Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: Kelompok Tani Hutan

1.3 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ataupun gambaran tentang kondisi sistem kelembagaan hutan rakyat di suatu daerah sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan terkait kebijakan kehutanan. 2. Bagi instansi pendidikan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan dokumentasi ilmiah yang bermanfaat untuk kepentingan akademik maupun penelitian serupa lainnya. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi atau kontribusi dalam pemecahan masalah yang terkait dengan masalah-masalah sistem kelembagaan hutan rakyat. 4. Bagi individu, penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan semangat untuk menemukan ide-ide kreatif yang aplikatif berkaitan dengan pengelolaan sistem kelembagaan hutan rakyat bagi kemajuan kehutanan. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelembagaan 2.1.1 Pengertian Kelembagaan Kelembagaan merupakan suatu sistem yang sengaja dibuat manusia untuk mengatur cara, aturan, proses dan peran masing-masing komponen pendukung di dalamnya untuk mencapai tujuan tertentu. Komponen pendukung di dalam suatu kelembagaan antara lain subjek atau orang sebagai penggerak sistem, segala aturan dan cara yang mengatur jalannya suatu sistem di dalam kelembagaan yang melibatkan banyak peran subjek tersebut. Menurut Soekanto 2002, istilah kelembagaan diartikan sebagai lembaga kemasyarakatan yang mengandung pengertian abstrak perihal adanya norma- norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga tersebut. Sedangkan menurut Tjondronegoro 1977 dalam Pranadji 2003, pengertian tentang lembaga cenderung menyempitkan makna lembaga dengan pendekatan ciri kemajuan masyarakat. Soemardjan dan Soelaeman 1974 menuliskan bahwa kelembagaan dapat bertindak sesuai dengan kehendak masyarakat yang berperan besar terhadap sirkulasi kelembagaan tersebut. Sedikit berbeda dengan Rahardjo 1999 yang dikutip oleh Pasaribu 2007, konsep kelembagaan yang dianut oleh masyarakat menggunakan konsep lembaga sosial yang secara lebih sederhana diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat. Dalam kasus kelembagaan usaha, Susanty 2005 memaparkan bahwa kelembagaan usaha atau kelembagaan kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu sistem tata kelakuan atau norma untuk memenuhi atau digunakan dalam kegiatan usaha kesejahteraan sosial UKS. Melalui kelembagaan itu pula hubungan antar manusia diatur oleh sistem norma dan organisasi sosial yang mengatur hubungan manusia tersebut. Sementara dalam hal hubungan dan perilaku yang terjadi dalam suatu organisasi sosial, Rahayuningsih 2004 mengatakan bahwa di dalam suatu kelompok terdapat pengaruh dari perilaku organisasi kelompok terhadap perilaku perorangan. Sebaliknya perilaku perorangan juga memberikan pengaruh terhadap norma dan sistem nilai bersama yang biasanya menjadi perilaku kelompok. Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian kelembagaan, dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan suatu sistem yang syarat dengan nilai dan norma yang bertujuan mengatur kehidupan manusia di dalam kelembagaan pada khususnya maupun manusia di luar kelembagaan pada umumnya. Norma-norma yang tumbuh dalam masyarakat memiliki tingkatan kekuatan mengikat tersendiri. Seperti yang dipaparkan Soekanto 2002 dalam Sosiologi sebagai Pengantar bahwa untuk dapat membedakan kekuatan mengikat norma-norma tersebut dikenal adanya empat pengertian, yaitu: a. Cara usage b. Kebiasaan folksway c. Tata kelakuan mores, dan d. Adat istiadat custom Setiap tingkatan di atas memiliki kekuatan memaksa yang semakin besar mempengaruhi perilaku seseorang untuk menaati norma. Begitu pula yang dipaparkan oleh Soemardjan dan Soelaeman 1974 bahwa setiap tingkatan tersebut menunjukkan pada kekuatan yang lebih besar yang digunakan oleh masyarakat untuk memaksa para anggotanya mentaati norma-norma yang terkandung didalamnya.

2.1.2 Pembentukan dan Perubahan Kelembagaan

Menurut Soekanto 2002, proses pembentukan lembaga kemasyarakatan yaitu suatu proses yang dilewati oleh suatu norma yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga kemasyarakatan, yang dimaksud adalah sampai norma itu dikenal oleh masyarakat, diakui, dihargai dan kemudian ditaati dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembentukan lembaga kemasyarakatan berasal dari perilaku masyarakat yang menjadi perilaku masyarakat yang disebut tata kelakuan dan adat istiadat. Dalam perkembangannya, suatu kelembagaan dapat mengalami perubahan baik cepat ataupun lambat, kecil ataupun besar maupun dikehendaki atau tidak dikehendaki. Perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk nilai-nilai, sikap-sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Menurut Ibrahim 2002 dalam Pasaribu 2007, komponen kelembagaan dapat mengalami perubahan unsur-unsur lembaga kemasyarakatan, seperti sebagian norma-norma dalam lembaga kemasyarakatan berubah atau bisa juga perubahan fungsi lembaga itu; perubahan lembaga dalam arti kemasyarakatan lama hilang dan diganti dengan lembaga yang baru.

2.1.3 Komponen Utama Kelembagaan

Mengutip dari Pasaribu 2007, kelembagaan tersusun atas tiga komponen utama yaitu hak kepemilikan, batas yurisdiksi, dan aturan representatif. Hak kepemilikan mengandung makna sosial yang didefinisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi, yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak milik dapat diperoleh dari pemberianwarisan dan pembelian. Batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan dalam suatu masyarakat. Konsep batas yuridiksi dapat mencakup wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna keduanya. Aturan representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa yang terdapat dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Pranadji 2003, kelembagaan bercirikan terhadap kemajuan masyarakat, memiliki beberapa elemen pendukung diantaranya sebagai berikut. 1. SDM Sumber Daya Manusia Komponen yang dimaksud mencakup: a. Ketrampilan yang cukup b. Kematangan emosional c. Kemampuan bekerjasama yang baik d. Apresiasi terhadap tata nilai maju e. Apresiasi terhadap penggunaan ilmu pengetahuan di bidang manajemen dan keorganisasian sosial 2. Tata Nilai Maju Untuk mengidentifikasi dan menentukan gambaran kemajuan yang dicapai masyarakat, baik dalam tingkat kelompok tani, desa, maupun negara diperlukan beberapa komponen tata nilai seperti di bawah ini. a. Penghargaan terhadap kerja keras b. Rajin tidak malas c. Produktif tidak konsumtif d. Harga diri tinggi e. Prestasi f. Sabar dan rendah hati g. Haus inovasi h. Cara kerjaberfikir sistematik dan terorganisir i. Bervisi jangka panjang yang jelas 3. Kepemimpinan Kepemimpinan yang dibahas tidak menekankan pada tipe kepemimpinan seseorang, melainkan pada komponen yang menentukan suatu kepemimpinan untuk memajukan masyarakat desa. Komponen yang dimaksud adalah: a. Visi kedepan yang jelas b. Kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan mengarahkan anggotanya c. Memiliki kemampuan untuk mengabdi pada masyarakat d. Mempunyai keunggulan atau keistimewaan dan sangat interaktif dengan kebutuhan masyarakat e. Memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik yang terjadi di masyarakat f. Memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang baik dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya g. Mengajarkan penggunaan rasionalitas yang tinggi pada setiap pengambilan keputusan 4. Struktur dan Organisasi Sosial Struktur sosial yang sehat adalah cerminan dari pekerjaan yang sehat. Sedangkan organisasi sosial dapat didekati dengan memperhatikan sistem kemitraan dan keterlibatan masyarakat untuk tujuan di bidang pemenuhan kebutuhan pokok, peningkatan kegiatan ekonomi dan ketenagakerjaan, penguatan identitas individu dan sosial, pengelolaan pemerintahan, pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, dan sistem pemeliharaan keteraturan sosial yang telah terbentuk. 5. Hukum dan Pemerintahan Aspek hukum dapat ditelusuri dari konsistensi norma yang dirumuskan dalam bentuk aturan dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan aspek pemerintahan ditekankan pada pengaturan untuk peningkatan kreativitas dan peran masyarakat agar tercapai kesejahteraan bersama.

2.2 Kelembagaan Hutan Rakyat

Pengaruh kelembagaan adat sangat besar pada pola tingkah laku kehidupan sosial masyarakat di sekitar hutan. Aturan-aturan adat yang ada merupakan peninggalan leluhur yang tetap harus dijaga dan dipatuhi walaupun aturan-aturan adat tersebut tidak tertulis. Aturan adat bagi masyarakat merupakan hukum yang mengikat dan memiliki sanksi yang tegas atas segala pelanggaran yang dilakukan. Kelembagaan adat tidak hanya mengatasi konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat, namun juga mengatur pola perilaku masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang ada di sekitar mereka Yanuar 1999.

2.2.1 Kedudukan Kelembagaan dalam Pengelolaan Hutan Rakyat

Ada beberapa kendala yang mengiringi perjalanan pengusahaan hutan rakyat. Hal ini dikemukakan oleh Andayani 2003 sebagai berikut: teknologi, modal usaha, manajemen usaha tani, skill kemampuan, kondisi fisik lahan usaha dan kebijakan pemerintah. Menurut Ngadiono 2004, kelembagaan mencakup organisasi masyarakat dan aturan hukum yang berkaitan dengan sistem pengelolaan hutan rakyat. Kelembagaan berperan penting dalam hal dukungan pendanaan hutan rakyat.

2.2.2 Ruang Lingkup Kelembagaan Hutan Rakyat

Hutan rakyat sebagaimana hutan negara juga membutuhkan sistem pengelolaan yang terencana yang mendukung pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat itu sendiri. Pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan secara individu berbeda dengan pengelolaan secara kelompok. Kelembagaan akan menumbuhkan interaksi dan koordinasi antar anggota sehingga tujuan bersama akan cepat tercapai Ngadiono 2004. Lingkup kelembagaan kehutanan masyarakat digambarkan secara sektoral. Berhasil tidaknya pelaksanaan kegiatan hutan rakyat tidak hanya bergantung dari pihak-pihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan, tetapi juga tergantung dari sektor-sektor lain seperti pertanian, perkebunan dan transmigrasi. Pelaksanaan kegiatan dikoordinir oleh suatu komisi yang disebut komisi social forestry. Komisi social forestry beranggotakan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat. Untuk selanjutnya hasil yang diharapkan adalah terwujudnya sistem pemerintahan yang baik Ngadiono 2004.

2.3 Kelompok Tani Hutan

Kelompok tani hutan KTH merupakan sekumpulan orang yang mengelompokkan diri dalam usaha-usaha dalam bidang pengelolaan tanah hutan negara yang tumbuh dan berkembang dari, oleh dan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan anggotanya untuk mencapai tujuan bersama Perum Perhutani 1987 dalam Permana 1998. Sedangkan Suharjito 1994 menyatakan bahwa pembentukan kelompok tani merupakan awal dari sebuah upaya mewujudkan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan negara. Mulyana 2001 dalam Puspita 2006 menyatakan bahwa kriteria petani sebagai KTH adalah kedekatan dengan hutan, hak-hak yang sudah ada, ketergantungan, dan pengetahuan lokal. Keempat kriteria itu sangat erat kaitannya dengan sumber daya hutan dan mudah untuk dikenali. Selanjutnya dalam tulisannya juga dikatakan proses pembentukan KTH adalah sebagai berikut: 1. Pembentukan kelompok 2. Penguatan kelembagaan 3. Penyuluhan 4. Insentif Menurut Suharjito 1994, pengertian pembinaan KTH adalah suatu proses yang timbul dalam suatu hubungan antara pembina atau petugas Perum Perhutani bersama dengan instansi terkait dengan kelompok tani KTH binaan dalam upaya menemukan dan memecahkan masalah atau mengembangkan kegiatan kelompok. Tujuan pembinaan yang ingin dicapai tentunya tidak terlepas dari tujuan perhutanan sosial pada umumnya, yaitu memaksimalkan partisipasi masyarakat sekitar hutan untuk bersama-sama membangun dan mengelola hutan secara penuh tanggung jawab dalam pembangunan hutan dan lingkungan sekitar.

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian