WAKTU DAN TEMPAT BAHAN DAN ALAT PENENTUAN PARAMETER MUTU KRITIS

IV. METODOLOGI PENELITIAN

A. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilakukan di divisi Research and Development PT Frisian Flag Indonesia, yang beralamat di Jalan Raya Bogor Km 5, Kelurahan Gedong, Pasar Rebo, Jakarta Timur selama empat bulan dari 1 Februari 2011 hingga 31 Mei 2011.

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan baku utama yang digunakan adalah susu bubuk yang diproduksi PT Frisian Flag Indonesia. Bahan untuk analisis kadar lemak bebas adalah petroleum benzene, dan etanol. Bahan untuk analisis bilangan peroksida adalah larutan 1-chlorobutane-methanol, larutan iron II chloride, larutan ammonium thiocyanate, HCl 10 molL, dan aquades. Bahan untuk analisis indeks non solubilitas adalah aquades. Alat yang digunakan adalah inkubator suhu 30 o C, 40 o C dan 55 o C, neraca analitik, sudip. Alat yang digunakan untuk analisis kadar lemak bebas adalah cawan aluminium, oven 105 o C, gegep, corong, dan kertas saring. Alat yang digunakan untuk analisis bilangan peroksida adalah labu takar, pipet mikro, pipet mohr, erlenmeyer, erlenmeyer asah bertutup, air cooler, heater 55 o C, spektofotometer, kuvet, bulb, gelas ukur, dan kertas saring. Alat untuk analisis indeks non solubilitas adalah homogenizer, gelas piala, sentrifuse, tabung sentrifuse berskala, pipet tetes dan gelas ukur.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu tahap I adalah analisis fisikokimia untuk menentukan parameter mutu kritis susu bubuk, tahap II adalah analisis sesuai parameter yang sudah ditetapkan pada tahap I, dan tahap III adalah penentuan laju reaksi penurunan mutu susu bubuk.

1. Analisis fisikokimia awal

Analisis awal dilakukan untuk memastikan bahwa mutu susu bubuk secara fisik dan kimia sesuai dengan spesifikasi produk. Dalam penelitian ini, analisis awal dilakukan untuk mengetahui parameter yang paling cepat berubah yang kemudian akan ditetapkan sebagai parameter mutu kritis awal. Parameter kerusakan ditunjukkan oleh hasil analisis terhadap susu bubuk yang melebihi standar atau merupakan parameter yang menjadi tolak ukur penerimaan konsumen. Analisis yang dilakukan, yaitu:

a. Analisis Kimia

1 Kadar air AOAC, 1995 Analisis kadar air dilakukan dengan metode oven. Cawan kosong dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 15 menit, kemudian ditimbang. 14 Sebanyak 2-3 gram sampel dimasukkan dalam cawan yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan berisi sampel tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu 105°C selama 3 jam. Selanjutnya cawan berisi contoh yang telah kering dipindahkan ke desikator, didinginkan selama 15 menit dan ditimbang bobot akhirnya. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan bobot, yaitu selisih bobot awal dan bobot akhir. Kadar air g100 g bahan basah = Kadar air g100 g bahan kering = dimana : W = bobot contoh sebelum dikeringkan g W1 = bobot contoh + cawan kering g W2 = bobot cawan kosong g 2 Kadar lemak AOAC, 2006 Metode yang digunakan pada penetapan kadar lemak adalah metode Mojonnier dengan prinsip gravimetri dan alat Mojonnier Tester. Sampel susu ditimbang sebanyak satu gram dan dimasukkan ke tabung Mojonnier kemudian dilarutkan dengan 9 sembilan ml akuades panas lalu ditambahkan 2 ml amonia 20 dan 10 ml etanol yang dicampur dengan indikator Brom Cresol Purple BCP kemudian diekstrak dengan 20 ml dietil eter dan 25 ml petroleum benzene, lalu disentrifugasi selama dua menit dengan kecepatan 1000 rpm. Setiap penambahan pereaksi, tabung Mojonnier disumbat lalu dikocok dengan shaker. Proses sentrifugasi akan menghasilkan dua lapisan yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Lapisan bawah akan diekstrak dua kali lagi untuk memperbesar ketelitian. Tahapan ekstraksi kedua dan ketiga sama seperti ekstraksi pertama hanya berbeda pada penambahan pereaksi, dimana pada ekstrasi kedua, lapisan bawah hasil ekstraksi pertama ditambahkan 5 ml etanol 96 dan 20 ml dietil eter serta 20 ml petroleum benzene sedangkan pada ekstraksi ketiga ditambahkan 10 ml dietil eter dan 10 ml petroleum benzene. Supernatan dari setiap hasil ekstraksi dimasukkan ke cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya dan dipanaskan di atas hotplate hingga diperoleh bobot konstan. Berat residu dinyatakan sebagai berat lemak dalam contoh. Lemak = 100 sampel bobot kosong cawan bobot - lemak cawan bobot x  3 Kadar protein AOAC, 1990 Metode yang digunakan adalah metode Kjeldahl. Metode ini menganalisis kadar protein kasar dalam bahan makanan secara tidak langsung berdasarkan kadar nitrogennya. Persen protein dihitung dengan mengalikan hasil 15 analisis dengan faktor konversi 6.38. Nilai faktor konversi 6.38 berdasarkan pada protein murni yang mengandung 15.67 nitrogen pada produk susu Winarno, 2008. Prinsip metode ini adalah destruksi, destilasi dan titrasi. Dekomposisi senyawa nitrogen organik melalui tahap destruksi dengan asam sulfat pekat dan katalis membentuk ammonium sulfat, kemudian didestilasi dengan natrium hidroksida membentuk gas ammonia yang bereaksi dengan asam borat. Banyaknya asam borat yang bereaksi dengan ammonia dapat diketahui melalui tahap titrasi menggunakan larutan asam klorida dengan indikator Conway Brom Cresol Green : Metil Merah 1:1. Titik akhir titrasi ditandai dengan terbentuknya warna merah muda. Sebanyak 0.6 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung pedal dan diletakkan pada digestion block, kemudian ditambahkan 2 butir tablet kjeldahl mengandung K 2 SO 4 dan CuSO 4 dan 20 ml asam sulfat pekat, larutan dikocok hingga larut dan didiamkan selama 5 menit. Scrubber cup dipasangkan pada digestion block dan digestion block diletakkan pada FOSS Digestor, kemudian sampel didestruksi selama 3 jam 1 jam pada suhu 200 o C dan 2 jam pada suhu 400 o C. Setelah dingin ditambahkan 50 ml akuades. Tahap selanjutnya yaitu destilasi dilakukan dengan penambahan natrion hidroksida 40. Gas ammonia yang dihasilkan ditampung dengan menggunakan larutan asam borat 3. Sampel dititrasi menggunakan HCl 0.1 N dan hasil titrasi ditampilkan di layar. Penetapan blanko dilakukan dengan cara yang sama tanpa menggunakan sampel. Adapun perhitungan kadar protein: protein= 100 sampel mg FK x BM x HCl N x blanko - sampel HCl Vol x FK = Faktor konversi untuk produk susu bubuk = 6.38 4 Kadar lemak bebas ISO, 2008 Analisis kadar lemak bebas dilakukan dengan metode gravimetri. Sebanyak 2-3 gram sampel susu bubuk ditimbang dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 100 ml petroleum benzene sambil dikocok agar terekstrak. Kemudian larutan disaring dan ke dalam erlenmeyer ditambahkan lagi 20 ml petroleum benzene untuk membilas kemudian disaring ke dalam cawan aluminium yang telah diketahui bobot kosongnya. Cawan berisi sampel dipanaskan hingga seluruh petroleum benzene habis menguap. Cawan yang telah didinginkan pada desikator selama 15 menit kemudian ditimbang bobotnya. Kadar lemak bebas dihitung berdasarkan selisih bobot awal dan akhir cawan. Kadar lemak bebas = dimana: W = bobot contoh g W1 = bobot cawan kosong g W2 = bobot lemak bebas + cawan g 16 5 Keasaman IDF, 1988 Analisis keasaman dilakukan dengan pengukuran pH. Sampel susu bubuk sebanyak 10 gram dilarutkan dengan 100 ml aquades sehingga konsentrasinya 10 kemudian diukur keasamannya menggunakan pH-meter. 6 Bilangan peroksida IDF, 1991 Analisis dilakukan menggunakan metode spektrofotometri. Pengukuran bilangan peroksida diawali dengan pembuatan kurva standar FeCl 3 . Larutan induk diencerkan hingga konsentrasi 10, 20, 30, 40, 50 μgml. Masing – masing ditambahkan larutan ammonium thiocyanate dengan perbandingan 1:1. Campuran larutan dipanaskan pada suhu 55 o C selama 5 menit dan didinginkan pada desikator selama 8 menit untuk kemudian diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 510nm. Hasil pengukuran dibuat persamaan garisnya. Untuk pengukuran sampel, sebanyak 1.25 gram sampel ditimbang ke dalam erlenmeyer asah kemudian ditambahkan 25 ml larutan 1-chlorobutane- methanol dan diaduk selama satu menit. Sampel dipanaskan pada suhu 55 o C selama lima menit kemudian didinginkan pada desikator selama 10 menit dan disaring dengan kertas saring ke dalam erlenmeyer sehingga diperoleh ekstrak sampel. Sebanyak 3 ml ekstrak sampel dipipet ke dalam erlenmeyer yang lain dan 3 ml larutan 1-chlorobutane-methanol ke dalam erlenmeyer lainnya sebagai blanko. Tujuh ml larutan 1-chlorobutane-methanol ditambahkan ke dalam sampel dan blanko. Sebanyak 0.1 ml campuran larutan iron II chloride ammonium thiocyanate dipipet ke dalam sampel dan blanko. Sampel dan blanko dipanaskan pada suhu 50 o C selama dua menit dan didinginkan pada desikator selama 8 menit kemudian diukur nilai peroksidanya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm. Hasil pengukuran diplotkan ke kurva standar FeCl 3 untuk menghitung bilangan peroksidanya.

b. Analisis Fisika

1 Sieve test IDF, 1988 Analisis sieve test dilakukan menggunakan penyaring dengan ukuran mesh tertentu untuk mengetahui besaran partikel dari produk susu bubuk. Pengujian dilakukan dengan menyaring susu bubuk dengan rentang ukuran saringan yang telah ditentukan. Ukuran partikel ini akan mempengaruhi densitas kamba dari susu bubuk. Tiap penyaring pada alat shaker ditimbang bobot kosongnya. Sebanyak 50 gram sampel susu bubuk ditempatkan di penyaring paling atas yang sudah dipasang pada alat shaker. Kunci susunan penyaring pada alat shaker dan nyalakan alat agar bergoncang selama 5 menit. Setiap penyaring ditimbang lagi bobotnya yang berisi sampel dan usahakan tidak ada partikel bubuk yang menempel di bagian bawah saringan. Persentase susu bubuk yang tertinggal di saringan paling atas dihitung sebagai persen sieve test. 17 2 Densitas kamba IDF, 1988 Analisis densitas kamba dilakukan untuk mengetahui ruang dalam kemasan yang dibutuhkan oleh produk dengan berat tertentu. Tabung silinder kosong dipasangkan pada alat tapping dan ditimbang bobot kosongnya kemudian diisikan sampel susu bubuk sebanyak 100 gram ke dalam tabung. Tapping dilakukan sesuai dengan jenis susu bubuk yang akan diukur yaitu antara 100 – 1250 ketukan. Setelah tapping, tabung silinder ditimbang kembali bobot akhirnya dan nilai densitas kamba akan tertera pada layar. 3 Indeks non solubilitas ISO, 2005 Analisis kelarutan dilakukan dengan metode sentrifugasi untuk melihat fraksi yang tidak larut. Sebanyak 13 gram susu bubuk dilarutkan dalam 100 ml akuades pada suhu 25 o C kemudian dihomogenasi selama 10-20 detik dan ditambahkan 2 tetes defoaming agent. Sebanyak 50 ml susu yang telah direkonstitusi dituang ke dalam tabung sentrifugasi berskala. Tabung berisi sampel disentrifugasi selama 10 menit pada kecepatan 150 rpm. Bagian supernatan pada tabung sentrifuse dibuang dengan menggunakan pipet tetes setelah itu endapan pada bagian dasar tabung diukur dalam skala ml yang tertera pada tabung kemudian dibandingkan dengan standar dan disebut indeks non- solubilitas. 4 Kemampuan dispersi IDF, 1988 Analisis ini untuk mengukur kemudahan susu bubuk bersatu dalam larutan pada kondisi campuran normal. Sebanyak 34 gram susu bubuk dilarutkan dalam 250 ml akuades pada suhu 25 o C dan diaduk secara manual selama 20 detik. Susu bubuk yang telah direkonstitusi kemudian disaring menggunakan kertas saring yang telah ditimbang bobotnya dan penyaring vakum. Kertas saring hasil saringan kemudian ditimbang bobotnya. Jumlah susu bubuk yang terdispersi yaitu susu bubuk yang melewati saringan dalam bentuk terlarutnya ditetapkan dengan menentukan total solid dalam filtrat dan disebut persen dispersibilitas. 5 Scorched particle IDF, 1988 Merupakan uji untuk mengetahui adanya partikel hangus yang terdapat pada susu. Sebanyak 32.5 gram susu bubuk dilarutkan dalam 250 ml akuades suhu 25 o C dan dihomogenisasi selama 1 menit serta ditambahkan 2 tetes defoaming agent. Larutan susu kemudian disaring dengan kertas saring dan penyaring vakum. Hasil saringan akan dibandingkan dengan standar dan diklasifikasikan dengan huruf mutu A, B, C, dan D sesuai intensitas dan warna partikel yang tertinggal di kertas saring. 18 Gambar 2. Standar Scorched particle untuk susu bubuk 6 Kadar oksigen dalam kemasan Analisis kadar oksigen dalam kemasan dilakukan dengan menusukkan jarum syringe pada bagian atas kemasan primer kemudian alat akan secara otomatis membaca kadar oksigen yang terkandung didalamnya. Adapun alat ukur kadar oksigen dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Alat Ukur Oksigen Spesifikasi alat lihat Lampiran 1

2. Analisis fisikokimia secara berkala sesuai parameter yang telah

ditetapkan untuk penghitungan kinetika penurunan mutu Setelah analisis fisikokimia awal dilakukan dan diperoleh parameter yang paling mempercepat kerusakan, analisis dilanjutkan dengan fokus pengujian terhadap parameter yang telah ditetapkan tersebut. Sampel susu bubuk disimpan pada tiga suhu yang berbeda yaitu 30 o C, 40 o C, dan 55 o C kemudian dianalisis setiap minggunya selama enam minggu. 19 3. Penetapan laju penurunan mutu Laju perubahan mutu setiap parameter pada produk susu bubuk dapat berbeda- beda. Jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara konstan atau linier maka mengikuti ordo reaksi nol, sedangkan jika laju kerusakan parameter tersebut terjadi secara eksponensial atau logaritmik maka mengikuti ordo reaksi satu.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENENTUAN PARAMETER MUTU KRITIS

Parameter mutu kritis awal merupakan parameter yang paling mempengaruhi penurunan mutu susu bubuk selama penyimpanan. Penentuan parameter mutu kritis awal diawali dengan melakukan analisis awal. Analisis awal ini dilakukan untuk mengetahui parameter apa yang paling cepat mengalami perubahan mutu selama penyimpanan. Sampel yang akan diuji diambil dari gudang penyimpanan sampel PT Frisian Flag Indonesia. Sampel merupakan susu bubuk yang disimpan hingga kadaluarsa dengan tujuan mengontrol mutu produk. Untuk menentukan parameter kritis awal maka digunakan sampel susu bubuk yang sudah memasuki batas awal masa kadaluarsa. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kimia dan fisik. Analisis kimia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, kadar lemak bebas, bilangan peroksida, dan keasaman. Analisis fisik meliputi sieve test, scorched particle, dispersibilitas, indeks non solubilitas, densitas kamba, dan oksigen. Hasil analisis sampel yang sudah memasuki batas awal kadaluarsa akan dibandingkan dengan standar. Parameter kerusakan ditunjukkan oleh hasil analisis yang melebihi standar atau merupakan parameter yang menjadi tolak ukur penerimaan konsumen. Perbandingan antara hasil analisis susu bubuk tipe-X dengan standar ditunjukkan oleh Tabel 3. Tabel 3. Perbandingan hasil analisis susu bubuk dengan standar Analisis Hasil analisis Standar Analisis kimia Kadar air 2.70 Maks. 4.00 Kadar lemak 28.90 Min. 26.00 Kadar protein 25.00 Min. 25.00 Kadar lemak bebas 3.20 Maks. 3.00 Kadar peroksida 1.00 meqkg sampel Maks. 1.00 meqkg sampel Keasaman 6.4 6.4 – 6.7 Analisis fisik Sieve test 12 10 – 16 Scorched particle B Min. AB Densitas kamba 0.56 gml 0.5 – 0.6 gml Indeks non solubilitas 0.60 ml Maks. 0.50 ml Dispersibilitas 85.00 Min. 85.00 Oksigen 2.00 Maks. 3.00 Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas merupakan parameter dari hasil analisis sampel yang sudah memasuki batas kadaluarsa melebihi standar yang ditetapkan. Parameter dispersibilitas memiliki nilai yang berada di ambang batas standar yaitu 85 namun tidak dimasukkan dalam parameter kritis susu bubuk tipe-X. Hal ini karena dispersibilitas merupakan parameter untuk melihat kemampuan aglomerasi susu bubuk terpisah menjadi partikel-partikel tunggal dan terdispersi dalam air ketika proses pengadukan secara manual. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan dispersi susu bubuk ketika 21 direkonstitusi secara manual oleh konsumen dalam kondisi sehari-hari. Dalam Skanderby et al. 2009, uji ini sulit dilakukan secara obyektif karena faktor subyektivitas ketika pengadukan sehingga tidak dimasukkan sebagai parameter kritis susu bubuk tipe-X. Selain itu, partikel susu bubuk yang tidak terdispersi dalam air akan mengendap menjadi fraksi tidak terlarut dimana dapat terhitung sebagai indeks non solubilitas. Parameter bilangan peroksida dimasukkan ke dalam parameter yang mempengaruhi kerusakan susu bubuk karena nilainya sudah memasuki ambang batas. Hal ini disebabkan susu bubuk memiliki kadar lemak yang cukup tinggi 28 dan bilangan peroksida merupakan hasil tahap awal reaksi oksidatif antara asam lemak bebas berantai ganda dengan oksigen. Oksidasi lemak bertanggung jawab atas perubahan rasa dan aroma produk pangan, seperti susu bubuk, melalui pembentukan off-flavor yang berasal dari produk reaksi sekunder yaitu alkana, alkena, aldehid, dan keton Romeu-Nadal et al. 2007. Reaksi oksidatif lemak merupakan reaksi yang tidak diinginkan bagi kesehatan manusia dan dapat menurunkan nilai gizi susu bubuk. Selain itu, senyawa peroksida bertanggungjawab atas perubahan mutu secara organoleptik, yaitu rasa dan aroma tengik yang tentu akan menurunkan penerimaan konsumen Valero et al. 2001. Karakterisasi susu bubuk sebelum penyimpanan dilakukan untuk memperoleh nilai mutu awal dari produk tersebut. Nilai parameter awal secara objektif ditentukan dengan melakukan analisis kimia terhadap produk susu bubuk yang baru diproduksi tersebut. Karakterisasi ini dilakukan terhadap parameter bilangan peroksida, indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas. Adapun hasil pengukuran mutu awal produk susu bubuk dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai mutu awal produk susu bubuk tipe-X berdasarkan beberapa parameter Parameter Nilai Awal Q Kadar lemak bebas 1.02 Kadar peroksida 0.19 mili-equivalenkg sampel Indeks non solubilitas 0.20 ml Selain dilakukan pengukuran nilai mutu awal, perlu dilihat pula analisis proksimat dari susu bubuk tipe-X untuk mengetahui komposisi gizi dari produk awal. Data proksimat susu bubuk tipe-X dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai proksimat susu bubuk tipe-X basis basah Komponen Kadar air 2.5 Kadar lemak Kadar protein Kadar abu 28.0 25.0 8.0 Kadar karbohidrat 35.8 B. PENENTUAN LAJU PENURUNAN MUTU

1. Bilangan Peroksida

Menurut IDF 1991, prinsip pengukuran bilangan peroksida dengan metode spektrofotometri adalah proses oksidasi ion FeII menjadi FeIII oleh senyawa peroksida dalam sampel dimana FeIII akan bereaksi dengan reagen sehingga menghasilkan 22 kompleks warna yang kemudian diukur dengan spektrofotometer. Dalam reaksi ini, reagen yang digunakan adalah amonium tiosianat yang akan membentuk kompleks feri-tiosianat Fe[SCN] 3 yang berwarna merah muda dan media reaksi yang digunakan adalah kloroform:methanol = 7:3. Kurva standar dibuat dari larutan stok standar [1.00 mg FeIIIml dengan 1 HCl] yang dilarutkan dengan kloroform:metanol 7:3 dan reagen ammonium tiosianat sehingga membentuk kompleks warna lihat Tabel 6. HCl ditambahkan untuk membuat kondisi asam karena ion FeIII lebih stabil dalam medium asam. Adapun pengukuran kurva standar FeCl 3 dapat dilihat pada Gambar 4. Tabel 6. Pengukuran larutan standar FeCl 3 Konsentrasi μgml Absorbansi 0.00 0.000 10.00 0.266 20.00 0.565 30.00 0.886 40.00 1.170 50.00 1.434 Gambar 4. Grafik Kurva Standar FeCl 3 Analisis bilangan peroksida dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30 o C, 40 o C, dan 55 o C. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data kenaikan bilangan peroksida setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo reaksi 0 dan ordo reaksi 1 lihat Tabel 7. Pada ordo reaksi 0, data bilangan peroksida sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x dimana dapat dilihat pada Gambar 5. Pada ordo reaksi 1, bilangan peroksida dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x dimana dapat dilihat pada Gambar 6. Berdasarkan plot bilangan peroksida ke dalam ordo reaksi nol dan ordo reaksi satu diperoleh nilai koefisien determinasi R 2 yang rendah pada semua suhu dan terjadi fluktuasi data. Hal ini menunjukkan bahwa model persamaan regresi linier belum mewakili K o n s e n t r a s i m g L 2 0 4 0 6 0 A b so rb an si - 0 .2 0 .0 0 .2 0 .4 0 .6 0 .8 1 .0 1 .2 1 .4 1 .6 y = 0 .0 2 9 2 x - 0 .0 0 8 6 R 2 = 0 .9 9 9 23 variasi data bilangan peroksida sehingga ordo reaksinya tidak dapat ditentukan. Selain itu, peningkatan suhu penyimpanan tidak berbanding lurus dengan peningkatan nilai bilangan peroksida, dimana minggu ke-1, 2, 4, dan 5 nilai bilangan peroksida pada suhu 55 o C lebih rendah dibandingkan pada suhu 40 o C. Bahkan nilai bilangan peroksida minggu ke-2, 3, dan 4 pada suhu 55 o C lebih rendah daripada ketika suhu 30 o C. Selain itu, laju penurunan mutu susu bubuk tipe-X berjalan lambat sehingga akhir reaksi sulit ditentukan. Tabel 7. Data pengukuran bilangan peroksida dalam satuan meqkg sampel M inggu Suhu Penyimpanan o C 30 40 55 SD RSD A RSD H SD RSD A RSD H SD RSD A RSD H 0.19 0.00 0.00 2.57 0.19 0.00 0.00 2.57 0.19 0.00 0.00 2.57 1 0.28 0.00 0.00 2.42 0.29 0.01 4.88 2.41 0.28 0.01 2.57 2.43 2 0.33 0.01 2.18 2.37 0.34 0.01 2.11 2.36 0.25 0.01 2.89 2.47 3 0.33 0.00 0.00 2.36 0.26 0.02 8.32 2.46 0.30 0.00 0.00 2.40 4 0.32 0.03 8.84 2.37 0.34 0.01 2.11 2.36 0.26 0.06 21.76 2.45 5 0.32 0.00 0.00 2.37 0.48 0.01 1.49 2.24 0.45 0.06 12.57 2.26 Gambar 5. Grafik ordo reaksi nol parameter bilangan peroksida Menurut Stapelfeldt et al. 1997, oksidasi lemak meningkat seiring dengan meningkatnya suhu penyimpanan yang ditandai peningkatan radikal bebas yaitu singlet oksigen dan bilangan TBA pada susu bubuk. Oksidasi lemak akan terjadi ketika singlet oksigen yang reaktif menyerang ikatan rangkap pada rantai asam lemak tidak jenuh. Singlet oksigen akan memicu oksidasi lemak yang dapat membentuk hidroperoksida dan dapat W a k t u m i n g g u 1 2 3 4 5 6 P V m eq k g s am p el 0 . 1 5 0 . 2 0 0 . 2 5 0 . 3 0 0 . 3 5 0 . 4 0 0 . 4 5 0 . 5 0 S u h u 3 0 o C S u h u 4 0 o C S u h u 5 5 o C y 3 0 o C = 0 . 0 2 2 x + 0 . 2 4 R 2 = 0 . 5 6 6 y 4 0 o C = 0 . 0 4 3 x + 0 . 2 1 R 2 = 0 . 6 9 1 y 5 5 o C = 0 . 0 3 7 x + 0 . 2 0 R 2 = 0 . 6 2 1 24 terdegradasi menjadi malonaldehid sebagai produk akhir oksidasi lemak yang terukur dengan bilangan TBA. Dalam Miller et al.2006, komponen lemak pada produk susu bubuk terdiri dari 56 asam lemak jenuh, 25 asam lemak tidak jenuh monounsaturated fatty acid, dan 6 asam lemak tidak jenuh rantai panjang polyunsaturated fatty acid. Kandungan asam lemak tidak jenuh total sebesar 31 akan meningkatkan potensi terbentuknya senyawa peroksida. Gambar 6. Grafik ordo reaksi satu parameter bilangan peroksida Terjadinya fluktuasi data dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang meliputi kondisi internal susu bubuk itu sendiri maupun faktor eksternal ketika analisis. Dalam susu bubuk tersedia vitamin A dan juga prekursornya yaitu betakaroten yang merupakan vitamin larut lemak Miller et al. 2006. Ketersediaan betakaroten dapat berfungsi sebagai antioksidan yang mencegah terbentuknya senyawa peroksida dengan menyumbangkan elektron pada diena terkonjugasi ketika tahap inisiasi oksidasi lemak Cha´vez- Servı´n et al. 2008. Pencampuran vitamin pada proses pembuatan susu bubuk dilakukan dengan pencampuran kering setelah proses pengeringan susu bubuk Watson Dairy Consulting 2011. Hal tersebut berpotensi penyebaran komponen vitamin yang kurang seragam pada susu bubuk dan dapat memicu nilai peroksida yang berbeda antar data. Dilihat dari nilai standar deviasi SD dan RSD data bilangan peroksida menunjukkan semakin tinggi suhu, semakin banyak data yang memiliki ketelitian rendah yang artinya semakin tinggi suhu variasi antar data semakin besar. Faktor yang diduga juga dapat mempengaruhi fluktuasi nilai bilangan peroksida adalah pereaksi FeCl 2 yang digunakan dimana ada kemungkinan pereaksi sudah teroksidasi. Nilai bilangan peroksida ditunjukkan oleh oksidasi FeII menjadi FeIII oleh senyawa peroksida. Pereaksi FeCl 2 yang sudah teroksidasi akan menurunkan reaksi oksidasi oleh peroksida yang menghasilkan FeIII yang kemudian akan membentuk kompleks warna W a k t u m i n g g u 1 2 3 4 5 6 L n P V m eq k g s am p el - 1 . 8 - 1 . 6 - 1 . 4 - 1 . 2 - 1 . 0 - 0 . 8 S u h u 3 0 o C S u h u 4 0 o C S u h u 5 5 o C y 3 0 o C = 0 . 0 4 1 x - 1 . 3 1 R 2 = 0 . 0 8 2 y 4 0 o C = 0 . 0 6 7 x - 1 . 4 0 R 2 = 0 . 2 0 0 y 5 5 o C = 0 . 0 7 7 x - 1 . 5 0 R 2 = 0 . 5 1 4 25 dengan ammonium tiosianat Hornero-Méndez et al. 2001. Oksidasi pereaksi FeCl 2 dapat disebabkan oleh fotooksidasi ketika penyimpanan. Hal ini menyebabkan tidak semua senyawa peroksida pada sampel dapat terukur akibat oksidasi sebagian pereaksi FeCl 2 sehingga Fe III yang berikatan dengan ammonium tiosianat dan diukur dengan spektrofotometer nilainya rendah. Selain itu, nilai absorbansi dari pengukuran kompleks warna tidak diketahui nilainya secara langsung karena nilai bilangan peroksida yang dihasilkan merupakan nilai akhir plot absorbansi ke dalam kurva standar yang otomatis terhitung dalam spektrofotometer. Sebaiknya perlu dilakukan pengukuran absorbansi secara manual untuk mengetahui nilai absorbansi sampel dimana nilai tersebut menunjukkan intensitas peroksida sebelum nilai absorbansi tersebut dimasukkan ke dalam kurva standar. Laju penurunan mutu yang lambat dapat disebabkan kadar oksigen dalam kemasan yang rendah 1 sehingga kurang memicu reaksi oksidasi. Sebaiknya untuk pengukuran selanjutnya, waktu pengukuran bilangan peroksida ditambahkan untuk semua suhu agar dapat melihat lebih jauh laju penurunan mutunya. Pengukuran bilangan peroksida hanya dilakukan hingga minggu ke-5 karena data pengukuran minggu ke-6 menunjukkan penurunan nilai bilangan peroksida untuk ketiga suhu. Hal ini tidak sesuai dengan literatur dimana nilai bilangan peroksida meningkat seiring dengan meningkatnya suhu dan waktu penyimpanan. Faktor yang mungkin mempengaruhi adalah kesalahan saat analisis dan sampling.

2. Kadar lemak bebas

Lemak bebas yang terkandung dalam susu bubuk mengacu pada lemak yang terdapat pada permukaan partikel susu bubuk tanpa membran disekelilingnya Walstra et al. 1999. Analisis kadar lemak bebas dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30 o C, 40 o C, dan 55 o C. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data kadar lemak bebas setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1 lihat Tabel 8. Pada ordo 0, data kadar lemak bebas sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x lihat Gambar 7, sedangkan pada ordo 1 kadar lemak bebas dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x lihat Gambar 8. Berdasarkan plot kadar lemak bebas ke dalam ordo nol dan ordo satu diperoleh nilai koefisien determinasi R 2 yang cukup tinggi untuk ordo nol maupun ordo satu. Penentuan ordo reaksi dilakukan dengan melihat ordo reaksi yang memiliki koefisien determinasi R 2 lebih besar dimana nilai R 2 menunjukkan model persamaan regresi linier dapat menjelaskan perubahan variasi konsentrasi akibat perubahan waktu penyimpanan dan suhu. Suhu 30 o C di ordo nol maupun ordo satu memiliki nilai R 2 yang kecil artinya data belum terwakili oleh model persamaan regresi linier. Menurut Labuza 1983, kesukaran mungkin terjadi dalam penentuan ordo reaksi jika penurunan konsentrasi berjalan lambat sehingga akhir reaksi sulit diperoleh. Apabila penurunan mutu belum mencapai 50, maka sedikit sekali perbedaan yang diperoleh jika digunakan ordo reaksi nol atau ordo reaksi satu. Nilai R 2 yang rendah pada suhu 30 o C menunjukkan penurunan mutu susu bubuk belum mencapai 50 sehingga peningkatan kadar lemak bebasnya belum signifikan. Pada ordo reaksi nol suhu 40 o C dan 55 o C menunjukkan nilai R 2 yang lebih besar dari R 2 pada ordo nol yaitu lebih dari 0.75 dimana artinya lebih dari 75 data terwakili oleh model persamaan regresi linier sehingga ordo 26 reaksi yang dipilih adalah ordo reaksi nol. Ordo reaksi yang terpilih adalah yang memiliki R 2 lebih besar Rahayu dan Arpah 2003. Hal ini menunjukkan laju reaksi berdasarkan parameter kadar lemak bebas tidak dipengaruhi oleh konsentrasi pada suhu konstan. Tabel 8. Data pengukuran kadar lemak bebas dalam satuan M inggu Suhu Penyimpanan o C 30 40 55 SD RSD A RSD H SD RSD A RSD H SD RSD A RSD H 1.02 0.01 1.39 1.99 1.02 0.01 1.39 1.99 1.02 0.01 1.39 1.99 1 1.99 0.02 1.00 1.80 2.35 0.06 1.85 1.69 3.46 0.13 3.76 1.66 2 2.06 0.00 0.00 1.79 2.20 0.01 0.46 1.69 3.99 0.16 4.08 1.62 3 1.71 0.02 1.24 1.85 2.69 0.03 0.92 1.69 5.46 0.06 1.04 1.55 4 1.87 0.33 17.39 1.82 3.07 0.05 1.84 1.72 7.66 0.08 1.02 1.47 5 2.12 0.15 7.02 1.79 3.07 0.06 2.73 1.78 6.08 0.11 1.86 1.52 6 1.59 0.04 2.67 1.87 3.05 0.02 0.85 1.76 11.17 0.13 1.14 1.39 Gambar 7. Grafik ordo reaksi nol parameter kadar lemak bebas Berdasarkan data terdapat beberapa nilai yang memiliki ketelitian rendah yang ditandai dengan nilai SD dan RSD yang besar dimana variasi antar data cukup besar. Hal ini dapat disebabkan karena struktur partikel susu yang kurang homogen. Pada saat pengeringan dengan pengering semprot, terjadi aglomerasi akibat proses atominasi susu evaporasi. Struktur partikel susu yang teraglomerasi akan berongga dan berukuran besar Skanderby et al. 2009. Perlakuan panas juga akan memicu terbentuknya crack atau W a k t u m i n g g u 1 2 3 4 5 6 7 K ad ar l em ak b eb as 2 4 6 8 1 0 1 2 S u h u 3 0 o C S u h u 4 0 o C S u h u 5 5 o C y 3 0 o C = 0 .0 6 4 x + 1 .5 8 R 2 = 0 .1 3 1 y 4 0 o C = 0 .3 0 0 x + 1 .5 9 R 2 = 0 .7 6 6 y 5 5 o C = 1 .4 0 6 x + 1 .3 3 R 2 = 0 .8 6 9 27 retakan pada partikel susu yang dapat memperbesar potensi pembebasan lemak ke permukaan partikel sehingga kadar lemak bebasnya meningkat Walstra et al. 1999. Gambar 8. Grafik ordo reaksi satu parameter kadar lemak bebas Semakin tinggi suhu maka akan menyebabkan retakan-retakan pada partikel susu bubuk makin besar sehingga semakin banyak lemak yang terbebas ke permukaan partikel Walstra et al. 1999. Hal tersebut dapat dilihat pada minggu ke-6 suhu 55 o C dimana nilai kadar lemak bebas meningkat dengan drastis dibandingkan minggu-minggu sebelumnya. Berdasarkan nilai kadar lemak bebas pada suhu 30 o C, 40 o C, dan 55 o C, terlihat bahkan kadar lemak bebas cukup sensitif terhadap perubahan suhu dimana peningkatan suhu akan meningkatkan kadar lemak bebasnya. Pada minggu ke-4, 5 dan 6 suhu 40 o C terlihat bahwa nilai kadar lemak bebas sudah mencapai batas kritis. Hal ini menunjukkan, susu bubuk tipe- X ini sebaiknya disimpan pada suhu kurang dari 40 o C, karena jika disimpan pada suhu yang tinggi maka kadar lemak bebasnya akan meningkat dan berpotensi untuk terjadinya oksidasi lemak yang akan semakin menurunkan mutu dan penerimaan konsumen terhadap produk susu bubuk. Penurunan mutu susu bubuk berdasar parameter kadar lemak bebas cukup sensitif terhadap suhu. Pada suhu 30 o C penurunan mutu belum mencapai 50 sedangkan pada suhu 40 o C dan 55 o C penurunan mutu cukup cepat. Oleh karena itu, sebaiknya untuk selanjutnya waktu pengukuran untuk suhu 30 o C diperbanyak lagi lebih dari 6 minggu untuk mencapai penurunan mutu hingga minimal 50-nya. W a k t u m i n g g u 1 2 3 4 5 6 7 L n K ad ar l em ak b eb as 0 .0 0 .5 1 .0 1 .5 2 .0 2 .5 3 .0 S u h u 3 0 o C S u h u 4 0 o C S u h u 5 5 o C y 3 0 o C = 0 .0 4 9 x + 0 .4 0 R 2 = 0 .1 7 3 y 4 0 o C = 0 .1 4 8 x + 0 .4 1 R 2 = 0 .6 6 4 y 5 5 o C = 0 .3 2 0 x + 0 .5 5 R 2 = 0 .8 1 4 28

3. Indeks non solubilitas

Indeks non solubilitas merupakan fraksi tidak terlarut dari susu yang dilarutkan dimana sering disebut juga indeks solubilitas. Umumnya, fraksi tidak terlarut pada susu bubuk adalah protein. Sejumlah koagula protein bersama dengan globula lemak susu yang terperangkap sering disebut flek akan menjadi komponen yang tidak larut. Indeks non solubilitas pada susu bubuk juga dipengaruhi oleh suhu, dimana suhu yang tinggi akan mendenaturasi protein dalam bentuk β-laktoglobulin kompleks dengan kasein dan laktosa dalam perbandingan tertentu sehingga meningkatkan fraksi tidak larut Augustin dan Clarke 2008. Analisis indeks non solubilitas dilakukan setiap minggu terhadap produk yang disimpan pada suhu 30 o C, 40 o C, dan 55 o C. Penyimpanan pada suhu tinggi ini diharapkan akan mempercepat kerusakan pada produk. Data indeks non solubilitas setiap minggu kemudian diplotkan ke dalam ordo 0 dan ordo 1 lihat Tabel 9. Pada ordo 0, data indeks non solubilitas sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x lihat Gambar 9, sedangkan pada ordo 1 indeks non solubilitas dalam bentuk ln sebagai sumbu-y diplotkan terhadap waktu penyimpanan sebagai sumbu-x lihat Gambar 10. Tabel 9. Data pengukuran indeks non solubilitas dalam satuan ml M inggu Suhu Penyimpanan o C 30 40 55 SD RSD A RSD H SD RSD A RSD H SD RSD A RSD H 0.20 0.00 0.00 2.55 0.20 0.00 0.00 2.55 0.20 0.00 0.00 2.55 1 0.18 0.04 20.20 2.60 0.13 0.04 28.28 2.74 0.10 0.00 0.00 2.83 2 0.10 0.00 0.00 2.83 0.08 0.04 47.14 2.95 0.15 0.07 47.14 2.66 3 0.10 0.00 0.00 2.83 0.15 0.07 47.14 2.66 0.15 0.07 47.14 2.66 4 0.23 0.11 47.14 2.50 0.05 0.00 0.00 3.14 0.60 0.00 0.00 2.16 5 0.25 0.07 28.28 2.46 0.30 0.00 0.00 2.40 0.40 0.00 0.00 2.30 6 0.25 0.07 28.28 2.46 0.30 0.00 0.00 2.40 2.00 0.00 0.00 1.80 Berdasarkan data pengukuran indeks non solubilitas yang diplotkan dalam ordo nol maupun ordo satu menunjukkan nilai yang cukup fluktuatif. Nilai R 2 kedua ordo belum mencapai 75 data terwakili oleh model persamaan regresi linier. Oleh karena itu, perlu penambahan waktu pengukuran untuk mendapatkan nilai indeks non solubilitas yang lebih banyak lagi selama waktu penyimpanan. Jika dibandingkan antara ordo nol dan ordo satu, maka ordo nol memiliki nilai R 2 yang lebih tinggi dibandingkan ordo satu sehingga penurunan mutu susu bubuk berdasarkan parameter indeks non solubilitas mengikuti ordo reaksi nol dimana konsentrasi tidak mempengaruhi laju reaksi. Semakin tinggi kadar lemak pada susu bubuk juga akan meningkatkan indeks solubilitas atau fraksi tidak terlarutnya Augustin dan Clarke 2008. Oleh karena itu, terdapat korelasi antara indeks non solubilitas dan kadar lemak bebas, dimana peningkatan kadar lemak bebas akan meingkatkan pula indeks non solubilitasnya. Nilai yang paling menunjukkan korelasi kedua parameter adalah pada minggu ke-6 suhu 55 o C dimana peningkatan yang drastis dari kadar lemak bebas meningkatkan pula nilai indeks non solubilitasnya secara drastis dibandingkan minggu-minggu sebelumnya. Peningkatan nilai 29 indeks non solubilitas juga dipengaruhi oleh denaturasi protein akibat pemanasan selama penyimpanan. Gambar 9. Grafik ordo reaksi nol parameter indeks non solubilitas Gambar 10. Grafik ordo reaksi satu parameter indeks non solubilitas W a k t u m i n g g u 1 2 3 4 5 6 7 In d ek s n o n s o lu b il it as m l - 0 . 5 0 . 0 0 . 5 1 . 0 1 . 5 2 . 0 2 . 5 S u h u 3 0 o C S u h u 4 0 o C S u h u 5 5 o C y 3 0 o C = 0 . 0 1 5 x + 0 . 1 4 R 2 = 0 . 2 5 0 y 4 0 o C = 0 . 0 2 2 x + 0 . 1 1 R 2 = 0 . 2 2 5 y 5 5 o C = 0 . 2 3 0 x - 0 . 1 8 R 2 = 0 . 5 3 8 W a k t u m i n g g u 1 2 3 4 5 6 7 L n I n d ek s n o n s o lu b il it as m l - 4 - 3 - 2 - 1 1 S u h u 3 0 o C S u h u 4 0 o C S u h u 5 5 o C y 3 0 o C = 0 . 0 7 8 x - 1 . 9 8 R 2 = 0 . 1 7 9 y 4 0 o C = 0 . 0 9 1 x - 2 . 2 1 R 2 = 0 . 0 8 5 y 5 5 o C = 0 . 3 9 5 x - 2 . 3 9 R 2 = 0 . 6 7 3 30 Fluktuasi data dapat disebabkan oleh pengaruh subyektivitas selama pengukuran. Pada saat pembacaan nilai fraksi tidak terlarut pada tabung sentrifuse berskala, diduga masih ada campuran fraksi terlarut dari hasil sentrifugasi sehingga menghasilkan nilai indeks non solubilitas yang bias dan nilainya bervariasi antar data. Selain itu, proses sentrifugasi akan menghasilkan endapan miring sehingga dapat mempengaruhi pembacaan nilai skala. Hal tersebut tampak pada nilai SD dan RSD yang besar pada sebagian data. Kesalahan yang terjadi disebabkan kurangnya cara pembacaan nilai skala yang spesifik. Dalam IDF 2002, terdapat cara pembacaan yang lebih spesifik dimana setelah proses sentrifugasi dan fraksi larut dikeluarkan, tabung sentrifuse diisi kembali dengan akuades dan dilakukan sentrifugasi kembali kemudian setelah itu nilai skalanya terbaca dengan lebih jelas.

C. UJI KETEPATAN MODEL