59
3.2. Jenis Tanaman
Dalam berladang orang Sakai umumnya yang menjadi perioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Hal ini
dapat dipahami karena orang Sakai bersifat subsisten. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi, tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-
mayur yang umurnya relatif pendek dibandingkan dengan umur padi. Disamping menanam berbagai jenis sayur mayur ditengah ladang, juga
mereka menyempatkan diri untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok Kalau diamati jenis tanaman yang ditanami antara lain
tengkawang, durian, langsat, nangka, rambai, rambutan, kelapa, pinang, pisang dan lain-lain. Pohon-pohon itu juga merupakan sebagai pratanda bahwa hutan
tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang ditempat itu, haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu.
Kemudian setelah seluruh pentahapan dalam kegiatan berladang itu dilakukan hingga selesai panen, bekas ladang itu sebagiannya mereka tanam kembali dengan
pohon karet. Sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang.
3.3. Teknologi Yang digunakan dalam Berladang
Alat-alat teknologi yang digunakan orang Sakai tampaknya ada yang relevan dengan pembangunan berwawasan lingkungan, yakni parang, kampak,
tugal, sumpit, jerat, tombak, perumahan dan perahu. Parang dan kampak adalah dua alat produktif utama yang digunakan orang
Sakai untuk membuka ladang. Namun dipandang sebagai teknologi tradisional yang sangat fungsional dalam aktivitas perladangan. Dengan demikian, dapat
60 dikatakan parang dan kampak merupakan teknologi sederhana masyarakat
peladang yang menunjang program pembangunan berkelanjutan. Dengan alat tersebut, kemampuan peladang menebang hutan dan membuka ladang baru relatif
kecil dibandingkan dengan pengusaha perkebunan pemegang HPH yang menggunakan teknologi mesin sinso dan dapat membuka beratus-ratus hektar
hutan dalam waktu singkat. Tugal sebagai alat utama orang Sakai dalam menanam bibit diladang,
termasuk teknologi yang sangat sederhana, baik bahannya maupun cara pembuatannya. Penggunaannya pun sangat relevan dengan program pembagunan
berkelanjutan dan pelestarian tanah. Tugal terbuat dari sebat ang kayu bulat dan
kuat yang diruncingkan pada salah satu ujungnya, kemudian digunakan untuk
menanam bibit di ladang. Cara pemeakainannya, sambil berjalan diatas ladang, tugal ditangan peladang diayunkan dan ditancapkan ke tanah hingga membentuk
lubang berjejer. Kemudian, bibit tanamkan dimasukkan kedalam lubang itu. Dengan demikian, penggunaan tugal tersebut sangat mudah dan tidak
membongkar tanah secara berlebihan hingga kecil kemungkinan terjadinya erosi tanah. Selain itu, pemakai tugal pun tidak perlu membungkukkan badan sehingga
daya tahan tubuh tetap terpelihara sepanjang hari. Oleh karena itu, teknologi tugal perlu dipertahankan penggunaannya di kalangan warga masyarakat peladang
dimana pun. Alat lain yang sering digunakan orang Sakai dalam berladang adalah
sumpit. Sumpit sopu adalah teknologi tradisional yang sangat lekat dan fungsional bagi orang Sakai, baik sebagai senjata untuk membinasakan binatang
maupun alat yang bernilai ekonomis, sekalipun tetap memerlukan keterampilan
61 tersendiri dalam menggunakannya. Orang Sakai selalu membawa sumpit kemana
pun mereka pergi, karena alat ini merupakan senjata praktis untuk membunuh binatang buas dari jarak jauh.
Alat teknologi tradisional lainnya yang berbentuk wadah diberi nama bangkola tas punggung. Alat ini sangat fungsional bagi warga Orang Sakai yaitu
selain dapat digunakan untuk membawa berbagai keperluan sehari-hari dalam aktivitas perladangan, juga untuk mengangkut keperluan menjual dan berbelanja
di pasar. Wadah berupa tas punggung tersebut dapat membuat banyak barang dan sangat praktis digunakan yaitu digendong di punggung. Kelebihan alat ini dapat
digantungkan barang ringan dibagian luarnya sekalipun sudah penuh. Kelebihan lainnya, bahan bakunya berupa bambu banyak tersedia di hutan dan cara
membuatnya juga mudah. Oleh karena itu, tas punggung bangkolo sebagai wadah tradisional Orang Sakai perlu dipertahankan dan dikembangkan karena
praktis digunakan dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Rumah panggung yang digunakan oleh Orang Sakai sebgai tempat hunian
merupakan bukti teknologi tradisional lainnya yang relevan dengan program pembangunan berwawasan lingkungan. Rumah ini mengguankan bahan-bahan
sederhana,sepeti daun rumbia untuk atap, anyaman bambu atau papan untuk dinding, bambu atau papan untuk lantai, kayu bulat untuk tiang dan rangka rumah
dan rotan sebagai pengikat. Bahan-bahan yang serba alami ini menunjukkan bahwa Orang Sakai telah menggunakan sumber daya alam lokal yang disediakan
lingkungan tanpa mengeluarkan uang. Selain itu, bahan bagunan demikian memberikan kenyamanan udara yang khas di dalam rumah yang menggunakan
62 atap seng dan dinding beton. Pengguna rotan sebagai pengikat juga dapat
mempermudahkan pembongkaran dan pemindahan rumah ketempat lain. Alat transportasi paling utama adalah perahu, yang disebabkan jalur lalu
lintas yang utama di daerah ini adalah sungai. Maka perlu alat transportasi yang fungsional dan efektif. Perahulah yang menjadi alternatif karena alat transportasi
ini memiliki kelebihan yakni dapat digunakan oleh semua orang dalam waktu berpuluh-puluh tahun. Ini berarti, perahu tidak memerlukan banyak kayu sehingga
menunjang pelestarian hutan. Hal ini berbeda dengan rakit yang memerlukan banyak kayu bulat dan hanya digunakan dari hulu ke hilir sekali pakai. Oleh
karena itu, keterbatasan rakit sebagai alat transportasi sungai perlu diupayakan penggantinya yang sekaligus dapat menunjang pelestarian lingkungan hutan.
3.4. Sistem Pengetahuan