1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sistem Perladangan dengan perspektif ekologi mulai merebak di Indonesia pada Tahun 80-an, ketika semakin banyak orang menyadari bahwa telah terjadi
perubahan penting dalam cara pemanfaatan hutan di Indonesia, khususnya di Riau karena masuknya pihak-pihak dari luar yakni Perusahaan-perusahaan yang ingin
membuka hutan tersebut sebagai pusat kegiatan eksplorasi minyak, perkebunan sawit, perkebunan karet, usaha hutan tanaman industri HTI di wilayah hutan
tersebut secara bertahap dan terus-menerus. Sementara itu, hutan-hutan itu sendiri sebenarnya bukan tanpa pemilik, karena penduduk setempat, orang-orang Sakai,
disitu sudah puluhan bahkan ratusan tahun mengenal dan memanfaatkan hutan- hutan tersebut.
Dilihat dari sudut kedatangan dan lama tinggal di daerah Kecamatan Mandau orang-orang Sakai berada dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan
para pemegang perusahaan-perusahaan untuk mengatakan dan mengaku bahwa hutan-
hutan di sekitar tempat tinggal mereka adalah „milik‟ mereka karena mereka adalah keturunan dari penghuni-penghuni pertama bumi Riau. Mereka
merasa dan dapat dianggap berhak untuk menyatakan diri mereka sebagai “pemilik” bumi tersebut. paling tidak lebih berhak daripada orang-orang yang
datang belakangan di Riau dan belum pernah tinggal serta memanfaatkan hasil bumi daerah tersebut sebelumnya. Mitos yang mereka miliki serta pola-pola
aktivitas pemanfaatan sumber daya para “penduduk asli” ini mencerminkan
2 dengan jelas bahwa mereka merupakan unsur yang tak terpisahkan dari kehidupan
flora dan fauna dikawasan tersebut. Sebagai salah satu unsur dari jagad Riau, orang-orang Sakai
memanfaatkan hutan di kawasan tersebut dengan membuka dan mengelolah tanahnya secara bergilir, sebuah aktivitas yang kini dikenal dengan istilah
berladang berpindah. Untuk itu mereka menebang hutan terlebih dulu. Sebagian kayunya mereka manfaatkan dan sebagian lagi mereka bakar, sehingga abunya
dapat menambah kesuburan lahan yang akan mereka tanami nantinya. Setelah ladang dibersihkan dari kayu-kayu besar, sedang kayu-kayu kecil serta daun-daun
kering menjadi abu, lahan tersebut siap untuk ditanami. Lahan ini akan diolah dan ditanami selama beberapa musim atau sekitar 3-5 tahun. Setelah itu hasil ladang
biasanya akan mulai menurun sehingga tidak akan lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota kelompok keluarga yang memanfaatkan lahan
tersebut, dan mereka kemudian akan pindah, mencari hutan baru untuk dimanfaatkan dengan cara yang sama.
Hutan-hutan di Wilayah Kecamatan Mandau menurut Surpalan 1995 termasuk kedalam hutan tropik yang ditumbuhi bermacam tumbuhan. Dari
tumbuhan dengan batang kayu keras dan besar sampai dengan batangnya lunak dan kecil, dan dari tumbuhan yang merambat sampai dengan lumut dan berbagai
jamur serta tumbuhan air. Hasil hutan yang dicari oleh Orang Sakai antara lain Kayu Meranti, Kayu balam, Kayu gaharu kayu bosi, rotan, damar, kemenyan,
getah karet hutan dan sebagainya. Sedangkan jenis hewan yang ada di hutan tersebut seperti gajah, tapir, babi hutan, musang, monyet, ular, tupai, kalong,
tikus, ayam hutan dan sebagainya. Sungai yang menghidupin Orang Sakai
3 merupakan sungai-sungai kecil yang airnya hitam atau gelap kecoklat-coklatan.
Hewan yang terdapat di sungai tersebut seperti ikan toman, ikan patin, ikan gabus, ikan lele, ikan kayangan, ikan selais, ikan baung, udang galah, biawak, ular air,
dan sebagainya. Surpalan,1995:36-37. Kehidupan orang Sakai yang sangat bergantungan pada alam membuat
mereka menjalin hubungan baik dengan lingkungannya. Dalam berladang, memburu hewan dihutan dan menangkap ikan di sungai yang memiliki cara dan
aturan tertentu. Orang Sakai cenderung tidak mengeksploitasi lingkungannya. Hal tersebut didukung dengan tidak adanya teknologi yang mereka gunakan untuk
memanfaatkan lingkungan alam. Wilayah Kecamatan Mandau yang dijadikan sebagai pusat kegiatan
eksplorasi minyak, membuat wilayah-wilayah hutan di Kecamatan ini dibuka secara bertahap dan terus-menerus. Selain itu wilayah tersebut juga dijadikan
perkebunan karet dan kelapa sawit serta usaha Hutan Tanaman Industri HTI. Keadaan ini tentunya memuat Orang Sakai harus beradaptasi terhadap lingkungan
ekologi mereka yang berubah. Rab 2002:28 menjelaskan bahwa tempat beroperasinya perusahaan besar
disana, dahulunya merupakan hutan dan belukar tempat Orang Sakai mencari makan. Mereka mengambil rotan, damar, rambung, lembuai, jenis kayu dan
hewan buruhan. Dari sungai, mereka dapat mengambil berbagai jenis ikan. Mereka menerapkan sistem berladang berpindah dengan tanaman padi ladang dan
ubi menggalo yang dulunya orang Sakai rata-rata memiliki lahan yang luas.
Pada saat perusahaan mulai membuka hutan dan belukar, mereka banyak kehilangan tanahnya. Memang ada beberapa pihak membantu pergantian tanah
4 penduduk yang diambil. Akan tetapi lebih banyak lagi yang seenaknya mencaplok
tanah mereka tanpa permisi dan biaya pergantian tanahnya juga sangat rendah dan sepihak saja. Selain kepada perusahaan-perusahaan, lahan Orang Sakai juga turut
dihabiskan oleh para pendatang yang umumnya datang dari daerah Sumatera Utara, terutama Etnis Batak dan Jawa Rab,2002;29.
Data-data dari Pemerintah, Jumlah pemegang HPH di Provinsi Riau pada tahun 19931994 sebanyak 69 HPH luas areal 6.293.00 Ha. Sekalipun jumlah
kebun sawit ternyata dalam statistik 1996 hanya 5556.064 Ha akan tetapi banyak perkiraan perkebunan kelapa sawit di Riau ini telah melebihi angka 1,7 Ha. Hutan
tanaman industri atau yang dikenal HTI yang diberikan kepada dua perkebunan pulp dan kertas 700 ribu Ha untuk dua pabrik RAPP yang mulai beroperasi tahun
1992 dan indah kiat yang mulai beroperasi tahun 1984 akan tetapi pabrik ini lebih mengharapkan hutan Izin penebangan kayu IPK yang didapat dari lahan
konversi dari hutan ke perkebunan raksasa atau Hutan Tanaman Industri. Akibatnya seperti lubang hitam kayu tersedot dan hilanglah makna hutan lindung
yang tinggal diatas kertas 5,27 Ha karena dibabat untuk chips dan kertas. HPH pun tak lagi bermain dengan sistem RKT akan tetapi lebih tepat disebut dengan
babat habis Rab,2002:77-78. Uraian masalah diatas memperlihatkan adanya suatu perubahan
lingkungan ekologi yang menyebabkan berubahnya kehidupan Orang Sakai. Perubahan tersebut dapat menyangkut sistem mata pencaharian, sistem
kekerabatan dan lingkaran hidup, magi, kepemimpinan dan keteraturan sosial, nilai-nilai tradisional, aspek-aspek kehidupan sehari-hari. Perubahan tersebut
5 dapat berupa perubahan yang lebih baik maupun perubahan yang kurang baik bagi
kehidupan masyarakatnya. Hal ini lah yang mendasari peneliti untuk meneliti Sistem Berladang
Berpindah, karena adanya pendatang perusahaan-perusahaan dan perubahan lingkungan ekologi tempat mereka tinggal, sehingga berladang berpindah menjadi
berladang menetap
1.2. Tinjauan Pustaka