22 940  kg.  Apabila  ingin  mendapatkan  keuntungan  maka  harus  memproduksi  lebih
dari  940  kg.  Nilai  HPP  yang  diperoleh  sebesar  Rp  187  805  yang  artinya  agar usaha tidak rugi  maka  harus  menjual cacing oligochaeta dengan  harga  lebih dari
Rp 187 805 per kg. Perlakuan  padat  penebaran  3600  individum
2
juga  mengalami  kerugian, sama halnya dengan perlakuan padat penebaran 2600 individum
2
, kerugian yang diperoleh  sebesar  Rp  49  759  788.  Nilai  RC  ratio  yang  dihasilkan  sebesar  0.72,
yang  bearti  setiap  1  rupiah  yang  dikeluarkan  akan  memperoleh  penerimaan sebesar Rp 0.72. Nilai BEP yang diperoleh sebesar Rp 424 628 467 dan 940 kg,
apabila  ingin  mendapatkan  keuntungan  maka  penerimaan  yang  diperoleh  harus lebih  dari  Rp  424  628  467  dan  940  kg.  Nilai  HPP  yang  diperoleh  dari  hasil
perhitungan sebesar Rp 104 888, sehingga cacing harus dijual dengan harga lebih dari harga tersebut supaya usaha yang dijalankan tidak rugi.
Perlakuan padat penebaran 4600  individum
2
dengan asumsi 1000 unit  bak pemeliharaan memperoleh keuntungan sebesar Rp 5 828 525 per tahun. Nilai RC
ratio  yang  dihasilkan  sebesar  1.04,  yang  bearti  setiap  1  rupiah  yang  dikeluarkan akan  memperoleh  penerimaan  sebesar  Rp  1.04.  Waktu  yang  dibutuhkan  oleh
perlakuan  4600  individum
2
untuk  pengembalian  modal  yang  sudah  ditanam adalah  selama  6.13  tahun.  Nilai  BEP  Rp  atau  batas  nilai  produksi  dalam  suatu
usaha  untuk  mencapai  titik  impas  dari  perlakuan  padat  penebaran  4600 individum
2
adalah  sebesar  Rp  154  585  260  dan  BEP  kg  sebesar  937  kg,  oleh karena  itu  apabila  ingin  mendapatkan  keuntungan  maka  penerimaan  dan  jumlah
produksi yang dihasilkan harus lebih dari Rp 154 585 260 dan 937 kg.  Nilai HPP yang diperoleh dari perlakuan 4600 individum
2
adalah sebesar Rp 72 389 per kg, sehingga bisa dikatakan bahwa pada perlakuan padat penebaran 4600 individum
2
layak untuk dijalankan karena  nilai HHP  yang diperoleh  lebih rendah dari  harga jual yang ditetapkan yaitu sebesar Rp 75 000 per kg.
3.2 Pembahasan
Cacing  oligochaeta  termasuk  ke  dalam  filum  Annelida,  kelas  Clitellata, kemudian  dibagi  lagi  menjadi  tiga  subkelas,  yaitu  Oligochaeta,  Branchiobdella
dan  Hirudinoidea.  Cacing  oligochaeta  terdapat  lebih  dari  3100  spesies,
23 kebanyakan  terdapat  di  air  tawar,  beberapa  di  laut,  air  payau  dan  darat.  Jenis
akuatik  umumnya  terdapat  pada  daerah  dangkal  yang  kurang  dari  1  meter, beberapa  membuat  lubang  dalam  lumpur,  ada  pula  yang  membuat  selubung
menetap  atau  berpindah-pindah.  Melimpahnya  jenis  oligochaeta  tertentu  dapat dipakai sebagai petunjuk adanya pencemaran organik di perairan Widigdo et al.
2005. Secara  fungsional  dan  ekologi,  oligochaeta  dibagi  menjadi  2  tipe,  yaitu
microdrile dan megadrile. Microdrile merupakan spesies akuatik, berukuran 1-30 mm, dinding tubuh tipis dan agak transparan. Megadrile merupakan spesies darat,
dinding tubuh tebal, umumnya panjang antara 5-30 cm,  bahkan Megascolides di Australia dapat mencapai 3 meter. Pada umumnya jumlah ruas cacing oligochaeta
tidak  tetap,  bervariasi  sekitar  25.  Jumlah  ruas  atau  somit  pada  cacing  dewasa antara 115-200 buah, dan pada spesies dari famili Haplotaxidae sampai 500 buah.
Ruas  pertama  adalah  peristomium  yang  mengandung  mulut  dan  ruas  terakhir terdapat anus Widigdo et al. 2005.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 60 hari pemeliharaan, pola pertambahan biomassa dan populasi cacing oligochaeta pada perlakuan padat
penebaran  2600  individum
2
dan  3600  individum
2
mencapai  puncak  yang  sama yaitu pada hari ke-40 masing-masing sebesar 411.26 gm
2
dan 82252 individum
2
untuk  padat  tebar  2600  individum
2
dan  739.95  gm
2
dan  147991  individum
2
untuk  padat  tebar  3600  individum
2
.  Puncak  populasi  terjadi  pada  hari  ke-40 dikarenakan cacing oligochaeta yang ditebar merupakan cacing dewasa yang siap
kawin, dilihat dari panjang dan  berat cacing  yang ditebar. Hal  ini didukung oleh Pophenco  1967  yang  menyatakan  bahwa  cacing  Tubifex  sp.  dewasa  yang  siap
kawin  berukuran  sekitar  3  cm  dengan  bobot  tubuh  antara  2  -5  mg.  Kasiorek 1970  juga  mengemukakan  bahwa  telur  Tubifex  sp.  meninggalkan  kokonnya
selama  10-12  hari  dan  setelah  menetas  akan  tumbuh  secara  intensif  selama  30 hari,  sehingga  diperoleh  puncak  di  hari  ke-40.  Cacing  oligochaeta  yang
mengeluarkan  kokon  akan  mengeluarkan  kokon  kembali  setiap  dua  minggu sekali.  Anak  cacing  akan  menghasilkan  kokon  untuk  pertama  kali  pada  usia
sekitar 40 – 45 hari Kasiorek 1974. Gambar 13 di bawah ini merupakan contoh kokon dari Limnodrilus hoffmeisteri.
24 Gambar 13 Kokon Limnodrilus hoffmeisteri Anonim 2009
Penurunan populasi terjadi pada hari ke-50 dikarenakan tingginya populasi pada  hari  ke-40,  menyebabkan  adanya  persaingan  mendapatkan  makanan.  Hal
tersebut  diduga  karena  dosis  pupuk  yang  diberikan  setiap  harinya  sama  yaitu  1 kgm
2
hari,  sedangkan  populasi  bertambah  setiap  minggunya.  Pemupukan  yang dilakukan  dalam  pemeliharaan  cacing  oligochaeta  bertujuan  untuk  menambah
kandungan  nutrien.  Unsur  nutrien  terpenting  di  dalam  pemupukan  adalah  N- organik  berbentuk  partikel  di  perairan  yang  dibutuhkan  untuk  pertumbuhan
bakteri.  Penelitian  ini  menggunakan  pupuk  yang  difermentasi  menggunakan aktifator EM
4
yang berfungsi meningkatkan kandungan N dan C yang terkandung dalam  bahan  organik,  hal  ini  mengacu  pada  penelitian  yang  dilakukan  Fadillah
2004. Penelitian  yang  dilakukan  Fadillah  2004  menunjukkan  bahwa
kelimpahan  bakteri  yang  didapat  lebih  rendah  daripada  Febriati  2004  yang melakukan  pemupukan  dengan  kotoran  ayam  kering  tanpa  fermentasi.
Kelimpahan  bakteri  rata-rata  yang  diperoleh  Fadillah  2004  mencapai  10
4
-10
5
sedangkan  Febrianti  2004  mencapai  10
6
-10
5
.  Perbedaan  kelimpahan  tersebut terkait  dengan  populasi  cacing  yang  dicapai  pada  masing-masing  penelitian.
Rendahnya kelimpahan bakteri Fadillah 2004 diikuti dengan tingginya populasi dan  biomassa  yang dicapai  yakni sebesar 661447  individum
2
dan 1719.59 gm
2
. Hal  ini  menandakan  bahwa sebagian  besar cacing  memanfaatkan  bakteri sebagai
sumber makanannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Widigdo et al. 2005, yang menyatakan  bahwa  cacing  oligochaeta  memakan  bakteri,  ganggang  filamen,
diatom dan detritus, sehingga populasi  bakteri  yang ada pada  meia pemeliharaan akan mempengaruhi pertambahan cacing oligochaeta.
1 mm
25 Penurunan pupulasi pada pemeliharaan juga disebabkan karena induk yang
sudah  dewasa  tidak  lagi  menghasilkan  individu  baru,  cacing  yang  masih  muda belum  mampu  bereproduksi  dan  adanya  kematian  cacing  yang  sudah  mencapai
usia tua. Hal ini dibuktikan berdasarkan pengamatan secara visual, dimana cacing dewasa  sudah  tidak  terlihat  pada  bak  pemeliharaan  dan  pada  saat  sampling  hari
ke-50  tidak  ditemukan  adanya  cacing  dewasa.  Penurunan  biomassa  berkaitan dengan  penurunan  populasi,  dimana  setelah  populasi  tertinggi  dicapai  jumlah
individu  dewasa  mulai  berkurang  karena  adanya  kematian  sedangkan  individu muda belum mampu bereproduksi sehingga setelah titik tertinggi tercapai individu
yang terdapat dalam wadah pemeliharaan sebagian besar adalah individu baru. Pada  pemeliharaan  dengan  perlakuan  padat  penebaran  4600  individum
2
puncak populasi  dan  biomassa terjadi pada  hari ke-50 sebesar 1275.46 gm
2
dan 255092  individum
2
dan  menurun  pada  hari  ke-60.  Perbedaan  tinggi  puncak populasi  dan  biomassa  antar  perlakuan  dikarenakan  pada  padat  penebaran  4600
individum
2
memiliki nilai rata-rata kandungan oksigen terlarut yang rendah pada awal  pemeliharaan  Lampiran  7a.  Rendahnya  oksigen  terlarut  tersebut
dikarenakan  jumlah  dari  padat  penebaran  4600  individum
2
lebih  tinggi dibandingkan kedua perlakuan yang lain sehingga persaingan untuk mendapatkan
oksigen  juga  lebih  besar.  Persaingan  mendapatkan  oksigen  tersebut  juga  tidak hanya  antar  cacing  yang  dipelihara  tetapi  juga  bersaing  dengan  bakteri  karena
proses  dekomposisi  membutuhkan  oksigen.  Hal  ini  diperkuat  oleh  pernyataan Hariyadi  dkk  1992  yang  menyatakan  bahwa  proses  dekomposisi  tidak  terjadi
secara  sekaligus  tetapi  bertahap  bergantung  kepada  kadar  bahan  organik  yang diuraikan, hanya 10-12  bahan organik yang dapat diuraikan pada setiap tahap.
Proses untuk mencapai sekitar 96  bahan organik terurai diperlukan waktu yang cukup  lama  yaitu  sekitar  20  hari  dan  pada  hari  ke-5  diperkirakan  75    bahan
organik  telah  terurai.  Pada  temperatur  20  °C  proses  dekomposisi  berjalan optimum  dan  sekitar  75    bahan  organik  telah  terdekomposisi.  Rendahnya
kandungan  oksigen  terlarut  tersebut  mempengaruhi  aktivitas  makan  dan reproduksi  dari  cacing  oligochaeta,  yang  diikuti  dengan  tingginya  kandungan
TAN.
26 Apabila  dibandingkan  dengan  hasil  penelitian  yang  menggunakan  padat
penebaran  yang  sama  tetapi  menggunakan  sistem  yang  berbeda  yaitu  sistem terbuka, penelitian ini memperoleh biomassa dan populasi lebih rendah. Penelitian
dengan sistem terbuka memperoleh puncak populasi dan biomassa tertinggi pada perlakuan 4600  individum
2
yaitu sebesar 447904  individum
2
dan 2239.52 gm
2
, yang  terjadi  pada  hari  ke-40  Febriani  24  Oktober  2011,  komunikasi  pribadi.
Perbedaan  pertambahan  populasi,  pertambahan  biomassa  dan  puncak  dari populasi dan  biomassa tersebut terjadi diduga karena pada  sistem terbuka, faktor
lain  seperti  kualitas  air  yang  terdiri  atas  kandungan  oksigen  terlarut  dan kandungan TAN lebih mendukung untuk reproduksi dan aktivitas makan.
Laju  pertambahan  biomassa  tertinggi  pada  penelitian  ini  sebesar  25.05 gm
2
hari pada perlakuan padat tebar 4600 individum
2
yang dicapai pada hari ke- 50.  Nilai  ini  lebih  kecil  bila  dibandingkan  pada  penelitian  dengan  menggunakan
sistem terbuka yaitu sebesar 55.41 gm
2
hari, begitu pula halnya dengan penelitian Fadillah  2004  yaitu  sebesar  42.94  grm
2
hari  yang  sama-sama  memberikan pupuk  kotoran  ayam  hasil  fermentasi  namun  sistem  yang  digunakan  berbeda.
Perbedaan  laju  pertambahan  biomassa  harian  dipengaruhi  oleh  biomassa  yang dapat dicapai pada setiap penelitian. Hal ini membuktikan bahwa budidaya cacing
oligochaeta  pada  sistem  sirkulasi  dengan  pergantian  air  menghasilkan  laju pertambahan  biomassa  yang  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  budidaya  cacing
oligochaeta dengan sistem terbuka. Berdasarkan  hasil uji  lanjut Tukey  yang dilakukan pada  hari ke-40 untuk
pertambahan  biomassa  dan  populasi,  perlakuan  2600  individum
2
signifikan dengan  perlakuan  4600  individum
2
,  hal  ini  dikarenakan  biomassa  dan  populasi yang  diperoleh  dari  kedua  perlakuan  tersebut  memiliki  nilai  yang  berbeda  jauh.
Begitu  pula  dengan  hasil  uji  lanjut  Tukey  pada  hari  ke-50  untuk  pertambahan biomassa dan populasi, yang menunjukkan perlakuan 2600 individum
2
dan 3600 individum
2
signifikan dengan perlakuan 4600  individum
2
. Hasil tersebut terjadi dikarenakan  pada  perlakuan  4600  memiliki  padat  penebaran  awal  yang  lebih
tinggi sehingga peluang untuk kawinnya cacing oligochaeta lebih tinggi sehingga menghasilkan populasi dan  biomassa  yang tinggi pula  bila dibandingkan dengan
kedua perlakuan lainnya.
27 Pada  awal  pemeliharaan  kandungan  oksigen  terlarut  untuk  ketiga
perlakuan  berada  di  atas  3  ppm,  namun  pada  hari  ke-10  terjadi  penurunan  dan nilai rata-rata yang paling rendah terjadi pada padat tebar 4600 individum
2
yaitu 2.15  ppm  Lampiran  7a.  Nilai  kandungan  oksigen  terlarut  pada  awal
pemeliharaan  lebih tinggi dibandingkan  hari selanjutnya, diduga karena populasi cacing oligochaeta  masih rendah sehingga pemanfaatan terhadap oksigen terlarut
juga  masih  rendah,  begitu  pula  dengan  proses  oksidasi  bahan  organik  oleh mikroorganisme  yang  juga  masih  rendah.  Penurunan  kandungan  oksigen  terlarut
yang terjadi pada ke-10 disebabkan oleh adanya aktifitas bakteri dalam merombak bahan makanan organik karena proses dekomposisi membutuhkan oksigen selain
itu  oksigen  yang  rendah  juga  disebabkan  oleh  respirasi  cacing  oligochaeta  yang dipelihara akibat peningkatan populasi cacing tersebut.
Kandungan  oksigen  terlarut  rata-rata  yang  didapatkan  pada  hari  ke-10 nilainya  kurang  dari  2.5  ppm.  Kondisi  tersebut  bisa  menyebabkan  menurunnya
aktivitas  makan  maupun  reproduksi  cacing  oligochaeta  sehingga  proses pembentukan zat-zat gizi di dalam tubuh jadi ikut menurun. Hal ini sesuai dengan
pernyataan  Marian  dan  Pandian  1984,  yang  menyatakan  bahwa  kebutuhan oksigen terlarut Tubifex tubifex bagi perkembangan embrio berkisar antara 2.5 – 7
ppm dan apabila oksigen terlarut kurang dari 2 ppm akan mengakibatkan aktivitas makan dan reproduksinya  menurun. Meskipun oksigen terlarut selama penelitian
berkisar  antara  1.84  –  3.83  ppm,  namun  kisaran  tersebut  masih  mampu mendukung kehidupan tubifisid, hal ini dikarenakan cacing masih dapat bertahan
hidup  pada  kondisi  yang  anaerob  tanpa  oksigen.  Akan  tetapi  kondisi  tersebut dapat menghambat aktivitas makan dan reproduksi cacing yang dipelihara, karena
cacing  tubifisid  akan  menggunakan  energinya  untuk  menggoyang-goyangkan bagian  posterior  tubuhnya  agar  memperoleh  oksigen  untuk  pernapasan
Pennak  1978.  Hal  ini  juga  didukung  oleh  pernyataan  Vincentius  1992,  yang menyatakan  bahwa  tubifisid  memiliki  daya  adaptasi  yang  cukup  tinggi  terhadap
kandungan oksigen terlarut dalam air. Kondisi tersebut dibuktikan dengan adanya perbedaan  puncak  populasi  dari  ketiga  perlakuan  yaitu  pada  perlakuan  4600
individum
2
yang  terjadi  pada  hari  ke-50  sedangkan  dua  perlakuan  lainnya mencapai puncak populasi pada hari ke-40. Pada peneitian ini tidak menggunakan
28 aerasi  yang  berfungsi  untuk  mempertahankan  konsentrasi  oksigen  terlarut,
dikarenakan tempat  melakukan penelitian tidak tersedia pembangkit  listrik. Oleh karena itu untuk mempertahankan kualitas air, air yang ada di bak penampungan
diganti setiap dua hari sekali sebanyak 23 dari volume air yang ada. Suhu  air  selama  penelitian  berkisar  antara  24.3
o
C  –  26.7
o
C,  dengan rincian pada padat tebar 2600 individum
2
suhu berkisar antara 24.5
o
C – 26.6
o
C, pada padat tebar 3600 individum
2
suhu berkisar antara 24.4
o
C – 26.6
o
C dan pada padat  tebar  4600  individum
2
antara  24.3
o
C  –  26.7
o
C  Lampiran  7b.  Perubahan suhu pada media budidaya dipengaruhi oleh perubahan suhu lingkungan pada saat
penelitian dilakukan. Secara keseluruhan, perubahan  suhu terjadi secara  seragam untuk  ketiga  perlakuan  selama  60  hari  pemeliharaan  dan  berada  dalam  kisaran
yang layak bagi pertumbuhan cacing oligochaeta. Kondisi  suhu  air  selama  penelitian  masih  berada  dalam  batas  kelayakan
bagi  produksi  cacing  oligochaeta,  hal  ini  sesuai  dengan  Kosiorek  1974  yang menyatakan bahwa Tubifex tubifex menghasilkan kokon pada kisaran suhu 0
o
C – 30
o
C  dengan  suhu  optimum  berkisar  antara  20
o
C  –  25
o
C  yang  diperkuat  juga oleh pernyataan Marian dan Pandian 1984 bahwa Tubifex sp. dapat bereproduksi
pada kisaran suhu 0.5
o
C – 30
o
C. Walaupun kisaran suhu  selama penelitian ada yang  berada  di  luar  kisaran  optimum  bagi  tubifisid,  tetapi  secara  umum  kisaran
suhu  masih  dapat  mendukung  bagi  kehidupan  cacing  oligochaeta.  Hal  ini  juga diperkuat  oleh  pernyataan  Pennak  1978  yang  menyatakan  bahwa  suhu  bukan
merupakan faktor pembatas bagi oligochaeta akuatik. Terlihat  juga  dari  Gambar  10  di  atas,  suhu  saat  pengambilan  contoh
menunjukkan  bahwa  pada  hari  pengamatan  ke-10  dan  ke-50  terjadi  sedikit peningkatan  suhu  untuk  ketiga  perlakuan.  Perubahan  suhu  yang  terjadi  dapat
mempengaruhi  proses  pertumbuhan  dan  perkembangbiakan  cacing  sutra.  Hal  ini sesuai  dengan  pendapat  Aston  1968  bahwa  peningkatan  suhu  dapat
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan terutama pertumbuhan cacing dewasa dan pertumbuhan jumlah kokon yang dikeluarkan oleh Tubifisid.
Kisaran  nilai  pH  yang  diperoleh  selama  60  hari  penelitian  dari  ketiga perlakuan adalah 6.40 – 6.93, dengan rincian pada padat tebar 2600 indm
2
suhu berkisar  antara  6.43  –  6.83,  pada  padat  tebar  3600  indm
2
suhu  berkisar  antara
29 6.43  –  6.9  dan  pada  padat  tebar  4600  indm
2
antara  6.4  –  6.93  Lampiran  7c. Kisaran nilai pH tersebut masih dalam batas kelayakan hidup cacing oligochaeta.
Hal  ini  didasarkan  pada  pendapat  Whitley  1968,  bahwa  batas  nilai  pH  untuk kelayakan hidup Tubifisid adalah 5.5 – 7.,5.
Nilai pH air pada  media  budidaya selama  masa pemeliharaan tersebut bisa berada di atas maupun di bawah nilai pH air pada awal pemeliharaan yang bernilai
6.57-6.93. Hal  ini disebabkan  nilai pH air  yang diperoleh tergantung dari reaksi- reaksi  kimia  yang  ada  di  air,  sesuai  dengan  pernyataan  Spotte  1970  yang
menyatakan  bahwa  reaksi  kimia  yang  menghasilkan  [H
+
]  akan  menurunkan  pH dan  reaksi  yang  menghasilkan  [OH
+
]  akan  meningkatkan  pH.  Kisaran  pH  yang diperoleh  selama  penelitian  berlangsung  masih  dapat  mendukung  kehidupan
cacing  oligochaeta,  diperkuat  oleh  pernyataan  Whitley  1968  yang mengemukakan bahwa kisaran pH yang baik untuk tubifisid adalah 7.0 – 9.0 dan
pada kisaran 6.0 – 8.0 tubifisid masih dapat bertahan hidup. Total  Ammonia  Nitrogen  merupakan  jumlah  ammonia  tidak  terionisasi
dan ion ammonium. Ammonia yang tidak terionisasi sangat toksik dan tetapi ion ammonium  relatif  tidak  toksik.  Kisaran  kandungan  TAN  selama  penelitian
berlangsung  dari  ketiga  perlakuan  adalah  0.509  –  2.623  ppm.  Berdasarkan Gambar  11  terlihat  bahwa  pada  padat  tebar  4600  individum
2
mempunyai  nilai kandungan paling tinggi dibandingkan dengan kedua perlakuan lainnya.
Kandungan  TAN  pada  penelitian  ini  lebih  tinggi  dibandingkan  pada penelitian  yang  dilakukan  oleh  Fadillah  2004  yaitu  0.001  –  0.037,  yang  juga
sama-sama memberikan pupuk harian kotoran ayam hasil fermentasi. Akan tetapi sistem  yang  digunakan  selama  penelitian  berlangsung  berbeda,  yaitu  pada
penelitian  Fadillah  2004  menggunakan  sistem  terbuka  sedangkan  penelitian  ini menggunakan sistem sirkulasi. Oleh karena itu meskipun dilakukan pengaliran air
secara  kontinu,  air  tersebut  tidak  mampu  mencuci  substrat  dan  menghanyutkan unsur-unsur  toksik  air  yang  keluar  dari  wadah  budidaya  karena  air  yang  keluar
tersebut  akan  masuk  kembali.  Akan  tetapi,  seiring  dengan  lamanya  masa pemeliharaan  kandungan  TAN  semakin  menurun.  Hal  ini  dikarenakan  adanya
pergantian  air  setiap  dua  hari  sekali  pada  bak  penampungan  air  meskipun
30 kandungan TAN tersebut masih tetap tinggi yaitu berkisar 0.620-1.145 ppm pada
akhir masa pemeliharaan. Fiastri  1987  menyatakan  bahwa  kehidupan  Tubifex  tubifex  akan
terganggu  bila  kandungan  TAN  lebih  dari  2.70  ppm.  Chumaidi  1989  juga menambahkan  bahwa  Tubifex  tidak  ditemukan  pada  media  dengan  kandungan
TAN  lebih  dari  3.80  ppm.  Sehingga  kisaran  TAN  yang  dihasilkan  selama  masa pemeliharaan  berlangsung  yang  berkisar  0.509  –  2.623  ppm  masih  mampu
mendukung kehidupan cacing oligochaeta. Keuntungan  terbesar  diperoleh  pada  perlakuan  4600  individum
2
,  karena total  penerimaannya  lebih  besar  dari  biaya  total  yang  dikeluarkan.  Besarnya
penerimaan  yang  didapatkan  dari  hasil  penjualan  cacing  oligochaeta  ditentukan oleh  padat  penebaran.  Semakin  tinggi  padat  penebaran,  maka  penerimaan
meningkat  karena  jumlah  cacing  yang  dihasilkan  semakin  banyak.  Sedangkan pada perlakuan 2600 individum
2
dan 3600 individum
2
memperoleh kerugian, hal tersebut dikarenakan total penerimaannya  lebih kecil dibandingkan dengan  biaya
total  yang  dikeluarkan.  Kerugian  yang  terjadi  pada  perlakuan  2600  individum
2
dan 3600 individum
2
tidak hanya disebabkan oleh total penerimaan yang rendah karena  jumlah  cacing  yang  dihasilkan  sedikit,  tetapi  juga  disebabkan  oleh  biaya
variabel yang dikeluarkan berbeda dari ketiga perlakuan tersebut. Perbedaan biaya variabel  yang  dikeluarkan  dari  ketiga  perlakuan  disebabkan  oleh  jumlah  siklus
yang  dilakukan  berbeda  setiap  tahunnya  dan  jumlah  bibit  yang  ditebar  juga berbeda.  Perbedaan  jumlah  siklus  dipengaruhi  oleh  lamanya  puncak  biomassa
yang terjadi pada setiap perlakuan. Perlakuan 4600 individum
2
memperoleh nilai RC ratio lebih dari satu, hal tersebut  dikarenakan  perbandingan  total  penerimaan  yang  diperoleh  lebih  besar
dari  total  biaya  total  yang  dikeluarkan,  sehingga  bisa  menghasilkan  keuntungan. Sedangkan  pada  perlakuan  2600  individum
2
dan  3600  individum
2
total penerimaan lebih kecil dari total biaya yang dikeluarkan sehingga nilai RC ratio
yang  dihasilkan  kurang  dari  satu  dan  tidak  mendapatkan  keuntungan.  Periode pengembalian  modal  investasi  yang  ditanam  pada  perlakuan  4600  individum
2
ditentukan  oleh  keuntungan  yang  didapat.  Semakin  besar  keuntungan  yang diperoleh maka modal investasi yang sudah ditanam akan semakin cepat kembali.
31 Pada  perlakuan  2600  individum
2
dan  3600  individum
2
periode  pengembalian modal  investasi  tidak  bisa  diketahui,  hal  tersebut  dikarenakan  pada  kedua
perlakuan mengalami kerugian. Nilai  BEP  yang  diperoleh  lebih  rendah  dari  nilai  penerimaan  yang
diperoleh  pada  perlakuan  4600  individum
2
sehingga  bisa  menghasilkan keuntungan.  Sedangkan  pada  perlakuan  3600  individum
2
nilai  BEP  yang diperoleh  lebih  tinggi  dari  nilai  penerimaan  sehingga  tidak  mendapatkan
keuntungan,  begitu pula dengan perlakuan 2600  individum
2
nilai BEP  nya  yang bernilai  negatif.  Nilai  HPP  yang  diperoleh  pada  perlakuan  4600  individum
2
bernilai  lebih  rendah  dari  nilai  jual  yang  ditetapkan  sehingga  menghasilkan keuntungan,  hal  tersebut  dipengaruhi  oleh  jumlah  cacing  yang  dihasilkan.
Sedangkan  pada  perlakuan  2600  individum
2
dan  3600  individum
2
nilai  HPP lebih besar dari nilai jual yang ditetapkan, hal tersebut dikarenakan jumlah cacing
yang dihasilkan sedikit. Hasil perhitungan analisis usaha dari ketiga perlakuan dengan asumsi 1000
bak, yang paling layak untuk diajalankan adalah pada perlakuan padat penebaran 4600 individum
2
. Hal ini dilihat dari nilai keuntungan yang besar, nilai RC rasio yang tinggi, waktu pengembalian  investasi  yang  lebih  cepat, nilai  BEP Rp dan
BEP  Kg  yang  lebih  rendah  serta  nilai  HPP  yang  lebih  rendah  dari  harga  jual yang ditetapkan.
32
IV. KESIMPULAN DAN SARAN