Migrasi Orang Batak Toba Di Sidikalang (1964-1985)

(1)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

MIGRASI ORANG BATAK TOBA DI SIDIKALANG (1964-1985) SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

Nama : Merisdawaty Limbong NIM : 050706010

Pembimbing

Dra. Nurhabsyah, M.Si Nip. 195912311985032005

Skripsi Ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan

untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH MEDAN


(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

MIGRASI ORANG BATAK TOBA DI SIDIKALANG (1964-1985) Yang diajukan oleh

Nama : Merisdawaty Limbong Nim : 050706010

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh

Pembimbing

Dra.Nurhabsyah M, Si Tanggal

Nip. 195912311985032005

Ketua Departemen Ilmu Sejarah

Dra. Fitriaty Harahap S.U Tanggal

Nip. 195406031983032001

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen Ilmu Sejarah MIGRASI ORANG BATAK TOBA DI SIDIKALANG (1964-1985)

DISETUJUI OLEH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH Ketua Departemen

Dra. Fitriaty Harahap S.U Nip. 195406031983032001


(4)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

Diterima Oleh:

Panitia Ujian Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Untuk melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra Dalam Ilmu Sejarah Pada Fakultas Sastra USU Medan

Pada Hari : Tanggal :

Fakultas Sastra USU Dekan

Dr. Syahron Lubis, M. A. Nip.195110131976031001

Panitia Ujian,

No. Nama Tanda Tangan

1. ………. (………) 2. ………. (………) 3. ………. (………) 4. ………. (………) 5. ………. (………)


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat serta karuniaNya yang dilimpahkan dengan memberi kesehatan, ketabahan serta ketekunan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini mulai dari awal sampai selesai. Adapun penulisan ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Program Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini banyak hambatan yang dihadapi terutama dalam masalah pencarian data dan buku-buku literature pendukung dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis menerima kritikan dan masukan yang bersifat membangun dari semua pihak sebagai bahan penyempurna skripsi ini.

Penulis,


(6)

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga teristimewa kedua orangtua tercinta Nikson Limbong/Tiodor Bako yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dukungan dan doa kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada ketiga saudaraku yang kukasihi Kakak Saida Limbong. SE, Adikku Rosmita Limbong dan Adikku Togi Limbong.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M. A selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara beserta staf pengawainya.

3. Ibu Dra. Fitriaty Harahap, S.U selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra USU dan Dra. Nurhabsyah M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.

4. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah yang telah membekali penulis selama dalam bangku perkuliahan. Juga kepada Pengawai Jurusan Sejarah B’ Ampera yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.


(7)

5. Ibu Klementina Sihombing serta segenap informan yang telah banyak membantu dan memberikan masukan dan bahan-bahan serta data-data yang diperlukan selama dalam penulisan skripsi ini.

6. Teman-teman di Jurusan Ilmu Sejarah terutama stambuk 2005 tanpa terkecuali dan sahabat-sahabat di Harmonika 16 yang telah menjadi teman dalam berbagi suka dan duka selama ini dan yang membantu memberikan dorongan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

Semoga semua kebaikan yang telah penulis terima dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan penyertaan-Nya senantiasa menyertai kita semua.

Medan, September 2010

Penulis,


(8)

ABSTRAK

Sidikalang adalah suatu kecamatan yang terletak di kabupaten Dairi dan merupakan salah satu daerah tujuan para orang Batak Toba yang melakukan perpindahan dari daratan tinggi Danau Toba. . Sidikalang memiliki lahan yang cukup luas dan segi jumlah penduduk masih minim. Masuknya orang Batak Toba yaitu sejak permulaan tahun 1900-an, dimana sentrum perang Batak yang melawan kolonial Belanda mengalami perpindahan dari Toba Holbung ke Dairi. Kedatangan orang Batak Toba ke Sidikalang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor pendorong dari daerah asal dan faktor penarik dari daerah tujuan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian yang semakin sempit. Keadaan ekonomi yang tidak baik karena lahan yang tandus di daratan tinggi Danau Toba, dan adanya misi budaya yang melekat pada diri orang Batak Toba yaitu untuk mewujudkan konsep Hagabeon, Hasangapon dan

Hamoraon. Kedatangan orang Batak Toba di Sidikalang cukup membawa pengaruh ckup besar baik dalam segi bahasa, tempat tinggal, indentitas dan budaya orang Pakpak.

Tujuan penulisan ini adalah pertama menjelaskan latar belakang migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang, kedua mengetahui keberadaan orang Batak Toba dan ketiga adalah mengetahui pengaruh orang Batak Toba di Sidikalang. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan data), Kritik sumber, Interpretasi (menyimpulkan kesaksian data yang dipercaya dari bahan yang ada), dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Rumusan masalah penelitian ini adalah pertama, apa latar belakang migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang, kedua bagaimana keberadaaan orang Batak Toba di Sidikalang, dan ketiga apa pengaruh masyarakat Batak Toba di Sidikalang.

Demikian penulis mengambarkan migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang pada tahun 1964-1985. Jumlah orang Batak Toba yang memasuki Sidikalang semakin bertambah dan pada tahun 1925 Sidikalang dikenal dengan daerah panombangan

untuk melanjutkan perpindahan ke daerah lain seperti ke daerah Tanah Alas dan Singkil. Komunitas orang Batak Toba di Sidikalang lebih banyak hidup berpencar, karena keinginan untuk mendapatkan lahan yang baru yang belum dimiliki oleh orang lain. Orang Batak Toba yang tinggal di Sidikalang menunjukkan indentitasnya dengan mengadakan pesta-pesta adat dan mengadakan pergumpulan marga-marga serta menggunakan bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba. Keberadaan orang Batak Toba di Sidikalang membawa pengaruh cukup besar baik dalam bidang bahasa, pendidikan, indentitas dan budaya suku Pakpak. Interaksi orang Batak Toba di Sidikalang cukup harmonis bukan hanya sesama orang Batak Toba tetapi juga dengan penduduk asli Sidikalang (suku Pakpak), dan sesama suku perantauan lainnya.


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR UCAPAN TERIMA KASIH ABSTRAK

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4 Tinjauan Pustaka ... 7

1.5 Metode Penelitian ... 10

BAB II GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 13

2.1 Letak Geografis ... 13

2.2 Keadaan Masyarakat ... 17

2.3 Mata Pencaharian ... 19

2.4 Sistem Kepercayaan... 20

BAB III MIGRASI BATAK TOBA KE SIDIKALANG (1964-1990) ... 25


(10)

3.2 Proses Migrasi ... 26

3.3 Faktor Pendorong Migrasi Batak Toba ke Sidikalang ... 34

3.3.1 Faktor Pendorong dari Daerah Asal ... 34

3.3.1.1 Faktor Geografis ... 34

3.3.1.2 Faktor Ekonomi ... 37

3.3.1.3 Faktor Pendidikan... 39

3.3.1.4 Faktor Sosial dan Demografi ... 40

3.3.1.5 Faktor Politik ... 42

3.3.1.6 Faktor Budaya ... 42

3.3.2 Faktor Penarik dari Daerah Tujuan ... 44

3.3.2.1 Tersedianya Lahan Yang Lebih Luas dan Lebih Subur ... 44

3.3.2.2 Pekerjaan Yang Lebih Baik ... 45

3.3.2.3 Ikut dengan Famili ... 46

3.3.2.4 Pembukaan Jaringan Jalan ... 46

BAB IV KEBERADAAN ORANG BATAK TOBA DI SIDIKALANG ... 48

4.1 Komunitas Orang Batak Toba di Sidikalang ... 48

4.1.1 Sistem Kekerabatan Orang Batak Toba di Sidikalang ... 49

4.1.2 Pergumpulan Marga ... 52

4.2 Interaksi Batak Toba ... 54

4.2.1 Interaksi dengan Orang Pakpak (Penduduk Asli) ... 54


(11)

4.2.3 Interkasi dengan Suku lain ... 57

4.3 Pengaruh Orang Batak Toba Terhadap Kehidupan Masyarakat ... 58

4.3.1 Pengaruh Terhadap Bahasa ... 58

4.3.2 Pengaruh Terhadap Pendidikan ... 62

4.3.3 Pengaruh Terhadap Tempat Tinggal ... 66

4.3.4 Pengaruh Terhadap Indentitas dan Budaya Orang Pakpak ... 67

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

5.1 KESIMPULAN ... 74

5.2 SARAN ... 75

DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INFORMAN


(12)

ABSTRAK

Sidikalang adalah suatu kecamatan yang terletak di kabupaten Dairi dan merupakan salah satu daerah tujuan para orang Batak Toba yang melakukan perpindahan dari daratan tinggi Danau Toba. . Sidikalang memiliki lahan yang cukup luas dan segi jumlah penduduk masih minim. Masuknya orang Batak Toba yaitu sejak permulaan tahun 1900-an, dimana sentrum perang Batak yang melawan kolonial Belanda mengalami perpindahan dari Toba Holbung ke Dairi. Kedatangan orang Batak Toba ke Sidikalang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor pendorong dari daerah asal dan faktor penarik dari daerah tujuan. Jumlah penduduk yang semakin meningkat menyebabkan tekanan terhadap lahan pertanian yang semakin sempit. Keadaan ekonomi yang tidak baik karena lahan yang tandus di daratan tinggi Danau Toba, dan adanya misi budaya yang melekat pada diri orang Batak Toba yaitu untuk mewujudkan konsep Hagabeon, Hasangapon dan

Hamoraon. Kedatangan orang Batak Toba di Sidikalang cukup membawa pengaruh ckup besar baik dalam segi bahasa, tempat tinggal, indentitas dan budaya orang Pakpak.

Tujuan penulisan ini adalah pertama menjelaskan latar belakang migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang, kedua mengetahui keberadaan orang Batak Toba dan ketiga adalah mengetahui pengaruh orang Batak Toba di Sidikalang. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah, yaitu Heuristik (pengumpulan data), Kritik sumber, Interpretasi (menyimpulkan kesaksian data yang dipercaya dari bahan yang ada), dan yang terakhir adalah Historiografi (penulisan). Rumusan masalah penelitian ini adalah pertama, apa latar belakang migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang, kedua bagaimana keberadaaan orang Batak Toba di Sidikalang, dan ketiga apa pengaruh masyarakat Batak Toba di Sidikalang.

Demikian penulis mengambarkan migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang pada tahun 1964-1985. Jumlah orang Batak Toba yang memasuki Sidikalang semakin bertambah dan pada tahun 1925 Sidikalang dikenal dengan daerah panombangan

untuk melanjutkan perpindahan ke daerah lain seperti ke daerah Tanah Alas dan Singkil. Komunitas orang Batak Toba di Sidikalang lebih banyak hidup berpencar, karena keinginan untuk mendapatkan lahan yang baru yang belum dimiliki oleh orang lain. Orang Batak Toba yang tinggal di Sidikalang menunjukkan indentitasnya dengan mengadakan pesta-pesta adat dan mengadakan pergumpulan marga-marga serta menggunakan bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari menggunakan bahasa daerah, yaitu bahasa Batak Toba. Keberadaan orang Batak Toba di Sidikalang membawa pengaruh cukup besar baik dalam bidang bahasa, pendidikan, indentitas dan budaya suku Pakpak. Interaksi orang Batak Toba di Sidikalang cukup harmonis bukan hanya sesama orang Batak Toba tetapi juga dengan penduduk asli Sidikalang (suku Pakpak), dan sesama suku perantauan lainnya.


(13)

BAB I P ENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Orang Batak termasuk salah satu subsuku bangsa di Indonesia yang tinggal di propinsi Sumatera Utara, di daratan tinggi Bukit Barisan sekitar Danau Toba. Orang Batak adalah kelompok etnis keempat terbesar Indonesia setelah orang Jawa, Sunda dan Bali. Orang Batak Toba sering menyebut mereka sebagai halak hita (orang kita) untuk menyebutkan suku sendiri. “Orang Kita” berasal dari nenek moyang yang sama si Rajabatak.1

Perpindahan penduduk (migrasi) yang terjadi di Indonesia sudah merupakan tradisi karena perpindahan dari satu tempat ke tempat lain sudah terjadi sejak dahulu. Sejak jaman manusia purba, yaitu hidup berpindah-pindah “nomaden” untuk mencari bahan makanan dan lahan yang bisa ditanamami. Perpindahan (migrasi) para pendatang dapat dikatakan sebagai gerak pindah penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan maksud mencari nafkah atau menetap.

2

1

Tagor Nainggolan, “Batak Toba di Jakarta”, Medan: Bina Media Perintis, 2006, hlm 44 - 46.

2

Nazief Chatib, “Para pendatang di kota-kota Sumatera Timur”, Medan: ----, 1995, hlm 1.

Perpindahan para pendatang tersebut ada yang terjadi karena didatangkan oleh seseorang atau lembaga ada juga yang terjadi berdasarkan kemauan sendiri. Kebanyakan penduduk melakukan migrasi karena motif ekonomi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan taraf kehidupan ekonomi. Walaupun tidak jarang orang melakukan perpindahan karena alasan lain seperti politik, ekonomi dan penyakit.


(14)

Perpindahan orang Batak Toba ke kabupaten Dairi, khususnya ke kecamatan Sidikalang disebabkan oleh berbagai faktor seperti adanya faktor pendorong dan penarik baik dari daerah asal maupun daerah yang dituju. Salah satu faktor yang dominan adalah semakin besar jumlah penduduk di daerah asal, tidak terlepas dari faktor-faktor seperti fertilitas (kelahiran), mortalitas (kematian), dan migrasi

(perpindahan penduduk). Menyebabkan menurunnya angka kematian (mortalitas)

dan meningkatnya angka kelahiran (fertilitas). Meningkatnya jumlah penduduk mengakibat kampung sebagai tempat hunian masyarakat tersebut tidak memadai lagi untuk dihuni, baik karena kepadatan penduduk dan jumlah lahan pertanian yang ada tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan mereka.3

Hal ini mempengaruhi penduduk untuk mencari perluasan lahan pertanian yang baru. Berbagai kendala di daerah sendiri dalam beradaptasi dengan lingkungan merupakan penghambat dalam meningkatkan mutu kehidupan. Dalam sistem nilai tradisional (adat) Batak Toba selain mendambakan banyak keturunan (gabe) setiap keluarga ingin sejahtera dan kaya (mamora) serta memiliki wibawa sosial (sangap). Tidak semua keluarga mampu meraih dua nilai terakhir di daerah sendiri karena tidak setiap keluarga memiliki tanah yang luas dan faktor produksi harta benda yang banyak. Tanah merupakan salah satu faktor produksi yang terpenting dan merupakan sumber pencaharian utama. Demikian pula adat-istiadat berhubungan erat dengan tanah sebagai usaha pertanian tersebut. Tanah merupakan salah satu alat untuk mencapai sanggap (wibawa sosial). Karena semakin besar jumlah tanah yang dimiliki

3

O.H.S Purba, Elvis F.Purba, “Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak): sebab, motif dan akibat perpindahan penduduk dari daratan tinggi Toba”, Medan: Monora, 1997, hlm 20.


(15)

oleh suatu keluarga maka akan sangap atau wibawa sosialnya akan tinggi di dalam masyarakat tersebut. Hal ini juga menyebabkan salah satu faktor orang Batak Toba pergi meninggalkan kampung asal.

Masyarakat Batak Toba adalah masyarakat patrilineal. Dimana garis keturunan dilanjutkan dari ayah kepada anak laki-laki. Keturunan pokok dalam hukum waris adat Batak Toba tradisional adalah anak laki-laki. Warisan adalah simbol dari eksistensi suatu marga4. Dan sifat pemikiran orang Batak lulu anak dan

lulu tano (suka anak dan suka tanah). Jadi tanah memegang peranan penting, dimana tanah mempunyai aspek peranan ganda sebagai sumber mencari penghidupan melalui pembukaan pertanian dan sebagai sumber mengapai ke-kepalaan harajaon (kuasa). Tanah sebagai harta benda yang akan diwariskan kepada keturunan semakin banyak, seperti di orang Batak Toba ada tiga (3) pemberian tanah kepada keturunannya, tanah penjaean, tanah pauseang dan tanah parbagian.5

Faktor kesuburan lahan dari daerah Danau Toba dimana keadaan permukaan tanah yang banyak bergunung dan berlembah-lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanian, seperti perluasan areal. Pengembangan usaha pertanian juga mengalami hambatan ketinggian dan kemiringan lahan turut menentukan budidaya tanaman. Salah satu cara yang ditempuh untuk

Jika jumlah penduduk lama kelamaan semakin bertambah menyebabkan tekanan terhadap jumlah lahan pertanian yang ada.

4

Tagor Nainggolan, Op. cit, hlm 208. 5

Tanah panjaean adalah tanah yang diberikan kepada seseorang laki-laki oleh orangtuanya segera sesudah menikah dan berumahtangga. Pemberian ini dimaksud sebagai modal pertama dari dalam usahanya untuk mencari nafkah. Tanah pauseang adalah tanah yang diterima oleh seorang anak perempuan dari orangtuanya pada hari perkawianan. Sedangkan tanah parbagian adalah tanah yang diwarisi oleh seorang anak laki-laki dari orangtuanya yang sudah meninggal.


(16)

mengatasi kendala yang dihadapi adalah meninggalkan kampung halaman dengan harapan akan mendapat sukses di daerah lain. Walaupun pada awalnya keterbatasan sektor pertanian dan kesulitan ekonomi sebagai faktor pendorong, namun kesuksesan yang ingin dicapai ditentukan oleh hal yang lebih kompleks yaitu nilai-nilai tradisional yang dianut oleh orang Batak Toba. Perpindahan orang Batak Toba ke daerah lain dikenal dengan nama “Marserak” (menyebar).6

Perpindahan penduduk dari tempat asal ke daerah tujuan membawa kebudayaan daerah masing-masing. Kedatangan orang Batak Toba ke Sidikalang membawa pengaruh cukup besar bagi kehidupan masyarakat Pakpak sebagai penduduk asli dari daerah Sidikalang. Bahasa sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari lebih umum digunakan adalah bahasa Batak Toba, tempat hunian masyarakat Batak Toba lebih banyak tinggal di pusat kota sebagai pusat Daerah Sidikalang termasuk salah satu daerah persebaran penduduk dari Danau Toba. Dalam hal sumber daya alam daerah Sidikalang mempunyai potensi lahan yang luas dan subur, akan tetapi sumber daya manusia masih mengalami kekurangan. Hal ini yang telah menarik orang luar terutama orang Batak Toba untuk melakukan perpindahan ke Sidikalang.

Kedatangan orang-orang Batak Toba sudah sejak jaman penjajahan Belanda, sejak permulaan tahun 1900-an. Pemerintah kolonial yang ingin memperluas koloninya dan ingin menguasai daerah-daerah Batak yang masih merdeka akhirnya melahirkan perang. Perang Batak yang terjadi mengalami perpindahan sentrum dari daerah Toba Holbung ke Humbang akhirnya ke Dairi dan terus berlanjut.

6


(17)

perekonomian dan pusat pemerintah serta pengaruh indentitas orang Pakpak yang lebih bangga mengatakan dirinya orang Batak Toba. Perubahan yang terjadi ini karena penduduk yang lebih dominan di Sidikalang adalah suku Batak Toba. Suku Batak Toba yang ada di Sidikalang menunjukkan indentitasnya dengan melakukan seremonial tradisi adat Batak Toba.

Atas dasar pemikiran diataslah penulis ingin menulis tentang “Migrasi Orang Batak Toba ke Sidikalang (1964-1985)”. Adapun alasan penulis memulai dari tahun 1964 dikarenakan pada tahun tersebut. Dairi yang ibukotanya Sidikalang diresmikan menjadi sebuah kabupaten yang otonom yang terpisah dari kabupaten Tapanuli Utara.7

Sedangkan penulisan diakhiri pada tahun 1985 karena pada tahun ini kabupaten Dairi Tingkat II ada peresmian pembentukan 4 (empat) perwakilan kecamatan yang dilaksanakan pada tanggal 25 Mei 1985 oleh pembantu Gubernur Sumatera Utara yang dipusatkan di Sigalingging ibukota Perwakilan Kecamatan Parbuluan. Hal ini sesuai dengan yang ditetapkan oleh keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara No. 138/1313/K/THU 1985 tanggal 25 Maret 1985.8

Berangkat dari latar belakang diatas maka perlu dibuat suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam sebuah

1.2 Rumusan Masalah

7

BPS Dairi, Buku Kerja Tahun 1985, Dairi: ---, 1985, hlm 43. 8


(18)

penelitian dan substansi dari penulisan. Permasalahan pokok dalam penulisan sangat penting dalam studi sejarah. Mengenai Orang Batak Toba di Sidikalang sendiri masih belum dikaji atau bahkan dipopulerkannya dalam bentuk tulisan, sehingga informasi mengenai permasalahan tersebut masih sangat minim diketahu oleh umum. Untuk mempermudah penulisan ini agar dapat mencapai penelitian yang objektif, maka pembahasan dibatasi terhadap masalah bagaimana keberadaaan orang Batak Toba di Sidikalang (1964-1985).

Oleh sebab itu, penulis memusatkan permasalahan sebagai berikut: 1. Apa latar belakang migrasi Batak Toba ke Sidikalang?

2. Bagaimana keberadaan orang Batak Toba di Sidikalang? 3. Apa pengaruh masyarakat Batak Toba di Sidikalang?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian

Masa lampau manusia memang tidak dapat ditampilkan kembali dan direkonstruksi seutuhnya, namun rekonstruksi kehidupan manusia tersebut perlu dipelajari sebagai aktifitas kehidupan manusia di masa lampau yang diharapkan mampu memberikan suatu pelajaran bagi kehidupan manusia di masa kini dan masa yang akan datang. Karena sejarah merupakan cambuk dan pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada masa lampau di masa sekarang dan di masa yang akan datang.


(19)

Adapun tujuan dari penulisan/penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menjelaskan latar belakang migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang. 2. Mengetahui keberadaan orang Batak Toba di Sidikalang.

3. Mengetahui pengaruh orang Batak Toba di Sidikalang.

Manfaat Penelitian

Setiap penulisan diharapkan akan mampu memberikan manfaat kepada khalayak umum maupun suatu kelompok tertentu. Disamping untuk tujuan diatas maka diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai berikut:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi setiap masyarakat setempat mengenai orang BatakToba di Sidikalang.

2. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian dengan topik yang sama ataupun yang bersinggungan dengan penelitian ini.

3. Menambah khazanah pengetahuan mengenai proses masuknya dan pengaruh orang Batak Toba di Sidikalang.

1.4 Tinjauan Pustaka

Dalam bukunya O.H.S Purba dan Elvis F.Purba yang berjudul “Migrasi Spontan Batak Toba (Marserak): sebab, motif dan akibat perpindahan penduduk dari daratan tinggi Toba” menjelaskan bahwa perpindahan orang Batak Toba dari daerah daratan tinggi Toba disebabkan oleh berbagai faktor baik faktor pendorong dan faktor penarik baik dari daerah asal maupun daerah yang dituju. Sejak pertengahan abad ke


(20)

XIX tekanan penduduk terhadap lahan pertanian sudah mulai terasa. Berkat usaha

zending di bidang kesehatan menyebabkan angka kematian menurun dan angka kelahiran meningkat. Kampung halaman (bona pasogit) Batak Toba semakin sesak akibat pertambahan penduduknya yang cepat. Pertambahan penduduk yang pesat bukan hanya menimbulkan tekanan terhadap lahan pertanian, tetapi juga bagi perkampungan baru yang dibuka bagi pemuda yang menikah (manjae). Semakin banyak perkampungan baru juga membutuhkan lahan pertanian yang baru yang jumlahnya semakin meningkat. Nilai-nilai filosofis Batak Toba (hagabeon, hasangapon, dan hamoraon) menjadi salah satu unsur terjadinya perpindahan penduduk (migrasi). Dan faktor kesuburan lahan dari daratan Toba juga mempengaruhi perpindahan orang Batak untuk mencari lahan baru yang lebih subur dan sedikit penduduknya sehingga dapat membuka lahan yang baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal dan lahan pertanian untuk kelangsungan hidup. Bukan hanya faktor diatas akan tetapi banyak faktor lain yang menyebabkan orang Batak Toba meninggalkan kampung halaman. Buku ini dapat membantu penulis untuk menjelaskan latar belakang migrasi orang Batak Toba ke daerah lain terutama ke daerah Sidikalang.

Payung Bangun dalam bukunya “Tradisi dan Perubahan: konteks masyarakat Pakpak Dairi” menjelaskan bahwa penduduk asli dari daerah kabupaten Dairi adalah suku Pakpak tetapi 75% penduduk yang mendiami Sidikalang ibukota dari daerah Tingkat II Dairi adalah etnis Batak Toba.9

9

Lister Brutu, Nurbani Padang, “Tradisi dan Perubahan: konteks masyarakat Pakpak Dairi”, Medan: Monora, 1998, hlm 118.


(21)

Sidikalang membawa berbagai perubahan besar terutama dalam penggunaan bahasa yang digunakan adalah bahasa Batak Toba sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan sehari-hari daripada menggunakan bahasa Pakpak sebagai bahasa asli daerah tersebut. Orang Batak Toba juga membawa dampak lain terhadap tradisi adat yang dijalankan oleh suku Pakpak, contoh penduduk yang tinggal di daerah Sidikalang sekarang lebih condong dalam menggunakan upacara adat Toba dibanding upacara Pakpak dan dalam hal pemukiman orang Pakpak lebih banyak tinggal di pinggiran kota daripada di pusat kota dan pusat perdagangan. Buku ini dapat membantu penulis dalam melihat keberadaan orang Batak Toba dan pengaruh orang Batak Toba di Sidikalang.

Keonjaraningrat dalam bukunya “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”

sub-bab “Kebudayaan Batak”, menjelaskan bahwa orang Batak khususnya orang Batak Toba prasarana yang menghubungkan dan memperkenalkan orang Batak dengan dunia luar adalah sarana jalan yang sudah ada sejak jaman sebelum Kemerdekaan. Jaringan jalan-jalan raya telah mencapai sampai daerah-daerah pelosok sehingga memudahkan orang Batak Toba untuk berinteragsi dengan dunia luar.10

10

Koenjaraningrat, “Manusia dan Kebudayaan Indonesia”, Medan: Djambatan, 1988, hlm 94.

Telah banyak orang Batak Toba melakukan migrasi ke berbagai daerah seperti daerah Langkat, Deli, Serdang dan kota Medan. Perpindahan orang Batak Toba ke luar daerah dalam jangka 40 tahun bertambah hampir tiga kali lipat. Dan dalam buku ini juga dijelaskan bagaimana kehidupan orang Batak Toba, pola pemukiman, mata pencaharian, sistem kekerabatan, sistem religi di bonapasogit sebelum mengadakan


(22)

perpindahan ke daerah lain. Penulis dapat lebih mengenal kehidupan orang Batak Toba sebelum mengadakan perpindahan.

Dalam bukunya “Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara: suatu deskripsi”, O.H.S Purba dan Elvis F. Purba, menjelaskan bahwa perpindahan orang Batak Toba ke berbagai daerah khususnya daerah kabupaten Dairi sudah terjadi sejak dahulu. Perpindahan orang Batak Toba ke daerah Dairi/Sidikalang sudah terjadi sejak permulaan tahun 1900-an. Ada dua hal penyebab orang-orang Tapanuli memasuki Dairi. Kehadiran kolonial Belanda di tanah Batak dan usaha missioner Jerman yang ingin memperluas daerah kerjanya. Kedatangan orang Batak Toba ke Sidikalang semakin banyak bertambah dari tahun ke tahun. Kehadiran orang Batak Toba di daerah Sidikalang membawa beberapa dampak khususnya perkembangan Sidikalang menjadi sebuah perkampungan yang ramai. Orang Batak Toba yang datang ke Dairi membuka kampung-kampung baru sebagai tempat tinggal mereka. Karena kebanyakan orang Batak Toba yang datang ingin menetap di daerah perantauan. Yaitu dengan mendirikan rumah-rumah sederhana di ladang-ladang mereka tinggali. Perubahan lainnya adalah berkembangnya agama Kristen yang dibawa oleh para pedagang Batak Toba. Orang Batak Toba yang datang ke daerah Sidikalang juga mengadakan penginjilan. Penyebaran agama Kristen di Tanah Pakpak pada awalnya tidak diterima karena sebelumnya sudah berkembang agama Islam, sehingga penyebaran agama Kristen dianggap kafir. Lama kelamaan masyarakat setempat mulai menerima menjadi suatu agama baru. Kedatangan orang Batak Toba juga disebabkan oleh pembukaan jalan yang membuat orang Batak Toba semakin mudah untuk melakukan perpindahan ke daerah lain. Sidikalang juga menjadi daerah transit


(23)

pendatang-pendatang baru dari Toba Holbung, Humbang, Silindung untuk meneruskan perjalanan ke daerah lain seperti ke Tanah Alas dan Singkil.

1.5 Metode Penelitian

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk merekonstruksi sejarah dan menghasilkan sebuah karya sejarah yang bernilai ilmiah, sehingga tahapan demi tahapan harus dilalui untuk mencapai suatu hasil yang maksimal. Untuk itu dalam merekonstruksi masa lampau pada objek yang ditulis tersebut dipakai metode sejarah dengan mempergunakan sumber sejarah sebagai bahan penelitian. Metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.11

Langkah pertama yang dilakukan adalah heuristik, yaitu mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dan mendukung objek yang ditulis. Dalam hal ini dengan menggunakan metode library research (penelitian kepustakaan/ studi literatur) dan

field research (penelitian lapangan/ studi lapangan). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan buku-buku, skripsi, maupun karya-karya tulis ilmiah lainnya yang telah pernah ditulis sebelumnya yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Adapun, penelitian lapangan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terutama pada informan-informan yang dianggap mampu untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, baik informan yang

11

Louis Gottschalk, “Mengerti Sejarah”, Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986, hlm 32.


(24)

beretnis Batak Toba sendiri maupun informan yang ber-etnis non Batak Toba di daerah yang ditulis tersebut.

Langkah kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini, kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari keaslian sumber tersebut baik dari segi substansial (isi), yakni dengan cara menganalisa sejumlah sumber tertulis misalnya buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan orang Batak Toba, kritik ini disebut dengan kritik intern. Disamping itu juga dilakukan kritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keotentikan, kritik ini disebut dengan kritik ekstern. Kritik yang dilakukan lebih banyak kepada kritik internal, hal tersebut terjadi karena kurangnya sumber primer yang diperoleh, sehingga sulit untuk melakukan kritik eksternal.

Tahapan selanjutnya setelah uji dan analisis data ialah tahap interpretasi. Dalam tahapan ini, data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan satu analisa yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek yang ditulis. Objek kajian yang cukup jauh kebelakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Dengan kata lain, tahap ini dilakukan dengan menyimpulkan kesaksian atau data-data/informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang ada untuk diceritakan kembali.

Tahapan terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersebut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan berarti, yang selalu akan berusaha memperhatikan aspek-aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif-analitis, yaitu dengan pembeberan


(25)

rangkaian peristiwa dengan melibatkan perpektif sejarah dalam bentuk tulisan yang kritis dan bersifat ilmiah.


(26)

BAB II

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1 Letak Geografis

Sidikalang merupakan salah satu kecamatan yang ada di kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara. Jarak kecamatan dengan pusat pemerintahan hanya 0,5 km. Dimana Sidikalang merupakan ibukota dari kabupaten Daerah Tingkat II Dairi.

Secara adminitratif kecamatan Sidikalang terdiri dari 11 desa/kelurahan, 41 lingkungan dan 34 dusun dengan luas kecamatan 70,67 km2 atau 4,02% dari total luas kapubaten Daerah Tingkat II Dairi, yang memanjang dari arah Utara ke Tenggara. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:

Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Siempat Nempu Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Kerajaan Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Berampu Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Sitinjo/Sumbul Secara geografis kecamatan Sidikalang terletak antara :

Lintang Utara : 2015’ – 3000’ Bujur Timur : 98000’– 98030’

Kemiringan lahan kecamatan Sidikalang adalah 0-25. Ketinggian kecamatan Sidikalang berkisar antara 700-1.100 m diatas permukaan laut dan ketinggian ibukota kecamatan Sidikalang yang sekaligus ibukota kabupaten Dairi adalah 1.066 m diatas permukaan laut. Rata-rata hari hujan sebanyak 12 hari dan tidak merata setiap


(27)

bulannya dengan curah hujan rata-rata 16 mm. Musim hujan yang paling berpengaruh biasanya terjadi pada bulan Januari, April, Mei, September, Nopember dan Desember setiap tahunnya. Angin laut berhembus kencang dari arah barat menuju timur sewaktu menjelang musim yang mengakibatkan musim hujan. Angin barat berhembus dengan kecepatan sedang dari arah timur menuju arah barat sewaktu menjelang musim kering.

Keadaan lahan dari kecamatan Sidikalang sebagian besar diadaptasi gunung-gunung dan bukit-bukit yang bergelombang yang memanjang dari timur kearah Barat dan kemiringan lahan yang bervariasi hanya sebagian yang datar/rata. Sebelum kedatangan Hindia Belanda ke Indonesia produksi dari kecamatan Sidikalang/kabupaten Dairi berupa rotan, damar, kapur barus, kemenyan dan kayu yang menjadi dominasi mata pencaharian yang diperdagangkan.12

12

Katalog BPS, “Dairi Dalam Angka 1985”, Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi & Badan Perencanaan Pembangunan Kabupaten Dairi.

Sesuai dengan keadaan alamnya maka mata pencaharian masyarakat Sidikalang umumnya adalah bercocok tanam. Dimana lahan kecamatan Sidikalang sangat cocok untuk tanaman muda dan keras seperti kopi, karet dan jagung. Salah satu tanaman utama di Sidikalang adalah tanaman kopi. Sidikalang sangat terkenal dengan penghasil kopi karena banyaknya masyarakat yang mengolah lahan dengan menanami tanaman kopi. Kopi dari Sidikalang sangat terkenal karena rasa yang khas dan rasa pahitnya yang cukup kental, dimana kopi ini juga menjadi salah satu komiditi ekspor yang paling besar dari Sidikalang ke luar daerah.


(28)

Sidikalang merupakan pusat perekonomian, pemerintahan dan perdagangan. Pemilihan Sidikalang sebagai ibukota kabupaten Dairi karena letaknya yang strategis sebagai jalur perhubungan utama untuk berhubungan dengan daerah lain termasuk ke Medan, ibukota Sumatera Utara dan didukung oleh kemajuan pembangunan kota dan masyarakat serta dikenal sebagai kota terbesar di kabupaten Dairi.

Tabel 1

Luas Lahan Kecamatan Sidikalang dan Pengunaannya No. Penggunaan Lahan Luas Lahan

1. Pekarangan/Bangunan 1725

2. Lahan Sawah 763

3. Pertanian sawah kering (ladang tegal) 3849

5. Rawa 278

6. Kolam/tebat 128

7. Pengembalaan 154

9. Lain-lain dan Danau 170

Sumber : Buku Statistik Tahunan “Kabupaten Dairi dalam angka 1985”

Dari tabel dapat kita lihat bahwa penggunaan lahan di kecamatan Sidikalang lahan untuk pertanian cukup luas, baik untuk lahan sawah, pertanian sawah kering maupun perkebunan rakyat. Dimana areal ini dijadikan masyarakat menjadi mata pencaharian utama. Lahan ini banyak ditanami tanaman keras seperti kopi robusta, kopi arabika, kemenyan, kulit manis aren, gambir dan lain-lain. Masyarakat juga


(29)

mulai mengusahakan perkebunan yang dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat, perkebunan yang mulai berkembang dan diusahakan penduduk Sidikalang adalah perkebunan jeruk.

Areal pemukiman menjadi lahan kedua yang terluas, hal ini terjadi karena jumlah penduduk di kecamatan Sidikalang mengalami peningkatan baik jumlah penduduk setempat maupun jumlah para pendatang atau perantau dari luar daerah semakin banyak. Sehingga pembangunan tempat hunian cukup tinggi dan pembagunan sarana-sarana umum pun sudah meningkat. Untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Sidikalang pemerintah juga membangun sarana-sarana pendukung seperti puskesmas, sekolah, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), Perusahaan Listrik Negara (PLN), rumah-rumah ibadah, telepon umum, bank, pos dan giro.

Sidikalang juga mempunyai beberapa tempat wisata yang sering dikunjugi baik dari dalam daerah maupun dari luar daerah. Salah satu tempat wisata yang mulai berkembang adalah Tanam Wisata Iman yang letaknya berada di daerah Sitinjo. Sidikalang yang berhawa sejuk dan didukung dengan pemandangan yang indah, membuat Sidikalang menjadi salah satu tempat wisata yang ramai dikunjungi oleh para wisatawan baik dari dalam daerah, luar daerah bahkan wisatawan mancanegara. Untuk mendukung hal ini pemerintah meningkatkan fasilitas-fasilitas pariwasata untuk menunjang kemajuan pariwisata daerah karena mendatangkan pendapatan daerah bagi pemerintah maupun masyarakat setempat. Fasilitas-fasitas yang dibangun pemerintah berupa hotel, losmen, dan tempat cenderamata yang dekat dengan tempat pariwisata.


(30)

Pengakutan merupakan salah satu perhatian pemerintah karena dengan adanya pengangkutan maka masyarakat akan memacu pertumbuhan ekonomi rakyat terutama yang berada di pedesaan. Masyarakat akan dimudahkan untuk melakukan aktifitasnya dalam menempuh jarak jauh dan para wisatawan akan dengan mudah untuk dapat sampai ke tempat tujuan wisata. Maka pemerintah sangat memperhatikan hal ini untuk mendukung pembangunan masyarakat dan kecamatan Sidikalang.

2.2 Keadaan Masyarakat

Suku Batak merupakan salah satu suku yang ada di Indonesia yang sebagian besar menduduki dan mendiami daerah Danau Toba. Di sebelah Selatan berdiam orang Batak Toba sedangkan di sebelah Barat, berdiam orang Batak Dairi. Penduduk kecamatan Sidikalang merupakan bagian dari suku Batak yaitu suku Pakpak.

Penduduk Sidikalang adalah keturunan si Tellu Nempu yang mempunyai 3 orang anak yaitu Ujung, Angkat dan Bintang. Marga Ujung mendiami wilayah Sidikalang kota sekarang, marga Angkat mendiami daerah Sidiangkat sedangkan marga Bintang mendiami desa Bintang.

Masyarakat Sidikalang terdiri dari golongan Raja (kepala suatu negeri) yang disebut Takal Aur dan Pertaki (kepala desa) sebagai golongan tertinggi, sedangkan petani dan masyarakat adalah golongan masyarakat biasa. Tetapi stratifikasi sosial tidak seperti penggolongan masyarakat dalam masyarakat Jawa. Takal Aur dan

Pertaki adalah masyarakat biasa, mereka adalah petani yang dituakan oleh masyarakat setempat atau merupakan seorang kepala marga dalam satu huta. Raja berperan dalam menyelesaikan segala persoalan yang menyangkut anggota


(31)

masyarakat dan adat istiadat. Raja tersebut tidak digaji atau mendapat imbalan akan tetapi cukup dihormati didalam kehidupan bermasyarakat. Di Sidikalang bila ada kegiatan pesta dan persoalan-persoalan dalam huta dan antar huta, maka Takal Aur akan menyelesaikannya dengan musyawarah dengan masyarakat.13

Adat istiadat yang berlaku di Sidikalang pada dasarnya mengikuti pola adat-istiadat Batak yang berazaskan Dalihan Natolu. Tetapi dikalangan orang Batak Pakpak Dalihan Natolu disebut dengan Daliken Sitelu. Dilambangkan didalam struktur sosial Batak Pakpak sebagai berikut :

1. Kula-kula (pemberi anak gadis) 2. Dengan sebeltek (teman semarga) 3. Berru (Klan penerima anak gadis)

Dengan sebeltek dibagi-bagi atas tiga bagian, sehingga menjadi lima (5) kelompok atau disebut dengan Sulang Silima, yaitu :

1. Kula-kula

2. Dengan sebeltek situa

3. Dengan sebeltek penengah (kelompok anak tengah antara kelompok yang sulung dan bungsu)

4. Ampun-ampun /sikedeken (kelompok anak bungsu),

5. Berru14

13

Hasil wawancara dengan Karina Munte, pada tanggal 29 November 2009, di Panji Bako no.23.

14

Marlinawati Juliana Sihotang, “Peranan HKBP Dalam Perkembangan Pendidikan Di Sidikalang (1919 - 1988)”, Medan : Skripsi S-1, Fakultas Sastra Jurusan Sejarah, 1991, hlm 12-15.


(32)

Yang disebut kula-kula adalah pihak pemberi gadis atau golongan pihak seberang dari suatu marga dengan marga lain. Dalam setiap marga harus mengetahui kedudukan terhadap orang lain dalam pergaulan adat, bagaimana menentukan sikap sesuai dengan Daliken Sitelu. Dengan demikian bahwa Batak Pakpak tidak berbeda dengan Batak Toba dalam adat-istiadat.

2.3 Mata Pencaharian

Berdasarkan keadaan alam dan topografi kabupaten Dairi maka sektor pertanian merupakan potensi terbesar andalan perekonomian masyarakat. Pada umumnya para petani mempunyai lahan yang cukup luas dan jumlah hasil panen yang sangat besar. Demikian juga halnya di kecamatan Sidikalang mata pencaharian utama adalah bertani, kehidupan bercocok tanam sebagai faktor dominan dalam setiap masyarakat petani. Pada umumnya menanam tanaman padi, palawija dan tanaman tahunan/bahan perdagangan ekspor seperti kopi, kemenyan, dan cengkeh. Terutama penduduk yang tinggal di daerah pedesaan, seperti Desa Kalang Simbara, Desa Belang Malum, dan Desa Bintang Mersada.

Sedangkan penduduk yang tinggal di pusat kecamatan Sidikalang sebagian besar bekerja sebagai pedagang ataupun pengusaha baik besar maupun kecil, sopir, buruh industri/bangunan, Pengawai Negeri Sipil (PNS), pengawai swasta, ABRI, dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena dekat dengan pusat pemerintahan kecamatan dan kabupaten.


(33)

Bahwa mata pencaharian yang paling banyak adalah petani, baik petani yang memiliki lahan sendiri, maupun petani yang mengolah/menggarap lahan dengan sistem menyewa dari para pemilik tanah. Tanaman palawija yang paling dominan ditanam masyarakat adalah jagung, tanaman keras yang paling banyak adalah kopi (kopi arabika), dan kemenyan serta produksi buah-buahan yang terbesar adalah pisang. Hasil pertanian cukup memenuhi kebutuhan penduduk setempat dan dapat diekspor ke luar daerah. Mata pencaharian yang lain juga dikerjakan penduduk Sidikalang adalah pedagang. Kegiatan perdagangan merupakan jenis mata pencaharian lain di luar pertanian. Para pedagang lebih banyak orang Batak Toba karena mental orang Batak Toba lebih keras dan juga orang Cina yang lebih banyak mempunyai usaha berupa pertokoan yang besar di pusat kota.

Penduduk Sidikalang juga mempunyai mata pencaharian tambahan yang diperoleh dari hasil hutan seperti kayu, damar dan rotan. Sebagian kecil penduduk juga memelihara ternak unggas, perikanan darat yang tata cara pemeliharaannya masih secara tradisional sehingga hanya merupakan penghasilan tambahan untuk menambah penghasilan pokok.

Industri juga berkembang di kecamatan Sidikalang sebagai mata pencaharian utama pada sebagian masyarakat. Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi menjadi barang dengan nilai tambah yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bagun dan perekayasaannya. Pembangunan industri pada hakikatnya selain untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, juga untuk menciptakan landasan yang kokoh dan kuat


(34)

untuk tercapainya struktur ekonomi yang seimbang. Banyaknya perusahaan/usaha industri adalah usaha industri yang bergerak di bidang industri pengolahan. Perkembangan perusahaan/usaha industri menurut jenis kegiatan, misalnya pembuat roti, tukang jahit, tukang mas, gilingan kopi, bengkel mobil, bengkel sepeda motor, pembuatan tahu, tukang tilam, dan reparasi alat-alat elektronik terkonsentrasi di kecamatan Sidikalang.

2.4 Sistem Kepercayaan

Sebelum kedatangan agama Islam dan agama Kristen Protestan ke tanah Pakpak, masyarakat telah menganut suatu sistem religi tradisional yang disebut “Ugama Sipelebegu”. Agama yang percaya kepada roh-roh nenek moyang dan kepada kekuatan alam yaitu benda-benda yang memiliki kekuatan gaib atau keramat. Menurut kepercayaan tersebut setiap selesai panen mereka melakukan upacara kepada roh atau Pengian Kuta yang mereka percayai dengan cara meletakkan sesajian tersebut dibawah pohon atau ditempat-tempat keramat. Dengan melakukan hal tersebut penduduk percaya maka tahun-tahun mendatang hasil panen pun akan terus bertambah. Dan jika tidak melakukan ritual tersebut maka bencana besar akan menimpa keluarga atau desa mereka. Kepercayaan tradisional ini telah cukup lama dianut oleh masyarakat setempat sampai kedatangan agama-agama yang mulai berkembang dan dianut oleh penduduk Pakpak.

Pada saat ini penduduk kecamatan Sidikalang telah memeluk agama seperti agama Kristen Protestan, Katolik, Islam, Budha, Hindu dan aliran kepercayaan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :


(35)

Tabel 2

Banyaknya Penduduk Menurut Agama Yang Dianut Di Kecamatan Sidikalang

No. Agama Jumlah

1. Kristen Protestan 39.720 orang 2. Kristen Katolik 4.736 orang

3. Islam 9.689 orang

4. Budha 516 orang

5. Hindu ---- orang

6. Lainnya 6 orang

7. Jumlah 54.667 orang

Sumber : Buku Statistik Tahunan “Kabupaten Dairi dalam angka 1985”

Dari tabel dapat dilihat bahwa di kecamatan Sidikalang terdapat agama yang berbeda-beda yang sudah berkembang di kecamatan Sidikalang. Agama Kristen Protestan adalah agama yang paling banyak dianut oleh penduduk kecamatan Sidikalang baik beretnis Pakpak maupun etnis pendatang begitu juga agama Islam yang lebih banyak dianut oleh penduduk asli. Sedangkan agama Budha lebih banyak dianut oleh suku Tionghoa. Walaupun agama Kristen merupakan agama terbesar, kerukunan umat beragama tetap terpelihara dan masing-masing umat menjalankan ibadahnya dengan aman dan damai.

Setelah masuk dan penyebarnya agama di kecamatan Sidikalang maka kepercayaan terhadap roh-roh nenek moyang mulai berkurang. Masyarakat semakin


(36)

percaya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan langit, bumi dan segala yang ada di dunia ini. Kepercayaaan terhadap batu-batu, pohon besar semakin berkurang, tetapi masih ada masyarakat yang menganut kepercayaan tersebut walaupun sudah memeluk salah satu agama.

Walaupun masyarakat sudah memeluk satu agama masih ada masyarakat yang tetap mengadakan ritual tertentu terhadap roh nenek moyang karena takut roh nenek moyang akan marah dan akan mendatangkan malapetaka jika tidak melakukan ritual tersebut. Jadi masyarakat Dairi masih ada yang memeluk suatu aliran kepercayaan tertentu “ugama sipelebengu” tetapi jumlahnya makin lama semakin berkurang.

Dan untuk mendukung ibadah suatu agama maka dibangunlah tempat-tempat ibadah sebagai tempat untuk melaksanaan ibadah setiap agama tersebut. Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :


(37)

Tabel 3

Sarana Rumah Ibadah di Kabupaten Dairi No. Sarana Ibadah Jumlah 1. Gereja Protetan 73 buah 2. Gereja Katolik 13 buah

3. Mesjid 20 buah

4. Musholla 6 buah

5. Vihara 1 buah

6. Kuil --- buah

Sumber : Buku Statistik Tahunan “Kabupaten Dairi dalam angka 1985”

Gereja mendominasi jumlah tempat ibadah yang ada di kecamatan Sidikalang, hal ini menunjukkan orang Batak Toba yang beragama Kristen Protestan lebih dominan dan diikuti dengan jumlah mesjid yang mulai menyebar di kecamatan Sidikalang. Tempat ibadah di kecamatan Sidikalang sudah mulai berkembang sampai ke pelosok daerah. Hal ini dilaksanakan agar masyarakat lebih mudah mengadakan ibadah menurut agama masing-masing.


(38)

BAB III

MIGRASI BATAK TOBA KE SIDIKALANG (1964-1985)

3.1 Pengertian Migrasi

Migrasi secara sederhana adalah perpindahan penduduk dari suatu tempat menuju tempat lain. Adanya gerak penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain untuk berpindah tempat tinggal. Definisi dari migrasi telah banyak dibuat oleh para ahli. Pendapat Sri Edi Swasono dan Masri Simgarimbun migrasi merupakan salah satu komponen perubahan dan pertumbuhan penduduk atau dapat diartikan sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan menetap dari satu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara atau batas adminitratif bagian dalam suatu negera. Jadi migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif permanen dari suatu daerah ke daerah lain.15 Keinginan masyarakat untuk mendapatkan derah baru sebagai tempat tinggal. Pendapat ini hampir sama dengan pendapat Evereet Lee, dimana migrasi adalah perubahan tempat tinggal secara permanen. Perpindahan yang permanen yaitu perpindahan yang sifatnya tetap atau menetap dalam waktu yang cukup lama.16

15

Sri Edi Swasono, Masri Simgarimbun, “Sepuluh Windu Transmingrasi di Indonesia 1905-1985”, Jakarta:---, 1985, hlm 275.

16

Evereet Lee, “Suatu Teori Migrasi (terj)”, Yogyakarta: Lembaga Kependudukan UGM, 1976, hlm 5.

Migran yang melakukan pepindahan ini setelah berada di daerah baru tidak berkeinginan untuk kembali lagi karena keinginan untuk memperoleh hidup yang lebih baik sudah terpenuhi seperti memiliki tanah, rumah dan dapat


(39)

menyekolahkan anak-anak. Sebagai contoh seperti kehidupan migran Batak Toba yang melakukan perpindahan ke daerah Sidikalang yang lebih banyak hidup menetap.

3.2 Proses Migrasi

Proses migrasi masyarakat Batak Toba ke Dairi sudah terjadi sejak masa kolonial Belanda berkuasa di Indonesia. Pada permulaan tahun 1900-an ada dua penyebab orang-orang dari Tapanuli masuk ke daerah Dairi yaitu kehadiran kolonial Belanda yang ingin menguasai daerah-daerah Batak yang masih merdeka dan usaha

missioner Jerman dalam rangka memperluas daerah kerja zending. Kehadiran kolonial di tanah Batak menyebabkan timbulnya perang yang dipimpin oleh Sisingamangaraja XII. Sentrum peperangan bergeser yang awalnya berada di wilayah Toba Holbung ke Humbang dan akhirnya ke Dairi, yang menyebabkan pejuang Batak Toba masuk ke daerah Dairi yang tergabung dalam barisan Sisingamangaraja XII. Demikian pula pembantu-pembantu tentara Belanda yang direkrut dari orang Batak Toba masuk ke Dairi seiring dengan pergeseran sentrum peperangan tersebut. Tahun 1906, tentara Belanda membawa 400 orang pembantunya dari Tarutung, kebanyakan dari daerah Silindung, ke Sidikalang dengan tujuan membantu tentara Belanda mematahkan pejuang-pejuang Batak yang menentang kolonial.

Seiring dengan waktu migrasi orang Batak Toba ke Sidikalang terus berlanjut, mereka mulai membuka persawahan. Pada tahun 1906/1907 karena situasi perang, ada pembukaan jalan dari Doloksanggul ke Sidikalang, petani dari daerah Humbang, Toba dan Silindung telah memasuki Dairi. dan mulai berjualan di Sidikalang.


(40)

1908 telah menyaksikan orang Batak Toba berjualan di Sidikalang. Mereka melihat bahwa Sidikalang pada saat itu masih berupa kampung kecil yang telah mulai ramai dan memiliki pekan berbeda ketika mereka mengunjungi Sidikalang pada dua tahun sebelumnya. Dalam kurun waktu dua tahun tersebut orang-orang Humbang, Silindung maupun Toba Holbung datang ke Sidikalang untuk melihat keadaan dan sekaligus ingin menetap. Kehadiran orang Batak Toba mempercepat Sidikalang berubah dari satu kampung kecil menjadi kampung yang agak ramai.

Kedatangan etnis Batak Toba juga disebabkan keinginan orang Tapanuli Utara untuk menyebarkan injil ke tanah Pakpak. Penyebaran injil di tanah Pakpak terjadi pada tahun 1911 yaitu melalui para pedagang kaum Kristen dari Tapanuli Utara. Penginjilan etnis Batak Toba tidak dilakukan secara langsung akan tetapi melakukan pendekatan dengan masyarakat setempat dengan memperdagangan ulos dan alat-alat pertanian.17

Pada awalnya kedatangan etnis Batak Toba memang mendapat kecurigaan/rasa tidak senang, karena etnis Pakpak sebelumnya sudah memeluk agama Islam. Agama Islam telah masuk dan berkembang di Tanah Pakpak sebelum kedatangan agama Kristen. Rasa ketidaksenangan itu ditunjukkan dengan tidak maunya mereka masuk sekolah di Zending (gereja) dan huruf-huruf Latin yang diperkenalkan oleh guru-guru dari Tapanuli Utara dianggap sebagai “kafir”. Akan tetapi lama kelamaan rasa waswas dari masyarakat setempat hilang. Kedatangan orang Batak Toba bukan secara langsung mengabarkan injil akan tetapi melakukan

17

Tulisan surat yang dikeluarkan oleh Kantor Pusat GKPPD “The Story Of The Estabilishment Of GKPPD”.


(41)

pendekatan dengan menjual cangkul dan memperbaiki alat-alat rumah tangga dari masyarakat Pakpak.

Kehadiran missioner membawa pengaruh yang cukup baik yaitu adanya upaya-upaya perbaikan kesejahteraan penduduk setempat. Pemerintah kolonial Belanda yang telah menduduki Dairi mendukung upaya missoner tersebut. Orang-orang Batak Toba yang memasuki daerah Dairi semakin banyak untuk membuka lahan pertanian. Pendidikan modern pun mulai diperkenalkan dan upaya memperbaiki tata kehidupan ekonomi melalui usaha mengubah dan memperkenalkan cara-cara yang baru. Pada bidang pertanian, orang Batak Toba mulai memperkenalkan metode persawahan dan mulai membuka hutan sebagai lahan pertanian. Orang Batak Toba memperoleh lahan melalui aturan adat setempat. Dimana ada daerah tertentu yang dapat diolah menjadi pertanian seperti hutan dan ada lahan yang tidak dapat diolah yaitu lahan marga. Tempat tinggal orang Batak Toba yang pertama sekali bernama Peduk.18

Pada tahun 1908 jumlah orang Batak Toba yang tinggal di kampung Sidikalang sudah ada ratusan orang. Sebagian dari mereka telah memeluk agama Kristen dan sebagian lagi memeluk agama suku. Mereka tinggal di ladang-ladang dengan memakan ubi dan sedikit beras. Kehidupan orang Batak Toba di Sidikalang tidaklah aman karena banyak pemberontak dan prajurit Belanda mendatangi rumah-rumah penduduk untuk meminta makanan dan uang. Peperangan masih terjadi antara

18

Hasil wawancara dengan Klementina Sihombing, pada tanggal 10 November 2009, di Panji Porsea no.10.

18

Peduk” adalah nama suatu daerah dimana tempat ini merupakan tempat tinggal pertama sekali orang Batak Toba yang datang dari daratan Danau Toba, akan tetapi daerah ini telah lama ditinggalkan karena rasa tidak aman dari para penjajah dan pemberontak.


(42)

pemerintah kolonial Belanda dengan kaum pemberontak. Tidak tahan lagi dengan keadaan ini maka masyarakat mulai pindah ke daerah lain yang lebih aman yaitu ke daerah pedalaman dengan membuat rumah perlindungan berupa tanah yang dilubangi berbentuk melengkung sebagai tempat tinggal untuk menghindar.

Penjajahan Hindia Belanda di daerah Dairi menjadi satu Onder Afdeling yang dipimpin oleh Controleur yang berkebangsaan Belanda. Daerah Dairi Landen

menjadi bagian dari Asisten Residen Batak Landen yang berpusat di Tarutung. Dan untuk memperluas daerah jajahan di Dairi, maka pada tahun 1930 pemerintah Belanda mengadakan pembangunan jalan dari Siborong-borong melalui Dolok Sanggul-Hariara Pintu sampai ke Sidikalang. Dengan adanya pembukaan jalan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda, maka hal ini mempercepat orang-orang Batak Toba melakukan perpindahan dari daerah Silindung pindah ke Dairi.19

19


(43)

Tabel 4

Penduduk OnderafdelingDairilanden pada tahun 1930 Jumlah %

Suku Batak:

Toba 24.893 46,07

Pakpak 18.888 34,95

Karo 8.892 16,46

Simalungun 548 1,01

Angkola 42 0,08

Mandailing 29 0,05

Lainnya 15 0,03

Jumlah 53.307 98,65

Indonesia lainnya 433 0,08

Cina 277 0,51

Eropah 20 0,04

Jumlah 54.037 100,00

Sumber : Volkstelling 1930: 30-31: 112

Dan pada masa kedudukan Jepang di Dairi pemerintah Jepang cukup kejam yaitu dengan menerapkan kerja paksa pembukaan jalan Sidikalang sepanjang + 65 km, membayar upeti dan para pemuda dipaksa untuk masuk Heiho dan Giugun untuk bertempur melawan militer Sekutu. Pembangunan jalan yang dilakukan oleh orang Batak Toba dari Sidikalang hingga ke jalan Runding dapat dilihat dengan adanya


(44)

nama tempat Beskem tempat pasukan Jepang dan buruh bertempat tinggal.20

Kepala Kampung diganti menjadi Kuntyo

Pemerintahan Jepang pada dasarnya tidak merubah sistem pemerintahan yang telah dibentuk oleh Hindia Belanda hanya mengganti namanya saja, antara lain:

Demang diganti menjadi Guntyo Assisten Demang diganti Huku Gunty

Kepala Negeri diganti menjadi Bun Danyto 21

Untuk memenangkan perang, Jepang menambah anggota pasukannya seperti pasukan Heiho, Gyugun dan Bda semi militer lainnya yang direkrut dari orang Batak Toba. Hal ini membuat orang Batak Toba menyebar lebih luas ke berbagai daerah sampai ke daerah pelosok Dairi.22

Sejak tahun 1925 Dairi semakin dikenal dengan daerah panombangan,

sumber berita tentang Dairi sampai kepada saudara-saudara mereka yang tinggal di Sampai pertengahan tahun 20-an kekristenan sudah berkembang di berbagai sudut Dairi. Jumlah orang Batak Toba ke Dairi terus meningkat. Dari Sidikalang mereka berangkat ke arah barat laut dan membentuk perkampungan, seperti Buluduri, Kanopan, Kintara, Jumateguh dan ada sampai Tigalingga. Perkampungan lain dibentuk di Panji di sebelah tenggara Sidikalang jumlah penduduk Dairi meningkat dengan cepat. Tahun 1913 jumlah penduduknya 27.659 jiwa dan tahun 1920 menjadi 33.067, diantaranya 32.956 pribumi dan selebihnya orang Eropa dan Cina.

20

Hasil wawancara dengan Rukmaida Simamora, pada tanggal 24 Februari 2010, di jalan Kampung Karo no.36.

21

Buku Kerja 1985, Op .cit, hlm 40 22


(45)

bonapasogit. Dari Pendatang dari Humbang dan Toba Holbung ada yang membuka persawahan dan lebih banyak yang membuka kebun kopi karena kondisi daerah. Tahun 1929 pembukaan jalan Dairiweg dari Merek sampai ke Sumbul Pegagan dan kemudian sampai ke Sidikalang (1934).23

Menurut kepercayaan agama yang dianut penduduk pada tahun 1930 Dairi terdapat 13.561 yang menganut agama Kristen, 6.449 menganut agama Islam dan 33.246 menganut agama suku. Angka-angka ini menunjukkan bahwa 46 penduduk Dairi adalah orang Batak Toba, yang jumlah lebih besar dari penduduk setempat. Waktu orang Batak Toba datang ke daerah Dairi masih banyak diantara mereka yang belum menganut agama Kristen, tetapi sesampai ke Dairi sebagian orang telah belajar Menyebabkan perpindahan orang Batak Toba semakin meningkat setelah pembukaan jalan raya tersebut. Keterbatasan lahan persawahan menjadi faktor pendorong bagi mereka untuk meninggalkan daeah baru yang ditempati di Dairi. Bagi sebagian orang, kebun kopi kurang menarik perhatian mereka, sehingga setelah beberapa tahun, lima sampai sepuluh tahun berdomisili di suatu tempat pindah lagi untuk mencari lahan persawahan yang lebih luas. Sidikalang menjadi daerah suatu kota yang paling ramai di Dairi dan menjadi daerah transit pendatang-pendatang baru dari Toba Holbung, Humbang, Silindung untuk meneruskan perjalanannya ke daerah lain, dari Dairi sampai ke Tanah Alas dan Singkil.

23

O. H. S. Purba, Elvis F. Purba, “Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara suatu deskripsi”, Medan: Monora, 1998, hal 77.


(46)

kekristenan dan pendatang yang datang belakangan sudah banyak yang beragama sehingga mempercepat munculnya jemaat-jemaat baru. 24

Dalam situasi tersebut dikeluarkan Undang-Undang darurat yaitu Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (PERPU) No.4 Tahun 1964 tanggal 13 Februari 1964 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Dairi yang berlaku surut sejak tanggal 1 Januari 1964. Untuk mempersiapkan pembentukan DPRD Dairi Pada tahun 1958 banyak penduduk yang pindah dari Dairi ke daerah Labuhan Batu, dari Tigalingga dan Parogil diperkirakan sebanyak 3.000 KK pindah. Selama beberapa minggu kota Sidikalang penuh dengan orang-orang yang akan pindah ke luar daerah. Bus angkutan umum yang datang pada hari-hari tertentu dengan cepat terisi penuh, sehingga yang tidak dapat berangkat pada hari itu tidur di emper-emper toko di Sidikalang pada malam harinya.

Sejak tahun 1958, aspirasi masyarakat Dairi untuk memperjuangkan daerahnya sebagai kabupaten Dairi yang Otonom tetap tumbuh dan berkembang. Dengan mengutus pertama tokoh masyarakat ke Jakarta untuk menyampaikan keinginan tersebut aar disetujui. Aspirasi dan tuntutan tersebut terus berkembang sampai pada tahun 1964, pada saat tokoh masyarakat mengantar Dairi Solin dkk ke Jakarta untuk memperjuangkan hak otonom daerah Dairi di Departemen Dalam Negeri. Akhirnya tuntutan tersebut dipertimbangkan dan disetujui pemerintah pusat cg. Menteri Dalam Negeri Bapak Sanusi Hardjadinata yang pada tahun itu menyetujui Dairi sebagai Daerah Otonom Kabupaten yang terpisah dari kabupaten Tapanuli Utara.

24


(47)

dan pemilihan Bupati yang Defensif, maka diangkat Rambio Muda Aritonang sebagai penjabat Buapati KDH Dairi.25

3.3 Faktor Pendorong Migrasi Batak Toba ke Sidikalang

Setelah Dairi terpisah dari kabupaten Tapanuli Utara, Dairi mulai menata bidang pemerintahan. Banyaknya kantor-kantor yang mulai dibentuk untuk itu membutuhkan jumlah pengawai yang cukup banyak.Ternyata hal ini juga membuat orang Batak Toba berdatangan ke daerah Dairi untuk mencari pekerjaan di bidang pemerintahan. Sebagian besar dari generasi muda lebih suka menjadi pegawai karena penghasilan yang lebih terjamin dan memberikan status sosial yang lebih tinggi.

3.3.1 Faktor Pendorong dari Daerah Asal

Keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik adalah keinginan setiap manusia. Dan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia ingin mendapatkannya secara mudah. Pekerjaan petani yang dirasa tidak memberikan harapan kemajuan. Untuk mencapai cita-cita dan idaman, masyarakat agraris melakukan perpindahan dari satu desa ke desa lain secara berkelompok atau perorangan. Kekayaan, kehormatan dan kebahagian (hamoraon, hasangapon dan

hagabeon) adalah tujuan hidup masyarakat Batak Toba. Dasar pemikiran ini merupakan wujud dari kebudayaan sebagai ide dan gagasan yang terus terwarisi dan mendarah daging bagi masyarakat. Yang melekat pada pola pemikiran dan sikap tingkah laku masyarakat Batak Toba.

25


(48)

3.3.1.1 Faktor Geografis

Persoalan mengenai transmigrasi tidak bisa dilepaskan dari persoalan tentang tanah. Menurut Mubyarto, bahwa berdasarkan pengalaman transmingrasi mempunyai kaitan erat dengan kebijakan di bidang pertanahan. Persoalan ini muncul karena tanah adalah penyebab dan sekaligus adalah harapan bagi para transmigran. Persoalan tentang tanah adalah persoalan yang paling sentral dalam pelaksanaan transmingrasi. Keinginan penduduk memiliki tanah yang baru sebagai tempat tinggal atau pun sebagai mata pencaharian.26

Sedangkan Kustadi mengemukan bahwa motivasi utama para transmigran adalah untuk memperbaiki nasib yang dihimpit oleh tekanan ekonomi di daerah asal, dengan demikian di daerah baru merupakan harapan dan cita-cita mereka. Tanah dapat dikatakan soko guru yang mendorong hidup mati para transmingran serta sebagai bekal generasi penerus.27

Pertanian adalah sumber utama pencaharian masyarakat Indonesia terutama kabupaten Tapanuli Utara. Masyarakat Batak Toba secara tradisional mendiami hampir seluruh wilayah adminitratif Tapanuli Utara. Sebagian besar daerah kabupaten Tapanuli Utara berupa daratan tinggi, yang dikenal dengan dataran tinggi Toba dan berada pada punggung jajaran Bukit Barisan. Secara geografis kabupaten Tapanuli Utara terletak pada 10201 - 2041 LU dan 980101 - 990351 BT dengan luas wilayah 1.060.530 Ha. Kemiringan lahan dari daerah Tapanuli Utara antara 0 - 40%. Keadaan permukaan tanah bergelombang, banyak pegunungan batu dan

26

Mubyarto, “Pengantar Ekonomi Pertanian”, Jakarta: LP3ES, 1989, hal 44-45. 27

Kustadi, “Transmigrasi Dalam Penyediaan & Pemilikan Tanah”, Medan: ---, --- hlm 85.


(49)

lembah menyebabkan berbagai hambatan dalam pengembangan usaha pertanian, seperti peluasan areal. Lahan yang tidak terlalu subur juga menyulitkan dan membutuhkan biaya yang besar bagi pengadaan dan pegembangkan sarana pengairan dan peluasaan lahan pertanian. Hal ini juga menyebabkan masyarakat sangat sulit untuk menentukan tanaman yang cocok untuk ditanam dalam pengembangan pertanian dan juga kesulitan pembangunan jalan dan sarana pengairan untuk mendukung pertanian. Sehingga jenis tanaman yang dikembang/ditanam masyarakat di daerah kabupaten Tapanuli Utara sangat terbatas.

Bukan hanya kemiringan lahan akan tetapi tanah yang umunya memilki tingkat kesuburan yang relatif rendah (tandus) dan peka terhadap erosi. Pengaruh iklim dengan distribusi curah hujan dan suhu udara yang kurang kondusif bagi sebagian daerah Tapanuli Utara sangat sulit untuk menententukan jenis dan pola tanaman masyarakat. Musim kering yang panjang membuat masyarakat sangat sulit untuk mendapatkan panen yang cukup, karena musim kemarau yang berkepanjangan. Akibat musim ini bukan hanya merusak tanaman tahunan tetapi juga mengakibatkan penderitaan petani karena padi atau tanaman palawija lainnya menjadi layu dan akhirnya mati. Panen gagal, maka penduduk terancam kelaparan. Kurangnya sumber air serta perluasan daerah pemukiman merupakan faktor yang menyebabkan kurangnya luas persawahan.28

Keinginan penduduk untuk mendapatkan lahan yang lebih luas dilakukan pengundulan hutan di sekitar daratan tinggi. Hal ini juga menyebabkan kesulitan air

28

Hasil wawancara dengan Saor Manurung pada tanggal 8 Juni 2010, di jalan Perluasan no. 157.


(50)

di berbagai daerah sehingga tidak sedikit lahan persawahan berubah menjadi perladangan.

Berdasarkan faktor fisik geografis Tapanuli Utara dihadapkan pada berbagai kendala untuk mengembangkan usaha pertanian. Kendala yang dihadapi dalam rangka pengembangan dan pengelolaan pertanian menyebabkan sebagian penduduk petani pindah. Faktor geografis dan kesulitan ekonomi adalah faktor utama terjadinya perpindahan penduduk dari daerah Tapanuli Utara ke berbagai daerah terutama ke daerah Dairi, kecamatan Sidikalang.

3.3.1.2 Faktor Ekonomi

Motif ekonomi untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain membuat banyak masyarakat melakukan perpindahan. Masyarakat Batak Toba melakukan perpindahan ke daerah lain karena menurut perkiraan mereka lebih senang disana (tempat rantau) karena terbukanya banyak lahan ekonomi yang dapat dikelola. Keadaan ekonomi yang pas-pasan di daerah asal membuat mereka ingin mencari yang lebih baik.29

Menurut Michael P. Todaro (1980), Bogue (1959), Titus (1982) dan Lee (1979) menyatakan bahwa motif utama seseorang melaksanakan migrasi adalah ekonomi. Hal ini didasarkan atas adanya ketimpangan/perbedaan ekonomi antar daerah. Dengan mengadakan migrasi ke daerah lain dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan mereka. Bahwa para emigrant pada umunya berasal dari

29


(51)

daerah miskin dimana mereka kekurangan tanah pertanian dan terbatasnya sumber daya alam. 30

Setiap keluarga mengindamkan kemakmuran, hamoraon, untuk mengangkat status dan mutu kehidupan mereka yang mungkin tidak diperoleh dari sektor pertanian di Tapanuli Utara. Salah satu cara untuk mendapatkan hamoraon adalah dengan memiliki lahan yang luas. Tanah yang luas tidak dapat diperoleh dari daerah asal, perpindahan dari kampung halaman adalah untuk mendapatkan hamoraon. Dengan adanya hamoraon maka akan memiliki status yang tinggi sekaligus akan

sanggap (hasangapon) atau terhormat. Orang yang dianggap terhormat jika memiliki status yang tinggi, selain dengan mendapatkan anak yang banyak (khususnya anak Kebutuhan hidup yang beraneka ragam semakin mengalami peningkatan dan jumlah anggota keluarga juga semakin bertambah. Hal ini tidak didukung dengan adanya peningkatan pendapatan ekonomi pada suatu keluarga. Sedangkan sektor pertanian yang tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin besar. Keadaan lahan yang tandus dan iklim yang tidak mendukung menyebabkan kesulitan ekonomi yang semakin lama semakin terdesak. Ketidakcukupan atau ketidakmampuan lahan untuk menjamin kelangsungan hidup anggota keluarga mendorong anggota masyarakat kampung tersebut untuk mencari perluasan lahan pertanian ke daerah lain. Pembukaan lahan-lahan pertanian baru terutama perwasahan tidak memungkin lagi di daerah suku sendiri, sementara sumber penghasilan lain sangat terbatas.

30

BPS, Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan, “Analisa Migrasi Indonesia: berdasarkan sensus penduduk tahun 1971 dan 1980”, 1980, hlm 18-19


(52)

laki-laki) hasangapon dalam masyarakat Batak Toba juga diukur dengan kepemilikan harta yang banyak salah satunya dengan kepemilikan tanah yang luas.

Faktor ekonomi lain yang menyebabkan perpindahan dari daerah Tapanuli Utara adalah karena letak daerah yang jauh dari pusat perdagangan dan aksebilitas ke dalam dan luar daerah sulit, pemasaran merupakan salah satu kendala yang dihadapi masyarakat Tapanuli Utara. Keinginan masyarakat yang ingin menjual hasil panennya juga mengalami kesulitan karena akses jalan yang masih sulit ditempuh, membuat masyarakat ingin tinggal di daerah pemukiman yang lebih mudah dijangkau.

Kesempatan berusaha di luar sektor pertanian lebih besar dan memungkinkan di daerah lain. Keinginan keluar dari sektor pertanian karena sektor pertanian tidak dapat memberikan kemapanan ekonomi untuk mencukupi kehidupan membuat masyarakat ingin mencari sektor ekonomi lain agar dapat mencapai ekonomi yang baik. Mendapatkan pekerjaan baru dan membuka usaha baru di daerah asal dirasakan kurang baik, maka penduduk melakukan migrasi.

3.3.1.3 Faktor Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting untuk bermigrasi. Berkembangnya dunia pendidikan dikalangan orang Batak tidak terlepas dari keberhasilan misi zending Jerman dan pemerintah Belanda dalam mengembangkan dunia pendidikan. Orang Batak Toba dari daerah Silindung dan Humbang bukan mencari pendidikan ke daerah Dairi, akan tetapi ingin mengembangkan pendidikan yang telah diperolehnya ke daerah Dairi


(53)

Pendidikan merupakan salah satu alat untuk mencapai kemajuan dalam kehidupan. Pendidikan Barat menyebabkan minat sebagian masyarakat untuk mengerjakan tanah pertanian berkurang. Sebagian besar dari mereka lebih suka menjadi pengawai karena penghasilan yang lebih terjamin dan dengan pendidikan akan memberikan status yang lebih tinggi. Karena generasi baru menganggap bahwa dengan pekerjaan petani tidak akan melepaskan mereka dari derita kemiskinan yang sejak dahulu dirasakan.

Dengan mengandalkan pendidikan maka akan terbukanya kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh gaji dan pangkat bagi tenaga terdidik di berbagai instansi, hal ini cukup mempengaruhi jumlah arus perpindahan dari luar Tapanuli Utara. Anak yang telah menyelesaikan pendidikannya dan mendapat pekerjaan merupakan suatu cara untuk mendapatkan status yang tinggi dalam masyarakat, karena akan dipandang masyarakat secara terhormat. Keterbasan sarana dan prasarana pendidikan di Tapanuli Utara menyebabkan arus pendidikan terus berlangsung dan akhirnya menjadi pelarian tenaga potensial terdidik karena kesempatan yang terbatas di wilayah sendiri untuk memperoleh pekerjaan atau menciptakan lapangan pekerjaan.

Pada tahun 1909, raja Asah Ujung (raja bagian pada suku Pakpak) menyerahkan sebidang tanah kepada Brinkschmidt, yang kemudian menjadi lokasi bangunan gereja dan sekolah di Sidikalang. Tahun itu juga didirinkanlah sekolah tukang dan tamatan sekolah ini yang menjadi pekerja untuk mendirikan sekolah, gereja dan bangunan yang lain di daerah Sidikalang. Walaupun tidak banyak dari faktor pendidikan yang menyebabkan orang Batak Toba pindah ke daerah Dairi


(54)

khususnya ke Sidikalang, akan tetapi hal ini cukup membawa beberapa orang Batak Toba menjadi guru di Sidikalang.

Pendidikan telah diyakini masyarakat sebagai salah satu sarana untuk mengatasi kemiskinan bahkan dipandang sebagai penambah sahala seseorang sehingga menyebabkan orang tua bersedia mengorbankan apa saja untuk pendidikan anaknya termasuk ke luar Tapanuli Utara.

3.3.1.4 Faktor Sosial dan Demografi

Tekanan terhadap lahan pertanian semakin besar dan jumlah penduduk yang secara alamiah bertambah dengan pesat sesuai dengan idaman setiap keluarga yang mendambakan banyak keturunan (gabe). T. R. Malththus seorang tokoh Antropologi berpendapat bahwa yang menyebabkan kemelaratan yang menimpa penduduk adalah karena tidak terdapatnya keseimbangan perbandingan antara bertambahnya penduduk dan bertambahnya bahan makanan. Pertambahan penduduk tidak diikuti dengan bertambahnya jumlah bahan makanan yang didapat oleh masyarakat. Ini yang terjadi di Tapauli Utara, bertambahnya penduduk dari tahun ke tahun dimana tiap keluarga yang mendambakan keturunan (gabe) akan tetapi hasil panen yang diolah tidak bisa mencukupi semua anggota keluarga. Tanah yang tandus dan iklim yang tidak baik menyebabkan penentuan dari jenis tanaman dan hasil panen yang diterima tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin bertambah.

Tanah memegang peranan yang penting dalam adat orang Batak Toba. Dengan memiliki tanah yang banyak akan dipandang masyarakat yang memiliki status yang tinggi. Setiap orang mendambakan banyak anak (keturunan) gabe,


(55)

dibarengi dengan kelimpahan ternak dan pertanian karena hal ini melambangkan

hagabeon sejati. Idaman ini harus didukung oleh kedaulatan di daerah (tanah) sendiri, karena tanah memiliki aspek ganda, sebagai sumber mencari penghidupan melalui pembukaan lahan pertanian untuk menghidupi anggota keluarga dan keturunan yang akan datang serta untuk menggapai ke-kepala-an, sebagaimana terkandung dalam ungkapan lulu anak lulu tano.

Setiap keluarga muda yang sudah berdikari, manjae, secara tidak langsung didorong untuk membangun kampung-kampung baru, bahkan tidak ada ketentuan yang mengharuskan anak sulung, sihahaan dan anak bungsu, siampudan tinggal di kampung halaman. Keinginan tidak bergantung kepada orangtua.

Dan pemberian sebidang tanah kepada anak yang telah berkeluarga dalam bentuk tanah panjaean, tanah pauseang dan tanah parbagian. Menyebabkan perpecahan dan perpencaran lahan pertanian. Selain masalah tanah adat yang tidak diusahai sepenuhnya karena sudah merupakan gumul na so tupa bagion, ansimun na so bolaon, pemberian tersebut menyebabkan semakin banyak rumah tangga petani yang memiliki dan menguasai lahan yang sempit.

Sifat dasar orang Batak Toba yang rindu berkawan, sihol mardongan (rindu berkawan), memperbesar arus perpindahan dari satu kampung mengikuti teman sekampung yang pindah duluan ke daerah lain. Teman yang sudah pindah akan memberi kabar ke kampung halaman, ini menyebabkan penduduk yang berada di kampung halaman ikut melakukan perpindahan karena lahan yang lebih subur di daerah lain dan keinginan dapat lebih maju seperti temannya.


(56)

3.3.1.5 Faktor Politik

Kedudukan kolonial Belanda untuk merebut Tanah Batak yang masih merdeka membuat pemerintah kolonial datang ke Sidikalang seiring dengan perubahan sentrum perang yang dipimpin oleh Sisingamagaraja XII. Pejuang-pejuang yang tergabung dalam barisan Sisingamangaraja XII mengalami perpindahan sentrum perang dari Toba Holbung ke Humbang akhirnya ke Dairi. Tahun 1906 tentara kolonial membawa 400 orang pembantunya dari Tarutung yang kebanyakan dari Silindung untuk membantu tentara Belanda mematahkan pejuang-pejuang Batak yang menentang kolonial.

3.3.1.6 Faktor Budaya

Konteks kultural mengenai sahala hasangpon melekat pada diri orang Batak Toba. Sahala adalah sifat tondi (semangat sebagai esensi manusia), yaitu watak alami selain kekuasaan dan wewenang manusiawi. Sahala seseorang sebagai kekuatan

tondinya, Hasangapon berarti sesuatu kualitas yang dihormati sebagai akibat dari dimilikinya sahala. Maka sahala hasangapon adalah kualitas kehormatan diri yang juga berarti bahwa seseorang itu patut dihargai oleh orang lain. Supaya mendapat kualitas ini, orang harus mengembangkan sahala harajaonnya (kerajaan pribadi).

Namun sahala hasangpon baru menjadi kenyataan apabila seseorang telah memperlihatkan prestasinya. Misalnya, seorang laki-laki dengan banyak anak dan cucu serta berhasil dalam pertanian atau pekerjaan-pekerjaan lain. Karena itu, di suku Batak yang bertani subtensi, tanah dan anak merupakan faktor penting dalam membangun harajaon (kerajaan), yang merupakan pertanda dimilikinya sahala


(57)

hasangpon. Dari tanah dan anak bisa diperoleh kekuasaan dan kekayaan. Paradigma ini tentu saja bisa mendorong dinanisme dan ambisi seseorang. Dalam hal ini, jelaslah bahwa kompleks sahala hasangpon juga mendorong suku Batak untuk berpindah dan mendirikan “kerajaan-kerajaan” baru. Seperti yang dikemukakan Kraemer, dengan bermigrasi, suku Batak ingin menjadi monang (terjemahan bebas berarti “nomor satu”). Dengan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam masyarakat baik karena memilik tanah yang luas dan pekerjaan yang berhasil, akan memunculkan semacam “simbol status” sebagai jiwa sahala hasangpon. Perjuangan untuk menjadi “nomor satu” telah menjadi misi budaya setiap orang Batak Toba di perantuan.

Tetapi untuk mencapai sahala hasangpon tidak dapat diperoleh di daerah asal, karena jumlah penduduk yang meningkat, dan pemilikan atas lahan pun semakin sedikit. Lahan yang tandus tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Keinginan untuk menjadi “nomor satu” dan dipandang masyarakat membuat sebagian masyarakat untuk merantau ke daerah lain. Tersedianya lahan yang luas dan subur membuat orang Batak Toba datang untuk memilikinya.

Keinginan untuk menjadi “nomor satu” membuat sebagian orang Batak Toba pindah ke daerah Sidikalang karena masih banyaknya lahan yang tidak diolah oleh masyarakat sekitar karena jumlah penduduk yang masih minim.

3.3.2 Faktor Penarik dari Daerah Tujuan

3.3.2.1 Tersedianya Lahan Yang Lebih Lluas dan Lebih Subur

Keadaan lahan yang tidak mendukung di daerah asal membuat orang berusaha mencari lahan yang lebih luas dan lebih subur untuk dapat memenuhi kebutuhan


(58)

pribadi dan keluarganya. Keadaan tanah yang lebih subur dan lebih luas adalah harapan penduduk Batak Toba agar keadaan sosial ekonomi mereka yang lebih baik. Dan keinginan memiliki tanah tidak dapat diperoleh di daerah asal. Keadaan lahan di

bonapasogit yang tandus dan penduduk yang semakin lama semakin meningkat tidak lagi mendapatkan lahan yang baik.

Akhirnya orang BatakToba melakukan perpindahan ke daerah lain, Sidikalang yang menjadi salah satu daerah tujuan para migran. Karena di Sidikalang tersedianya lahan yang cukup luas yang tidak diolah karena jumlah penuduk di Sidikalang masih jarang/sedikit. Hal ini membuat orang Batak Toba memilih migrasi ke daerah tersebut.

Lahan yang diperoleh dengan aturan adat tanpa membelinya dan berita ini sampai ke kampung halaman membuat saudara-saudara dari orang Batak Toba yang lebih dulu datang ke Sidikalang juga datang.31 Tanah yang diperoleh ditanami dengan jenis tanaman kopi karena kopilah tanaman yang cocok di daerah Sidikalang.

3.3.2.2 Pekerjaan Yang Lebih Baik

Keinginan sukses di tanah rantau, penghasilan yang lebih baik, membuat sebagian masyarakat ingin pindah dari daerah asal karena di daerah asal tidak dapat memberikan ekonomi yang baik. Rendahnya tingkat pendapatan dan kurangnya peluang berusaha dari pekerjaan sektor pertanian dan bukan pertanian, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh penduduk untuk keputusan pindah ke luar

31

Hasil wawancara dengan Klementina Sihombing, pada tanggal 10 November 2010, di jalan Panji Porsea no.10.


(59)

daerah. Ilmu dan pengalaman yang telah diperoleh tidak disalurkan dikampung karena tidak tersedianya pekerjaan yang layak yang dapat memberikan penghasilan yang dapat memberikan penghasilan yang lebih memadai. Kemiskinan di kampung halaman merupakan faktor pendorong meninggalkan desa menuju daerah-daerah yang lebih banyak memberikan kesempatan dan memberi harapan. Pekerjaan sebagai petani di daerah asal tidak memberikan sebagai kemajuan ekonomi membuat masyarakat pindah. Tersedianya pekerjaan di daerah Sidkalang seperti untuk guru,

biblebfro, dan mandor. Seperti yang dialami marga O. Tobing menginginkan pindah karena pada masa penjajahan kolonial Belanda yang memberikan dia pekerjaan sebagai mandor.32

Jumlah penduduk yang melakukan perpindahan dari bonapasogit (kampung halaman) ke Dairi terus meningkat dari tahun ke tahun. Di kecamatan Sidikalang mereka membuka perkebunan kopi sebagai sumber mata pencaharian dan mendirikan rumah-rumah sederhana di ladang-ladang mereka. Semakin banyak jumlah pendatang semakin banyak sumber berita tentang Dairi kepada saudara-saudara mereka yang tinggal di kampung halaman. Memberi kabar ke kampung halaman (bonapasogit) dilakukan apabila dia merasa bahwa pekerjaan tersebut dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Seperti keluarga Alm. O. Tobing yang tinggal di Panji Bako memanggil keluarganya setelah dia berhasil mendapat pekerjaan sebagai

3.3.2.3 Ikut dengan Famili

32

Hasil wawancara dengan Herlina Sihombing (menantu dari O.Tobing) pada tanggal 11 November 2010, di Panji Porsea no. 54.


(60)

mandor. Setelah cukup berhasil dalam bidang ekonomi dia memanggil istrinya dan anak-anaknya untuk menyusul ke daerah Panji dan mulai membuka usaha lain seperti membuka lahan baru untuk ditanami kopi.

3.3.2.4 Pembukaan Jaringan Jalan

Sarana jalan darat merupakan salah satu alat yang digunakan oleh penduduk yang melakukan perpindahan. Terbukanya jaringan jalan yang sebelumnya tertutup menyebabkan banyaknya orang Batak Toba yang melakukan migrasi ke berbagai daerah. Jalan rintisan dan jalan setapak semakin penting untuk mempercepat arus perhubungan dari satu daerah ke daerah lain. Seperti ke daerah Sidikalang pembukaan jalan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda, baik tujuan perluasan jajahan maupun untuk tujuan lain. Pembangunannya dilakukan dari daerah yang telah dikuasai dan selanjutnya daerah-daerah merdeka yang hendak dimasukkan dalam adminitratif kolonial Belanda.

Pembangunan jalan-jalan yang lebih besar dan lebih bagus yang menghubungkan antar daerah semakin banyak dibangun. Tapanuli Utara semakin terbuka dengan daerah luar dan dipercepat melalui pembukaan jalan-jalan yang menghubungkan daerah tersebut dengan daerah luar. Pembangunan jalan utama yang ada di Dairi dari jalan Siborong-borong-Dolok Sanggul-Sidikalang. Pembukaan jalan dari Siborong-borong melalui Dolok Sanggul-Hariara Pintu ke Sidikalang mempercepat orang-orang Toba masuk ke daerah Dairi dari daerah Silindung (1939).


(61)

Letak wilayah yang tidak terlalu jauh dari kampung halaman menjadi salah satu pertimbangan penduduk dari Tapanuli Utara untuk melakukan perpindahan ke daerah lain terutama ke daerah Dairi.

Adanya persamaan budaya dapat menjadi faktor penarik orang dari suku lain melakukan perpindahan. Perbedaan yang tidak terlalu menjolok dan masih dapat dikatakan sebagai Batak membuat orang Batak Toba lebih mudah mengadakan adaptasi dengan budaya setempat. Perasaan suatu ikatan yang sama membuat orang mudah tertarik ke daerah lain.


(62)

BAB IV

KEBERADAAN ORANG BATAK TOBA DI SIDIKALANG

4.1 Komunitas Orang Batak Toba di Sidikalang

Pada dasarnya kesatuan hidup setempat atau komunitas terbentuk karena ikatan tempat tinggal, sehingga suatu komunitas selalu menempati suatu kawasan

(territory) tertentu. Dalam tradisi masyarakat Sidikalang kesatuan hidup yang dikategorikan sebagai komunitas pada umumnya disebut huta.

Penduduk tinggal pada suatu kampung (huta) yang jumlah penduduknya tidak menentu. Tidak halnya seperti yang terjadi di daerah Sumbul komunitas orang Batak Toba lebih banyak hidup secara berkelompok menurut marga (klen). Di daerah Sidikalang komunitas Batak Toba lebih banyak hidup berpencar, hampir tidak ada yang hidup secara berkelompok. Orang Batak Toba menyebar di setiap sudut dari kecamatan Sidikalang. Pada awalnya orang Batak Toba yang tinggal di Sidikalang hidup secara berkelompok bedasarkan keluarga atau marga, tetapi ingin mendapatkan lahan yang luas membuat orang Batak Toba menyebar di Sidikalang. Mereka meninggalkan lahan yang sudah dimiliki dahulu dan pergi ke daerah lain yang belum dimiliki oleh orang lain. Keinginan orang Batak Toba untuk mendapatkan lahan yang lebih luas seperti sifat orang Batak Toba menjadi “nomor satu” dan keinginan dianggap sanggap (memiliki status sosial yang tinggi). Kesatuan orang Batak Toba terjalin dengan bekerja secara bersama-sama jika ada pesta adat.


(63)

4.1.1 Sistem Kekerabatan Orang Batak Toba

Sistem kekeluargaan dari masyarakat Batak Toba menganut sistem patrilineal

dimana garis keturunan melalui/dilanjutkan dari ayah kepada anak laki-laki. Satu kelompok kerabat dihitung dari satu ayah disebut se ama, satu nenek disebut se ompung, dan kelompok kerabat yang besar adalah marga. Kelompok kekerabatan yang terkecil atau keluarga batih disebut ripe, istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut keluarga luas patrilinea. Sa ompung dapat disebut klen, kecil tetapi istilah ini juga dipakai untk menyebutkan kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang sampai generasi ke-20.33

Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan mempunyai nilai yang sangat penting. Karena keturunan pokok dalam hukum waris adat Batak Toba tradisional adalah anak laki-laki dan menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilineal, sedangkan anak perempuan akan ikut suaminya kelak jika sudah menikah (manjae). Laki-laki mempunyai kedudukan yang

Lahirnya suatu ikatan melalui marga menunjukkan bahwa warga masyarakat dapat dikelompokkan dalam kelompok yang memakai nama kakeknya (nenek moyangnya) atau nama orang tua sebagai induk dari satuan kelompok. Misalnya marga Purba, Manalu, Debata Raja kadangkala menyebut dirinya marga Simamora karena ketiganya adalah anak Toga Simamora. Marga dalam suku Batak bertujuan agar hubungan sesama anggota keluarga dan diantara berbagai keluarga tercipta norma dan ketertiban.

33

Suwardi Lubis, “Komunikasi antarbudaya; studi kasus etnik Batak Toba & etnik Cina”, Medan: USU PRESS, 1999, hlm 112.


(1)

GAMBAR : Pekan Sidikalang tahun 1915 yang mulai agak ramai sejak kedatanga orang Batak Toba.


(2)

GAMBAR : Peta Kabupaten Dairi 1985.


(3)

GAMBAR : Daerah Kediaman Orang Batak Toba


(4)

(5)

(6)

Gambar: Pakaian adat Pakpak yang sudah dipengaruhi oleh budaya Batak Toba, karena sebelum kedatangan orang Batak Toba suku Pakpak tidak mengenal ulos karena tidak ada tenun.