44
tidak lama kemudian meninggalkan Matio dan merantau ke Sibahaulu di bukit Sitombom.
Raja Panjaitan meninggal di Sihail-hail tidak jauh dari Onan Raja tersebut atau disekitar Tugu Raja Sibagot ni Pohan yang berada di Onan raja Balige dekat
Rumah sakit Umum HKPB Balige saat ini.
3.2.2. Raja Situngo Naiborngin Panjaitan marga Panjaitan generasi kedua
Menurut cerita dari berbagai informan dan yg paling banyak dikumpulkan penulis adalah dari kumpulan data-data yang telah ditulis oleh St.Raja Hasoge
Timbul Panjaitan. Beliau mengatakan Sibagot Ni Pohan adalah anaknya Tuan Sorba di
Banua atau cucu dari Tuan Sorimanga Raja, Si Bagot ni Pohan orangnya gagah,kuat dan terpandang kesaktiannya pada zamannya beliau membuka
perkampungan di Balige. Dari Balige inilah berserak keturunanya keseluruh penjuru bumi, Si Bagot Ni Pohan memiliki 4 orang anak yaitu 1.Tuan Si Hubil,
2.Tuan Somanimbil, 3.Tuan Dibangarna, 4. Sonak Malela. Anak yang pertama, kedua dan anaknya yang keempat pindah kedaerah lain untuk membuka
perkampungan, Tuan Si Hubil ditempatkan disebelah pintu masuk dari Porsea dan Lagu Boti dan Tuan Somanimbil ditempatkan di pintu masuk kota Balige yang
dari Tarutung atau Siborong-borong sedangkan Sonak Malela diposisikan dipintu masuk dari danau Toba, sementara Tuan Dibangarna setelah menikah dengan
Putri Raja Pasaribu ditempatkan di pusat kota dan memperluas kampung itu dan menamainya dengan Onan Raja Balige sebagai pusat pasar perbelanjaan
Universitas Sumatera Utara
45
masyarakat sekitar. Tuan di Bangarna memiliki 4 orang anak yaitu 1.Raja Panjaitan, 2.Raja Silitonga, 3.Raja Siagian, 4.Raja Sianipar.
Raja Panjaitan beristrikan putri Raja Hasibuan dan ditempatkan Tuan Dibangarna di Onan Raja Balige, setelah Raja Panjaitan berumah tangga dia
sudah sering tampil menjadi raja parhata
19
dalam pelaksanaan adat istiadat maupun menghadiri rapat-rapat musyawarah Si Raja Batak dan kepandaian Raja
Panjaitan pun semakin berkualitas dan rasa solidaritasnya pun cukup tinggi serta tidak ketinggalan membuat kebijaksanaan ditengah-tengah kalangan orang Batak
Toba untuk membangun kearifan lingkungan baik kepada orang-orang lain dan jika ada persoalan atau perselisihan orang perorang maupun berkelompok, Raja
Panjaitan sering dihadirkan untuk membuat keputusan yang adil dan bijaksana, bahkan karena perbuatannya yang banyak membantu orang-orang susah maka Si
Raja Panjaitan menjadi dihormati banyak orang bahkan adik-adiknya pun turut dikagumi masyarakat Batak pada saat itu.
Raja Panjaitan merupakan seorang petani, dia membuka persawahan di lembah yang tidak begitu jauh dari Onan Raja Balige, dengan ketekunannya
bersawah disana dia pun memanen padi yang banyak hasil panennya dan rasa berasnya pun berbeda dengan beras yang sudah ada sebelumnya pada saat itu,
karena perbedaan ini maka semakin banyaklah orang membuka persawahan kedaerah lembah tersebut.
Suatu ketika datanglah hujan lebat dengan suara gemuruh saling silih berganti nampak cuaca angin kencang di sore hari saat itu istri kesayangan si Raja
19
Raja Parhata merupakan sebuah jabatan dalam pelaksanaan adat, dimana jabatan inilah yang mengatur alurnya ritual adat tersebut
Universitas Sumatera Utara
46
Panjaitan yaitu putri Raja Hasibuan sudah hamil tua, maka berteduhlah mereka daerah yang tidak begitu jauh dari persawahan tersebut, hari semakin malam dan
diputuskan merekalah untuk bermalam di daerah tersebut dan mereka membuat api unggun karena iklimnya cukup dingin, dan malam itu juga suara gemuruh
cukup kuat dan petir selih berganti disaat itulah istri Raja Panjaitan melahirkan seorang anak laki-laki dengan sehat, dan diberi namanya Situngo Nai Borngin.
Pertumbuhan badannya cukup beda dengan teman sebayanya, dia lebih cepat mengalami masa pertumbuhan. Setelah dewasa dia melanglangbuana kesebelah
Timur raya Balige yaitu di Sibahaulu. Raja Situngo Naiborngin Panjaitan tinggal di Sibahaulu setelah menikahi putri pamannya bermarga Hasibuan. Di Sibahaulu
Raja Situngo Panjaitan, Tuhan menganugrahi 4 orang anak yaitu Martibi Raja, Raja Dogor, Raja Siponot dan Raja Sijanggut.
Martibi Raja sebagai anak pertama Raja Situngo, mendapat warisan yaitu Kampung Parsingguran. Martibi Raja adalah seorang seniman seni tari dan seni
dekorasi, karena keterampilanya semakin ramailah kampung Parsingguran di kunjungi warga tetangga.
Raja Dogor sebagai anak kedua Raja Situngo, mendapat warisan yaitu Kampung Huta Ginjang, Raja Dogor adalah seorang tabib, karena itu Raja Dogor
sangat dikenal para penduduk. Raja Siponot sebagai anak ketiga Raja Situngo, mendapat warisan di
Kampung Banjar Ganjang. Raja Siponot pada saat masih dalam kandungan dia sudah ditinggal
ayahnya yang pergi berpetualang menambah ilmu kepenjuru dunia. Pernah istri
Universitas Sumatera Utara
47
Raja Situngo berkata agar ditunggunya anak mereka yang ke tiga ini lahir, namun Situngo keras kepala dia harus meninggalkan istrinya beserta anaknya yang dua
orang itu, Situngo mengambil batu asah sambil berkata kepada istrinya bahwa kekebalan ilmunya seperti batu asah itu, batu asah itu di patahkannya, patahannya
setengah ditinggal buat istri kelak lahir anak yang dalam kandungan agar tetap dislipkan kebadannya, dan setengah lagi dibawa raja Situngo. Pendek cerita
lahirlah Siponot, kelahirannya disambut gembira oleh Martibi Raja dan Raja Dogor, mereka cukup sayang kepada adiknya Siponot, Siponot pun makin
bertambah besar dan sering bertanya dalam hati tentang siapa ayahnya dan apa artinya batu asah yang selalu dislipkannya dibadannya tersebut. Ibunya sudah
mulai tua, sambil bersedih memberitahu keras kepala ayahnya meninggalkan dia saat mengandung diberitahu bahwa Situngo pergi tidak diberitahu kemana pergi
hanya dia berpesan Bahwa ilmunya maupun kekebalannya serta kesaktiannya adalah seperti Batu Asah yang artinya bisa keras bisa lembut,bisa habis demi hal
lain. Tidak berapa lama maka Siponot pergi kerumah kakeknya di Matio Onan
Raja Balige untuk pamit mencari ayahnya, karena Raja Panjaitan juga bersedih atas sikap keputusan Situngo sebagai anak satu-satunya yang dia kasihi Raja
Panjaitan. Waktu kepergian anaknya itu rupanya dia coba mengikuti dari belakang namum Situngo merasa bahwa dia dibuntuti ayahnya maka ditunggunya ayahnya
di pelabuhan, Raja Panjaitan pun melihat Situngo di pelabuhan tapi tidak dapat berbuat apa-apa bahkan Situngo menyuruh ayahnya agar pulang. Kapal pun
Universitas Sumatera Utara
48
menuju Muara mau berangkat Situngo pun menaiki kapal tersebut dan berangkat menuju Muara.
Mendengar cerita sang kakek dan ibunya , membuat Siponot berkeras hati untuk mencari ayahnya dan dia selalu membawa patahan batu asah tersebut,
sesampainya dia di Muara dia mulai menanyai masyarakat yang ada disana rupanya Raja Situngo cukup dikenal orang dan sangat dikagumi, lalu Siponot
mengetahui bahwa Situngo sudah lama tidak muncul lagi ke Muara, dia sudah menetap di Bakkara, Siponot pun bergegas menuju Bakkara, sesampainya di
Bakkara dia mengetahui bahwa ayahnya sudah meninggal langsung dia kekuburan ayahnya, disana dia menangis sekuat suara dan menurut masyarakat disana
suaranya seperti suara gemuruh yang sedang turun hujan. Seorang janda muda yang cantik sambil memegang tangan anak perempuan yang masih kecil
mendekati Siponot kekuburan itu dan mengajaknya untuk kerumahnya, wanita janda itu melihat patahan batu asah Siponot lalu dia baik hati membawanya
kerumahnya, dirumahnya makin banyak orang mereka dikerumuni sambil bertanya siapa sebenarnya Siponot, kemudian wanita itu bercerita tentang Situngo
yang selama ini tinggal satu rumah dengan dia dan dia sedang keadaan mengandung anak Situngo, sebelum kematiannya Situngo berpesan jika anak
yang dikandungnya tersebut lahir agar dislipkan patahan batu asah kebadannya dan jika bertemu dengan seseorang dengan patahan batu asah yang sama maka itu
merupakan anak Situngo. Lalu wanita itu meminta patahan batu asah yang berada ditangan wanita itu dan disatukannya dengan patahan batu asah yang sama dengan
Siponot, ternyata batu asah itu bersatu maka mereka yakinilah bahwa kandungan
Universitas Sumatera Utara
49
wanita itu benar anak Situngo. Siponot pun pulang ke Sitorang memberi tahu sama ibunya demikian juga sama kakeknya. Tidak beberapa lama kemudian
Siponot menikah dengan seorang putri Hutapea yang bernama Pinta Uli boru Hutapea. Pinta Uli boru Hutapea pun mengandung, namun pada waktu normal
melahirkan Pinta Uli tidak kunjung melahirkan seorang anak yang dikandungnya tersebut. Siponot pun bingung, lalu Siponot menanyakan istrinya tentang makanan
yang diinginkan Pinta Uli agar istrinya itu segera melahirkan. Pinta Uli pun meminta buah timun, pisang serta nangka yang sangat enak rasanya. Siponot
bergegas mencarinya dan setelah buah tersebut ditemukannya, lalu di berikan kepada Pinta Uli sang istrinya. Namun hal itu tidak membuat Pinta Uli
melahirkan. Pinta Uli pun meminta kembali seekor Ayam Jantan Merah dan ayam jantan yang baru bisa berkokok. Siponot berusaha mencari ayam tersebut, dan ia
pun berhasil menemukannya di Sibide. Setelah ayam ini di temukan lalu disajikan kepada Pinta Uli, namun belum kunjung melahirkan. Dan Pinta Uli kemudian
meminta seekor ikan Batak yang bersisik sebesar tampi, Siponot pun menemukannya di Danau Toba dan disajikannya kepada istrinya namun Pinta Uli
tak kunjung melahirkan. Kemudian Pinta Uli meminta lagi hati seekor harimau dan hati seekor Ular. Siponot pun berburu di hutan rimbun Rea dan menemukan
binatang itu, kemudian Siponot mengambil hati binatang tersebut kemudian disajikan kepada Pinta Uli, tetapi Siponot meminta Pinta Uli mandi dan
menyucikan diri dengan air jeruk purut lalu memakan hati tersebut, namun Pinta Uli tidak kunjung melahirkan.
Universitas Sumatera Utara
50
Siponot pun merasa kecewa dan ia pun meninggalkan Pinta Uli. Pinta Uli menunggu beberapa bulan, namun Siponot tidak pulang-pulang. Kemudian Pinta
Uli pergi kerumah ayahnya di Lagu Boti. Sepanjang perjalanan Pinta Uli menangis tak henti-hentinya. Sesampai di rumah orang tua Pinta Uli yang di Lagu
Boti, orang tua Pinta Uli pun menanyakan kandungannya yang tidak kunjung lahir. Pinta Uli pun tidak mengetahui apa penyebab tidak lahirnya kandungannya,
dan meminta ayahnya agar mendoakan kandungannya. Dan Pinta Uli memohon agar diberi ijin tinggal dirumah ayahnya, karena Siponot telah meninggalkan Pinta
Uli. Sang Ayah memberi ijin kepada Pinta Uli untuk tinggal di Lagu Boti. Selama tinggal dirumah sang ayah Pinta Uli pun selalu mengenang pesan suaminya
tentang patahan batu asah. Siponot berpesan agar patahan batu asah itu jangan dihilangkan akan tetapi jika lahir anak yang dalam kandungannya itu agar patahan
batu asah itu selalu dislipkan kebadan anaknya. Namun saat merenung ada seorang berkata kepada Pinta Uli dengan
sebuah ocehan menyebutkan tentang lamanya kandungan Pinta Uli yang tidak kunjung lahir. Mengingat ocehan tersebut Pinta Uli meninggalkan Lagu Boti dan
pergi menuju Balige. Sampai di Balige Pinta Uli pun tetap mendengar ocehan itu menghantuinya. Pinta Uli bingung harus kemana lagi agar ocehan itu tidak
menghantuinya, Pinta Uli pun melirik sebuah bukit yang sering disebut dengan Dolok Tolong
dan melihat sebuah gua yaitu Liang Sipege. Pinta Uli pun memutuskan menuju ke gua tersebut dan menetap disana.
Setelah sampai di gua tersebut, Pinta Uli pun berdoa kepada Sang Pencipta agar kandungannya tersebut segera lahir. Dan tidak beberapa lama kemudian istri
Universitas Sumatera Utara
51
Siponot melahirkan seorang bayi laki-laki yang lincah, saat lahir langsung memiliki gigi. Bayi tersebut diberi nama Raja Sijorat Paraliman Panjaitan. Dan di
Bakkara istri Situngo yang dijumpai Siponot juga melahirkan seorang bayi yang bernama Raja Singa di gua Tombak Sulu-Sulu, yang saat ini dikenal dengan Raja
Sisingamangaraja ke-I. Jadi banyak orang berkata bahwa hari kelahiran Raja Sijorat dengan Raja Singa adalah bersamaan ditandai dengan guruh yang kuat,
hujan yang lebat, petir silih berganti. Demikianlah kisah Raja Siponot. Raja Sijanggut sebagai anak keempat Raja Situngo, mendapat warisan di
Kampung Sijanggut ni huting. Raja Sijanggut ini ahli berperang, dan memiliki ilmu melatih binatang-binatang menjadi prajurit perang untuk melawan musuh.
Dan satu diantara kucingnya dikenal oleh Belanda. Ciri khas Raja Sijanggut adalah badannya yang berbulu dan jenggotnya yang terindah dari mereka
memiliki jenggot di masa itu. Kampung Sijanggut ni huting adalah dekat kampung Narumonda.
Universitas Sumatera Utara
52
3.3. Sejarah riwayat hidup Raja Hasoge Panjaitan Pu Botul pada masa hidupnya 1845-1932
Penulis yang sering berbincang-bincang dengan ayahnya Drs.Timbul Panjaitan mengenai Panjaitan. Beliau mengatakan bahwa nenek moyang penulis
adalah Raja Hasoge Panjaitan. Raja Hasoge Panjaitan ini merupakan keturunan Pun Langit yang tinggal
di desa Sitorang. Raja Hasoge Panjaitan memiliki kakek yang bernama Datu Tor- tor Marojak, dan ayah Raja Hasoge Panjaitan yaitu Pun Mangasang. Semasa
hidup Pun Mangasang Panjaitan, beliau termasuk orang berkecukupan tergolong kaya di desa Sitorang Banjar Ganjang karena beliau sering berdagang ke Tanjung
Balai Asahan dimasa sistem barter. Hutauruk 2013 menyatakan Johannes Warneck beserta rekan dan rombongannya berangkat berjalan kaki dari Tanjung
Balai menuju Toba pada tahun 1899, melalui jalan setapak. Raja Hasoge Panjaitan pun ikut serta dalam rombongan tersebut
20
. Setelah beliau meninggal dunia, hartanya habis hanya dalam tempo 2-3 tahun saja. Pun Mangasang Panjaitan
belum menganut agama Kristen, keluarganya masih menganut kepercayaan Batak yang disebut Parmalim.
Tuan Metzler dari Pearaja Tarutung,
sebagai Wakil Ephorus pernah mengunjungi istana Raja Sijorat Paraliman Panjaitan untuk menawarkan
programnya menyebarkan injil dengan membuka semacam rumah sakit di Sitorang, untuk menampung orang sakit yang ada disekitar Porsea ataupun
Narumonda, namun niat itu ditolak oleh raja-raja di Sitorang karena dianggapnya
20
Hasil wawancara dengan Alm.Prof.D.P. Tampubolon pada Juni 2013
Universitas Sumatera Utara