Bentuk dan kekuatan hukum Perjanjian Pinjaman

79 2. Mengutamakan pemerataan penyaluran dana program kemitraan kepada UMKM yang ada di kantor-kantor cabang lainnya di lingkungan PT. Pelabuhan Indonesia I Persero. 107

2. Bentuk dan kekuatan hukum Perjanjian Pinjaman

Setelah seluruh prosedur dilengkapi oleh calon mitra binaan, selanjutnya akan diadakan penandatanganan perjanjian pinjaman antara PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dengan mitra binaannya. Penandatanganan perjanjian pinjaman tersebut dilaksanakan di kantor PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan, dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Notaris, yang telah ditunjuk oleh pihak PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan. 108 Adapun bentuk pengikatan yang dibuat dalam perjanjian pinjaman antara PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dengan mitra binaannya adalah sebagai berikut:

a. Surat Perjanjian Pinjaman

Sebelum dilakukan pemberian pinjaman modal kerja kepada mitra binaannya, pihak PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan telah menyiapkan surat Perjanjian Pinjaman dalam bentuk yang telah baku standart, di mana kemudian masing-masing pihak menandatangani surat perjanjian pinjaman tersebut dihadapan 107 Wawancara dengan Fatimah Juhra, Assisten Manager Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT. Pelabuhan Indonesia I Pesero Cabang Belawan, pada tanggal 15 Juni 2010. 108 Wawancara dengan Sumarni, mitra binaan PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan. Universitas Sumatera Utara 80 Notaris setelah terlebih dahulu dibubuhi materai 109 dan selanjutnya Notaris mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat perjanjian pinjaman di bawah tangan tersebut dengan mendaftarkan dalam buku khusus. Dalam pemberian pinjaman modal kerja kepada mitra binaannya, pihak PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dalam hal ini menggunakan judul “perjanjian pinjaman” dalam surat perjanjian yang dibuatnya. Surat perjanjian pinjaman yang dibuat antara PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dengan mitra binaannya, memuat sekurang-kurangnya: 1. Nama dan alamat pengelola program kemitraan serta alamat mitra binaan. 2. Nilai penjaminan dan jangka waktu pinjaman. 3. Wujud jaminan dan pengalihan hak atas jaminan. 4. Laporaninformasi perkembangan usaha. 5. Penarikan dan pembayaran pinjaman. 6. Pengalihan asset yang dibiayai dari pinjaman. 7. Perselisihan Perjanjian pinjaman yang dibuat antara PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dengan mitra binaannya merupakan undang-undang bagi para pihak yang sesuai dengan asas kebebasan berkontrak, walaupun dalam kenyataannya isi dari perjanjian pinjaman tersebut sudah dalam keadaan baku standart. Para pihak yang membuat perjanjian pinjaman harus patuh atas perjanjian yang dibuat dan 109 Wawancara dengan Amiruddin, mitra binaan PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan. Universitas Sumatera Utara 81 disepakati. Perjanjian pinjaman dibuat secara jelas, mudah dipahami serta menguraikan secara lengkap hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak, hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan perbedaan penafsiran atas klausul perjanjian pinjaman tersebut. Adanya perbedaan penafsiran di antara pihak dapat menimbulkan perselisihan di kemudian hari. Perjanjian baku standart pada dasarnya adalah perjanjian antara dua pihak yang dibuat atas prakarsa salah satu pihak biasanya pihak pengusaha yang lebih kuat kedudukan ekonominya, di mana isi perjanjian itu didesain dalam bentuk yang telah ditentukan dan di dalamnya dicantumkan syarat-syaratklausula-klausula baku. Perjanjian baku ini tidak diatur dalam Buku III KUHPerdata yang berjudul tentang “Perikatan” akan tetapi lahir dari kebutuhan masyarakat dan dimungkinkan pula oleh hukum perjanjian karena adanya sistem terbuka dari asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Buku III KUHPerdata tersebut. Pengertian kata baku standard yang di temukan dalam perpustakaan Belanda dan Jerman, oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI diartikan sebagai hal pokok, utama, atau tolok ukur. 110 Pengertian kata baku di atas, dapat disimpulkan bahwa penamaan baku kepada sebuah perjanjian berarti bahwa perjanjian itu isinya sudah menjadi ukuran resmi dan sah, yang dipakai sebagai pegangan umum dalam masyarakat. Perjanjian yang dibuat secara sepihak dan pihak lainnya hanya mempunyai pilihan untuk 110 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Op.cit., hal. 82. Universitas Sumatera Utara 82 menerima atau menolak perjanjian tersebut tanpa diberi kesempatan untuk merundingkan isinya disebut dengan perjanjian baku. 111 Istilah perjanjian baku ini dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda, yaitu “ standard contract” atau “ standard voonwaarden” . Dalam Hukum Inggris menyebut “ Standard contract” . Mariam Darus Badrulzaman juga menerjemahkan Standard contract ini dengan istilah “perjanjian baku”, baku berarti patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan, berarti bahasa hukum itu ditentukan ukurannya, patokan standarnya sehingga memiliki arti tetap, yang dapat menjadi pegangan umum. 112 Dilihat dari isi perjanjian baku, biasanya kedudukan kreditur dan debitur tidak seimbang. Ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitur untuk mengadakan “ real bargaining” dengan pengusaha kreditur. Hal ini disebabkan debitur tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasan dalam menentukan isi dari perjanjian baku tersebut karena tidak memenuhi unsur-unsur yang dikehendaki Pasal 1320 KUHPerdata jo. Pasal 1338 KUHPerdata. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan tentang syahnya suatu perjanjian yaitu: Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 111 Suhamoko, Hukum Perjanjian : Teori dan Analisa Kasus, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004, hal. 124. 112 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994, hal 46. Universitas Sumatera Utara 83 3. Suatu hal tertentu 4. Suatu sebab yang halal. Mengenai keabsahan perjanjian baku ini, para ahli hukum terdapat perbedaan pendapat. Hal mana dapat dilihat sebagaimana dikutip dalam buku Aneka Hukum Bisnis karangan Mariam Darus Badrulzaman: 113 Sluijter, mengatakan perjanjian baku ini bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah seperti pembentuk undang-undang swasta legioparticuliere wetgwver. Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-undang bukan perjanjian. Pitlo, mengatakannya sebagai perjanjian paksa dwang contract, walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian baku ini tidak memenuhi ketentuan undang- undang dan oleh beberapa ahli hukum ditolak. Namun kenyataannya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hukum. Stein, mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat bahwa perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan fictie van wil en vertrouwen yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima dokumen perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Asser Rutten, mengatakan pula bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditanda tangani. Tidak mungkin seorang menanda tangani apa yang tidak diketahui isinya. Menurut Hodius di dalam disertasinya mempertahankan bahwa, perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan “kebiasaan” gebruik yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. 114 113 Ibid, hal. 147. 114 Ibid, hal 52-53. Universitas Sumatera Utara 84 Sementara menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK berpendirian bahwa perjanjian baku adalah sah, akan tetapi undang-undang ini melarang pencantuman klausula baku yang bersifat berat sebelah dan jika dicantumkan dalam perjanjian, maka klausula baku tersebut adalah batal demi hukum. Pasal 18 ayat 1 UUPK menyebutkan klausula baku yang dilarang untuk dicantumkan pada setiap dokumen danatau perjanjian, yaitu : a menyatakan pengalihantanggungjawab pelaku usaha; b menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang danatau jasa yang dibeli oleh konsumen; d menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa; g menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; Lebih lanjut dalam Pasal 18 ayat 2 UUPK disebutkan pula bahwa: “pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Pencantuman klausula seperti ini juga dinyatakan batal demi hukum.” Walaupun perjanjian baku tersebut telah ditentukan oleh salah satu pihak secara sepihak, namun pihak lainnya tetap mempunyai kebebasan untuk menentukan Universitas Sumatera Utara 85 apakah ia setuju atau tidak dengan persyaratan yang tertera dalam kontrak tersebut, jadi dengan demikian unsur pemaksaan sebenarnya boleh dikatakan tidak ada. Apabila ditelaah lebih jauh perjanjian hutang piutang itu bersifat riel, hal itu ternyata dari defenisi Undang-undang yang mengatakari “ afgeeft” yang berarti “melepaskan” dan selanjutnya hal itu ternyata dari sistemnya, pada pihak yang menyerahkan kreditur tidak dibebani kewajiban apa-apa dan karena itu terlihat bahwa kewajiban pokok dan kreditur adalah telah terjadi dengan pelepasan tadi. 115 Untuk itu harus dipahami, bahwa maksud dari Pasal 1338 KUHPerdata yang merupakan hukum peninggalan kolonial adalah asas kebebasan. berkontrak dapat diterapkan apabila kedudukan para pihak seimbang. Apabila kedudukan tidak seimbang, penerapan asas kebebasan berkontrak akan membawa kecenderungan terjadinya eksploitasi dan pihak yang kuat kepada pihak yang lemah. Prosedur pembuatan suatu perjanjian sangat mempengaruhi sah atau tidak perjanjian tersebut. Apabila prosedur pembuatannya menyimpang dari kepatutan dan kebiasaan serta ketentuan yang berlaku dapat juga mengakibatkan batal atau dibatalkannya suatu perjanjian walaupun dibuat dalam bentuk tertulis. Pasal 1338 angka 1 KUHPerdata menentukan, setiap persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

b. Akte Pengakuan Hutang

Setelah dilakukan penandatanganan surat perjanjian pinjaman antara PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dengan mitra binaanya, maka 115 Hartono Soerjopratiknyo, Hutang Piutang, Perjanjian-Perjanjian, Pembayaran dan Jaminan Hipotik, Yogyakarta: Seksi Notariat Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1984, hal. 1. Universitas Sumatera Utara 86 akan dilanjutkan dengan pengikatan perjanjian tambahan yaitu berupa Akta Pengakuan Hutang secara notariil otentik. Dalam akta pengakuan Hutang yang dibuat tersebut, pihak mitra binaan akan disebut sebagai “Pihak Pertama”, sedangkan PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan akan disebut sebagai “Pihak Kedua”. Akta pengakuan hutang yang dibuat antara PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dengan mitra binaannya, berisikan tentang pengakuan dari mitra binaan yang telah menerima sejumlah pinjaman uang tunai dari pihak PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan, adapun klausul dalam akte perjanjian hutang tersebut memuat antara lain: - Identitas para pihak. - Jumlah hutang - Pembayaran kembali hutang. - Jatuh tempo hutang. - Pengakhiran perjanjian hutang. - Domisili hukum. Kelebihan lain daripada akte pengakuan hutang yang dibuat secara notariil otentik adalah dapat dimintakan Grosse akta pengakuan Hutang tersebut. Grosse akta pengakuan hutang ini mempunyai kekuatan eksekutorial, artinya disamakan dengan keputusan hakim yang oleh bank diharapkan pelaksanaan eksekusinya tidak perlu lagi melalui proses gugatan yang biasanya menyita waktu lama dan memakan biaya besar. Grosse akta pengakuan hutang lebih sederhana jika dibandingkan dengan Universitas Sumatera Utara 87 prosedur grosse akta pemberian hak tanggungan karena tidak membutuhkan prosedur penyertifikatan dari pendaftaran di Kantor Pertanahan. Pada dasarnya grosse suatu akta merupakan suatu salinan dari akta Notaris yang mempunyai title eksekutorial, yakni kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Menurut Pasal 1224 HIRPasal 258 RBG ada 2 dua macam grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu grosse akta pengakuan hutang dan grosse akta hipotik. Yang dimaksud dengan grosse akte adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan hutang dengan kepala akta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mempunyai kekuatan eksekutorial. 116 Oleh karena salinan pertama dari akta pengakuan hutang yang dibuat oleh Notaris mempunyai kekuatan eksekusi, maka salinan pertama ini sengaja diberi kepalairah-irah. Aslinya yang disebut minit, yang akan disimpan oleh Notaris dalam arsip, tidak memakai kepalairah-irah. Dalam hal penerbitan grosse akta, pejabat yang berwenang untuk menerbitkannya adalah Notaris. Hal ini adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, yang menyebutkan: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan danatau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutip an akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 116 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 angka 11. Universitas Sumatera Utara 88 Agar grosse akta mempunyai kekuatan eksekutorial, maka harus memenuhi syarat formal. Pengaturan tentang syarat formal terhadap suatu grosse akta dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 55 Undang-undang Jabatan Notaris, yaitu: 1 Notaris yang mengeluarkan grosse akta membuat catatan pada minuta akta mengenai penerima grosse akta dan tanggal pengeluaran dan catatan tersebut ditandatangani oleh Notaris. 2 Grosse akta pengakuan utang yang dibuat di hadapan Notaris adalah salinan akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial. 3 Grosse akta sebagaimana dimaksud pada ayat 2 pada bagian kepala akta memuat frasa Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat frasa diberikan sebagai grosse pertama, dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya. 4 Grosse akta kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berdasarkan penetapan pengadilan. Grosse akta merupakan suatu jenis akta Notaris yang mempunyai sifat dan karakteristik yang spesial dan khusus, karena disamping sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak, grosse akta juga mempunyai kekuatan eksekutorial. Apabila grosse akta yang diberikan tidak memenuhi persyaratan seperti di atas, maka grosse akta tersebut tidak mempunyai kekuatan eksekutorial. Kesalahan akibat tidak memenuhi persyaratan sebagai bentuk groses akta akan dapat mengakibatkan: a. tidak adanya kepastian hukum grosse akta mana yang diikatkan dalam persetujuan ikatan kredit yang bersangkutan. b. grosse akta mengandung cacat yuridis. c. grosse akta menjadi tidak sah. d. grosse akta tersebut kehilangan executorial kracht, yang menjadikannya sebagai grosse akta yang noneksekutabel. e. cara pemenuhan pembayaran hutang debitur kepada kreditur harus melalui proses gugatan biasa di pengadilan. 117 117 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 203. Universitas Sumatera Utara 89 Selanjutnya M. Yahya Harahap menyatakan bahwa untuk syarat syahnya grosse akta ditinjau dari 2 dua segi yaitu: 118 a. Segi formil Syarat formil grosse akta adalah syarat yang berkenan dengan tata cara pembuatan dan bentuk grosse akta yang memerlukan formalitas tertentu yang dilihat dari rujukan ketentuan peraturan dan Undang-undang, dan dari rujukan doktrin ilmu hukum yang menggolongkan grosse akta sebagai bentuk perjanjian yang memiliki karakter assesortambahan, serta adanya dokumen yang melengkapi grosse akta. b. Segi Materil Syarat materil dari grosse akta adalah ketentuan mengenai rumusan isi yang harus tercantum dalam grosse akta yaitu rumusan grosse akta tidak mengandung syarat-syarat perjanjian hutang dan menyebut secara khusus dan terinci benda objek yang dibebani serta menyebut secara pasti jumlah hutang debitur. Berdasarkan uraian di atas, maka secara doktrinal, grosse akta pengakuan hutang telah memberikan perlindungan hukum yang cukup apabila grosse akta pengakuan hutang tersebut telah memenuhi syarat formal dan syarat materil dari suatu grosse akta. Apabila tidak dipenuhinya apa yang menjadi syarat formil dan materil dari grosse akta, maka grosse akta itu akan kehilangan kekuatan eksekutorial, sehingga kekuatan akta itu hanya dapat dilakukan dengan gugatan perdata biasa. Grosse akta mempunyai kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “ acta publica probant seze ipsa” , artinya suatu surat atau akta yang secara lahiriah tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan harus dianggap sebagai akta yang sama dengan 118 M. Yahya Harahap, Kedudukan Grosse Akta Dalam Perkembangunan Hukum di Indonesia, Surabaya: Media Notariat, INI, 1998, hal 115-116. Universitas Sumatera Utara 90 aslinya, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya. 119 Dari segi kekuatan pembuktian formil dimaksudkan bahwa si penandatangan akta menerangkan apa yang telah ditandatanganinya benar-benar seperti apa yang dinyatakannya. Dalam hal grosse akta ini tanda tangan dari Notaris yang menerbitkan grosse akta tersebut merupakan suatu kepastian bagi setiap orang bahwa apa yang dituangkan dalam grosse akta adalah sesuai dengan minutnya yang memuat pernyataan para pihak dalam akta tersebut, sehingga grosse akta tersebut sebagaimana aslinya juga memuat kekuatan pembuktian formil. Jadi jelas grosse akta yang diterbitkan oleh Notaris memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, sehingga merupakan alat bukti yang kuat dan sempurna. Dalam hal sebagai pejabat umum pembuat akta otentik, Notaris tidak mempunyai tanggung jawab terhadap Akta Pengakuan Hutang yang dibuatnya dalam hal debitur wanprestasi. Notaris hanya sebatas membuat akta tersebut sebagai pengikatan hutang antara kreditur dengan debitur

c. Akte Kuasa Untuk Menjual

Sama halnya dengan lembaga atau badan hukum perkreditan yang lain, dalam pelaksanaan program kemitraan di PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan, aspek jaminan juga menjadi unsur yang penting. Karena pada dasarnya setiap perjanjian peminjam uang pasti terdapat suatu jaminan. Jaminan merupakan sesuatu yang diberikan oleh mitra binaan kepada PT. Pelabuhan Indonesia I Persero 119 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Keempat, Yogyakarta: Liberty, 1982, hal. 122. Universitas Sumatera Utara 91 Cabang Belawan untuk memberikan keyakinan atau kepastian, bahwa mitra binaan akan mampu membayar utangnya sesuai yang diperjanjikan. Hal ini dapat dimaklumi karena setiap perjanjian pinjaman uang memerlukan suatu kepastian hukum. Seperti pendapat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yaitu: 120 Dalam rangka pembangunan ekonomi bidang hukum yang meminta perhatian serius dalam pembinaan hukumnya diantaranya ialah lembaga jaminan, karena perkembangan ekonomi dan perdangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan kredit dan pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi keamanan pemberi kredit ini. Oleh karena itu pihak PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan dalam pelaksanaan program kemitraan yang dilakukannya mewajibkan kepada para mitra binaannya untuk menyerahkan jaminanagunan berupa surat tanah baik sertifikat maupun surat keterangan CamatLurah. 121 Pengikatan terhadap jaminan yang diberikan oleh mitra binaannya selanjutnya akan dibuat dalam bentuk akte “Kuasa Untuk Menjual” dihadapan Notaris. Akta kuasa menjual merupakan akta pihak-pihak artinya dikehendaki oleh pemberi dan penerima kuasa. Pembuatan akta kuasa menjual sebagai akta otentik merupakan wewenang Notaris. Akta kuasa menjual merupakan perjanjian kuasa khusus karena hanya memuat suatu kepentingan. Akta kuasa menjual dari segi substansinya dapat dituangkan dalam 2 dua bentuk, yakni: 120 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Yogyakarta: Liberty, 1980, hal 2. 121 Wawancara dengan Ardawiyah, mitra binaan PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan. Universitas Sumatera Utara 92 1. Akta kuasa menjual yang berdiri sendiri. 2. Akta kuasa menjual yang tidak berdiri sendiri. Akta kuasa menjual yang berdiri sendiri yang disebut juga kuasa untuk menjual murni. Kuasa untuk menjual murni maksudnya perjanjian antara pemberi dan penerima kuasa dengan batas kewenangan tertentu. 122 Akta Kuasa menjual yang tidak berdiri sendiri maksudnya pemberian kuasa menjual yang bersandar pada perjanjian lain sebagai penjanjian pokok dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya, dengan demikian sifatnya mengikuti perjanjian pokoknya accessoir, sehingga jika perjanjian pokok berakhir, maka pemberian kuasa tersebut juga turut menjadi berakhir. Kuasa untuk menjual yang mengikuti perjanjian pinjaman sebagai perjanjian pokoknya objeknya hanya berupa tanah yang langsung dikuasai oleh Negara atau belum bersertifikat, karena tanah yang telah bersertifikat adalah objek dari hak tanggungan. Jika terhadap tanah-tanah yang bersertifikat sebagai jaminan untuk melunasi suatu hutang diberikan kuasa menjual, padahal seharusnya dibuat Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan dan atau Akta Pengikatan Hak Tanggungan, maka akta kuasa menjual tersebut diklasifikasikan sebagai suatu Perjanjian Semu dan penyimpangan hukum jaminan, karena berisi kehendak satu pihak kreditur, sedangkan debitur dalam posisi lemah dan terdesak 122 Herlina Suyati Bachtiar, Serial Contoh Akta Notaris dan Akta Di Bawah tangan Buku VI mengenai contoh-contoh Akta Notaris Umum, Bandung: Mandar Maju, 2002, hal. 155. Universitas Sumatera Utara 93 sehingga terpaksa menandatangani akta tersebut. Hal ini berdasarkan yurisprudensi Indonesia melalui putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1904KSip1982 Tanggal 30 Juli 1985. 123 Sementara dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2660KPdt1987, Tanggal 27 Pebruari 1989, menyatakan bahwa dalam hutang-piutang dengan menyerahkan sertifikat tanah debitur kepada krediturBank, jika debitur lalai membayar hutang tersebut, maka penjualan tanah jaminan tersebut harus dengan pelelangan, walau kreditur memegang surat kuasa menjual yang bersifat mutlak dari debitur. Penjualan yang tidak demikian adalah tidak sah dan batal demi hukum. Kuasa untuk menjual yang tidak berdiri sendiri mengikuti suatu perjanjian pokok, sifatnya tergantung pada perjanjian pokoknya karena tidak dapat dipisahkan dari perjanjian pokok tersebut. Kuasa untuk menjual yang dibuat tersebut bersifat mutlak untuk menjamin kepentingan penerima kuasa sehingga dapat terlaksananya hal-hal yang sudah merupakan haknya. Landasan hukum pemberian kuasa mutlak ini adalah asas kebebasan berkontrak sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 dan adanya dasar hukum yang sah sesuai ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pemberian kuasa secara khusus karena hanya memuat satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam hal ini harus disebutkan secara tegas tindakan yang boleh 123 Pieter E. Latumeten, Akta Kuasa Menjual tersendiri sebagai Jaminan merupakan Per janjian Semu dan dapat dibatalkan, Jakarta, Jurnal Renvoi, Edisi September 2003, hal. 36. Universitas Sumatera Utara 94 dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya pemberian kuasa untuk menjual sebidang tanah. Pemberian kuasa menjual tanah tersebut dapat ditambah dengan uraian perbuatan-perbuatan hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan tidak mengurangi kekhususan dari kuasa menjual, antara lain yakni menandatangani surat- surat yang diperlukan, menerima uang harga penjualan, memberikan tanda penerimaan untuk itu, serta menyerahkan tanah tersebut kepada pembeli. Akta merupakan sebahagian dari tulisan yakni sesuatu yang memuat suatu tanda yang dapat dibaca dan yang menyatakan sebuah pikiran. Akta khusus dibuat untuk dijadikan bukti atas hal yang disebut di dalamnya. 124 Ditinjau dan segi pembuatannya akta dibagi atas akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta otentik menurut Pasal 1868 KUHPerdata adalah “akta yang diperbuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu diperbuat dan bentuknya ditentukan oleh Undang-undang”. Sedangkan akta di bawah tangan menurut Pasal 1874 ayat 1 KUHPerdata adalah “surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan surat lainnya yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum.”

d. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan SKMHT

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan selanjut disebut SKMHT sebagai bentuk pemberian kuasa dalam lembaga hak tanggungan keberadaannya tergantung pada ada atau tidaknya perjanjian yang mendahuluinya yakni perjanjian 124 Ali Affandi, Hukum Waris-Hukum Keluarga-Hukum Pembuktian, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hal. 199. Universitas Sumatera Utara 95 pinjaman. Dengan kata lain SKMHT eksis apabila terlebih dahulu terjadi perjanjian hutang piutang melalui perjanjian pinjaman sebagai perjanjian pokok yang menjadi dasar dibuatnya SKMHT. Selain melakukan pengikatan terhadap jaminan yang diberikan para mitra binaannya dengan akte Kuasa Untuk Menjual, pihak PT. Pelabuhan Indonesia I Persero Cabang Belawan juga memberlakukan pemberian SKMHT sebagai bentuk pengikatan lainnya. Hal ini dilakukan untuk meringankan beban biaya yang harus ditanggung para mitra binaannya, karena apabila dipasang langsung dengan hak tanggungan akan dirasakan sangat memberatkan mitra binaan dan terkait juga dengan objek jaminan yang masih dalam status tanah negara misalnya: surat keterangan CamatLurah. 125 Sebagaimana halnya Akta Pemberian Hak Tanggungan selanjutnya disebut APHT, SKMHT adalah akta yang merupakan sumber informasi mengenai data yuridis yang diperlukan dalam proses pembebanan hak tanggungan. Tanpa adanya informasi data yang dimuat dalam SKMHT tidak mungkin dibuat APHT. Tanpa adanya informasi data yang dimuat dalam APHT, tidak mungkin dilakukan pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Adapun ditetapkannya bentuk SKMHT dengan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1996 Tentang bentuk Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah 125 Wawancara dengan Ramli Simanjuntak, Senior Manager Program Kemitraan dan Bina Lingkungan PT. Pelabuhan Indonesia I Pesero, pada tanggal 10 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara 96 Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan adalah atas pertimbangan, bahwa SKMHT yang berkenaan dan isinya diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah selanjutnya disebut Undang-undang HT. Dengan demikian pembuatan SKMHT jelas merupakan salah satu hal yang berkaitan dengan tata cara pemberian dan pendaftaran hak tanggungan. Pemberian kuasa tersebut dibuat oleh dan dihadapan Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT, sehingga bentuk dari surat kuasa tersebut berbentuk akta otentik yang dikenal dengan SKMHT, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang HT yang menyebutkan bahwa: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah …” 126 Namun dalam pembuatan SKMHT mengenai bentuk maupun isinya Notaris atau PPAT harus memperhatikan karena bentuk maupun isi SKMHT sangatlah berbeda dengan Surat Kuasa Membebankan Hipotik yang dibuat oleh Notaris berdasarkan Pasal 1178 ayat 2 KUHPerdata, karena mengenai bentuk maupun isi SKMHT telah ditetapkan oleh Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional. Berdasarkan dari uraian mengenai surat kuasa secara umum terlihat terdapat suatu hubungan hukum antara pemberi kuasa dengan pihak penerima kuasa, dalam 126 Republik Indonesia, Undang-undang Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. UU No. 4 Tahun 1996, Pasal 15. Universitas Sumatera Utara 97 SKMHT terdapat adanya hubungan hukum antara pemberi hak tanggungan bisa sebagai debitur ataupun hanya sebagai penjamin yang memberikan kuasa kepada pihak penerima kuasa dalam hal ini bisa bank, perorangan atau lembaga pembiayaan lainnya sebagai pemegang hak tanggungan untuk memasang hak tanggungan. Sehingga dapat diartikan bahwa SKMHT adalah surat kuasa yang diberikan pemberi hak tanggungan pemilik benda jaminan kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan untuk membebankan hak tanggungan atas objek hak tanggungan dan SKMHT merupakan surat kuasa khusus yang memberikan kuasa kepada kreditur khusus untuk membebankan hak tanggungan. 127 SKMHT yang dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-undang HT, yaitu: 1 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan hak tanggungan; b. tidak memuat kuasa substitusi; c. mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah hutang dan nama serta identitas krediturnya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan. Kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apa pun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat 2 Undang-undang HT, sebagai berikut: “Kuasa Untuk Membebankan 127 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank,cet. 3, Jakarta: Alfabeta, 2005, hal. 179. Universitas Sumatera Utara 98 Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dan ayat 4.” Mengenai batas waktu penggunaan SKMHT yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat 3 dan 4 Undang-undang HT dapat diuraikan sebagai berikut: 3 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 satu bulan sesudah diberikan. 4 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 tiga bulan sesudah diberikan. SKMHT yang tidak diikuti dengan pembuatan APHT dalam waktu yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 atau ayat 4 atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 5 batal demi hukum, hal ini sesuai dengan Pasal 15 ayat 6 Undang-undang HT, sebagai berikut: Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 3 atau ayat 4, atau waktu yang ditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat 5 batal demi hukum. Penjelasan Pasal 15 ayat 6 menjelaskan ketentuan mengenai batas waktu berlakunya SKMHT dimaksud untuk mencegah berlarut-larutnya waktu pelaksanaan kuasa tersebut. Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan dibuatnya SKMHT. 128 Pengecualian jangka waktu berlakunya SKMHT sesuai dengan apa yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat 5 Undang-undang HT, yaitu: “Ketentuan 128 M. Bahsan, Op.cit., hal 39 Universitas Sumatera Utara 99 sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dan ayat 4 tidak berlaku dalam hal SKMHT diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Berdasarkan ketentuan tersebut maka jangka waktu berlakunya SKMHT, dapat berlaku sampai saat berakhirnya masa berlaku perjanjian pokok atau sampai dengan terbitnya sertifikat hak atas tanah dan hanya diberlakukan untuk kredit tertentu. Kredit tertentu sebagaimana ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat 5 Undang-undang HT, yaitu adalah: 1. Kredit yang diberikan nasabah usaha kecil, kredit pemilikan rumah inti, rumah sederhana atau rumah susun sederhana dengan luas tanah tidak lebih dari 200 m2 dan luas bangunan tidak lebih dari 70 m2, kredit untuk KSB, serta kredit produktif lain dengan plafon kredit tidak lebih dari Rp.50.000.000,- antara lain Kredit Umum Pedesaan, dan kredit kelayakan Usaha. Sehingga Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungannya berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok. 2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang digunakan untuk menjaminkan fasilitas : a. Kredit Usaha Kecil dengan plafon Rp.50.000.000,- lima puluh juta rupiah sampai dengan Rp.250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah. SK.Direksi Bank Indonesia No.2624KEPDir, tanggal 29 Mei 1993 b. Kredit pemilikan rumah, rumah toko dengan luas tanah maksimal 200 M2 dua ratus meter persegi dan luas bangunan tidak lebih dari 70 M2 tujuh puluh meter persegi dan dengan plafon kredit tidak lebih dari Rp.250.000.000,- dua ratus lima puluh juta rupiah SK.Direksi Bank Indonesia No.2624KEPDir, tanggal 29 Mei 1993 c. Kredit konstruksi untuk pengembangan yang dipergunakan dalam rangka KPR untuk pengadaan rumah tersebut di atas; Batas berlakunya adalah 3 tiga bulan sejak tanggal terbitnya sertipikat hak atas yang menjadi objek hak tanggungan; Tujuan dari pemberian kuasa untuk membebankan hak tanggungan melalui SKMHT adalah mengingat langkah pemasangan jaminan dengan hak tanggungan Universitas Sumatera Utara 100 tidak mudah, harus melalui formalitas tertentu. Sehingga kebiasaan pembebanan hak tanggungan yang didahului dengan membuat SKMHT dikarenakan beberapa masalah: 1. Biaya pembebanan hak tanggungan cukup mahal. Biaya pembebanan hak tanggungan dibebankan kepada debitur sehingga dengan biaya yang mahal tersebut memberatkan keuangan debitur. 2. Kredit yang jumlahnya kecil, kreditur merasa tidak perlu segera memasang hak tanggungan. Pemasangan hak tanggungan baru dilakukan bila ada tanda- tanda kualitas kredit debitur bermasalah. Dengan memiliki SKMHT kreditur setiap saat dapat membebankan hak tanggungan tanpa harus menghadirkan pemberi jaminan. 3. Sertipikat hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan belum terbit pada saat kredit diberikan, masih dalam proses penyelesaian; Mengenai ketentuan pengecualian jangka waktu SKMHT tersebut, maka terlihat adanya unsur memberikan kelonggaran dalam rangka membantu masyarakat yang termasuk golongan ekonomi lemah. Dipihak lain, dampak positif SKMHT bagi debitur adalah tidak terbebaninya debitur dengan masalah birokrasi yang berbelit-belit yang membutuhkan waktu yang relatif lama, demikian juga biaya pembebanan hak tangunggan yang harus ditanggung debitur tidak terlalu mahal. Sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat SKMHT dan APHT yaitu Notaris atau PPAT dalam kedudukannya masing-masing, harus dapat mempertanggungjawabkan secara hukum akta yang telah mereka buat, sehingga Universitas Sumatera Utara 101 mengikat para pihak yang berkepentingan. Juga menjamin terbebasnya dari konsekuensi batal demi hukum karena tidak dipenuhinya persyaratan-persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 15 ayat 6 Undang-undang HT. Notaris atau PPAT dalam pelaksanaan pembuatan SKMHT, harus memperhatikan atau mempersiapkan antara lain: 129 1. Pemberi Kuasa debitur Sesuai dengan ketentuan pasal 8 ayat 1 Undang-undang HT, dalam hal pemberi kuasa adalah perorangan, maka yang harus dipersiapkan yaitu : a. asli sertipikat atau surat kerangan CamatLurah yang akan dijaminkan. b. foto copy kartu tanda penduduk debitur dan apabila debitur telah menikah turut serta suamiisteri. c. foto copy surat nikah, apabila terjadi cerai hidup maka harus disertai akta cerai dan apabila cerai mati maka disertia surat kematian. d. foto copy Kartu Keluarga. 2. Penerima Kuasa Sebagaimana penerima hak tanggungan, penerima kuasa membebankan hak tanggungan juga bisa perorangan maupun badan hukum. Dalam hal penerima kuasa badan hukum, yang harus dipersiapkan oleh penerima kuasa, adalah : a. surat kuasa Direksi mengenai penunjukan dan penetapan jabatan, sebagai kepala cabang; b. foto copy Kartu Tanda Penduduk. c. surat kuasa Direksi kepada kepala cabang. 3. Notaris atau PPAT dalam hal pembuatan SKMHT, terlebih dahulu menerima surat order yang berisikan mengenai apa saja akta-akta yang akan dibuat, jenis kreditnya, jangka waktu, jaminannya juga data-data debitur, juga penjamin jika penjaminnya bukan selaku debitur. Kemudian sesuai Pasal 16 ayat 1 huruf 1 UUJN, Notaris berkewajiban untuk membacakan akta yang dibuatnya dan setelah para pihak mengetahui dan memahami kemudian para pihak, saksi-saksi dan Notaris atau PPAT menandatangani akta SKMHT tersebut. 129 Hasil wawancara dengan Devi Juliastuti, SH., NotarisPPAT Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2010. Universitas Sumatera Utara 102 BA IV TINDAKAN HUKUM YANG DILAKUKAN PT. PELABUHAN INDONESIA I PERSERO CABANG BELAWAN TERHADAP MITRA BINAAN YANG WANPRESTASI

A. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi 1. Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk. Seseorang yang berjanji, tetapi tidak melakukan apa yang dijanjikannya, ia alpa, lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya, maka ia dikatakan wanprestasi. 130 Sementara Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, wanprestasi adalah “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Salim HS menguraikan arti wanprestasi sebagai berikut: “Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur”. 131 Dalam abad ke 19 ketika aliran legisme masih kuat, yang menjadi perbuatan yang bertentangan dengan hukum hanyalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan saja. Pelanggaran sesuatu peraturan hukum kebiasaan tidak dianggap suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. 130 Subekti, Hukum Perjanjian, Op.cit., hal. 45. 131 Salim HS, Hukum Kontrak, Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 98. 102 Universitas Sumatera Utara 103 Jadi sesuai dengan aliran legisme, diluar undang-undang tiada hukum. Menurut Molengraff bahwa pengertian mengenai perbuatan yang bertentangan dengan hukum, seperti yang disebut dalam Pasal 1365 KUHPerdata, tidak hanya meliputi suatu perbuatan yang bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan, melainkan juga meliputi perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan segala sesuatu yang ada diluar undang-undang yang memuat kaidah sosial. 132 Pada tahun 1913 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Belanda bagian Tweede Kamer suatu usul undang-undang untuk mengubah redaksi Pasal 1365 KUHPerdata. Menurut usul tersebut, maka suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum ialah “membuat sesuatu atau tidak membuat sesuatu melalaikan sesuatu, yang: a melanggar hak orang lain, b bertentangan dengan kewajiban hukum dari yang melakukan perbuatan itu, c bertentangan dengan baik kesusilaan maupun azas-azas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan orang lain atau barang dari orang lain”. 133 Usul tersebut tidak dijadikan undang-undang. Tetapi pada tahun 1919 oleh Hoge Raad dibuat suatu keputusan berdasarkan penafsiran yang luas. Keputusan tahun 1919 itu telah menjadi suatu “ standaardarrest” keputusan baku yang menjadi suatu pegangan teguh yang memberi kepada hakim suatu kesempatan sangat luas menentukan perbuatan mana yang merupakan perbuatan bertentangan 132 E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Penerbitan Universitas, 1966, hal. 247. 133 Ibid., hal. 248. Universitas Sumatera Utara 104 dengan hukum. 134 Misalnya: kelahiran, kematian dan lewat waktu. Seorang Debitur yang lalai yang melakukan wanprestasi ini dapat digugat di muka Hakim dan Hakim akan menjatuhkan putusan yang merugikan kepada tergugat itu. 135 Akan tetapi karena wanprestasi kelalaian ini mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, maka harus ditetapkan lebih dahulu apakah si debitur si berutang itu melakukan wanprestasi atau lalai, dan kalau hal itu disangkal olehnya, harus dibuktikan di muka Hakim. 136 Wanprestasi adalah kelalaian debitur untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati. Untuk menentukan kapan seseorang harus melakukan kewajibannya dapat dilihat dari isi perjanjian yang telah dibuatnya. Dalam perjanjian biasanya diatur kapan seseorang harus melaksanakan kewajibannya, seperti menyerahkan sesuatu barang atau melakukan sesuatu perbuatan. Apabila debitur tidak melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia telah melakukan wanprestasi. Seseorang dianggap alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga melanggar perjanjian apabila ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya. 137 Namun tidak mudah untuk mengatakan bahwa seseorang lalai atau alpa, karena seringkali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan seorang pihak diwajibkan untuk melakukan sesuatu prestasi yang dijanjikan. Misalnya: peminjaman uang, para pihak sering tidak menentukan kapan uang tersebut harus dikembalikan. 134 Ibid. 135 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 26, Jakarta: Intermasa, 1994, hal. 146. 136 Ibid., hal. 45. 137 Ibid., hal. 28. Universitas Sumatera Utara 105 Cara yang paling mudah untuk menetapkan bahwa seseorang melakukan wanprestasi adalah dalam perjanjian yang bertujuan untuk tidak melakukan suatu perbuatan. Apabila orang itu melakukannya berarti ia melanggar perjanjian. 138 Sehingga Kreditur tidak perlu melakukan suatu penagihan atas prestasi. Menurut Pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan bahwa: “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.” Berdasarkan pasal tersebut mengandung makna yakni sebelum mengajukan gugatan wanprestasi seorang kreditur harus memberikan peringatan atau somasi yang menyatakan bahwa debitur telah dan agar memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu tertentu. Surat perintah yang dimaksud dalam Pasal 1238 KUHPerdata tersebut adalah suatu peringatan resmi oleh seorang juru sita pengadilan. Perkataan akta sejenis itu sebenarnya oleh Undang-undang dimaksudkan suatu peringatan tertulis. 139

2. Macam-Macam Wanprestasi