaman Rasulullah, sebagaimana keterangan dari Q.S.Al-Hujurat ayat 9, Q.S Al-Baqarah ayat 178, serta beberapa hadis Nabi yang melegalkan islah. Dalam hukum

pidana Islam, islah dapat dilakukan atas jarimah Qisash, Diyat dan Ta’zir, adapun dalam

jarimah Hudud hal ini masih menjadi pro-kontra para fuqaha, karena dalam hudud terdapat hak Allah dan ketentuan hudud telah diatur secara jelas dan rinci hukumanya dalam

Al-Qur’an. Kesimpulanya adalah islah merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap baik karena menguntungkan para pihak serta dapat memperbaiki keadaan sosial suatu masyarakat. Kata kunci : Islah, Kedudukan Islah, Islah Dalam Penyelesaian Tindak Pidana.


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pemilik alam semesta beserta isinya, yang telah memberikan kemudahan serta ilmu yang bermamfaat. Tak lupa shalawat serta salam akan kerinduan yang teramat dalam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah memberikan cahaya serta pertolongan kepada umat muslim hingga akhir zaman.

Alhamdulillah, skripsi yang berjudul “KEDUDUKAN ISLAH DALAM

MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu Lintas AQJ) telah selesai. Skripsi ini merupakan sebuah bentuk akhir dari semua usaha yang penulis lakukan selama 3 tahun lebih belajar di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang semoga dapat bermamfaat bagi penulis juga pembaca. Tak sedikit kesulitan serta halangan ketika penulisan ini dilmulai, namun semua itu bisa teratasi dengan baik karena dukungan serta arahan dari berbagai pihak yang selalu dengan sabar membantu penulis.

Penulis menyadari dalam hal apapun tidak ada yang sempurna, apa lagi hanya sebuah karya skripsi ini yang penulisnya pun masih dalam proses belajar kearag yang lebih baik. Namun dari semua itu, yang paling diutamakan adalah usaha serta kerja keras yang sudah penulis lakukan untuk menyajikan wacana keilmuan dalam skripsi ini. Tentunya hal tersebut tidaklah mungkin dapat terjadi jika tanpa bantuan para pihak, oleh sebab itu penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :

1. Kepada pak Dr. Phill. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah


(7)

2. Kepada Ibu Masyrofah, S.Ag, M.Si, selaku ketua prodi Jinayah Siyasah, dan Ibu Rosdiana,M.A selaku sekretaris prodi Jinayah Siyasah, kepada keduanya yang telah memberikan banyak arah serta motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Kepada Pak Dr.H. M. Nurul Irfan, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia meluangkan banyak waktu, arahan, kritik dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini sehingga skripsi ini menjadi lebih baik.

4. Kepada Pak Qosim Asryadani, M.A, selaku dosen pembimbing akademik, yang telah membimbing dengan penuh kesabaran layaknya seorang ayah.

5. Kepada dosen hukum penulis, yaitu Dr. Alfitra, M.H selaku dosen hukum pidana yang sudah memberikan banyak masukan serta pengertian kepada penulis.

6. Kepada semua dosen Jinayah Siyasah yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Semoga ilmu yang mereka berikan dapat selalu bermamfaat.

7. Kepada Ibunda tercinta yakni Dahliawati, S.Pd yang telah banyak sekali memberikan hal-hal berarti kepada penulis. Terimakasih karena selalu memberikan doa, motivasi, serta pelajaran hidup kepada penulis. Semoga ibunda selalu sehat dan bangga akan anak-anaknya.

8. Kepada Ayahanda Ma’mun Faisal, S.Pd yang telah dengan sabar membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, dan kepada semua keluarga penulis, yang telah memberikan dorongan serta dukungan yang penuh kasih sayang.

9. Kepada semua sahabat-sabahat terbaik Jinayah Siyasah : Fachria, Nurhayati, Dewi, dan Novi yang telah banyak memberikan dukungan selama kuliah dan selama penulisan skripsi ini, juga kepada teman-teman sejawat di Jinayah Siyasah dan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mendoakan serta mendukung penulis.


(8)

10. Kepada senior Jinayah Siyasah, Waskita Agung Nugroho yang selalu mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis, serta telah memberikan banyak pengarahan semenjak penyusunan prosal hinggal skripsi. Serta untuk senior lainya baik dari Jinayah Siyasah maupun PMII.

Terimakasih untuk semua pihak yang telah membantu penulis, semoga kebaikan mereka semua dapat balasan yang indah dari Allah SWT. Kepada mereka, penulis hanya bisa mendoakan, agar mereka semua selalu sehat dalam rahmat dan keberkahan Allah SWT. Akhir kata, semoga kerja keras penulisan skripsi ini dapat bermamfaat untuk semua pihak, baik pembaca, penulis, maupun praktisi hukum.

Jakarta, 30 April 2015.

Penulis


(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...i

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI...ii

HALAMAN SURAT PERNYATAAN...iii

KATA PENGANTAR...iv

ABSTRAK...vii

DAFTAR ISI...ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……..………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…...………...………..9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...………...…………..10

D. Tinjauan Pustaka………..………11

E. Metode Penelitian………..………..13

F. Sistematika Penulisan………..………14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA A. Islah dan Perdamaian Para Pihak………17

a) Pengertian Islah dan Perdamaian………17

b) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah………..18

c) Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah………25

d) Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana………..32

B. Tindak Pidana dan Pemidanaan………..35

a) Pengertian Tindak Pidana………35


(10)

c) Unsur-unsur Tindak Pidana………42

d) Tujuan Pemidanaan………45

BAB III : KEDUDUKAN ISLAH DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

a. Islah Menurut Hukum Pidana Islam………..….49 b. Urgensi Islah Dalam Hukum Pidana Islam………....52 c. Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah Dalam Hukum Pidana Islam...58

d. Efektifitas Islah Dalam Hukum Pidana Islam………69

BAB IV : PENYELESAIAN KASUS PIDANA ANAK MELALUI ISLAH

a. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dan Konsep Pertanggung

Jawaban Pidana Anak……….73

b. Kedudukan Islah Dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran Lalu Lintas

Oleh AQJ………79

c. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam hukum

positif………..84

d. Efektifitas Islah Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh AQJ dalam Hukum

Pidana Islam………...88

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………92

B. Saran………..94


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara Konvensional hukum dibagi menjadi hukum publik dan hukum privat, dan hukum pidana adalah bagian dari hukum publik. Hal ini berlaku dewasa ini, dahulu di Eropa dan juga di Indonesia tidak dipisahkan hukum publik dan hukum privat. Gugatan baik dalam bidang yang termasuk hukum publik sekarang ini maupun yang termasuk hukum privat, diajukan oleh pihak-pihak yang dirugikan. Terkenanlah adagium bahasa Jerman, “wo kein klager ist, ist kein

richter” (jika tidak ada aduan maka tidak ada hakim).1

Dalam fungsinya sebagai pelindung kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai, adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban, dan keseimbangaan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuan tersebut, hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara

memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.2

Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak

1

A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif Watampone, 2010, hlm.7

2

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005, hlm. 77


(12)

dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu kepentingan manusia akan berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang kurang jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukum agar aturan hukum dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Sehingga dapat mewujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang

mengandung aspek keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.3

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam kebijakan penegak hukum. Disamping itu, karena tujuan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegak hukum inipun termasuk kedalam kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sebagai suatu masalah yang termasuk masalah kebijakan, penggunaan hukum pidana sebenarnya bukan merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan, karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Dengan demikian, masalah pengendalian atau penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana bukan hanya merupakan problem sosial, tetapi juga masalah kebijakan (the problem of policy).4

Selain itu, tujuan umum dari hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia), melindungi kepentingan masyarakat dan Negara dengan perimbangan yang serasi dari suatu tindakan tercela atau kejahatan di satu pihak dari tindak penguasa

3

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti

dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers,2006, hlm 28. 4


(13)

wenang dilain pihak.5 Dalam kondisi masyarakat yang sedang membangun, fungsi hukum menjadi sangat penting, karena berarti harus ada perubahan secara berencana. Untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat, pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan berbagai

alat yang ada padanya. Salah satu alat itu adalah “hukum pidana”. Dengan hukum

pidana, pemerintah menetapkan perbuatan-perbuatan tertentu sebagai tindak pidana baru.

Hukum sebenarnya hadir untuk menyelesaikan conflic of human interest dan melalui pendekatan hukum inilah konflik yang tidak selesai melalui perdamaian dapat diperkarakan melalui jalur peradilan. Perdamaian mengakhiri pertikaian ditandai oleh tercapainya keadilan dengan saling memaafkan, sedangkan peradilan mengakhiri perseteruan dengan ditandai oleh tercapainya keadilan yuridis-individualis yakni ditentukan terbukti-tidaknya dan benar-salahnya suatu perbuatan oleh hakim. Dalam memecahkan masalah hukum, secara keperdataan, setiap orang akan lebih puas dan terpenuhi rasa keadilannya bila mampu menyelesaikannya melalui lembaga perdamaian. Karena perdamaian merupakan jalan yang menguntungkan para pihak dan bukan menguntungkan salah satu pihak semata. Perdamaian merupakan win-win solution bagi setiap konflik yang dialami manusia.6

Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal

5

www.fhunram.com 6

Moh Rifqi, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam


(14)

yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu : keadilan, kemamfaatan dan kepastian hukum.7 Meskipun demikian, dalam tataran prakteknya, sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi sekaligus. Adapaun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian dikenal dengan istilan win lose solution, dimana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara

umumnya kerap menimbulkan suatu rasa “tidak enak” dibenak pihak yang kalah,

sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut. Hal

ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi ketentuan.8

Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute

Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai

bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia) untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan putusan yang tepat atau memuaskan. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani melalui

7

Sudikimo Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1997,

hlm.98. 8

Joni Emerzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, hlm. 3


(15)

adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau Arbitrase itu memakan waktu yang panjang, biaya yang tidak kecil, penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.9

Dalam kenyataanya di masyarakat, praktek perdamaian antara korban dan pelaku tindak pidana banyak dilakukan tidak hanya dalam pelanggaran terharap ketentuan adat tetapi dalam tindak pidana pada umumnya. Penyelesaian konflik dengan jalan damai merupakan nilai kultural yang dimiliki masyarakat Indonesia seperti dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa budaya hukum di Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyakarat, mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam menyelesaikan konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, terutama dalam masyarakat Jawa dan Bali.10

Islah memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja

9

Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 19.30 WIB

10

Wukir Prayitno, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991, hal. 21.


(16)

perdamaian dan perundingan.11 Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, Islah merupakan pilihan yang menjadi hak prerogratif dari korban maupun ahli warisnya.12

Penyelesaian perkara tindak pidana melalui islah juga terterap dalam hukum Islam, hal ini dapat kita lihat dari beberapa nash yang dijadikan landasan islah, antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang asrtinya : “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Serta dalam surat Al-Baqarah ayat 224 yang artinya : “Jangahlah kamu

jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan islah di antara manusia[139]. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Proses islah terjadi karena adanya perspektif yang berubah dari korban dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan perspektif ini menyebabkan cara yang penyelesaian yang ditempuh pun berubah tergantung kondisi dan keinginan korban. Tetapi perubahan perspektif ini berpengaruh terhadap proses pemeriksaan kesaksian di pengadilan, dimana dalam beberapa keterangannya saksi-saksi cenderung mengubah “perspektifnya” atas peristiwa yang terjadi. Selama proses pemeriksaan saksi, alasan yang dikemukakan untuk mengubah keterangan atau mencabut keterangan dalam BAP adalah karena alasan emosional

11 A. Yani Wahid, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001.

12

Tim Penyusun Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal 08 oktober 2014


(17)

saksi yang disebabkan oleh situasi psikologis saksi sebelum melakukan islah dan setelah melakukan islah. Contoh islah dapat kita lihat dalam Kasus HAM di

Tanjung Priok, alasan para saksi melakukan koreksi (revisi) atau “perbaikan”

keterangan tersebut disebabkan karena pada saat diperiksa oleh Kejaksaan Agung para saksi tersebut belum melakukan islah dan masih dendam terhadap tentara, sehingga pada waktu memberikan keterangan, saksi sengaja merekayasa keterangannya. Atas keterangan ini memang majelis hakim telah memperingatkan saksi agar memberikan keterangan sebagaimana yang dialaminya. Namun, peringatan majelis hakim ini tidak pernah dihiraukan oleh para saksi dan koreksi (revisi) keterangan ataupun perbaikan keterangan ini tetap saja berlanjut dalam pemeriksaan-pemeriksaan saksi berikutnya.13

Islah juga pernah terjadi pada tahun 2013, yaitu yang dilakukan Ahmad Dhani kepada keluarga korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi akibat sang anak yaitu Abdul Qadir Jaelani/ AQJ (Dul). Dalam kasusnya, ia melanggar UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan khususnya Pasal 281 atas pelanggaran terhadap Pasal 77 Ayat (1). Sanksi pidanya adalah pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Akibat kecelakaan ini 7 orang meninggal dunia, maka Dul juga dapat dituntut dengan menggunakan Pasal 310 Ayat (4) atas pelanggaran terhadap Pasal 229 Ayat (4) UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sanksinya adalah pidana penjara maksimal 6 (enam) tahun dan/atau denda maksimal Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah). Namun disebabkan oleh

13

Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul Monitoring

pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok. Artikel ini didapat memalui akses internet pada tanggal 08 oktober 2014


(18)

usianya yang masih 13 tahun, yaitu masih dalam kategori anak-anak, maka selama dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan negeri wajib melakukan upaya diversi. Hal ini tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam kasus ini, Islah sangatlah diperlukan, karena ancaman pidana terhadap Dul kurang dari 7 (tujuh) tahun penjara dan apa yang dilakukan Dul bukan merupakan pengulangan tindak pidana.14

Dalam wawancara media pada tanggal 09 September 2013, Kak Seto mengatakan bahwa setiap orang memang harus bertangungjawab atas perbuatannya, termasuk Dul. Tetapi hukum kita juga mengatur bagaimana seharusnya anak seusia Dul diperlakukan. berdasarkan Undang-Undang No.3/97 tentang Pengadilan Anak dan sekarang diganti dengan undang-undang No 11 tahun 2012, meskipun masih ditunda pemberlakukannya, mestinya ditempuh secara kekeluargaan (restoratif justice). Ini merupakan proses hukum juga tetapi

dengan cara perdamaian, dan pihak korban pun setuju. Artinya,

pertanggungjawaban kerugian dan pengobatan harus diselesaikan oleh pihak Ahmad Dhani.15 Namun, meski akhirnya Dul bebas, perhatian publik menuai pro-kontra.

Penyelesaian Tindak pidana melalui islah memang merupakan jalan keluar yang sangat baik, namun pada kenyataanya, penyelesaian secara islah tak selalu bisa menghentikan penyelidikan perkara dalam hukum positif oleh sebab yang

14

http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB

15

http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kak-seto-belajar-dari-kasus-dul ahmad -dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB


(19)

diatur oleh hukum, namun berbeda halnya dalam hukum pidana Islam, islah merupakan jalan yang sangat baik dan bisa dilakuan sebelum adanya keputusan dari hakim. Maka untuk menjawab problematika tersebut, penulis akan

mengusung skripsi yang berjudul KEDUDUKAN ISLAH DALAM

MENYELESAIKAN TINDAK PIDANA MENURUT PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM (Studi Analisis Kasus Pelanggaran Lalu Lintas AQJ).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Fokus masalah dalam studi ini berkisar pada bagaimanakah islah dapat dilakukan yang dalam kajianya melihat seperti apa kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana menurut hukum positif dan hukum pidana islam, serta bagaimana pandangan hukum tersebut mengenai islah dalam analisis kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ.

Dari masalah pokok diatas dapat diuraikan menjadi 3 (tiga) sub-masalah yang dirumuskan dengan pertanyaan penelitian (research questions), yaitu :

1. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam hukum positif?

2. Bagaimanakah kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana dalam hukum pidana Islam?

3. Bagaimanakah kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ?


(20)

Hukum Positif yang dimaksud penulis ialah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), dan PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) No. 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, serta Perundang-undangan lain yang terkait.

Dalam Hukum Pidana Islam, penulis meninjau penarikkan kesimpulan terharap ayat-ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk mencari apakah Islah dapat berlaku bagi semua tindak pidana, dan dari studi kualitatif bagaimana praktek islah dilakukan dalam persidangan pidana Islam.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Secara umum, studi ini ada bebrapa tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

a. merumuskan dan menjelaskan secara utuh mengenai pengertian dan

prosedur Islah dalam hukum Pidana di Indonesia.

b. merumuskan dan menjelaskan secara komperhensif prosedur islah para pihak dalam penyelesaian tindak pidana dalam perspektif hukum Islam. c. Menjelaskan kedudukan islah dalam kasus pelanggaran lalu lintas oleh


(21)

2. Manfaat Penelitian

Adapun mamfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dan menambah wawasan keilmuan yang secara

spesifik mengenai kedudukan islah dalam penyelesaian tindak pidana dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.

b. Mengetahui dalam perkara apa sajakah islah dapat dilakukan oleh para pihak dalam hukum positif dan hukum pidana Islam.

c. Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan studi komparatif untuk penelitian selanjutnya yang membahas tentang islah dan perdamaian tindak pidana.

d. Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan kontribusi pemikiran dalam merumuskan RUU KUHP di Indonesia mengenai prosedur islah/ perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana dimasa yang akan datang.

D. Tinjauan Pustaka / Penelitian Terdahulu

Sejumlah penelitian tentang topik Islah telah dilakukan, baik yang mengkaji secara spasifik sumber data yang diperoleh, isu, maupun yang menyinggung secara umum. Berikut beberapa tinjauan umum atas bagian karya-karya penelitian mengenai penyelesaian perkara tindak pidana memalui Islah

Karya ilmiah yang di susun oleh Ahmad Ramzy dengan berjudul “Perdamaian

Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan dengan

Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia”. Dalam Tesisnya beliau mengatakan

bahwa terdapat perbedaan yang sangat besar antara penyelesaian perkara pidana menurut hukum pidana Islam dan Restorative Justice mengenai tindak-pidana


(22)

yang dapat dilaksanakan perdamaian, institusinya yang dapat menyelesaikan perkara pidana secara perdamaian bisa menjadi komparasi untuk sistem peradilan pidana yang berada di Indonesia sehingga dapat terbangunnya semangat untuk menyelesaikan permasalahan perdamaian.16

Karya Ilmiah ditulis oleh Alef yang berjudul “Kedudukan Perdamaian Antara

Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem Pemidanaan.” Dalam

penelitianya beliau mengatakan bahwa dalam praktek pengadilan, perdamaian yang dilakukan anatara korban dengan pelaku tindak pidana menjadi bahan pertimbangan meringankan yang digunakan oleh sebagian besar hakim dalam menjatuhkan putusanya. Perdamaian yang dilakukan antara korban dan pelaku tindak pidana tidak dapat mengahapuskan pertanggung jawabanan atau perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa meskipun sudah memaafkan terdakwa dan tidak menuntut terdakwa atas perbuatanya, bahkan meminta petugas untuk

membebaskan terdakwa dari pemidanaan.17

Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut, maka penulis bermaksud untuk menulis skripsi mengenai islah, yang menitik beratkan tentang bagaimana kedudukan islah dalam penyelesaian perkara pidana, apakah islah dapat berpengaruh terhadap putusan hakim baik dalam persidangan hukum positif di Indonesia maupun hukum pidana Islam. Penulis pun akan menganalisis kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh AQJ, yang pada penyelesaian perkaranya dengan menggunakan upaya permadamain (islah).

16

Ahmad Ramzy, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam dan Penerapan

Restorative Justice Dikaitkan dengan Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia. Universitas Indonesia, 2012.

17

Alef Musyahadah , Tesis, Kedudukan Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku


(23)

E. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penulisan skripsi ini, karena metode penelitian dapat menentukan langkah-langkah dari suatu penulisan. Adapun metode penelitian yang digunakan sebagai dasar penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Secara tipologis, penelitian penulisan ini merupakan model penelitian dengan pendekatan Kualitatif sehingga metode yang diterapkan ialah metode kualitatif. Dalam penelitian kualitatif menurut Noeng Muhadjir diterapkan model logika reflektif, yang di dalamnya proses berfikir membuat abstraksi dan proses berfikir membuat penjabaran berlangsung cepat.18

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa penulis melakukan penelitian kualitatif berupa penelitian pustaka (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara menelaah atau mengkaji sumber kepustakaan berupa data-data primer dan sumber data sekunder yang relevan dengan pembahasan.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data kualitatif, yaitu data yang umumnya berbentuk narasi atau gambar-gambar. Dalam data kualitatif, data-data yang berupa bahan hukum terdiri dari :

a. Bahan hukum premier, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.19 Adapun bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu : KUHP dan Kitab Fiqih.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan tentang bahan

18

Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Asmawi. 19

Soejono Soekanto dan Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO, 2001), Cet V, hlm.13.


(24)

hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah buku-buku dan tulisan para ahli hukum yang sudah membahas masalah ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.20 Bahan hukum tersier adalah semua bahan yang mendukung bahan primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, artikel, dan lain-lain.

3. Tehnik Analisis Data

Analisis data yang dilakukan oleh penyusun adalah dengan menggunakan penelitian kulitatif. Dalam penyajianya, penelitian kualitatif yang khas adalah dalam teks naratif.21 Dalam melakukan analisis terhdapa sumber dan materi hukum pidana islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis. Sedangkan dalam melakukan analisis terhadap materi perundang-undangan pidana khusus dan doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normative-doktrin dengan memanfaatkan model-model interpretasi hukum.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian skripsi ini dibagi menjadi 5 (lima) bab. Bab pertama bertajuk “pendahuluan”. Dalam bab ini diuraikan pokok-pokok pikiran yang melatar belakangi penelitian ini, dan diorganisir menjadi 6 (enam) sub-bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan

20

Soejono Soekanto, Sri Mudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:IND HILLCO,

2001), Cet V, hlm.13. 21


(25)

dan mamfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul “tinjauan umum tentang tindak pidana”. Bab ini menyajikan uraian teori mengenai pengertian serta tinjauan hukum mengenai penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum positif. Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara teori yang diungkapkan oleh beberapa ahli. Uraian dalam bab ini juga menjadi landasan berpikir menganalisis hukum pidana nasional. Bab ini terdiri dari atas 2 (dua) sub-bab utama, yaitu (1) Islah dan perdamaian para pihak, (2) Tindak pidana dan pemidanaan. Pada sub-bab “Islah dan perdamaian para pihak” memuat 4 (empat) sub-bab , yaitu (a) pengertian islah dan perdamaian, (b) latar belakang penyelesaian secara islah, (c) penyelesaian tindak pidana secara islah, dan (d) efektifitas islah dan perdamaian dalam penyelesaian tindak pidana. Sedangkan dalam sub-bab kedua (2) “Tindak pidana dan pemidanaan.” memuat 4 (empat) sub-bab, yaitu (a) pengertian tindak pidana, (b) kategorisasi tindak pidana, (c) unsur-unsur tindak pidana, dan (d) tujuan pemidanaan.

Bab ketiga berjudul “kedudukan islah dalam hukum pidana Islam”. Bab ini menyajikan uraian teori mengenai pengertian, definisi serta tinjauan hukum mengenai penyelesaian masalah tindak pidana secara islah berdasarkan hukum pidana Islam. Dalam bab ini penulis akan memaparkan pengertian islah secara teori yang diungkapkan oleh beberapa fuqaha. Uraian dalam bab ini juga menjadi landasan berpikir menganalisis hukum pidana Islam. Bab ini terdiri dari atas 4 (empat) sub-bab, yaitu (1) Devinisi Islah menurut hukum pidana Islam, (2)


(26)

Urgensi Islah dalam hukum pidana Islam, (3) Penyelesaian tindak pidana secara islah dalam hukum pidana Islam, dan (4) Efektifitas Islah dalam hukum pidana Islam.

Bab Keempat berjudul “Penyelesaian kasus pidana anak melalui islah”. Dalam bab ini diuraikan analisis terhadap kasus pidana AQJ yang diselesaikan secara islah dengan menerapkan kerangka pemikiran konsep hukum, baik hukum positif maupun hukum pidana Islam, sehingga dapat dilihat dalam bentuk komparatif terhadap islah tersebut. Bab ini menyajikan 4 sub-bab, yaitu : (a) Kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ dan konsep pertanggungjawaban pidana anak, (b) kedudukan islah dalam penyelesaian kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ, (c) Efektifitas islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ perspektif hukum positif, dan (d) Efektifitas Islah kasus pelanggaran lalu lintas oleh AQJ perspektif hukum pidana Islam.

Bab kelima merupakan penutup, yang memuat kesimpulan dan saran-saran. Dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang telah dihasilkan, serta memuat saran terkait dengan penelitian selanjutnya.


(27)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

A. Islah dan Perdamaian Para Pihak a.) Pengertian Islah dan Perdamaian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat, pengertian islah adalah perdamaian, yakni tentang penyelesaian pertikaian. Sedangkan pengertian perdamaian adalah penghentian permusuhan, perselihisan, pertikaian, dsb.22

Islah atau perdamaian, memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat dengan permaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan. Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan.23

Islah adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap kejahatan yang terjadi. Dalam hal ini, islah merupakan pilihan yang menjadi hak prerogratif dari korban maupun ahli warisnya. Islah merupakan pilihan yang sifatnya voluntaristik, suka rela dan tanpa paksaan. Kedua belah pihak, baik

22

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 594.

23


(28)

korban maupun pelaku sama-sama dalam posisi tidak saling menekan dan memilih secara bebas jalan menuju islah ini.24

Islah dalam praktiknya adalah bersifat pribadi dan bilateral antara pelaku dan korban. Dalam hal pelaku dan korban jumlahnya lebih dari satu maka tetap islah ini dalam koridor perdamaian dua belah pihak. Namun, Islah inipun bersifat privat atau pribadi dan tidak bisa dilakukan penyamarataan terhadap semua korban atau pelaku. Sekali lagi bahwa islah adalah pilihan yang sifatnya pribadi antara pelaku dan korban. Munculnya pemikiran tentang islah sendiri adalah sebuah proses yang sering didahului dengan perubahan perspektif baik korban ataupun pelaku dalam mensikapi peristiwa yang terjadi. Kedua belah pihak, baik pelaku maupun korban, mengalami proses pemahaman tertentu sehingga lebih memilih proses penyelesaian melalui perdamaian dan memilih untuk bermusywarah dan

memberikan permaafan.25

b.) Latar Belakang Penyelesaian Secara Islah

Di dalam pembagian hukum konvensional, hukum pidana termasuk dalam ruang hukum publik. Artinya, hukum pidana mengatur hubungan antara warga negara dan menitikberatkan kepada kepentingan publik. Secara historis, hubungan hukum yang ada pada awalnya adalah hubungan pribadi/ privat, tetapi dalam perjalanan waktu terdapat hal-hal yang diambilalih oleh kelompok atau suku dan akhirnya setelah berdirinya negara diambilalih oleh negara dan dijadikan kepentingan umum. Hak penuntutan terhadap suatu

24

Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003, hlm. 2-3.

25 Ibid


(29)

perbuatan pidana terletak pada alat kelengkapan negara, yaitu jaksa penuntut umum.26

Salah satu karakteristik dari hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik dapat dilihat dari segi keterlibatan alat kelengkapan negara untuk menuntut setiap orang yang telah melakukan perbuatan pidana. Hukum pidana pada umumnya tidak mengenal adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan. Namun dalam kenyataannya di masyarakat, penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sering dilakukan. 27

Setiap perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang akan menimbulkan akibat negatif berupa ketidakseimbangan suasana kehidupan yang bernilai baik. Untuk mengembalikan kepada suasana dan kehidupan yang bernilai baik tersebut, diperlukan suatu pertanggungjawaban dari pelaku yang telah mengakibatkan ketidakseimbangan tersebut. Pertanggungjawaban yang wajib dilaksanakan oleh pelakunya berupa pelimpahan ketidakenakan masyarakat supaya dapat dirasakan juga penderitaan atau kerugian yang dialami. Jadi seseorang yang dipidanakan, berarti dirinya harus menjalankan suatu hukuman yang berguna untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena dinilai kurang baik dan

membahayakan kepentingan umum.28

Konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal

26

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012, hlm. 2.

27

Wukir Prayitno, Modernitas Hukum Berwawasan Indonesia, Semarang : CV.Agung,

1999, hlm.21. 28


(30)

yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yakni adalah : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.29

Secara teoritik, model peradilan pidana yang selama ini berkembang dalam masyarakat sosial, dikenal dalam dua bentuk, yakni model dalam peradilan pidana

(In of Court System) dan model di luar peradilan pidana (Out of Court System).

Model dalam peradilan pidana dimaksudkan model penyelesaian yang bertolak dari kaidah-kaidah normatif, yaitu kaidah yang secara tekstual normatif telah disepakati untuk menjadi pedoman dalam proses penanganan perkara pidana, dan dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal adanya model-model dalam sistem peradilan pidana, yakni : crime control model, due process model dan family

model. Sedangkan model di luar peradilan pidana (Out of Court System) adalah

model yang dikembangkan dari kaidah-kaidah tradisi dalam kehidupan sosial masyarakat dan atau praktik penegakan hukum, unutk menyelesaikan persoalan hukum di luar proses persidangan formal.30

Meskipun pengadilan dibentuk oleh negara untuk menyelesaikan konflik yang muncul dalam masyarakat dan bersifat netral, tetapi pengadilan bukanlah satu- satunya institusi dalam menyelesaikan konflik, karena pihak-pihak yang berkonflik tidak selamanya menggunakan mekanisme penyelesaian pada badan peradilan. Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya didapatkan di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang pengadilan.31

29

Sudikno Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta : Liberty, 1997,

hlm.98 30

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 31

31

Trisno Raharjo, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal


(31)

Adapun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaian tindak pidana melalui pengadilan, dikenal dengan istilah win lose solution, di mana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara umumnya kerap menimbulkan satu rasa “tidak

enak” di benak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke

tingkat peradilan lebih lanjut atau lebih tinggi. Hal ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walaupun sudah menjadi suatu ketentuan.32 Sehingga banyak dari masyarakat yang berhadapan dengan hukum lebih memilih jalur di luar pengadilan, yakni dengan perdamaian (islah).

Dalam konstruksi hukum pidana yang dibangun berdasar pandangan

retributif, penderitaan atau kerugian korban telah diabstraksi dan

dikompensasikan dengan ancaman sanksi pidana yang dapat dikenakan pada pelaku. Penyelesaian atas tindak pidana yang terjadipun sepenuhnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum. Abstraksi terhadap kerugian atau penderitaan korban serta kewenangan penyelesaian tindak pidana dalam jalur hukum yang hanya dimiliki oleh aparat penegak hukum tersebut tidak terlepas dari pengertian tindak pidana yang menurut pandangan retributif dikonsepsikan sebagai perbuatan yang melanggar hukum negara. Dengan konsepsi tersebut maka negara, yang aturan-aturan hukumnya telah dilanggar oleh pelaku tindak pidana, menempatkan diri sebagai korban dan juga berhak, melalui aparat penegak hukumnya, untuk menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada si pelaku kejahatan. Dalam pandangan

32

Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT


(32)

retributif, konstruksi penyelesaian tindak pidana akan menghadap-hadapkan pelaku, sebagai pihak yang melanggar aturan hukum, melawan negara, sebagai pihak yang aturan hukumnya telah dilanggar. Dalam konstruksi hukum pidana yang demikian, segala keinginan korban yang berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana yang menimpa dirinya menjadi kurang bahkan tidak diakomodasi. Padahal secara moral yuridis telah disepakati bahwa keadilan hukum diberikan kepada pihak yang terlanggar haknya. Lembaga peradilan, termasuk peradilan pidana, adalah lembaga yang memberikan jaminan tegaknya keadilan yang ditujukan kepada pihak yang terlanggar hak-hak hukumnya, yang disebut sebagai korban. Namun pada kenyataannya, putusan lembaga peradilan tersebut seringkali

mengecewakan perasaan korban mengenai keadilan yang didambakan.33

Pilihan Penyelesaian Sengketa atau disebut juga dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam istilah asingnya disebut Alternative Dispute

Resolution (disingkat ADR) adalah sebuah konsep yang mencakup berbagai

bentuk penyelesaian sengketa selain dari pada proses peradilan melalui cara-cara yang sah menurut hukum, baik berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau tidak berdasarkan pendekatan konsensus, seperti arbitrasi. ADR ini bertitik tolak dari hak-hak asasi (hak dasar manusia) untuk dapat menentukan pilihan mana yang paling cocok bagi dirinya, yaitu hak asasi setiap orang dalam masyarakat untuk dapat menuntut dan mengharapkan putusan yang tepat atau memuaskan semua pihak. Harapan-harapan lain itu nyatanya sampai sekarang tidak selalu demikian, lebih-lebih masalah itu ditangani

33

G. Widiartana, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan


(33)

melalui adversarial (pertikaian) atau badan-badan peradilan seperti Pengadilan atau Arbitrase itu memakan waktu yang lama, biaya yang tidak kecil, penyelesaian yang rumit, dan kadang-kadang selalu sering tidak dapat memuaskan pihak-pihak yang bersengketa.34

Adanya pemikiran penyelesaian perkara pidana melalui jalur ADR

(Alternative Dispute Resolution) adalah bermaksud agar dapat menyelesaikan

konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban. Pendekatan melalui jalur ADR, pada mulanya termasuk dalam wilayah hukum keperdataan, namun dalam perkembangannya dapat pula digunakan oleh hukum pidana, hal ini sebagaimana diatur dalam dokumen penunjang Kongres PBB ke-6 Tahun 1995. ADR ini merupakan bagian dari konsep restorative justice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator.35

Praktik penyelesaian perkara pidana melalui jalur musyawarah antar pelaku dan korban serta masyarakat yang terlibat di dalamnya merupakan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat Indonesia. Mekanisme penyelesaian ini dalam praktiknya terselenggara dengan atau tanpa melibatkan penegak hukum. Dalam praktik, perdamaian sebagai hasil akhir dari musyawarah yang terjadi menjadi kunci penutup permasalahan yang terjadi seolah mendapatkan pembenaran dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Fenomena yang demikian dalam kenyataannya bukan hanya menjadi permasalahan di Indonesia saja. Di sejumlah Negara telah dibuat kebijakan dalam rangka menjawab

34

Misna Mistiyah, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan Hukum Positif, Palembang : 2013 (Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 20:05 WIB)

35

Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. hlm.2.


(34)

pennasalahan tersebut dalam bentuk program Pemerintah atau bahkan kebijakan dalam regulasinya. Kebijakan dan program ini dibuat berdasarkan filosofi pemidanaan tradisional yang membingkainya yang dikenal sebagai keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan suatu filosofi pemidanaan tradisional yang dapat dipakai sebagai pendekatan dalam penanganan dan penyelesaian perkara pidana yang terjadi dalarn masyarakat.36

Untuk lebih jelasnya, keadilan restoratif juga dapat dilihat dalam United

Nations Office for Drug Control and Crime Prevention, dinyatakan bahwa

restorative justice merupakan sebuah istilah baru terhadap konsep lama.

Pendekatan restorative justice telah digunakan dalam memecahkan masalah konflik antara para pihak dan memulihkan perdamaian di masyarakat. Karena pendekatan-pendekatan retributif atau rehabilitatif terhadap kejahatan dalam tahun-tahun terakhir ini dianggap sudah tidak memuaskan lagi. Oleh karenanya menyebabkan dorongan untuk beralih kepada pendekatan restorative justice. Kerangka pendekatan restorative justice melibatkan pelaku, korban dan masyarakat dalam upaya untuk menciptakan keseimbangan, antara pelaku dan korban.37

Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang merestorasi.

Di dalam proses peradilan pidana konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas. Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban dan pelaku.

36

Eva Achjani Zulfa, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang

kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana), Universitas Indonesia.

37

Sahuri Lasmadi, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,


(35)

Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya. Hal ini menjadi penting, karena proses pemidanaan konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, namun dalam hal restorative

justice, korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah

mereka.38

Model penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan memalui musyawarah yang bertujuan perdamaian, dapat digunakan sebagai model alternatif atas daras pertimbangan kompleksitas masalah dan pada saat yang sama untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap peran hukum pidana itu sendiri.39

c.) Penyelesaian Tindak Pidana Secara Islah

Menurut Soedjono Dirdjosisworo dalam bukunya yang berjudul Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, perdamaian dalam perkara pidana tidak selalu diupayakan layaknya perkara perdata. Karena upaya damai dalam perkara pidana tidak pernah menjadi komponen yang utama dan tidak menentukan baik di awal maupun diakhir proses penanganan. Hukum pidana menempatkan perdamaian di luar pengadilan. Itulah sebabnya filosofi yang melatar belakangi

38

Jecky Tengens, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana

Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB. 39

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana


(36)

kehadiran peradilan pidana hanya berkisar pada upaya pengawasan sosial melalui upaya penegakkan hukum materiil, dan melindungi hak-hak individu.40

Paradigma diatas ada benarnya, sebab paradigam dalam hukum pidana bersifat retributif, di mana hukuman harus mengakibatkan pada si penjahat kerugian atau penderitaan, atau paling tidak seimbang dengan apa yang diderita korban. Namun, demikian bukan berarti penyelesaian perkara pidana di luar peradilan tidak dapat dilakukan. Mengingat dalam hukum pidana sudah dianut pola semacam itu. Hal ini dapat dilihat di bab VIII buku I KUHP, di mana ada alasan penghapusan penuntutan, meskipun hanya terbatas pada tindak pidana pelanggaran yang semata-mata diancam dengan denda.41

Dalam penyelesaian tindak pidana melalui islah/ perdamaian, dapat dilakukan di luar pengadilan (konsep restorative justice). Hal itu dapat memutus perkara menjadi tidak sampai dalam tahap persidangan, karena para pihak telah berdamai atau telah menemukan sebuah kesepakatan sebelum kasus di persidangkan. Namun, tentu hal itu hanya bisa terjadi pada delik tertentu. Pada kasus tindak pidana biasa maupun pidana berat, perdamaian tidak dapat menghentikan perkara kedalam persidangan, namun hal itu dapat menjadi

pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan.42

Hakim mempunyai wewenangan untuk menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang telah ketinggalan zaman sehingga tidak lagi mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat saat ini, dengan mencakupkan pertimbangan

40

Soedjono Dirdjosisworo, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum,

Bandung : Armico, 1984, hlm. 21 41

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Januari 2007, Vol.25 No.1, hlm. 35 42Wawancara kepada Alfitra, Jum’at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.


(37)

hukumnya secara jelas dan tajam dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan hukum.43

Dalam penyelesaian tindak pidana dengan konsep keadilan Restoratif, setelah adanya penandatanganan Nota Kesepakatan Bersama MAHKUMJAKPOL tentang Perma Nomor 2 Tahun 2012 antara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia dan Kepolisan Republik Indonesia tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat, serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dilakukan agar lembaga-lembaga hukum terkait dapat berkordinasi dengan baik untuk menerapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 dan dapat mensosialisasikannya untuk mengadili dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan Tindak Pidana Ringan dan perkara-perkara yang dijatuhi hukuman denda.44

Namun dalam praktiknya, tidak hanya tindak pidana ringan ataupun perkara-perkara yang dijatuhi denda saja yang melakukan perdamaian atau proses islah di luar peradilan pidana. Hal ini dapat terjadi dengan adanya diskresi kepolisian45, yang berwenang untuk memilih tindakan apa yang pantas kepada suatu perkara.46

43

Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008, hlm. 9 44

Anistia Retenia Putri Siregar, Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.

45

Diskresi adalah kebijaksanaan kepolisian dalam hal memutuskan sesuatu tindakan tidak hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, undang-undang atau hukum yang berlaku, tetapi juga atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan menurut penilaiannya sendiri.

46


(38)

Menurut pasal 18 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang diskresi kepolisian, sebenarnya telah memberikan pijakan yuridis kepada polisi sebagai penyidik untuk menerapkan filosofi restorative justice dalam penanganan perkara pidana. Dengan diskresi ini, penyidik polri dapat memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan perkara pidana yang ditanganinya, dalah satu tindakan yang dapat dilakukanya adalah mengimplementasikan restorative justice dengan cara mendudukan korban pada titik sentral dalam menyelesaikan perkara pidana dan menjauhkan dari pemenjaraan, akan tetapi tetap dimintai pertanggung jawaban.47

Sistem peradilan pidana harus selalu mempromosikan kepentingan hukum dan keadilan. Tetapi terdapat pandangan salah bahwa ukuran keberhasilan hukum hanya ditandai dengan keberhasilan mengajukan tersangka ke pengadilan dan kemudian dijatuhi hukuman. Seharusnya ukuran keberhasilan penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ditandi dengan tercapainya nilai-nilai keadilan di masyarakat. Kepolisian sebagai alat Negara yang berperan dalam menegakkan hukum diharapkan dapat merespons hal ini dengan menggunakan mekanisme

restotarive justice.48

Kepolisian dalam melaksanakan tugas harus selalu berpedoman pada hukum dan mengenakan sanksi hukum kepada pelaku pelanggaran, namun kepolisian juga dimungkinkan melakukan tindakan pembebasan seorang pelanggar dari proses hukum, seperti adanya kewenangan diskresi kepolisian yang tertuang pada Pasal 18 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian

47

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hal.10.

48


(39)

Negara Republik Indonesia, yang bunyi pasalnya adalah untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pelaksanaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara RI.49

Penerapan restorative justice di Indonesia dapat dilakukan dengan model lembaga musyawarah untuk mencapai perdamaian dan keadilan. Dengan demikian, penegak hukum dapat menjadikanya sebagai solusi untuk mengatasi kendala bagi penegak hukum dalam penanganan perkara di lapangan dalam mengimplementasikan keadilan restoratif. Polisi dapat melakukan hal ini melalui hak diskresi yang dimilikinya karena hal itu merupakan kelengkapan dari sistem pengaturan oleh hukum itu sendiri.50

Tugas polisi sebagaimana yang diatur dalam bab IV KUHAP memiliki wewenang untuk menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana, melakukan tindakan pertama di tempat kejadian, menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenalnya, melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan, memeriksa dan menyita surat, memanggil orang sebagai tersangka atau saksi, mendatangkan orang ahli, mengadakan penghentian penyidikan, serta mengadakan tindakan lain menurut

49

Bram Wijaya, dkk.Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum Fakultas Brawijaya, hlm.3

50

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, Hlm.14.


(40)

hukum yang bertanggung jawab.51 Hal senada juga dijelaskan dalam UU No.2 tahun 2002 tentang kepolisian.

Dengan demikian, kepolisian itu tidak perlu hanya memainkan peran yang bersifat represif. Di lapangan, secara prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil dengan pekerjaan yang pre-emptif. Pola yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara kerja kepolisian bukan seperti pemadan kebakaran yang bekerja setelah kejadian, melainkan harus selalu mendahului menculnya kejadian dengan mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emptif ketimbang represif. Mengingat peran yang dimainkan oleh kepolisiaan secara komprehensif seperti itu (represif-preventif-pre-emptif), maka model peradilan yang cocok dikembangkan oleh kepolisian (dan tentunya perangkat hukum yang lainya) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah restorative justice.52

Model peradilan yang demikian itu lebih mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat yang mencarei keadilan. Peran kepolisian dalam model peradilan restorative adalah sebagai

“fasilitator” dan bukan semata-mata sebagai “penghukum” (penegak hukum). Dengan demikian hasil yang diharapkan dari proses peradilan restorative adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak melalui upaya win-win solution.

51

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011,

Cet.VII. hlm. 236. 52

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.7


(41)

Dalam uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perdamaian dalam perkara pidana dapat dilakukan dengan pihak ketiga yaitu kepolisian sebagai fasilitator untuk korban dan pelaku kejahatan agar bisa bermusyawarah dan mengupayakan perdamaian di luar pengadilan.

Meskipun rumusan restorative justice itu belum ada dalam perundang-undangan Indonesia namun tidak berari tidak ada dasar hukumnya. Dasar hukum yang dapat dirujuk adalah UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian RI, UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan, UU Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman, UU Nomor 13 tahun 2006 tentang LPSK, Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan korban. Juga sila ke-4 Pancasila yaitu prinsip

musyawarah mufakat untuk menyelesaikan masalah.53

Selain itu, restorative justice sudah secara jelas tertuang dalam UU No.11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, dimana proses peradilan tersebut wajib mengedepankan restorative justice.54 Proses restorative justice ini dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak (baik anak sebagai korban, pelaku, maupun saksi). Proses ini dilakukan oleh penyidik (kepolisian) di luar pengadilan atau sebelum perkara di persidangkan.55

53

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif

Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, Agustus 2013, hlm.10

54

Aqsa Alghifarri, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta:

LBH Jakarta, 2012, hlm.15 55


(42)

d.) Efektifitas Islah dan Perdamaian Dalam Penyelesaian Tindak Pidana

Dalam berbagaimacam wacana aktual, restorative justice atau keadilan restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaikan kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun tidak semua jenis pidana dapat diterapkan dalam sistem ini, namun penerapan sistem ini bisa dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan proses peradilan pidana yang konvensional.56

Ada beberapa manfaat diterapkanya retributive justice dalam sistem peradilan suatu Negara. Manfaat pertama adalah bagi korban dan pelaku. Konsep ini berpandangan bahwa pelaku tindak pidana harus membayar kesalahanya

melalui pemenjaraan. Adapun korban sering hanya “dimamfaatkan” sebagai saksi.

Setelah proses persidangan selesai korban akan ditinggalkan sendiri dengan segala penderitaan dan kerugiannya. Sebaliknya, restorative justice justru akan lebih memperhatikan nasib korban. Hasil penelitian menunjukan bahwa 80% korban merasakan proses yang lebih fair dalam restorative justice. Mereka merasa lebih

less upset about the crime, less apprehensive and less afraid of revictimization

(kurang tau tentang kejahatan, kurang memprihatinkan dan kurang takut reviktimisasi).57

Mamfaat kedua adalah bagi komunitas sekitarnya. Restorative justice tidak hanya merestorasi pelaku dan korban, tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk yang dirasakan komunitas. Program perdamaian yang menjadi icon restorative

justice diharapkan akan menjamin keselamatan, keamanan, dan keharmonisan

56

Ibid. hlm. 08 57

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus 2013, hlm.12


(43)

masyarakat terdampak. Manfaat ketiga adalah mengurangi jumlah narapidana dan residivis, dan manfaat keempat adalah menghemat biaya dan waktu.58

Realitas praktik penyelesaian perkara pidana di luar peradilan melalui prosedur perdamaian, terlihat bahwa pola penyelesaian yang demikian dirasa lebih sesuai dengan adat istiadat dan atau nilai-nilai kepribadian bangsa Indonesia. Namun, ada hal yang perlu diperhatikan bahwa upaya penyelesaian kasus-kasus kriminal tertentu melalui prosedur perdamaian (conciliation procedure) dan atau penyelesaian alternatif di luar pengadilan melalui upaya perdamaian atau ADR, atau mediasi penal, memang dapat dibenarkan, tetapi bukan berarti dapat dilakaukan dengan serta merta, tetapi harus memperhatikan kriteria yang ada.59

Adapun kriteria yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya perbuatan, sifat berbahaya perbuatan, jenis pidanaya (strafsoort), berat ringan pidana (straftmaat), cara bagaimana pidana dilaksanakan (strafmodus), dan kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh tindak pidana itu. Adapun askpek sosiologis yang harus diperhatikan adalah karakter, umur dan keadaan si pelaku, latar belakang terjadinya perilaku tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah pelaku itu pemula atau bukan, pelaku memperbaiki kerugian yang ditimbulkan atas perilakunya, pelaku mengakui kesalahanya, pelaku meminta maaf kepada korban, serta pelaku menyesali serta tidak akan mengulangi perbuatanya lagi.60

58

Ibid. 59

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Pnyelesaian Perkara Pidana

Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia. Vol 25 No.1, Janurai 2007, hlm. 40 60


(44)

Pada intinya, pelaksanaan restorative justice adalah memperbaiki kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku dengan masyarakat. Restorative justice

menawarkan suatu yang berbeda karena mekanisme peradilan yang terfokus kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi. Tujuan akhir dari sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku dan menjatuhi hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu penyelesaian

perkara pidana yang menguntungkan.61 Ada beberapa keuntungan dengan

menjadikan kedilan restoratif sebagai jalan keluar dalam menyelesaikan perkara

pidana. Pertama, masyarakat diberikan ruang untuk menangani sendiri

permasalahan hukumanya yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban negara berkurang. Secara administratif, jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga beban institusi pengadilan menjadi berkurang. Dengan begitu maka beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan pun akan berkurang.62

Jika ingin dibandingkan sistem peradilan pidana dengan restorative justice, maka perbandingannya adalah demikian63 :

61

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, Agustus 2013, hlm.04

62

Ibid, hlm.05 63


(45)

SPP RJ

Tujuan Menanggulangi dan Mengendalikan

Kejahatan

Mencari penyelesaian atas tindak pidana yang terjadi Tolok ukur

keberhasilan

Jumlah perkara yang diproses dan di pidana yang dijatuhkan

Kesepakatan para pihak dapat dijalankan

Tujuan akhir Mengintegrasikan pelaku kembali ke masyarakat untuk menjadi warga yang baik

Pemulihan hubungan social antar stake holder

Bentuk penyelesaian

Pembalasan, pemaksaan, penderitaan bagi pelaku

Pemaafan, sukarela, perbaikan untuk semua.

B. Tindak Pidana dan Pemidanaan a.) Pengertian Tindak Pidana

Mendefinisikan tentang pengerian hukum tindak pidana tidaklah mudah. Hal itu disebabkan para ahli memberikan pengertian hukum tindak pidana akan berkaitan dengan cara pandang, batasan, dan ruang lingkup dari pengertian tersebut. Seorang ahli hukum pidana yang memberikan pengertian tentang hukum pidana tentu akan berimplikasi pada batasan dan ruang lingkup hukum pidana, hal itu tentu saja akan berbeda dengan ahli hukum yang lainnya. Tidak mengherankan apabila dijumpai banyak sekali pengertian hukum pidana yang dikemukakan oleh para ahli hukum pidana yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainya.64

64


(46)

Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar suatu larangan yang diatur oleh aturan hukum yang diancam dengan sanksi pidana.65 Kata tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda, yaitu strafbaar feit, terkadang juga menggunakan istilah delict, yang berasal dari bahasa latin

delictum. Sedangkan hukum pidana Negara-negara anglo-saxon menggunakan

istilah offense atau criminal act untuk maksud yang sama.66

Pada dasarnya istilah strafbaar feit diuraikan secara harfiah yang terdiri dari tiga kata, yaitu Straf yang diterjemahkan dengan pidana dan hukum, lalu Baar

yang diterjemahkan dengan dapat dan boleh, serta kata feit yang diterjemahkan dengan kata tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan. Jadi istilah strafbaar feit secara singkat bisa diartikan perbuatan yang boleh dihukum. Namun, dalam kajian selanjutnya tidak sesederhana ini karena yang bisa dihukum bukan perbuatannya melainkan orang yang melakukan suatu perbuatan yang melanggar aturan hukum.67

Tindak pidana menurut undang-undang diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh perturan perundang-undangan dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Dengan demikian perbuatan yang dituduhkan haruslah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh suatu perturan perundangn-undangan.68

Adapun istilah yang dipakai dalam hukum pidana sebagaimana yang ditulis dalam buku Moeljatno, yaitu „tindak pidana’. Istilah ini muncul dari pihak

65

Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 28

66

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, cet I, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hlm. 86 67

Ibid. hlm. 87 68


(47)

kementerian Kehakiman, istilah ini sering dipakai dalam perundang-undangan.

Meskipun kata „tindak’ lebih pendek dari „perbuatan’ tapi „tindak’ tidak

menunjukkan kepada hal yang abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan konkrit, sebagaimana hanya dengan peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakukan, tingkah-laku, gerak-gerik, atau sikap jasmani seseorang.69 Oleh karena tindak sebagai kata tidak terlalu dikenal, maka di dalam perundang-undangan yang menggunakan istilah tindak pidana baik dalam pasal-pasalnya, maupun dalam penjelasan undang-undang tersebut, hampir selalu dipakai pula kata perbuatan.70

Selanjutnya, berikut adalah pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli hukum. Menurut Moeljatno mengartikan hukum tindak pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai acaman maupun sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya.

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada seseorang yang telah

melakukan larangan-larangan, sehingga dapat dijatuhi atau dikenakan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan bagaimana cara pemidanaan itu dapat dilakukan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan yang berlaku.71

69

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000,

hlm.55. 70

Ibid. 71


(48)

A.Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”, karena “perbuatan pidana” yang dipakai Moeljatno itu juga kurang tepat.72 Ia menambahkan bahwa lebih baik dipakai istilah yang padanan saja, yang umum dipakai sarjana, yaitu delik (dari bahasa latin Delictum). Memang jika kita perhatikan hampir semua penulis hukum juga menggunakan juga istilah delik di samping istilahnya sendiri seperti Roeslan Saleh di samping menggunakan

“perbuatan pidana” juga menggunakan istilah “delik”, begitu pula Oemar Seno

Adji, di samping menggunakan islitlah “perbuatan pidana” juga menggunakan

islitalh “delik”.73

Menurut ahli hukum pidana yang lain yaitu Simons, sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, strafbaar freit atau tindak pidana adalah kelakuan yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan

dengan kesalahan dan kelakuan orang yang mampu bertanggung jawab.74

Menurut Moeljatno sebagaimana yang ditulis oleh Prof. Andi Hamzah dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana, ia mengatakan bahwa perbuatan pidana itu dapat dipersamakan dengan criminal act, jadi berbeda dengan strafbaar feit, yang meliputi pula pertanggungjawaban pidana. Menurut Molejatno, criminal act

berarti kelakuan akibat, yang disebut juga actus reus.75

Dalam pengertian tindak pidana, para pakar memiliki uraian mengenai istilah yang dapat mewakili konsep strafbaar feit atau criminal act, ada tujuh

72

Andi Hamzah, Asaz-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2005, cet.I. hlm.96

73 Ibid. 74

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet II, hlm. 88 75

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005, cet I,


(49)

istilah yang mewakili, yaitu 1) tindak pidana, 2) peristiwa pidana, 3) delik, 4) pelanggaran pidana, 5) perbuatan yang boleh dihukum, 6) perbuatan yang dapat dihukum, dan 7) perbuatan pidana. Menurut Nurul Irfan, istilah apapun yang dipakai, pengertian tindak pidana ialah perbuatan yang melanggar larangan yang diatur oleh aturan hukum dan diancam dengan sanksi pidana.76

b.) Kategorisasi Tindak Pidana

Secara teoritis tindak pidana dikategorisasikan ke dalam beberapa jenis perbuatan pidana. Perbuatan pidana dapat dibedakan secara kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran.77 Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan secara nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.78

Kejahatan adalah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak. Sekalipun tidak dirumuskan sebagai tindak kejahatan dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala

in se, yang artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat

perbuatan tesebut memang jahat.79

76

M.Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam,

Jakarta: Amzah, 2014, hlm. 6 77

Ali Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm.101. 78

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, Cetakan Keenam, 2000. hlm.71

79


(1)

DAFTAR PUSTAKA

A.Wahid, Yani, “Islah, resolusi konflik untuk rekonsiliasi”, Kompas, 16 Maret 2001. A.Z. Abidin, A.Hamzah, Pengantar dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yasrif

Watampone, 2010.

Alghifarri, Aqsa, Mengawal Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH Jakarta, 2012.

Dirdjosisworo, Soedjono, Filasafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung : Armico, 1984

Emerzon, Joni, Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Yasir Watampoe, 2005

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP Edisi Revisi, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2011, Cet.VII. Irfan, Nurul, dan Masyrofah, Fiqih Jinayah, Jakarta : Amzah, 2013.

Irfan, Nurul, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: Amzah, 2014.

Irfan, Nurul, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Edisi Kedua, Jakarta : Amzah, 2012. Irsan, Koesparmono, Hukum Pidana 2, Jakarta: Ubhara Jaya, 2005.

Kamil, Ahmad, Fauzan M, Hukum Yurisprudensi, Jakarta: Kencana, 2008.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana Bagian Satu, (Ttp: Balai Lektur Mahasiswa, t.th) Khoeriyah, Skripsi, Pertanggung Jawaban Pidana Dibawah Umur Perspektif Hukum Islam

(Analisis Kasus Kecelakaan AQJ di Tol Jagorawi), UIN Sunan Kalijaga, 2014

Lamintang, P.A.F dan Samosir, Djisman, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditunjukan Terhadap Hak Milik, Bandung: Tarsito,1992.


(2)

Mahrus, Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Mertokusumo, Sudikmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana Cet.VI, Jakarta : PT. Asdi Mahasatya, 2000.

Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1998.

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi anak di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

Pengantar contoh proposal yang disusun oleh Dr, Asmawi, M.Ag. Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana, Jakarta : Rajawali Press, 2012.

Prayitno, Wukir, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, CV. Agung, Semarang, 1991. Rajab Ali, Muhammad, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian

Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2012.

Ramdhani Wahyu, Pelaksanaan Hakam dan Mediasi Pengadilan Agama, Artikel FSH UIN Sunan Gunung Djati, 2012, artikel ini di akses pada 8 Maret 2014 Pukul 13.05.WIB Ramzy, Ahmad, Tesis, Perdamaian Dalam Hukum Islam dan Penerapan Restoratif Justice

Dikaitkan Dengan Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia, Universitas Indonesia, 2012.

Rifqi, Mohammad, Islah Para Tokok Politik Sebagai Upaya Penyelesaian Konflik Dalam Perspektif Sosiologi Hukum. Jogjga: 2008.

Sihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an Volume 13, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Soekanto, Soejono, Mudji, Sri, Penelitian Hukum Normatif, Cet.V, Jakarta : Indhillco, 2001. Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 2006.


(3)

Suharto, Hukum Pidana Materiil, Unsur-Unsur Objektif sebagai Dasar Dakwaan, cet I Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Suparman, Eman, Pilihan Forum Arbitrase dalam Sengketa Komersial untuk Penegakan Keadilan, Jakarta : Tata Nusa, 2004.

Sutiyoso, Bambang, Metode Penemuan Hukum Upaya Menemukan Hukum Yang Pasti dan Berkeadilan, Yogyakarta:UII Pers, 2006.

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Malang : UUM Press, 2008.

Widiartana.G, Disertasi, Ide Keadilan Restoratif Pada Kebijakan Penanggulangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dengan Hukum Pidana, Universitas Diponogoro, 2011.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Intermansa, 1997.

Tim Penyusun, Artikel, Monitoring Pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), 2003.

Peraturan Perundang-undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Peraturan Perundang-undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Wawancara kepada Alfitra, Jum’at 13 Februari 2015 pukul 10.30 WIB.

Adelia, Hotmarta, Jurnal Hukum, Eksistensi Perdamaian Antara Korban Dengan Pelaku Tindak Pidana Kecelakaan Lalu Lintas Dalam Sistem Pemidanaan (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan), Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2014.

Artadi, Ibnu, Jurnal Hukum, Dekonstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justisia, Vol.25 No.1. 2007


(4)

At-Tamimi, Umar, Jurnal Hukum, Pemaafan Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana Perspektif Hukum Islam, Jurnal Diskursus Islam Volume 1 Nomor 3, 2013. Dhenny, Islah Sebagai Hukum Positif Banjar, artikel Komisi Kepolisian Indonesia,

November 2013. Artikel ini diakses pada 8 Maret 2015 pukul 12.58 WIB. Lasmadi, Sahuri, Artikel, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

Putri Siregar, Anistia Retenia Jurnal Hukum, Eksistensi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2012 Tentang Penyesuaia Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP Pada Peradilan Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2013.

Raharjo, Trisno, Jurnal Hukum, Mediasi Pidana Dalam Ketentuan Pidana Adat, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 17, 2010.

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualisasi Dan Legislasi Keadilan Restoratif Di Indonesia, Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2, Nomor 2, 2013.

Tengens, Jecky, Artikel, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia, Klinik Hukum Online. Artikel ini diakses pada 15 Februari 2015 pukul 20:13 WIB. Wijaya, Bram, dkk. Jurnal Hukum, Implementasi Kewenangan Diskresi Kepolisian Dalam

Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Di Luar Pengadilan. Jurnal Hukum Fakultas Brawijaya.

Yunan Hilmy, Jurnal Hukum, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan Restorative Justuice Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal RechtsVinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol.2 Nomor 2, 2013.

Zulfa, Eva Achjani, Artikel, Keadilan restoratif di Indonesia: studi tentang kemungkinan penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana), Universitas Indonesia.


(5)

Ajijah, Kasus AQJ Divonis Bersalah Putra Ahmad Dhani Tetap Bebas, bandung.bisnis.com/read/20140716/34247/513075/kasus-aqj-divonis-bersalaha-putra-ahmad-dhani-tetap-bebas. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.30 WIB. e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul

13.10 WIB.

Eko, Hasiloan, Cara Ahmad Dhani Dinilai Sebagai Upaya Penyelesaian Kasus di Luar Pengadilan,www.tribunenews.com/metropolitan/2013/09/01/cara-ahmad-dhanisebagai-upaya-penyelesaian-kasus-di-luar-pengadilan artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB.

Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir 13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalu-lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 Pukul 15.00WIB

Harnigsih, Tri, Tewaskan 7 Orang Dul Ahmad Dhani Akhirnya Divonis Bebas, www.sayangi.com/gayahidup1/selebriti/read/25306/tewaskan-7-orang-dul-ahmad-dhani-akhirnya-divonis-bebas artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.25 WIB http://hukum.kompasiana.com/2013/09/09/hukum-untuk-si-dul-588073.html. artikel ini

diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.00 WIB

http://www.sayangi.com/fitur/wawancara/read/5593/kaksetobelajardarikasusdul ahmad -dhani artikel ini diakses pada 08 oktober 2014 pukul 21.10 WIB

Mistiyah, Misna, Mediasi Dalam Tindak Pidana Penganiayaan Pespektif Hukum Islam dan Hukum Positif, samuderailmu.blogspot.com, Blog ini diakes pada 11 Oktober 2014 pukul 19.30 WIB

Prianto, Agus, Korban Kecelakaan Dul Lucky Dapat Santunan Rp 50 Juta, www. kapanlagi.com/showbiz/selebriti/korban-kecelakaan-dul-lucky-laki-dapat santunan-rp-50-juta-2e5802.html. Artikel ini diakses pada 15 Maret 2015, pukul 14.03 WIB


(6)

Riswan, Oris, Dilematisnya Kasus Kecelakaan Dul Ahmad Dhani, news.okezone.com/ read/2013/09/12/526/864873/dilematisnya-kasus-kecelakaan-dul-ahmad-dhani. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.05 WIB.

Riswoyo, Maulidi, Korban Kecelakaan Dul Ini Dapat Santunan Rp.18 Juta Per bulan, Hot.detik.com/read/2013/10/16/142510/2387032/230/korban-kecelakaan-dul-ini-dapat-santunan-rp-18-juta-per-bulanh991103207. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB.

Sawabil, Gusti, Dul Anak Ahmad Dhani Divonis Hari Ini, www.tribunenews.com/ metropolitan/2014/07/16/dul-anak-ahmad-dhani-divonis-hari-ini. artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.20 WIB

Shofiana, Penetapan Dul Terburu-buru, megapolitan.kompas.com/read/2013/09/10/0839 160/penetapan.dul.tersangka.terburu-buru. Artikel ini diakses pada 13 Maret 2015 pukul 19.00 WIB.

Thesis.umy.ac.id/data publik/t38697.pdf dokumen ini diakses pada Jum’at 13 Maret 2015 pukul 14.45.WIB