Tinjauan Pustaka Bona Pasogit (Study Etnografi tentang Pewarisan Budaya dalam Masyarakat Batak Toba Marga Panjaitan di Pematangsiantar)

6

1.2. Tinjauan Pustaka

Suku bangsa Batak adalah Proto Malayan sama seperti bangsa Toraja, bukan Neo Malayan seperti bangsa Jawa, Bugis, Aceh, Minangkabau, Sunda, Madura. Suku Bangsa Batak semula adalah satu dari Proto Malayan Tribes, dipegunungan perbatasan Burma Thailand. Disitu suku Bangsa Batak ribuan tahun lamanya bertempat tinggal dengan suku-suku Bangsa Proto Malayan Tribes lainya Parlindungan 1964 : 19. Dan Parlindungan 1964 : 19-22 berpendapat suku bangsa Proto Malayan Tribes ada 8 suku yaitu : suku bangsa Karen, suku bangsa Ranau, suku bangsa Igorot, suku bangsa Meo, suku bangsa Toraja, suku bangsa Tayal, suku bangsa Botoc, suku bangsa Wadjo. Suku bangsa Igorotlah mendarat di Pantai Barat Pulau Andalas berangkat bermigrasi dari Burma karena serangan Bangsa Mongol. Disitu suku bangsa Batak terpisah ada yang mendarat dipulau Simalur, Nias, Batu, Mentawai. Dan juga ada yang mendarat di Sungai Simpang, yang sekarang adalah Singkil, Aceh. Dan terakhir mendarat di muara sungai Sorkam, antara Barus dan Sibolga. Memasuki pedalaman sampai di kaki Gunung Pusuk Buhit, ditepi Danau Toba sebelah Barat, di seberang Pangururan, Kab.Toba Samosir. Menurut Bruner dalam Nainggolan 2006 : 44 Orang Batak sendiri yang menyebut diri mereka sebagai halak hita orang kita. ‘orang kita’ berasal dari nenek moyang yang sama: Si Raja Batak. Mereka mengindifikasi diri mereka atas dasar hubungan keluarga. Menurut Sangti 1977:26 suku bangsa Batak sebagai satu diantara suku bangsa dari rumpun Melayu. Asal kata ‘Batak’ berasal dari kata Universitas Sumatera Utara 7 ‘Bataha’ sebagai nama satu antara kampung di Burma, yang merupakan asal orang Batak sebelum menyebar kepulauan Nusantara. Menurut Parlindungan 1964 : 614-615 saat menyebar di Nusantara, suku Batak melakukan tiga gelombang pendaratan. Gelombang pertama suku Batak mendarat di Nias, Mentawai, Siberut, dan lain-lainnya. Gelombang kedua mendarat di Muara Simpang Sungai dan gelombang ketiga mendarat di muara sungai Sorkam. Dan menyebar memasuki pegunungan hingga mencapai Danau Toba dan menetap di kaki gunung Pusuk Buhit di Sianjur Sagala Limbong Mulana, diseberang kota Panguruan yang saat ini. Suku Bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Batak Mandailing 13 . Menurut Malau dalam Gultom 2010 : 33 ke enam subsuku ini sama-sama mengakui bahwa mereka adalah keturunan Si Raja Batak atau nenek moyang orang Batak. Menurut Nainggolan 2012:61 orang Batak memiliki kelompok- kelompok marga yang semuanya itu berasal dari Si Rajabatak. Setiap marga mempunyai daerah sendiri sebagai tanah asal mereka masing-masing. Semua itu dapat dimengerti sebab masyarakat Batak Toba adalah masyarakat agraris. Mereka membutuhkan tanah untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Keterbatasan tanah yang diolah untuk lahan pertanian memaksa mereka bermigrasi ke tempat yang baru. Kadang-kadang juga bermigrasi karena ketidakpuasan terhadap marga atau karena ambisi dari anggota marga untuk mendirikan marga baru dan mencari tanah. 13 Suku Batak http:id.m.wikipedia.orgwikiSuku_Batak Universitas Sumatera Utara 8 Vergouwen 1986 :43 menyebutkan golat adalah tanah wilayah suatu marga, yang saat digunakan sebagai tempat upacara persembahan disebut bius. Menurut Vergouwen warisan dalam masyarakat Batak Toba terdiri dari tanah milik orang yang sudah meninggal, serta kekayaannya yang lain yaitu rumah, lumbung padi sopo, ternak, pepohonan, barang bergerak, hutang-piutang, dan uangnya Masinambow 2000:288. Setelah menyebar diberbagai daerah dan berusaha beradaptasi didaerah masing-masing orang Batak membutuhkan bantuan sesama orang Batak sehingga terbentuklah network. Network merupakan hubungan pribadi yang mempunyai ikatan satu sama lain. Ikatan ini dapat terjadi diantara individu, rumah tangga, keluarga, tetangga, kolega, teman sekelompok sosial lainnya. Keuntungan masuk network dapat meminta bantuan dari orang lain, tetapi juga harus memenuhi kewajiban moral untuk saling bertukar dan berbagi bersama Schweizer dalam Nainggolan 2006 : 141. Menurut Bruner dalam Nainggolan 2006:144 network orang Batak Toba berdasarkan daerah asal. Hal ini terutama dibuktikan dengan perkumpulan marga dikota. Ide perkumpulan ini menggambarkan ide yang sama sistem kekeluargaan di kampung mereka, yaitu berdasarkan keturunan, kampung asal dan aliansi dalihan na tolu . Dengan demikian orang Batak memegang kuat kebudayaannya sebab disana mereka menemukan dasar hidup yang teratur dalam kaitan dengan kebiasaan, kepercayaan dan kewajiban sesuai dengan Dalihan Na Tolu. Sehubungan dengan network orang Batak yang membentuk perkumpulan- perkumpulan marga di kota, melalui terjadinya migrasi dari tanah marga ke kota. Migrasi sirkuler merupakan pola migrasi yang terkenal di antara suku Universitas Sumatera Utara 9 Minangkabau. Anak – anak muda didorong untuk mencapai pengalaman dan masa depan ke luar kampung halaman. Didalam kebudayaan matrilineal Minangkabau, tanah diwariskan ke pihak ibu, sementara anak-anak muda harus memberanikan diri keluar dari kampung. Dengan mengacu pada kehidupan Minangkabau di Medan, Pelly mengatakan bahwa, meskipun bisa tinggal dengan waktu yang lama, mereka masih mempersiapkan diri untuk pulang ketanah kelahiran. Misalya mereka membangun sebuah tempat tinggal dikampung halaman, dan mereka berencana menetap setelah pensiun. Pelly merujuk pada pola ini sebagai pola migrasi secara kultural terkondisi Hasselgren 2008:140. Sebaliknya orang Tapanuli memperluas kampung halaman untuk mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi sahala harajaon. Sebab itu pola migrasi mereka disebut dengan migrasi ekspansionis. Dimana orang Batak memiliki misi budaya 14 harus mendirikan kerajaan-kerajaan pribadi, tidak hanya didirikan ditanah kelahiran, tetapi dapat dibangun didaerah rantau Pelly 1994 : 295 Namun menurut Graeme Hugu dalam Kuntjoro-Jakti 1986 Migrasi Sirkuler itu adalah migrasi pulang balik, perpindahan penduduk untuk mencari kerja atau berdagang, tidak membawa keluarga. Dalam hal ini penduduk akan kembali ketempat asalnya setelah selesai melaksanakan tujuannya untuk bertemu keluarganya ataupun memberikan bantuan terhadapa keluarganya di desa. 14 Misi budaya merupakan seperangkat tujuan yang diharapkan dicapai oleh anggota-anggota suatu masyarakat tertentu Pelly 1994 : 1 Universitas Sumatera Utara 10 Menurut Nainggolan 2006: 113-115 ada beberapa faktor membuat terjadinya arus migrasi menjadi besar :  Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan modrenisasi  Perubahan geografis  Alasan sosial, selain alasan demografi dan ekonomi ada juga alas an sosial, sepertimengumpulkan tenaga kerja, hubungan historis dan budaya, hubungan politik dan militer, arus inventasi dan pengungsi.  Latar belakang budaya. Terjadinya migrasi musiman atau migrasi selama beberapa waktu dari anggota keluarga, tujuannya adalah mengumpulkan uang sebagai jaminan atau tambahan pendapatan Negara.  Alasan politik, tentang eksport import tenaga kerja O.H.S Purba dalam Hasselgren 2008 mengatakan migrasi sekuler yang merupakan sebuah sarana memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada untuk menyiapkan masa depan yang lebih baik dikampung halaman. Migrasi bisa terjadi karena masalah demografi, masalah ekonomi dan lainnya. Marga Panjaitan menyebar diseluruh dunia dengan tujuan hidup masing-masing dan berinterasi dengan orang disekitarnya yang mengakibatkan perubahan identitas diri sehingga identitas lama mereka terlupakan. Immanuel dalam Simanjuntak 2002 : 172 mengatakan perubahan sosial budaya yang ada di masyarakat Batak dipengaruhi oleh beberapa variabel, diantaranya variabel agama dan pendidikan. Kedua variabel tersebut mendorong munculnya variable lain seperti mobilitas, status formal, komunikasi, ekonomi, politik, konflik, dan sebagainya. Cara bagaimana kelompok migran Universitas Sumatera Utara 11 mengindentikasikan diri Bruner dalam Nainggolan 2006 membedakan dua situasi. Situasi pertama ialah apabila migran masuk dalam salah satu daerah atau kota di mana penduduk asli merupakan kelompok etnis homogen, secara politis memiliki kuasa dan secara demografis merupakan mayoritas, maka migran akan melepaskan sebagian besar dari warisan kultural mereka dan sejauh mungkin menyesuaikan diri dengan kultur dominan. Situasi kedua apabila migran masuk dalam suatu kota yang mempunyai suku heterogen, kultural yang plural dan tidak satupun dari kelompok sukunya secara politis dominan, maka imigran akan mengorganisir diri menurut identitas etnis dan agak kuat mempertahankan tradisi kulturalnya. Nainggolan 2006:8. Dalam pewarisan budayanya, masyarakat Batak Toba mengenal nilai budaya. Nilai budaya yang menjadi tujuan dan pandangan hidup ideal asli orang Batak Toba dirumuskan di dalam rangkaian tiga kata yang secara eksistensial saling mendukung, yaitu hamoroan, hagabeon, hasangapon, ‘Kekayaan, Keturunan, dan Kehormatan. Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh struktur sosial dalihan na tolu 15 yang keberadaannya berdasarkan kepada sistem garis keturunan Patrineal 16 berwujud marga Masinambow 2000:368. Hamoraon berarti semua masyarakat Batak Toba bercita-cita untuk memiliki harta. Ini terbukti dengan gigihnya berusaha mencari uang, baik laki-laki ataupun perempuan, sama saja. Hagabeon berarti masyarakat Batak Toba sangat mendabakan punya keturunan laki-laki dan perempuan. Hasangapon berarti 15 Tungku masak berkaki tiga 16 Patrineal merupakan garis keturuan diambil dari ayah Universitas Sumatera Utara 12 masyarakat Batak Toba berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam masyarakat, dan sangat peduli terhadap pendidikan anaknya Tinambunan 2010:173. Dalihan na tolu secara harafiah ialah “tungku nan tiga”, yang merupakan lambang jika diasosiasikan dengan sistem sosial Batak yang juga mempunyai tiga penopang, yaitu Dongan sabutuha, boru, dan hula-hula. Arti tiga kata ini secara berturut ialah: Pihak yang semarga, Pihak yang menerima istri, Pihak yang member istri. Perkawinan menimbulkan adanya ikatan dan integrasi di antara tiga pihak yang disebut tadi seolah-olah merupakan tiga tungku dapur yang penting dalam hidup sehari-hari Siahaan 1982:20. Falsafah Dalihan Natolu terbukti mampu memberi perubahan baru sehingga bahtera dapat dipandu kepada negara demokratis tanpa kehilangan kohesivitas kewibawaan trias-politika modern, sambil memekarkan demokrasi, kedaulatan tertinggi rakyat.Sinaga 2012:3. Manusia dalam kehidupan sehari-harinya tidak luput dari sebuah kebudayaan. Koenjaranigrat 2002 menyatakan kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Sebuah tindakan marga Panjaitan yang melakukan pewarisan budaya merupakan sebuah kebudayaan. Universitas Sumatera Utara 13 Kebudayaan menurut Koenjaraningrat memiliki tiga wujud :  Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya;  Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam masyarakat;  Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia; Dalam melakukan proses pewarisan budaya merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu komplek aktivitas serta tindakan berpola dari diri manusia dalam masyarakat. Melakukan proses pewarisan budaya memiliki hubungan dengan proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi. Proses internalisasi ini adalah proses panjang sejak seorang individu dilahirkan, sampai ia meninggal, yang mana ia belajar menanamkan dalam kepribadiannya segala perasaan, hasrat, nafsu, serta emosi yang diperlukannya sepanjang hidupnya. Proses sosialisasi itu seorang individu dari masa anak-anak hingga tuanya belajar pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan sehari-hari. Proses enkulturasi itu seorang individu mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya dengan adat-adat, sistem norma, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Sejak kecil proses enkulturasi itu sudah dimulai dalam alam pikiran warga suatu masyarakat, mula-mula dari orang di dalam lingkungannya, kemudian dari teman bermain.Koentjaraningrat 2002:233. Universitas Sumatera Utara 14 Cavalli-Sforza dan Felman dalam Jhon W. Berry 1999 mengistilahkan pewarisan budaya satu generasi ke generasi ini sebagai “pewarisan tegak”, karena melibatkan penurunan ciri-ciri budaya orang tua ke anak cucu. Pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai budaya, keterampilan, keyakinan, motif budaya, dan sebaginya kepada anak-cucunya. Pewarisan budaya memiliki dua bentuk , mendatar dan miring. Dalam bentuk miring pewarisan budaya bersumber dari orang dewasa lainnya, bisa dari kelompoknya sendiri, serta kelompok lainya. Dalam bentuk mendatar pewarisan budaya tersebut bersumber dari teman sebaya.

1.3. Rumusan Masalah