Analisis Willingness To Accept Masyarakat Akibat Eksternalitas Negatif Kegiatan Penambangan Batu Gamping (Studi Kasus Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor)

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable). Sumberdaya alam yang mempunyai nilai potensi tinggi salah satunya adalah kawasan karst. Kawasan karst mempunyai berbagai keragaman sumberdaya baik hayati maupun non hayati yang bernilai strategis bagi manusia, flora, dan fauna. Potensi mineral, sumber air yang melimpah, potensi wisata dan ilmu pengetahuan dapat dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan manusia.

Salah satu bentuk pemanfaatan kawasan karst adalah untuk kegiatan penambangan batuan karbonat (gamping). Batuan gamping merupakan salah satu sumber mineral terbesar yang terdapat di kawasan karst. Batuan ini sering dimanfaatkan untuk ornamen/hiasan, bahan baku industri-industri seperti untuk bahan pemutih, penjernih air, bahan pestisida, serta campuran pembuatan semen.

Proses pembuatan semen umumnya menggunakan teknik penambangan terbuka dalam bentuk kuari tipe sisi bukit (side hill type quarry). Penambangan skala besar menggunakan sistem peledakan beruntun, peralatan berat antara lain escavator dan ripper (penggaru), sedangkan untuk penambangan skala kecil dilakukan dengan alat sederhana dengan cangkul, ganco, dan sekop (Minerhe, 2009). Kegiatan penambangan tersebut tentunya akan menimbulkan eksternalitas baik eksternalitas positif maupun negatif.


(2)

Eksternalitas positif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan sangatlah beragam diantaranya penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), dan sumber devisa negara. Namun, eksternalitas negatif juga muncul sebagai hasil sampingan dari kegiatan penambangan tersebut yang umumnya merugikan masyarakat sekitar lokasi penambangan, seperti kualitas udara yang terkontaminasi, kesulitan air, dan kebisingan. Pada Tabel 1 ditampilkan data tentang kualitas udara pada Kecamatan Citeureup yang memiliki kawasan penambangan batu gamping.

Tabel 1 Hasil Pengujian Kualitas Udara Ambient Semester 1 Tahun 2010

Parameter

Hasil Uji Laboratorium Baku Mutu PPRI No.4 Tahun 1999

MENLH No.02 Tahun 1988 Unit Kec. Citeureup

U1 U2

Suhu Udara oC 37 37 - -

Kelembaban Udara

% 37,50 28,60 - -

Partikel Debu µg/NM3 328,90 240 230 260

SO2 µg/NM3 3 3 900 260

CO2 Ppm 824,50 824 - -

NO2 µg/NM3 34,5 14,23 400 92,5

H2S µg/NM3 2,2 2,2 - 42

NH3 µg/NM3 20 1745,30 - 1360

O3 µg/NM3 19,6 38,82 235 -

SK.GUB.JABAR No.660/31/SK/694-BPKMD/82 KEP-MENLH No. 48/1996

Kebisingan dBA 68 64,15 60 70

Sumber : BLH Kabupaten Bogor dalam Bogor Plus (2011) Keterangan : U1 : Kawasan CCIE - Citeureup

U2 : Jl.Raya Citeureup

Hasil uji laboratorium yang ditampilkan pada Tabel 1 di atas menunjukkan terdapat beberapa parameter yang melebihi batas baku yang telah ditetapkan.


(3)

Parameter kimia dalam hal ini Amonia (NH3) terutama di Jl. Raya Citeureup telah

melampaui batas baku yang ditetapkan yaitu dengan angka 1745,30 µg/NM3. Amonia adalah senyawa kimia yang berbau tajam dan berpotensi merusak kesehatan jika kadarnya berlebihan. Parameter fisika yang diwakili oleh partikel debu di kawasan CCIE – Citeureup telah melebihi batas normal dengan jumlah 328,90 µg/NM3 sedangkan batas baku yang ditetapkan dalam PP.RI NO 41 Tahun 1999 adalah 230 µg/NM3 (Bogor Plus, 2011).

Secara umum partikel yang mencemari udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan, dan manusia. Kualitas udara yang tercemar akan berpengaruh pada kesehatan manusia misalnya melalui partikel debu yang masuk ke dalam saluran pernapasan atau pneumokoniosis yang umumnya dialami masyarakat di sekitar kawasan penambangan (Bogor Plus, 2011). Hal tersebut sesuai dengan catatan kesehatan pengidap ISPA di Kabupaten Bogor yang dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Data Tahunan Pneumokoniosis /ISPA Tahun 2010 Kabupaten Bogor No. UPTD Kecamatan Dewasa (Orang) Bayi (Orang)

1. Citeureup 1160 4537

2. Bojong Gede 1093 5673

3. Caringin 691 2853

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor dalam Bogor Plus (2011)

Kegiatan penambangan tentunya akan berpengaruh pada kualitas air disekitar kawasan. Tabel 3 menampilkan tentang pengukuran kualitas air untuk beberapa sungai di sekitar kawasan penambangan.


(4)

Tabel 3 Kualitas Air Permukaan Sungai di Sekitar Kawasan Penambangan Tahun 2002 dan 2008

No. PARAMETER UNIT BAKU

MUTU*)

Tahun 2002 Tahun 2008

AP-1 AP-2 AP-1 AP-2

1. Besi (Fe) Mg/L 5,0 0,05 0,03 0,06 0,06

2. Flourida (F) Mg/L 1,5 0,04 0,17 0,33 0,33

3. Khlorida (Cl) Mg/L 600 1,9 2,9 3,9 4,9

5. pH (Insitu) - 6-9 6,6 6,3 7,65 7,50

6. Sulfat (SO4) Mg/L 400 12,3 27,5 78,5 55,1

7. Tembaga (Cu) Mg/L 1 0,002 0,02 0,02 0,02

8. Timbal (Pb) Mg/L 0,1 0,03 0,03 0,01 0,01

9. BOD5 Mg/L - 1,7 1,2 14 10

10. COD Mg/L - 8,1 6,4 40 55

11. Koliform Tinja Jml/100ml 2000 21 9 1500 2400

Sumber : Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL PT. ITP Tbk. (2009)

*) Baku Mutu Lingkungan : Kep. Gub. Jabar No. 38/1991, Golongan B,C,D

AP – 1 : Sungai Cijere

AP - 2 : Sungai Cibadak

Pada beberapa parameter seperti pH, flourida, khlorida, sulfat, dan COD menunjukkan adanya peningkatan. Dapat diindikasikan terkontaminasi walau masih dalam tingkat yang diperbolehkan, namun dapat diramalkan kualitas air pada tahun selanjutnya akan semakin meningkat kadar pencemarannya. Koliform tinja pada Sungai Cibadak telah melebihi batas baku mutu yang ditetapkan dan berakibat kualitas air mengalami perubahan.

Eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat membutuhkan penanganan yang serius. Selama ini masih sedikit perusahaan yang peduli dengan penanganan hal tersebut. Pada umunya bentuk kegiatan dari perusahaan yang dapat mencerminkan penanganan atas kerugian masyarakat dilakukan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), seperti pengobatan gratis, pemberdayaan


(5)

secara formalitas saja. Tanggung jawab sosial ini diharapkan tidak hanya terkesan tebar pesona atau berbuat baik agar terlihat baik tetapi esensi dari kegiatan tersebut harus tercapai.

Perlu adanya kajian tentang eksternalitas negatif dari kegiatan penambangan batu gamping terhadap masyarakat. Kajian tersebut terkait tentang eksternalitas yang muncul dari keberadaan penambangan, kesediaan menerima dana kompensasi masyarakat terhadap pencemaran dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi dana kompensasi yang bersedia diterima.

1.2 Perumusan masalah

Aktivitas penambangan batu gamping pada kawasan karst di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor telah berlangsung sejak tahun 1975. Daerah penambangan batu gamping tersebut terletak di Gunung Guha, Gunung Cibuluh, Gunung Kutapaeran, dan Gunung Halimun yang secara administratif berada di Desa Lulut dan Desa Leuwikaret. Kegiatan penambangan secara umum meliputi penambangan batu kapur, pasir silika, dan tanah liat yang merupakan tambang terbuka (open pit) dan dilakukan melalui cara peledakan dengan sistem berjenjang (bench). Hasil peledakan berupa bongkahan-bongkahan dihancurkan di tempat pemecahan (crusher) menjadi ukuran yang relatif lebih kecil untuk selanjutnya diangkut ke tempat penyimpanan (storage) dengan menggunakan Belt Conveyor.

Kegiatan penambangan tersebut tentunya menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat maupun lingkungan sekitar. Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan penambangan merasakan berbagai perubahan dan gangguan akibat keberadaan tambang antara lain kelangkaan air, kebisingan, getaran dan pencemaran udara.


(6)

Kawasan karst pada dasarnya memiliki fungsi ekologis sebagai penyerap dan penyedia air namun fungsi tersebut menjadi hilang setelah diekstraksi untuk bahan baku semen. Dampak penambangan terhadap kuantitas air dapat dilihat melalui debit mata air di sekitar daerah penambangan. Pengamatan yang telah dilakukan telah disajikan dalam Tabel 4.

Tabel 4 Pengukuran Tinggi Muka Air Sumber Mata Air Cikukulu Tahun 2008 No. Bulan

Pengukuran Tahun 2006

(cm)

Pengukuran Tahun 2007

(cm)

Pengukuran Tahun 2008

(cm)

1. Juli 6,0 11,0 6

2. Agustus 7,5 10,0 7,5

3. September 6,5 15,0 8,5

4. Oktober 8,0 22,0 14,0

5. November 15,0 17,0 18,0

6. Desember 22,5 23,0 15,0

Jumlah 65,5 98 69

Rata-rata 10,9 16,3 11,5

Sumber : Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL PT. ITP Tbk. (2009)

Terlihat bahwa rata-rata debit Mata Air Cikukulu berfluktuasi dari tahun ke tahun, dengan rata-rata tinggi muka air masing-masing tahun adalah 10,9; 16,3; dan 11,5 cm. Pada Oktober sampai Desember pada setiap tahun terjadi musim hujan sehingga debit air menjadi tinggi, namun sebaliknya pada saat Juli sampai September adanya musim kemarau menyebabkan adanya penurunan debit. Hilangnya daerah penyerapan air hujan (water catchment area) akibat konversi kawasan karst menjadi aktivitas penambangan diduga menjadi faktor penyebab fluktuasi ketersediaan air disamping terjadinya perubahan musim pada setiap tahun.


(7)

Eksternalitas lain yang ditimbulkan dari keberadaan agenda penambangan adalah kebisingan. Kebisingan yang dirasakan oleh masyarakat bersumber dari pengoperasian alat berat, proses peledakan, belt conveyor, dan stone crusher yang ada di setiap blok penambangan. Suara yang dihasilkan tersebut dapat meningkatkan tingkat stress seseorang, kerusakan pendengaran, terganggunya aktivitas kehidupan dan lain-lain. Batas nilai baku mutu yang digunakan untuk kebisingan adalah KEP.48/MENLH/11/1996. Keputusan tersebut mengatur baku mutu salah satunya untuk perumahan dan permukiman yaitu sebesar 55 dB. Hasil penelitian terhadap tingkat kebisingan pada desa sekitar penambangan dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil Pengujian Tingkat Kebisingan Desa Sekitar Lokasi Penambangan Tahun 2008

No. Lokasi Hasil (dB(A))

1. Desa Lulut RT. 02/RW. 08 ( Blok Quarry D) 64,5 2. Desa Leuwi Karet RT. 03/RW. 07 ( Blok Quarry D) 57,4 3. Desa Hambalang, Kp. Tapos RT. 25/RW. 08 56,2 Sumber : Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL PT. ITP Tbk. (2009)

Tingkat kebisingan pada ketiga desa tersebut telah melampaui baku mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Faktor jarak antara pemukiman dengan Belt Conveyor yang hanya sekitar 50 meter menjadi salah satu penyumbang tingkat kebisingan tersebut selain dari tingkat aktivitas kendaraan darat dan tingkat kerapatan vegetasinya cukup rendah, sehingga kemampuan mereduksi tingkat kebisingan masih minim.

Getaran yang dihasilkan dari kegiatan peledakan masih berada dibawah baku mutu yang ditetapkan yaitu sebesar 10 dB (Laporan Pelaksanaan PT.ITP, 2008). Terjadi 505 kali peledakan dalam 6 bulan terakhir pada blok Quarry D yang biasanya dilakukan pada pukul 11.45 sampai dengan 12.15. Desa Lulut


(8)

adalah desa yang hanya berjarak ± 500 meter dari lokasi peledakan Quarry D, sehingga jelas masyarakat merasa terganggu dengan getaran yang timbul disaat waktu mereka sedang beraktivitas.

Terdapat hubungan yang erat antara penambangan dengan kualitas udara. Hampir disetiap kegiatan penambangan batu gamping, selalu terjadi pencemaran udara. Sumber dampak tersebut adalah berasal dari kegiatan pengangkutan hasil tambang dari lokasi tambang ke unit pemecahan, emisi gas buang alat-alat berat dan kendaraan, partikulat hasil pembakaran seperti NOx, HC, SOx, CO, debu dan

Pb. Berdasarkan hasil pengukuran pada kualitas udara di sekitar daerah penambangan terlihat bahwa parameter kualitas udara masih berada dibawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah pada PP No : 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara namun, terjadi trend peningkatan terhadap pencemaran udara. Parameter seperti CO, NO2, dan SO2 terlihat meningkat

dibandingkan saat kondisi rona awal pada tahun 2002 seperti yang ditampilkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Data Analisis Kualitas Udara Ambien pada Pemantauan Desember 2008 dan Rona Awal Quarry D Tahun 2002

No. Parameter Baku

Mutu *) Unit

Hasil Pengukuran Rona Awal U1 U2

1. SO2 900 µg/Nm3 16,31 17,36 2,26

2. CO 30.000 µg/Nm3 2.291 2.406 1.029

3. NO2 400 µg/Nm3 18,78 19,17 6,19

4. O3 235 µg/Nm3 22,98 20,77 -

5. HC 160 µg/Nm3  112 112 -

6. Debu (TSP) 230 µg/Nm3  83 102 481

7. Pb 2 µg/Nm3  0,03 0,03 -

Sumber : Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL PT. ITP Tbk (2009) Keterangan : *) : Baku Mutu Lingkungan PP No. 14/1999


(9)

Peningkatan kadar pencemaran di udara setiap tahunnya berpotensi menimbulkan kerugian kepada masyarakat walaupun masih dibawah baku mutu yang ditetapkan. Dapat diprediksi lima sampai sepuluh tahun kedepan bagaimana kondisi kualitas udara di desa yang berdampingan dengan tambang andai pihak penambang tidak melakukan tindakan produksi yang lebih ramah lingkungan. Polutan-polutan di udara tersebut dapat memicu penurunan tingkat kesehatan dikalangan masyarakat misalnya dengan penyakit ISPA, paru-paru, dan TBC. Berdasarkan Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL PT. ITP Tbk. (2009) data kesehatan masyarakat sekitar kawasan penambangan batuan gamping di Kecamatan Citeureup dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah Kunjungan Pasien & Pola Penyakit di Desa Leuwikaret dan Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Tahun 2009

No Jenis Penyakit

Desa Leuwikaret

(Orang)

Desa Lulut (Orang)

1 ISPA 207 395

2 Kulit 107 199

3 Lambung 102 183

4 Otot dan Tulang 73 154

5 TBC 14 16

6 Penyakit sistem pembuluh darah 30 100

7 Diare 16 99

8 Gigi dan mulut 25 61

9 Influenza dan Pneumonia 34 44

Total 608 1251

Sumber : Laporan Pelaksanaan RKL dan RPL PT. ITP Tbk. (2010)

Terlihat pada Tabel 7 bahwa jumlah kunjungan pasien pada dua desa yang berdekatan dengan kawasan penambangan didominasi oleh penyakit ISPA lalu diikuti oleh penyakit kulit dan lambung. Infeksi Saluran Pernapasan Akut ini


(10)

disinyalir akibat dari partikel-partikel debu yang merupakan dampak sampingan aktivitas penambangan.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas penambangan batuan gamping di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat?

2. Bagaimana peluang kesediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat?

3. Berapa besar nilai dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat (WTA) akibat pencemaran yang disebabkan dari kegiatan penambangan batuan gamping di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat?

4. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap besarnya nilai dana kompensasi masyarakat sekitar kawasan penambangan batuan gamping di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini :

1. Mendeskripsikan eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat akibat aktivitas penambangan batuan gamping di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat.


(11)

2. Mengkaji peluang kesediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat.

3. Mengkuantifikasikan besarnya nilai kesediaan menerima dana kompensasi oleh masyarakat (WTA) akibat eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan batuan gamping di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat.

4. Mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada besarnya nilai dana kompensasi masyarakat sekitar penambangan di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi:

1. Instansi/Perusahaan sebagai pertimbangan untuk penentuan besarnya dana kompensasi yang akan diberikan kepada masyarakat akibat kegiatan penambangan yang dilakukan.

2. Masyarakat sebagai informasi untuk lebih mengenal keberadaan lingkungan sehingga partisipasi dalam menjaga keberlangsungan lingkungan dapat terus ditingkatkan.

3. Pemerintah sebagai gagasan yang dapat mendukung program-program pemerintah dalam menciptakan lingkungan hidup yang lestari dan ramah lingkungan terutama mengenai masalah pencemaran kawasan penambangan. 4. Akademisi dan peneliti lain sebagai bahan referensi penelitian selanjutnya.


(12)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Aktivitas penambangan batu gamping menimbulkan eksternalitas positif dan negatif bagi masyarakat sekitar. Pada penelitian ini hanya mengkaji eksternalitas negatif dari keberadaan penambangan tersebut secara deskriptif, kesediaan menerima dan besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat di Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Eksternalitas positif yang ditimbulkan dari kegiatan seperti peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), peningkatan sumber daya manusia sekitar, berkembangnya perekonomian masyarakat, dan pengurangan tingkat pengangguran tidak diteliti karena dampak sampingan tersebut lebih bersifat menguntungkan terhadap masyarakat sehingga tidak diperlukan adanya dana kompensasi kepada masyarakat. Bentuk kegiatan tanggungjawab sosial atau program-program penanggulangan eksternalitas negatif oleh perusahaan tidak dibahas dalam penelitian ini.

 

               


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penambangan Kawasan Karst

Karst adalah istilah bagi sebuah bentang alam yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat (batu gamping dan dolomit), dimana bentang alam tersebut dibentuk dan dipengaruhi oleh proses pelarutan yang derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan batuan lainnya (Samodra, 2001). Karst tersusun dan terbentuk dari endapan batuan karbonat dengan mineral utama kalsit (CaCO3), aragonit (CaCO3), dan dolomit (CaMg(CO3))2 tetapi dapat juga terjadi

pada batuan lain yang terbentuk dari mineral-mineral mudah larut oleh airnya seperti gipsum (CaSO42H2O), anhidrit (CaSO4), halit (NaCl), batuan sedimen

klastik dengan semen yang mudah larut, maupun batuan lain dimana proses pelarutan mineral bisa dan mudah terjadi (Notosiswoyo, 2006).

Kawasan karst memiliki sumberdaya yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain sumberdaya air, tambang, hayati, wisata, arkeologi, dan lainnya. Potensi tambang dikawasan karst ialah penambangan bahan galian golongan C (batu gamping) dan bahan mineral (emas,perak,tembaga,seng). Batu gamping merupakan batuan sedimen karbonat dengan penampakan luar berwarna putih, putih kekuningan, abu-abu, hingga hitam. Batu gamping memiliki manfaat cukup beragam, antara lain : 1) pertanian, 2) lingkungan (penjernihan air dan obat pembasmi hama), 3) konstruksi (fondasi bangunan rumah, jalan, jembatan, dan pembuatan semen trass atau semen merah dan marmer), 4) industri (keramik, kaca, bahan kimia, dan bahan pemutih) (Samodra, 2001).

Kegiatan penambangan adalah kegiatan yang pasti merubah lingkungan yang ada menjadi lingkungan baru yang berbeda, dan perubahan tersebut sulit


(14)

atau bahkan tidak dapat dikembalikan seperti semula. Penambangan dapat menciptakan kerusakan lingkungan yang serius dalam suatu kawasan. Skala potensi kerusakan tergantung pada berbagai faktor kegiatan penambangan dan faktor keadaan lingkungan. Faktor kegiatan penambangan antara lain berkaitan dengan letak cebakan mineral, faktor teknik penambangan, pengolahan, dan sebagainya. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor kepekaan lingkungan, faktor geografis, morfologis, flora fauna, hidrologis, dan lain-lain (KLH, 2000). Dampak-dampak yang timbul dari kegiatan penambangan digolongkan menurut UNEP (1999) diacu dalam BAPEDAL (2001) adalah sebagai berikut :

1. Kerusakan habitat dan keanekaragaman hayati pada lokasi penambangan. 2. Perubahan lanskap/gangguan visual/kehilangan penggunaan lahan.

3. Pencemaran yang disebabkan oleh limbah tambang dan tailing, peralatan yang tidak digunakan, limbah padat, limbah rumah tangga dan bahan kimia.

4. Kecelakaan/terjadinya longsoran fasilitas tailing.

5. Peningkatan emisi udara, debu, perubahan iklim dan konsumsi energi.

6. Pelumpuran dan perubahan aliran sungai serta perubahan air tanah dan kontaminasi.

7. Kebisingan, radiasi dan toksisitas logam berat. 8. Perusakan peninggalan budaya dan situs arkeologi.

9. Terganggunya/menurunnya kesehatan masyarakat dan permukiman di sekitar tambang.

Pada kegiatan penambangan batu gamping, partikel-partikel yang dihasilkan dan berpotensi sebagai sumber pencemaran udara adalah SiO2, Al2O3,


(15)

khususnya batu gamping merupakan salah satu sektor yang menjanjikan. Namun, kegiatan ini tentu akan menimbulkan eksternalitas negatif tidak hanya bagi kondisi kawasan itu sendiri tetapi juga terhadap masyarakat sekitar.

2.2 Pengelolaan Kawasan Karst

Kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan karst memiliki pembagian kelas karst sesuai dengan peruntukannya. Menurut Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral No.1456 (2000) tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst dibagi menjadi tiga kelas, yaitu :

1. Kawasan Karst Kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah satu, atau lebih kriteria berikut ini : a) berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang keberadaannya mencakup fungsi umum hidrologi; b) mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya membentuk jaringan baik mendatar maupun tegak yang sistemnya mencukupi fungsi hidrologi dan ilmu pengetahuan; c) gua-guanya mempunyai speleotem aktif atau peninggalan-peninggalan sejarah sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata dan budaya; d) mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi sosial, ekonomi, budaya, serta pengembangan ilmu pengetahuan alam.

2. Kawasan Karst Kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua kriteria berikut ini : a) berfungsi sebagai pengimbuh air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik-turunnya muka air bawah tanah di kawasan karst, sehingga masih mendukung fungsi umum hidrologi; mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan


(16)

sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah tidak aktif atau rusak serta sebagai tempat tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat ekonomi.

3. Kawasan Karst Kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2).

Kawasan Karst Kelas I merupakan kawasan yang perlu dikonservasi dan tidak boleh ada kegiatan usaha penambangan, kecuali kegiatan yang berkaitan dengan penelitian yang tidak merubah atau merusak bentuk-bentuk morfologi dan fungsi kawasan. Pada Kawasan Karst Kelas II, dapat dilakukan kegiatan usaha penambangan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mendapat rekomendasi teknis dari Menteri yang membidangi kegiatan penambangan, setelah dilengkapi dengan studi lingkungan (Andal, UKL, dan UPL). Kegiatan usaha penambangan dapat dilakukan pada Kawasan Karst Kelas III sesuai dengan perundangan yang berlaku, tanpa rekomendasi dari Menteri yang membidangi kegiatan penambangan.

2.3 Pencemaran udara

Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara atau atmosfer, baik secara alami (debu vulkanik, debu meteroit, pancaran garam dari laut) maupun akibat dari aktivitas manusia (gas beracun, partikel, panas dan radiasi nuklir, sebagai hasil sampingan pemupukan tanaman, pembasmi hama, pengecatan, pembakaran tumah tangga, transportasi dan bermacam-macam kegiatan industri) yang melayang dalam udara dan bergerak sesuai dengan gerakan dan tingkah laku udara dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang


(17)

masih diperkenankan untuk kesehatan mahkluk hidup maupun estetika (Sarwono, 1999).

Secara umum zat pencemar udara dapat merusak lingkungan, tanaman, hewan, dan manusia. Zat/Partikel pencemar tersebut sangat merugikan kesehatan manusia. Pada umumnya udara yang telah tercemar, dapat menimbulkan berbagai penyakit saluran pernapasan atau pneumokoniosis.

Pneumokoniosis adalah penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh adanya partikel (debu) yang masuk atau mengendap didalam paru-paru. Penyakit pernapasan ini banyak jenisnya, tergantung kepada jenis partikel (debu) yang masuk atau terhisap ke paru-paru. Beberapa jenis pneumokoniosis yang sering terjadi pada daerah industri yaitu Silikosis, Asbestosis, Bisinosis, Antrakosis, dan Beriliosis (Wardhana, 1995).

2.4 Eksternalitas

Menurut Mangkoesoebroto (1997), eksternalitas adalah sebagai suatu keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar dimana kegiatan tersebut menimbulkan manfaat dan/atau biaya bagi pihak diluar pelaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dibagi menjadi dua berdasarkan dampaknya yaitu eksternalitas positif dan negatif. Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan terhadap pihak lain dari suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak tertentu tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan. Eksternalitas negatif ialah dampak yang bersifat merugikan bagi orang lain dan tidak menerima kompensasi terhadap kerugian tersebut.


(18)

Kemungkinan eksternalitas yang terjadi dalam kegiatan ekonomi, yaitu : 1. konsumen-konsumen, yaitu tindakan seorang konsumen yang menimbulkan

eksternalitas bagi konsumen lain.

2. konsumen-produsen, yaitu tindakan seorang konsumen yang menimbulkan eksternalitas baik positif atau negatif terhadap produsen.

3. produsen-konsumen, contohnya adalah pabrik yang menyebabkan polusi sungai sehingga menggangu penduduk yang menggunakan air sungai tersebut. 4. produsen-produsen, contohnya sebuah pabrik yang menimbulkan polusi air

yang mengakibatkan kenaikan biaya produksi perusahaan lain yang menggunakan air tersebut sebagai salah satu faktor produksinya.

Secara umum, adanya eksternalitas tidak akan mengganggu tercapainya efisiensi masyarakat apabila semua dampak yang merugikan maupun yang menguntungkan dimasukkan dalam perhitungan produsen dalam menetapkan jumlah barang yang diproduksi. Hal efisiensi akan tercapai apabila :

MSC = MSB

MSC = PMC + MEC MSB = MPB + MEB Dimana :

MSC = Marginal Social Costs MSB = Marginal Social Benefits PMC = Marginal Private Cost MEC = Marginal External Cost MPB = Marginal Private Benefits MEB = Marginal External Benefits


(19)

Pada kasus eksternalitas negatif, produsen tidak memperhitungkan MEC dan MEB dalam menentukan harga dan jumlah barang yang dihasilkan, sehingga ada kecenderungan produsen berproduksi pada tingkat yang terlalu besar karena perhitungan biayanya menjadi terlalu murah dibandingkan dengan biaya yang harus dipikul oleh seluruh masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa dalam eksternalitas negatif MSC = PMC + MEC > MSB, sehingga produksi harus dikurangi agar efisiensi produksi optimum dapat dicapai ditinjau dari seluruh masyarakat.

Sumber: Mangkoesoebroto (1993)

Gambar 1. Kurva Eksternalitas Negatif

Pada kurva diatas menunjukan kurva permintaan menunjukan manfaat masyarakat (MSB) atas sebuah produk. Tingkat output yang optimum terjadi saat tingkat produksi sebesar Q1. Produsen cenderung menetapkan tingkat produksi

sebesar Q2, yaitu di mana kurva permintaan (MSB) memotong kurva PMC,

H1

H

MSC = PMC +MEC

PMC

MEC

MSB

Jumlah Produksi e

d

Q1 Q2

0 Rp


(20)

sehingga tampak bahwa jumlah produksi yang diproduksi terlalu banyak dibandingkan tingkat produksi yang optimum.

2.5 Metode Estimasi Penilaian Lingkungan dengan Contingent Valuation Method (CVM)

Barang dan jasa lingkungan tergolong kedalam barang non market value. Terdapat berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengukur nilai dari suatu barang dan jasa lingkungan. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengestimasi nilai dari barang dan jasa lingkungan adalah dengan Contingent Valuation Method (CVM).

Metode yang dibangun oleh Davis pada tahun 1963 ini merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan semua komoditas yang tidak diperjualbelikan di pasar dapat diestimasi nilai ekonominya, termasuk nilai ekonomi dari barang lingkungan. Metode CVM menggunakan pendekatan secara langsung dengan menanyakan kepada masyarakat atas kesediaan untuk membayar (WTP) akibat manfaat tambahan yang diperoleh dari perubahan lingkungan dan atau seberapa besar kesediaan masyarakat untuk menerima (WTA) kompensasi akibat penurunan kualitas barang lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).

Contingent Valuation Method memiliki tujuan untuk menghitung nilai atau penawaran yang mendekati, jika pasar dari barang-barang lingkungan tersebut benar-benar ada. Asumsi dasar yang belaku di CVM adalah bahwa individu-individu memahami benar pilihan masing-masing dan cukup mengenal kondisi lingkungan yang dinilai. Oleh karena itu, pasar hipotetik (kuisioner dan responden) harus mendekati kondisi pasar sebenarnya. Responden harus mengenal secara baik barang yang ditanyakan dan alat hipotetik yang digunakan untuk pembayaran, seperti pajak dan biaya masuk secara langsung.


(21)

Tahapan-tahapan untuk mengetahui nilai WTA (Hanley dan Spash, 1993), adalah :

1. Membuat Pasar Hipotetik (Setting Up the Hypothectical Market) 2. Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTA/WTP (Obtaining Bids)

3. Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP dan/atau Nilai Tengah WTA (Calculating Average WTP and/or Mean WTA)

4. Memperkirakan Kurva Penawaran (Estimating Bid Curve) 5. Menjumlahkan Data (Agregating Data)

6. Mengevaluasi Penggunaan CVM (Evaluating the CVM Exercise) 2.6 Penelitian Terdahulu yang Relevan

Penelitian mengenai Kesediaan Menerima Dana Kompensasi atau Willingness to Accept Masyarakat Akibat Eksternalitas Negatif Aktivitas Penambangan Batuan Gamping masih sulit ditemukan. Salah satu peneliti yang mengkaji tentang kesediaan menerima dana kompensasi yaitu Adhitya Ramadhan dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Ramadhan (2009) melakukan penelitian dengan judul ”Analisis Kesediaan Menerima Dana Kompensasi Di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPAS) Cipayung Kota Depok Jawa Barat”. Tujuan penelitian tersebut adalah untuk mengkaji persepsi masyarakat tentang keberadaan TPAS Cipayung dan mengkuantifikasi besarnya nilai dana kompensasi (WTA) yang bersedia diterima dengan turut serta menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut. Hasil yang ditunjukkan oleh penelitian tersebut bahwa masyarakat sekitar TPAS menilai terjadi penurunan kualitas lingkungan dibandingkan sebelum berdirinya TPAS yang ditunjukkan dengan kondisi pemukiman, kondisi air, kondisi udara


(22)

dan kondisi sampah yang buruk. Sebagian besar masyarakat bersedia menerima dana kompensasi dengan nilai rata-rata WTA sebesar Rp.54.300,00/bulan/KK yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan paling signifikan.

Penelitian yang dilakukan oleh Triani (2009) tentang WTA masyarakat terhadap pembayaran jasa lingkungan DAS Cidanau dengan pendekatan CVM. Pada studi ini diberlakukan kompensasi kepada masyarakat oleh perusahaan sejak tahun 2005. Mekanisme pembayaran dilakukan dengan melibatkan Forum Komunikasi DAS Cidanau, desa-desa terkait dan perusahaan yang memanfaatkan jasa lingkungan. Responden menilai kualitas lingkungan semakin baik setelah adanya upaya konservasi, namun penetapan nilai pembayaran dinilai buruk oleh sebagian besar responden. Mayoritas responden bersedia menerima nilai pembayaran sesuai dengan skenario yang ditawarkan, dan nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 5.056,98 /pohon/tahun. Nilai tersebut dipengaruhi oleh faktor pendapatan dan kepuasan terhadap nilai pembayaran jasa lingkungan selama ini yang paling dominan.

Anwar (2008) melakukan penelitian dengan judul Nilai Ekonomi Akibat Kerusakan Jalan Berdasarkan Pendekatan Willingness to Pay dan Willingness to Accept di Jalan Lintas Timur Sumatera. Lokasi penelitian tersebut mencakup enam provinsi yaitu Provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Utara dan NAD dengan pendekatan utama yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif. Metode yang digunakan adalah CVM untuk mengukur seberapa besar keinginan membayar dan keinginan dibayar dari masyarakat. WTA dan WTP masyarakat sekitar wilayah Jalintim Sumatera berkisar antara Rp 2.222,67 – Rp 2.735,93 per hari per responden. Terdapat lima faktor yang menyebabkan


(23)

besarnya nilai keinginan membayar dan dibayar akibat perubahan lingkungan yaitu berupa keterlambatan, kondisi sakit, kecelakaan, kebisingan, dan kejengkelan. Total nilai ekonomi dari kerusakan jalan berdasarkan penilaian masyarakat wilayah Jalintim Sumatera untuk suatu kondisi akibat dari perubahan berkisar antara Rp 1,488 Triliun sampai Rp 3,863 Triliun dengan rataan total nilai ekonomi sebesar Rp 1,879 Triliun

Penelitian yang mengkaji tentang kesediaan menerima dana kompensasi kepada masyarakat akibat dampak suatu kegiatan relatif banyak dilakukan. Terdapat beberapa kesamaan di penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terutama metode untuk penentuan dana kompensasi yaitu Contigent Valuation Metode (CVM) namun terdapat juga beberapa perbedaan. Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian lain adalah dari segi lokasi, tujuan, dan jenis kegiatan yang melatarbelakangi terjadinya eksternalitas negatif. Jenis kegiatan yang diteliti dalam penelitian ini adalah penambangan batu gamping yang telah beroperasi sejak tahun 1975 dengan kawasan penambangan yang luas. Lokasi pada penelitian ini adalah Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor yang berdampingan langsung dengan kegiatan penambangan batu gamping sehingga eksternalitas negatif sangat dirasakan.  

             


(24)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Analisis Willingness to Accept

Willingness to Accept merupakan salah satu bagian dari metode CVM dan akan digunakan dalam penelitian ini. Tahapan-tahapan metode CVM akan mengarahkan penelitian untuk mendapatkan tujuan yang diinginkan yaitu WTA dari masyarakat yang terkena eksternalitas negatif akibat penambangan. Tahapan tersebut membuat pelaksanaan menjadi lebih sistematis sehingga diharapkan hasil yang didapat sesuai dengan tujuan utama penelitian dan juga untuk menghindari bias yang terjadi dalam penelitian.

A. Asumsi dalam Pendekatan Willingness to Accept (WTA) Masyarakat Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai Willingness to Accept (WTA) dari setiap responden adalah :

a. Responden merupakan anggota masyarakat yang terletak di lokasi penelitian dan bersedia menerima dana kompensasi.

b. Nilai WTA yang diberikan konsumen merupakan nilai minimum yang bersedia diterima responden jika kompensasi yang diberikan benar-benar dilaksanakan.

c. Perusahaan penambangan batuan gamping bersedia memberikan kompensasi atas penurunan kualitas lingkungan.

d. Responden dipilih secara acak dari populasi yang terkena dampak penurunan kualitas lingkungan dan merupakan kepala keluarga dari masing-masing rumah tangga.


(25)

B. Metode Mempertanyakan Nilai Willingness to Accept (Elicitation Method)

Metode yang dapat digunakan untuk memperoleh besarnya penawaran nilai WTA/WTP responden (Hanley dan Spash,1993) adalah :

1. Bidding Game (Metode tawar-menawar)

Metode yang digunakan dengan mempertanyakan kepada responden tentang sejumlah nilai tertentu yang diajukan sebagai titik awal dan selanjutnya semakin meningkat sampai titik maksimum yang disepakati.

2. Open-ended Question (Metode pertanyaan terbuka)

Menanyakan langsung kepada responden berapa jumlah maksimum uang yang ingin dibayarkan atau jumlah minimum uang yang ingin diterima akibat perubahan kualitas lingkungan. Metode ini memiliki kelebihan yaitu responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa mempengaruhi nilai awal yang ditawarkan sehingga tidak akan menimbulkan bias titik awal. Kelemahan metode ini terletak pada kurangnya akurasi nilai serta terlalu besar variasinya selain itu seringkali ditemukan responden yang kesulitan menjawab pertanyaan yang diberikan terutama bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman mengenai pertanyaan yang ada dalam kuesioner.

3. Closed-ended Question (Metode pertanyaan tertutup)

Metode pertanyaan tidak jauh berbeda dengan Open-ended Question hanya saja bentuk pertanyaannya tertutup. Responden diberikan beberapa nilai WTA/WTP yang disarankan kepada mereka untuk dipilih, sehingga responden tinggal memberi jawaban sesuai dengan keinginan dan kemampuan mereka.


(26)

4. Payment Card (Metode kartu pembayaran)

Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan menerima, sehingga responden dapat memilih nilai maksimal/minimal sesuai dengan preferensinya. Metode ini dikembangkan untuk membatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar. Mengembangkan kualitas metode ini terkadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi barang lingkungan yang lain. Keunggulan metode ini adalah memberikan stimulan untuk membantu responden berpikir lebih leluasa tentang nilai maksimum atau minimum yang akan diberikan tanpa harus terintimidasi dengan nilai tertentu, seperti pada metode tawar menawar. Penggunaan metode ini dibutuhkan pengetahuan statistik yang baik.

Selain metode tersebut, terdapat pula metode bertanya Contingent Rangking. Metode ini tidak menanyakan langsung berapa nilai yang ingin dibayarkan atau diterima, tetapi responden diberi pilihan rangking dari kombinasi kualitas lingkungan yang berbeda dengan nilai moneter yang berbeda. Responden diminta mengurut beberapa pilihan dari yang paling disukai sampai kepada yang tidak disukai. Metode ini menggunakan skala ordinal sehingga diperlukan pengetahuan statistik yang sangat baik dan jumlah sampel yang besar.


(27)

C. Langkah-langkah untuk Mengetahui Nilai Willingness to Accept Masyarakat

Besarnya nilai WTA masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan CVM. Pendekatan tersebut memiliki enam tahapan (Hanley and Spash,1993) , yaitu :

1. Membangun Pasar Hipotetis

Pasar hipotetik adalah membangun suatu alasan mengapa masyarakat seharusnya menerima dana kompensasi dari dipergunakannya jasa lingkungan oleh pihak lain dimana terdapat nilai dalam mata uang berapa harga barang/jasa lingkungan tersebut. Pasar hipotetik harus terdapat penjelasan secara mendetail, nyata, dan informatif mengenai barang/jasa lingkungan yang akan dinilai.

2. Memperoleh Nilai Penawaran

Tahapan yang dilakukan setelah membuat instrumen survei adalah administrasi survei. Tahapan ini dapat dilakukan melalui wawancara dengan tatap muka, surat atau perantara telepon mengenai besarnya minimum WTA yang bersedia diterima. Wawancara dengan teknik-teknik tersebut tidak menutup kemungkinan terjadinya bias yang dilakukan oleh petugas pada saat melakukannya.

3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA)

Nilai WTA telah terkumpul, lalu tahap yang selanjutnya dilakukan adalah perhitungan nilai tengah dan rata-rata dari WTA. Nilai tengah dilakukan apabila terjadi rentang nilai penawaran yang terlalu jauh. Jika perhitungan nilai penawaran menggunakan rata-rata, maka nilai yang diperoleh akan lebih


(28)

tinggi dari yang sebenarnya. Nilai tengah penawaran tidak dipengaruhi oleh rentang yang cukup besar dan selalu lebih kecil daripada nilai rata-rata.

4. Menduga Kurva Penawaran

Kurva penawaran dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTA sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai sebagai variabel independen. Kurva penawaran berfungsi untuk memperkirakan perubahan nilai WTA karena perubahan sejumlah variabel independen dan untuk menguji sensitivitas jumlah WTA terhadap variasi perubahan mutu lingkungan.

5. Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai tengah penawaran dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksudkan.

6. Mengevaluasi Penggunaan CVM

Evaluasi penggunaaan CVM berfungsi untuk menilai sejauh mana penerapan CVM telah berhasil dilakukan. Penilaian dilakukan dengan cara melihat tingkat keandalan (reability) fungsi WTA dengan nilai R-squares (R2) dari model regresi berganda WTA.

3.1.2 Model Regresi Logistik

Menurut Hosmer dan Lemeshow dalam Merryna (2007) analisis regresi logistik merupakan analisis yang mengkaji hubungan pengaruh-pengaruh peubah penjelas terhadap peubah respon dengan persamaan matematis tertentu. Analisis logistik digunakan untuk menduga besarnya peluang kejadian dari kategorik peubah respon maupun penjelas. Peubah penjelas pada analisis regresi ini dapat berupa peubah kategorik maupun numerik.


(29)

Data yang dapat dianalisis dengan regresi logistik adalah data yang relatif umum dan terdiri atas dichotomus classification. Peubah kategori bisa merupakan suatu pilihan ya/tidak atau suka/tidak suka. Analisis pemodelan peluang kejadian tertentu dari kategori peubah respon dilakukan melalui transformasi logit. Persamaan dari transformasi logit tersebut adalah :

Pi merupakan peluang munculnya kejadian kategori dari peubah respon untuk individu ke – i. Loge logaritma dengan basis bilangan ke e. Gambar 2

memperlihatkan proses transformasi logit (Juanda, 2009).

P(i) Logit (Pi)

Transformasi Logit

Predictor (X) Predictor (X)

Gambar 2. Gambaran Transformasi Logit, dengan Peubah X Berskala Interval Model logistik dapat diinterpretasikan sama seperti model OLS yaitu dengan slope dari parameter. Slope diinterpretasikan sebagai perubahan logit (p) akibat perubahan satu unit peubah bebas (X). Keuntungan dalam penggunaan regresi logistik adalah terdapatnya odds ratio. Odd adalah peluang kejadian tidak sukses dari peubah respon. Ratio mengindikasikan seberapa mungkin dalam kaitannya dengan nilai odd munculnya kejadian sukses pada suatu kelompok dibandingkan dengan kelompok lain.


(30)

3.1.3 Model Regresi Linier Berganda

Model regresi yang terdiri lebih dari satu variabel bebas disebut model regresi berganda. Terdapat hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat pada regresi berganda. Metode analisis berganda merupakan metode analisis yang didasarkan pada metode Ordinary Least Square (OLS). Sifat-sifat OLS adalah (Gujarati, 2003): (1) penaksiran OLS tidak bias, (2) penaksiran OLS mempunyai varian yang minimum, (3) konsisten, (4) efisien, dan (5) linier. Menurut Gujarati (2003) analisis regresi berganda digunakan untuk membuat model pendugaan terhadap nilai suatu parameter (variabel penjelas yang diamati). Asumsi-asumsi yang dapat digunakan untuk model regresi linier berganda dengan OLS adalah : 1. E (ui) = 0, untuk setiap i, dimana i = 1,2,....,n, artinya rata-rata galat adalah

nol, dengan nilai yang diharapkan bersyarat dari ui tergantung pada variabel

bebas tertentu adalah nol.

2. Cov (ui,uj) = 0, i ≠ j. artinya covarian (ui,uj) = 0, dengan kata lain tidak ada

autokorelasi antara galat yang satu dengan yang lain.

3. Var (ui) = 2, untuk setiap i, dimana i = 1,2,....,n. Artinya setiap galat memiliki

varian yang sama (asumsi homoskedastisitas).

4. Cov (ui, X1i) = cov (ui, X2i) = 0. Artinya kovarian setiap galat memiliki varian

yang sama. Setiap variabel bebas tercakup dalam persamaan linier berganda. 5. Tidak ada multikolinearitas, yang berarti tidak terdapat hubungan linier yang

pasti antara variabel yang menjelaskan, atau variabel penjelas harus saling bebas.

Secara umum, fungsi regresi berganda dituliskan sebagai berikut (Juanda, 2009) :


(31)

Y = β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i + ... + βk Xki +

ε

i ...(1) Jika semua pengamatan X1i bernilai 1, maka model diatas menjadi

Y = β1 + β2 X2i + β3 X3i + ... + βk Xki +

ε

i...(2) Keterangan :

Y = Peubah tak bebas

i = Nomor pengamatan dari 1 sampai N (populasi) / n (sample) Xki = Pengamatan ke-i untuk peubah bebas Xk

β1 = Intersep

β2,3,..n = Parameter penduga Xi i = Pengaruh sisa (error term)

3.2 Kerangka Operasional

Penambangan merupakan salah satu bentuk aktivitas pemanfataan terhadap sumberdaya alam. Kegiatan ini menimbulkan eksternalitas baik eksternalitas positif maupun negatif bagi lingkungan maupun masyarakat. Peningkatan pendapatan asli daerah, penyerapan tenaga kerja, pengembangan sumberdaya manusia dan peningkatan usaha mikro disekitar lokasi tambang merupakan bentuk-bentuk eksternalitas positif yang timbul dari aktivitas penambangan. Akan tetapi, eksternalitas negatif dari kegiatan ini juga harus ditanggung oleh masyarakat berupa eksternalitas negatif seperti tertutupnya sumbermata air, pencemaran udara, kebisingan, dan penurunan tingkat kesehatan.

Kerugian yang dialami masyarakat perlu kajian yang mendalam mengenai hal tersebut. Kajian tersebut menyangkut tentang dampak eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat akibat penambangan batu gamping dengan menggunakan metode analisis deskriptif. Peluang kesediaan menerima dana kompensasi masyarakat akibat eksternalitas negatif dengan analisis regresi logistik. Besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat


(32)

dengan menggunakan perhitungan Willingness To Accept dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi besarnya nilai kompensasi tersebut dengan analisis regresi linier berganda.

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan pihak perusahaan dalam penentuan keputusan atau program dari perusahaan dalam penyelesaian eksternalitas negatif dengan kompensasi. Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian, dibuat alur pemikiran yang dapat dilihat pada Gambar 3.


(33)

Keterangan: = Batasan penelitian = Aliran Gambar 3. Diagram Alur Kerangka Berpikir

Penambangan Batu Gamping

Eksternalitas Negatif

Kebisingan dan Getaran Perusahaan Semen Eksternalitas Kerugian Masyarakat Kualitas dan Kuantitas Air Pencemaran Udara Eksternalitas Positif Peningkatan - PAD

- Tenaga kerja - SDM

- Usaha mikro masyarakat sekitar

Rekomendasi Tentang Kompensasi Atas Eksternalitas Negatif

Penambangan Batu Gamping

Estimasi Nilai Kompensasi Faktor mempengaruhi nilai kompensasi Eksternalitas

Negatif yang Timbul Peluang Kesediaan Menerima Kompensasi Analisis Regresi Logistik Perhitungan WTA Analisis Regresi Linier Berganda Analisis Deskriptif


(34)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Lulut merupakan desa yang terdekat jaraknya dengan lokasi penambangan batu gamping dan jumlah masyarakatnya yang relatif padat. Pengambilan data primer dilaksanakan dari April hingga Juni 2011.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section. Data dikumpulkan untuk penelitian ini dalam satu waktu tertentu. Sumber data meliputi data primer dan data sekunder. Data primer data yang dibutuhkan meliputi : karakteristik responden, eksternalitas negatif yang dirasakan responden akibat penambangan batu gamping, mengenai kesediaan atau ketidaksediaan menerima dana kompensasi, seberapa besar nilai yang bersedia mereka terima, dan dilengkapi dengan wawancara yang dilakukan kepada tokoh-tokoh masyarakat, Kepala Desa, Ketua RT/RW, dan para warga yang bekerja untuk penambangan.

Data sekunder meliputi data-data kesehatan warga Desa Lulut, produktivitas semen dan polutan yang dihasilkan, data sosial-demografi penduduk, dan data lainnya yang dibutuhkan. Data sekunder tersebut diperoleh dari Pemerintah Daerah (PEMDA), Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bogor, BAPPEDAL Kabupaten Bogor, Laporan Pelaksanaan


(35)

PT. ITP Tbk., perpustakaan, internet, serta berbagai penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini.

4.3 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode Purposive Sampling. Responden merupakan kepala keluarga sebagai perwakilan dari rumah tangga yang terpilih menjadi sampel. Jumlah responden adalah 70 kepala keluarga (KK) yang bermukim sekitar kawasan penambangan batu gamping.

4.4 Metode dan Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer program Microsoft Office Excel 2007 dan Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 15 For Windows Evaluation Version. Matriks metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Matriks Metode Analisis Data

N0 Tujuan Penelitian Sumber Data dan Jumlah Sampel

Metode Analisis Data 1 Mengkaji dampak

eksternalitas negatif yang timbul akibat penambangan batu gamping.

• Kuesioner

• Responden = 70 KK

Analisis deskriptif kualitatif 2 Mengkaji peluang

kesediaan menerima dana kompensasi

• Kuesioner

• Responden = 70 KK

Analisis logistik dengan SPSS 15.0 3. Menghitung nilai WTA

masyarakat akibat eksternalitas negatif kegiatan penambangan batuan gamping.

• Kuesioner

• Responden = 46 KK

CVM

4. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA

• Kuesioner

• Responden = 46 KK

Analisis regresi berganda dengan SPSS 15.0


(36)

4.4.1 Analisis Dampak Eksternalitas Negatif Kegiatan Penambangan Batu Gamping

Analisis dampak eksternalitas negatif yang timbul akibat kegiatan penambangan batu gamping bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh/kerugian dan apa saja perubahan yang dirasakan masyarakat atas aktivitas tersebut. Analisis ini meliputi ada atau tidak adanya gangguan atas aktivitas penambangan, pandangan responden terhadap kualitas lingkungan, dan dampak yang timbul akibat penambangan. Dampak eksternalitas negatif ini diidentifikasi dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

4.4.2 Analisis Peluang Kesediaan Menerima WTA Responden

Analisis terhadap peluang kesediaan menerima WTA responden bertujuan untuk mengetahui nilai observasi dan harapan. Nilai tersebut didapat melalui perhitungan dengan menggunakan metode regresi logistik. Analisis ini meliputi bersedia atau tidak bersedia menerima dana kompensasi akibat eksternalitas negatif kegiatan penambangan batu gamping. Hasil identifikasi ini dapat menduga ketepatan antara nilai harapan dan observasi dari data yang diperoleh.

4.4.3 Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Aktivitas Penambangan Batu Gamping

Besarnya nilai WTA masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan pendekatan CVM. Pendekatan tersebut memiliki enam tahapan (Hanley and Spash,1993) , yaitu :

1. Membangun Pasar Hipotetis

Hipotetis pasar dibuat dengan skenario bahwa perusahaan semen yang melakukan kegiatan penambangan batu gamping akan memberlakukan peraturan baru yaitu pemberian dana kompensasi dengan tujuan mengurangi


(37)

kerugian akibat eksternalitas negatif yang timbul. Pertanyaan dalam pasar hipotetis yang akan dibentuk dalam skenario adalah :

“Bersediakah bapak/ibu/saudara/i untuk berpartisipasi dalam kebijakan perusahaan berupa pemberian dana kompensasi akibat dampak negatif yang timbul dari penambangan dan berapa besar dana kompensasi yang bersedia diterima ?”

2. Memperoleh Nilai Penawaran

Alat survei telah dibuat, maka survei dilakukan dengan cara wawancara langsung. Responden ditanya besarnya minimum WTA untuk menerima dampak penurunan kualitas lingkungan, dalam hal ini digunakan cara bidding game.

3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA)

Perhitungan nilai rata-rata dan median dapat dilakukan setelah nilai WTA diketahui. Dugaan rata-rata dihitung dengan rumus :

dimana :

EWTA = Dugaan rataan WTA xi = Jumlah tiap data

n = Jumlah responden

i = Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi 4. Menduga Kurva Penawaran

Pendugaan kurva penawaran akan dilakukan dengan menggunakan persamaan berikut ini :

WTA = f (PNDK, PNDP, UR, LT, JTT, JTK, KU, KBS, KA, KSH, BRH, PNS, WRS, PTN, SWT, SPR)


(38)

dimana:

UR = usia responden (tahun) PNDK = tingkat pendidikan (tahun) PNDP = tingkat pendapatan (Rp)

JTK = jumlah tanggungan keluarga (orang) LT = lama tinggal (tahun)

JTT = jarak tempat tinggal (meter) KU = kualitas udara (deskriptif)

KA = kualitas dan kuantitas air (deskriptif) KBS = kualitas kebisingan dan getaran (deskriptif) KSH = biaya kesehatan (Rp)

BRH = dummy jenis pekerjaan buruh (buruh = 1; bukan buruh = 0 )

PNS = dummy jenis pekerjaan pegawai negeri sipil (PNS = 1; bukan PNS = 0) WRS = dummy jenis pekerjaan wiraswasta (wiraswasta= 1;bukan wiraswasta=0) PTN = dummy jenis pekerjaan petani (petani = 1; bukan petani = 0)

SWT = dummy jenis pekerjaan pegawai swasta (swasta = 1; bukan swasta = 0) SPR = dummy jenis pekerjaan supir/ojek (supir = 1; bukan supir = 0)

5. Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rata-rata penawaran dikonversikan terhadap populasi yang dimaksud. Nilai total WTA dari masyarakat dapat diketahui setelah menduga nilai tengah WTA. Rumus yang dapat digunakan adalah :

dimana :

TWTA = Total WTA

WTA = WTA individu ke-i

ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA

i = Responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi 6. Mengevaluasi Penggunaan CVM

Tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Pelaksanaan model CVM dapat dievaluasi dengan


(39)

melihat tingkat keandalan (reliability) fungsi WTA dengan melihat nilai R-squares (R2) dari model OLS (Ordinary Least Square) WTA.

4.4.4 Analisis Fungsi Willingness to Accept (WTA)

Analisis fungsi WTA bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi WTA masyarakat Desa Lulut. Alat analisis yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Fungsi persamaan sebagai berikut :

midWTAi = β0 + β1UR + β2 PNDK+ β3 PNDP + β4 JTK + β5 LT + β6 JTT

+ β7 KU+ β8 KA + β9 KBS + β10 KSH + β11 BRH + β12 PNS

+ β13 WRS + β14 PTN + β15 SWT+ β16 SPR + ε

dimana:

midWTAi = Nilai WTA responden β0 = konstanta

β1,,,β16 = koefisien regresi

Ur = usia responden (tahun) PNDK = tingkat pendidikan (tahun) PNDP = tingkat pendapatan (Rp)

JTK = jumlah tanggungan keluarga (orang) LT = lama tinggal (tahun)

JTT = jarak tempat tinggal (meter) KU = kualitas udara (deskriptif)

KA = kualitas dan kuantitas air (deskriptif) KBS = kualitas kebisingan dan getaran (deskriptif) KSH = biaya kesehatan (Rp)

BRH = dummy jenis pekerjaan buruh (buruh = 1; bukan buruh = 0)

PNS = dummy jenis pekerjaan pegawai negeri sipil (PNS = 1; bukan PNS = 0) WRS = dummy jenis pekerjaan wiraswasta (wiraswasta=1; bukan wiraswasta=0) PTN = dummy jenis pekerjaan petani (petani = 1; bukan petani = 0)

SWT = dummy jenis pekerjaan pegawai swasta (swasta = 1; bukan swasta = 0) SPR = dummy jenis pekerjaan supir/ojek (supir = 1; bukan supir = 0)

i = responden ke i (i=1,2,...46) ε = galat

Variabel yang diduga berbanding lurus dengan nilai WTA adalah variabel jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, usia responden, lama tinggal, biaya kesehatan, jenis pekerjaan buruh, petani, dan supir/ojek. Jumlah tanggungan terkait dengan banyaknya anggota keluarga yang harus menanggung dampak dari akitivitas penambangan. Semakin banyak jumlah tanggungan seseorang, maka


(40)

semakin tinggi nilai kompensasi yang diinginkan. Tingginya tingkat pendidikan mencerminkan responden memiliki pengetahuan akan eksternalitas, sehingga mengharapkan nilai yang tinggi. Umur responden dan lama tinggal diduga menjadi variabel yang berpengaruh positif. Semakin lama seseorang tinggal dilokasi sekitar penambangan, maka nilai kompensasi yang diterima akan semakin tinggi. Jenis pekerjaan buruh, petani dan supir ojek diduga akan menginginkan nilai kompenasasi yang tinggi karena jenis pekerjaan mereka yang memiliki resiko yang tinggi dan berkaitan langsung dengan penambangan.

Variabel jarak tempat tinggal, tingkat pendapatan, variabel-variabel lingkungan (kualitas udara, kualitas dan kuantitas air, dan kualitas kebisingan dan getaran) serta jenis pekerjaan PNS, pegawai swasta, dan wiraswasta diduga berpengaruh negatif terhadap nilai WTA. Tingginya tingkat pendidikan mencerminkan orang tersebut memiliki pengetahuan yang tinggi mengenai eksternalitas yang ditimbulkan dari aktivitas penambangan dan berfikir bahwa suatu nilai tertentu tidak dapat mengganti semua kerugian yang dialami. Jarak tempat tinggal diduga berpengaruh negatif karena semakin dekat jarak tempat tinggal responden dengan lokasi tambang, semakin banyak pula dampak yang dirasakan oleh responden sehingga nilai akan WTA semakin tinggi dibandingkan dengan yang lokasi tempat tinggalnya jauh. Semakin tinggi pendapatan maka responden tersebut merasa berkecukupan untuk mengeluarkan biaya menanggulangi dampak sehingga nilai WTA diduga menjadi rendah. Kualitas dan kuantitas air, udara, kebisingan dan getaran diduga berpengaruh negatif karena semakin tinggi (baik) kualitas lingkungan tersebut maka kerugian dan kompensasi yang diharapkan akan semakin kecil. Jenis pekerjaan PNS, pegawai swasta, dan


(41)

wiraswasta diduga akan mengharapkan nilai kompensasi yang rendah karena resiko dan keterkaitan pekerjaan mereka yang rendah dengan penambangan. Adapun indikator pengukuran dari fungsi WTA disajikan dalam Tabel 9.


(42)

Tabel 9 Indikator Pengukuran Nilai WTA

No Variabel Cara Pengukuran

1 WTA Menggunakan bidding game yang didasarkan kepada harga riil tertinggi tanah Desa Lulut sebagai batas atas dan harga termurah sebagai batas terendah.

2. Tingkat

Pendidikan / PNDK

Dibedakan menjadi :

a. Tidak Sekolah c.. SMP e. Perguruan Tinggi b. SD d. SMA

3. Tingkat

Pendapatan / PNDP (perbulan)

Dibedakan menjadi : a. < Rp 500.000

b. Rp 500.000 - ≤ 1.500.000 c. Rp 1.500.001 - ≤ 2.500.000 d. Rp 2.500.001 - ≤ 3.500.000 e. > Rp 3.500.000

4. Usia

Responden / UR (Tahun)

Dibedakan menjadi lima kelas yaitu :

a. 17 – 25 tahun c. 35 – 43 tahun e. ≥ 53 tahun b. 26 - 34 tahun d. 44 – 52 tahun

5. Lama Tinggal / LT (Tahun)

Dikategorikan menjadi lima kategori yaitu :

a. ≤ 5 tahun c. 16 – 25 tahun e. ≥ 36 tahun b. 6 – 15 tahun d. 26 - 35 tahun

6. Jarak Tempat Tinggal Dari Penambangan / JTT

(Meter)

Dibedakan menjadi lima kelas yaitu : a. < 500 meter

b. 500 - 1500 meter c. 1501 – 2500 meter d. 2501 – 3500 meter e. ≥ 3501 meter 7. Jumlah

Tanggungan Keluarga / JTK (Orang)

Dibedakan menjadi lima kategori yaitu: a. ≤ 2 orang,

b. 3 orang, c. 4 orang, d. 5 orang, e. ≥ 6 orang 8. Kualitas

Udara/ KU

Dibedakan menjadi :

a. Selalu berdebu, panas, sesak saat bernafas. b. Berdebu, sesak saat bernafas.

c. Berdebu

d. Tidak berdebu, panas

e. Tidak berdebu, tidak panas, tidak sesak 9. Kualitas Kebisingan

dan Getaran / KBS

Dibedakan menjadi:

a. Mengganggu pendengaran, aktivitas dan istirahat. b. Mengganggu pendengaran, dan istirahat.

c. Mengganggu aktivitas dan istirahat

d. Tidak mengganggu pendengaran dan istirahat

e. Tidak mengganggu pendengaran, istirahat, dan aktivitas 10. Kualitas

dan Kuantitas Air / KA

Dibedakan menjadi:

a. Sulit air, air kotor, berbau, memiliki rasa b. Sulit air, kotor, tidak berbau, air memiliki rasa c. Sulit air, tak kotor, tak berbau, tak memiliki rasa d. Air tersedia, tak kotor, tak berbau,memiliki rasa

e. Air selalu tersedia, tak kotor, tak berbau, tak memiliki rasa. 11. Biaya Kesehatan /

KSH

Rata-rata biaya kesehatan yang dikeluarkan dalam satu bulan per kepala keluarga.

12. Jenis Pekerjaan /JP Merupakan variabel dummy yang dibagi menjadi pekerjaan buruh, pegawai negeri sipil, petani, pegawai swasta, wiraswasta, dan supir/ojek


(43)

4.5 Pengujian Parameter Regresi

Pengujian secara statistik terhadap model dapat dilakukan dengan cara : 1. Uji Keandalan

Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai R-squares (R2) dari OLS (Ordinary Least Square) WTA. Koefisien determinasi adalah suatu nilai statistik yang dapat mengetahui besarnya kontribusi variabel bebas terhadap variabel terikat dari suatu persamaan regresi (Firdaus, 2004). Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) merekomendasikan 15 persen sebagai batas mínimum dari R2 yang realibel. Nilai R2 yang lebih besar dari 15 persen menunjukkan tingkat reabilitas yang baik dalam penggunaan CVM.

2. Uji Statistik t

Uji statistik t adalah uji untuk mengetahui masing-masing variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel terikatnya. Prosedur pengujian uji statistik t adalah (Ramanathan, 1997) :

H0 : βi = 0 atau variabel bebas tidak berpengaruh nyata terhadap variabel

terikat.

H 1 : βi ≠ 0 atau varibel bebas berpengaruh nyata terhadap variabel terikat

Jika t hit(n-k) < tα/2 maka H0 diterima, artinya variabel bebas (Xi) tidak

berpengaruh nyata terhadap (Y). Jika t hit(n-k) > tα/2, maka terima H1 artinya


(44)

3. Uji Statistik F

Uji statistik F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Prosedur pengujian menurut Ramanathan (1997) adalah :

H0 = β1= β2 = β3 = … β= 0

H1 = β1 = β2 = β3 = … β ≠ 0

//

Dimana :

JKK = jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom JKG = jumlah kuadrat galat

n = jumlah sampel k = jumlah peubah

Jika Fhit < Ftabel maka terima H0 yang artinya secara serentak variabel (Xi)

tidak berpengaruh nyata terhadap (Y). Jika Fhit < Ftabel, maka terima H1 yang

berarti variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Y).

4. Uji Terhadap Kolinear Ganda

Model dengan banyak peubah sering terjadi masalah multikolinier yaitu terjadinya korelasi yang kuat antar peubah-peubah bebas. Masalah tersebut dapat dilihat langsung melalui hasil komputer, dimana apabila Varian Inflation Factor (VIF) < 10 tidak ada masalah multikolinier.

5. Uji Homoskedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan kuadrat terkecil adalah homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran atas asumsi ini disebut heteroskedastisitas. Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu


(45)

yang telah diprediksi, dan sumbu X adalah residual yang telah di-studentized (Ghozali,2006).

Deteksi ada tidaknya heteroskedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scatterplot. Dasar analisis uji heteroskedastisitas (Ghozali, 2006) :

1. Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angka nol pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedatisitas. 6. Uji Normalitas

Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah errorterm dari data atau observasi yang jumlahnya kurang dari 30 mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Data pada penelitian ini jumlahnya lebih dari 30, oleh sebab itu diduga data telah mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Pembuktian untuk meyakini data telah mendekati sebaran normal perlu dilakukan sebuah pengujian. Uji yang dapat dilakukan adalah uji Kolmogorov-Smirnov. Penerapan uji ini adalah bahwa jika signifikasi dibawah 5% berarti data yang akan diuji mempunyai perbedaan yang signifikan dengan data normal baku, artinya data tersebut tidak normal.

7. Uji Autokorelasi

Uji autokorelasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan diantara galat dalam persamaan regresi yang diperoleh. Autokorelasi cenderung akan


(46)

mengestimasi standar error lebih kecil daripada nilai sebenarnya, sehingga nilai statistic-t akan lebih besar. Uji yang digunakan untuk mendeteksi autokorelasi adalah uji DW (Durbin Watson test). Nilai statistik DW berada diantara 1,55 dan 2,46 maka menunjukkan tidak ada autokorelasi (Firdaus, 2004).


(47)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Desa ini berbatasan dengan Desa Bantarjati di sebelah utara, Desa Leuwikaret di sebelah selatan, Desa Rigar Mukti di sebelah timur, dan Sungai Cileungsi di sebelah barat. Luas wilayah Desa Lulut sebesar 499,145 ha dan menurut penggunaannya terbagi menjadi wilayah permukiman 454,905 ha, persawahan sekitar 38 ha, perkantoran 0,5 ha dan sarana umum lainnya adalah 5,740 ha.

Desa Lulut memiliki delapan unit rukun warga (RW) dan 41 unit organisasi rukun tetangga (RT). Sarana dan prasarana seperti pendidikan, peribadatan, air dan sanitasi, kesehatan, dan olahraga sudah tersedia. Sektor pendidikan terdapat lima Sekolah Dasar (SD), dan satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta empat lembaga pendidikan keagamaan. Jumlah masjid adalah 12 dan mushola sebanyak 37 yang digunakan sebagai prasarana peribadatan. Terdapat 2921 sumur gali, satu sumur pompa, dan dua saluran drainase dalam prasarana air bersih dan sanitasi. Prasarana kesehatan terdapat sepuluh posyandu dan satu puskesmas pembantu. Terdapat dua lapangan sepak bola dan satu lapangan bulu tangkis sebagai prasarana olahraga (Potensi Desa Lulut, 2009).

Desa Lulut berjarak 8 km dari ibu kota kecamatan, dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaraan bermotor sekitar 45 menit. Aksesibilitas dari Desa Lulut menuju ibu kota kecamatan atau ibu kota kabupaten tergolong mudah, karena terdapatnya transportasi umum. Kondisi jalan yang terdapat di Desa Lulut


(48)

berada dalam kondisi baik dengan panjang jalan desa yaitu 3,5 kilometer dan jalan beton sepanjang 3,5 kilometer. Suhu rata-rata harian Desa Lulut yaitu antara 27 – 30 0C.

Potensi sumberdaya alam yang terdapat di Desa Lulut terdiri atas sektor pertanian, kehutanan, peternakan, perikanan serta bahan galian. Sektor pertanian didominasi oleh subsektor tanaman pangan yaitu komoditas padi sawah dan ladang. Hutan lindung dengan luas 710 hektar merupakan satu-satunya komoditas sektor kehutanan dan pengelolaannya diatur oleh Perhutani. Jenis populasi ternak Desa Lulut adalah sapi, ayam, kambing, dan burung walet. Sistem pemasaran untuk komoditas peternakan yaitu langsung dijual ke pasar hewan atau tengkulak. Perikanan budidaya air tawar adalah jenis perikanan yang berkembang di masyarakat Desa Lulut dengan komoditas Ikan Mas dan Gurame. Batu kapur di Desa Lulut merupakan potensi desa dari bahan galian yang produktivitasnya besar dan sudah dimanfaatkan oleh pihak swasta.

5.1.1 Kependudukan

Jumlah penduduk yang tercatat di Desa Lulut sampai dengan tahun 2009 adalah sebesar 12.833 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terbagi atas 6.493 jiwa penduduk laki-laki dan 6.340 jiwa penduduk perempuan dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 3.258.

Tingkat pendidikan penduduk Desa Lulut sebagian besar hanya lulusan SD yaitu sebesar 75,5 persen dari total penduduk. Mata pencaharian pokok masyarakat Desa Lulut terdiri atas petani (16,4%), buruh tani (6,3%), pegawai negeri sipil (0,6%), pegawai swasta (17,3%), buruh (44,2%), dan wirausaha (15,2%). Dari sebaran data jenis pekerjaan tersebut terlihat bahwa mayoritas


(49)

masyarakat Desa Lulut bekerja sebagai buruh. Jenis pekerjaan buruh relatif tidak membutuhkan pendidikan dan keterampilan yang tinggi sehingga banyak masyarakat yang memilih bekerja dibidang tersebut selain itu telah banyak juga lahan pertanian yang berubah menjadi kawasan tambang.

5.1.2 Gambaran Umum Kegiatan Penambangan di Desa Lulut

Penambangan oleh pihak swasta di Desa Lulut dibangun pada tahun 1972 dan mulai beroperasi pada tahun 1975. Penambangan ini dibangun untuk menunjang kegiatan pembangunan, terutama pemasokan bahan baku bagi kegiatan konstruksi. Kegiatan penambangan meliputi penambangan batu kapur, pasir silika, dan tanah liat. Penambangan merupakan penambangan terbuka dan dilakukan melalui peledakan dengan sistem berjenjang (bench). Bongkahan hasil peledakan kemudian dihancurkan di tempat pemecahan (chrusher) menjadi ukuran yang lebih kecil, selanjutnya diangkut ke tempat penyimpanan menggunakan belt conveyor atau truk.

5.2 Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden Desa Lulut didasarkan kepada hasil survei yang telah dilakukan terhadap 70 KK. Variabel yang menjadi perhatian dalam penelitian ini meliputi jenis kelamin, usia, lama pendidikan formal yang pernah ditempuh, pekerjaan, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, lama tinggal, jarak tempat tinggal dari penambangan, luas tanah, harga tanah, dan jenis penyakit yang sering dialami.


(50)

5.2.1 Jenis Kelamin

Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki karena target responden dalam penelitian ini adalah kepala keluarga. Dalam sebuah keluarga atau rumah tangga, biasanya pengambilan keputusan diambil oleh laki-laki sebagai perwakilan keluarga sehingga dalam menjawab pertanyaan survei, laki-laki lebih berperan. Persentase jumlah responden laki-laki-laki-laki berbanding perempuan adalah 97,1 persen berbanding 2,9 persen. Sebaran jenis kelamin responden dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sebaran Responden Menurut Jenis Kelamin di Desa Lulut 5.2.2 Usia

Tingkat usia responden dari hasil survei yang dilakukan cukup bervariasi dengan sebaran usia 25 tahun sampai 75 tahun. Persentase tertinggi terjadi pada kelompok usia 25 – 35 tahun dengan 34,29 persen. Responden usia 36 – 45 tahun berjumlah 30 persen, usia 46 – 55 tahun berjumlah 18,57 persen, sedangkan tingkat usia 56 – 65 tahun sebesar 9, 86 persen dan usia 66 – 75 berjumlah 4,26 persen. Responden pada penelitian ini hampir semua telah menikah dan memiliki tanggungan, sehingga dapat dikatakan usia responden relatif sudah tidak muda lagi. Gambar 5 menjelaskan distribusi perbandingan usia responden di Desa Lulut.

97.10% 2.90%

Laki-laki Perempuan


(51)

Gambar 5. Sebaran Responden Menurut Umur di Desa Lulut 5.2.3 Lama Pendidikan Formal

Tingkat pendidikan diklasifikasikan berdasarkan lama tahun menempuh pendidikan formal dimulai dari jenjang tidak sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan lulusan Sekolah Dasar (SD) yaitu sebesar 44,29 persen. Sulit ditemui responden yang memiliki pendidikan yang tinggi. Persentase jumlah responden untuk lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 7,14 persen diikuti dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 20 persen sedangkan untuk Perguruan Tinggi hanya terdapat 4,29 persen. Responden yang tidak pernah menempuh pendidikan formal sebesar 24,29 persen. Kondisi perekonomian masyarakat Desa Lulut pada masa lalu yang mayoritas dalam kondisi cukup sulit disinyalir menjadi penyebab rendahnya tingkat pendidikan responden. Perbandingan persentase tingkat pendidikan responden dapat disajikan pada Gambar 6.

34.29%

30% 18.57%

9.86% 4.26%

25-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun 66-75 tahun


(52)

Gambar 6. Sebaran Responden Menurut Lama Pendidikan Formal di Desa Lulut 5.2.4 Jenis Pekerjaan

Jenis Pekerjaan yang menjadi mata pencaharian responden di Desa Lulut cukup bervariasi, diantaranya adalah pegawai negeri sipil, pegawai swasta, wiraswasta, buruh, petani dan supir/ojek. Berdasarkan hasil survei, mata pencaharian responden tertinggi adalah buruh dengan persentase sebesar 44,29 persen. Pekerjaan seperti petani (21,43%) masih menjadi pilihan responden dalam menggantungkan kehidupannya disamping pekerjaan sebagai wirausaha (12,86%), pegawai swasta (7,14 %), pegawai negeri sipil (2,86 %), dan pekerjaan sebagai supir/ojek (11,43%). Sebaran jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran Responden Menurut Jenis Pekerjaan di Desa Lulut 44.29%

7.14% 20%

4.29%

24.29%

SD

SMP

SMA

Perguruan Tinggi Tidak Sekolah

44.29%

21.43% 12.86%

7.14%

2.86% 11.43%

Buruh Petani Wirausaha Pegawai Swasta PNS


(53)

5.2.5 Tingkat Pendapatan

Persentase responden dengan tingkat pendapatan terbesar terdapat pada kelompok pendapatan Rp 500.000,00 – 1.500.000,00 yaitu sebesar 60 persen. Hal ini sangat berhubungan dengan jenis pekerjaan mayoritas dari responden yaitu buruh dan petani. Tingkat pendapatan sangat tergantung nilai Upah Minimum Regional (UMR) bagi buruh atau hasil panen komoditas pertanian bagi petani. Sebanyak 17,14 persen responden memiliki tingkat pendapatan antara Rp 1.500.001,00 – 2.500.000,00. Sebanyak 11,43 persen responden memiliki pendapatan < Rp 500.000,00 dan sebanyak 10 persen responden memiliki pendapatan sebesar Rp 2.500.001,00 – 3.500.000,00. Hanya 1,43 persen responden yang memiliki pendapatan > Rp 3.500.000,00. Perbandingan distribusi tingkat pendapatan setiap bulannya dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Sebaran Responden Menurut Tingkat Pendapatan di Desa Lulut 5.2.6 Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan yang dimaksud adalah tanggungan yang mencakup keluarga inti (istri dan anak) serta tanggungan bukan keluarga inti di rumah responden. Sebagian besar responden adalah kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak kurang dari sama dengan dua orang yaitu persentasenya adalah 34,29 persen. Sebanyak 30,0 persen responden memiliki

11.43%

60%

17.14% 10% 1.43%

<Rp 500.000,00

Rp 500.000,00 - 1.500.000,00

Rp 1.500.001,00 - 2.500.00,00

Rp 2.500.001,00 - 3.500.000,00


(54)

jumlah tanggungan keluarga sebesar tiga orang. Hasil tersebut menggambarkan bahwa tingkat kelahiran di Desa Lulut yang relatif rendah karena memang program keluarga berencana sudah diterapkan oleh masyarakat. Responden dengan jumlah tanggungan empat yaitu sebesar 17,14 persen, sementara responden yang memiliki jumlah tanggungan lima terdapat 8,57 persen. Jumlah tanggungan keluarga responden dengan jumlah 6 orang memiliki persentase sebesar sepuluh persen. Perbandingan jumlah tanggungan dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Sebaran Responden Menurut Jumlah Tanggungan Keluarga di Desa Lulut

5.2.7 Lama Tinggal

Lama tinggal responden sebagian besar berada pada kelompok > 36 tahun dan antara 26 – 35 tahun dengan persentase 45,71 persen dan 30 persen. Hal ini disebabkan karena sebagian besar responden merupakan penduduk asli yang sejak lahir sudah berada di Desa Lulut. Responden dengan lama tinggal antara 16 – 25 tahun memiliki persentase sebesar 8,57 persen. Terdapat responden yang lama tinggalnya ≤ 5 tahun yaitu sebesar 8,57 pesen. Persentase terkecil terjadi pada kelompok responden dengan lama tinggal 6 – 15 tahun dengan persentase 7,14 persen. Sebaran lama tinggal responden disajikan pada Gambar 10.

34.29% 30%

17.14% 8.57%

10%

≤ 2 orang 3 orang 4 orang 5 orang


(55)

Gambar 10. Sebaran Responden Menurut Lama Tinggal di Desa Lulut 5.2.8 Jarak Tempat Tinggal dari Penambangan

Kawasan penambangan berlokasi di sebelah timur Desa Lulut dan terdapat yang berbatasan sangat dekat dengan tempat tinggal warga. Hasil survei pada responden diketahui bahwa 26 responden (37,14 %) tempat tinggalnya hanya berjarak < 500 meter. Rata-rata responden yang bertempat tinggal pada jarak tersebut adalah responden dengan pekerjaan buruh penambangan. Tempat tinggal responden dengan jarak 500 – 1500 meter berjumlah 18 orang dengan persentase 25,71 persen. Pada kelas jarak 1501 – 2500 meter, terdapat 11 responden dengan sebaran 15,71 persen dan pada kelas 2501 – 3500 meter terdapat delapan responden sebesar 11,43 persen. Jarak tempat tinggal terjauh yaitu ≥ 3501 m terdapat tujuh responden dengan persentase terkecil sebesar 10 persen. Persentase responden berdasarkan jarak tempat tinggal disajikan dalam Gambar 11.

8.57%

7.14%

8.57% 30%

45.71%

≤ 5 tahun 6 - 15 tahun 16 - 25 tahun 26 - 35 tahun > 36 tahun


(56)

Gambar 11. Sebaran Responden Menurut Jarak Tempat Tinggal dari Penambangan di Desa Lulut

5.2.9 Luas Tanah

Luas tanah dalam penelitian ini adalah luas tanah yang di atas lahannya terdapat tempat tinggal atau rumah. Distribusi luas tanah responden didominasi oleh kelas ≤ 100 meter persegi dan kelas 101 – 200 meter persegi dengan persentase masing-masing sebesar 28,57 persen dan 47,14 persen. Kelas luas tanah 201 – 300 meter persegi terdapat tujuh responden, dimana hal ini serupa dengan kelas ≥ 401 meter persegi yang persentasenya adalah 10 persen untuk masing-masing kelas. Persentase untuk responden yang memiliki luas lahan antara 301 - 400 meter persegi adalah sebesar 4,29 persen. Berdasarkan hasil survei luas lahan, dapat disimpulkan bahwa kepadatan dan kerapatan lahan untuk tempat tinggal di Desa Lulut cukup tinggi. Perbandingan persentase luas lahan responden dapat dilihat pada Gambar 12.

37.14% 26%

15.71% 11.43%

10.00%

< 500 m 500 - 1500 m 1501 - 2500 m 2501 - 3500 m


(57)

Gambar 12. Sebaran Responden Menurut Luas Tanah di Desa Lulut 5.3.10 Harga Tanah

Harga tanah dalam penelitian ini merupakan harga tanah riil pada saat melakukan survei kepada responden dan tidak berdasarkan pada nilai jual objek pajak (NJOP) tanah tersebut. Diketahui bahwa mayoritas harga tanah responden berkisar antara Rp 41.000,00 – 50.000,00 per meter dengan persentase 42,86 persen. Persentase harga tanah responden yang berada pada kelas ≤ Rp 20.000,00 per meter sebanyak tujuh responden atau sekitar 10 persen. Sebanyak 13 responden yang setara dengan 18,57 persen memiliki tanah dengan harga Rp 21.000,00 – 30.000,00 per meter dan untuk kelas harga tanah Rp 31.000,00 – 40.000,00 per meter terdapat 11 responden (15,71%). Harga tanah di Desa Lulut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan akses/jalan. Semakin bagus dan lebar sebuah jalan menjangkau suatu tempat, maka harga tanah di daerah tersebut semakin mahal. Hal tersebut tercermin pada kelas Rp 41.000,00 per meter – 50.000,00 per meter dan > Rp 50.000,00 per meter dimana pada lokasi tanah kelas tersebut sudah terdapat akses/jalan berupa jalan beton. Sebaran harga tanah responden disajikan pada Gambar 13.

28.57%

47.14% 10%

4.29% 10.00% ≤ 100 meter persegi

101 - 200 meter persegi 201 -300 meter persegi 301 - 400 meter persegi


(58)

Gambar 13. Sebaran Responden Menurut Harga Tanah di Desa Lulut 5.3.11 Jenis Penyakit yang Sering Dialami

Berdasarkan survei yang dilakukan, jenis penyakit yang sering dialami oleh responden adalah batuk-batuk dengan jumlah responden sebesar 31 orang dan persentasenya adalah 44,29 persen. Influenza menempati urutan setelahnya dengan jumlah responden 26 orang atau sama dengan 37,14 persen. Batuk-batuk dan influenza merupakan jenis penyakit pada saluran penapasan. Hasil survei tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi udara di Desa Lulut dalam keadaan kurang baik. Jenis penyakit diare, dan lambung memiliki persentase masing-masing 2,86 persen atau hanya 2 responden. Sebesar 12,86 persen yang setara dengan 9 responden sering mengalami penyakit lainnya ,antara lain reumatik, pusing-pusing, atau gatal-gatal. Distribusi jenis penyakit yang sering dialami responden disajikan pada Gambar 14.

Gambar 14. Sebaran Responden Menurut Jenis Penyakit yang Sering Dialami Responden di Desa Lulut

10.00%

18.57%

15.71% 42.86%

12.86%

≤ Rp 20.000/m2 Rp 21.000 - 30.000 /m2 Rp 31.000 - 40.000/m2 Rp 41.000 - 50.000/m2

≥ 51.000/m2

44.29%

2.86% 2.86%

37.14% 12.86%

Batuk Lambung Diare Influenza Lainnya


(59)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Eksternalitas Negatif yang Timbul dari Aktivitas Penambangan Batuan Gamping

Lingkungan merupakan tempat mahluk hidup untuk berkembang biak dan berinteraksi. Kualitas lingkungan yang baik tentunya akan dapat membantu mewujudkan kualitas mahluk hidup yang lebih baik. Manusia sebagai salah satu anggota mahluk hidup tentu akan memanfaatkan sumberdaya alam dalam upaya mencukupi kebutuhan hidupnya.

Pemanfaatan terhadap potensi sumberdaya alam tercermin melalui berbagai aktivitas, salah satunya adalah kegiatan penambangan batu gamping. Penambangan batu gamping akan berdampak bagi lingkungan dan masyarakat disekitarnya. Dampak tersebut merupakan hasil sampingan dari aktivitas penambangan yang berlangsung atau disebut eksternalitas. Eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat sekitar penambangan yaitu perubahan kualitas udara, kelangkaan air, kebisingan dan getaran.

Perubahan lingkungan akibat kegiatan penambangan sangat dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Desa Lulut. Hasil penelitian terhadap 70 responden di Desa Lulut menunjukkan bahwa seluruh responden (100 persen) merasakan adanya perubahan lingkungan akibat kegiatan penambangan. Perubahan lingkungan ini ditinjau dari dampak yang paling dirasakan oleh responden. Sebanyak 50 persen responden menyatakan bahwa kebisingan dan getaran merupakan eksternalitas yang paling dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Kebisingan dan getaran ini berasal dari suara belt conveyor yang hampir aktif selama 24 jam setiap hari. Operasional kendaraan truk-truk pengangkut batuan


(1)

(2)

96 Lampiran 5 Dokumentasi


(3)

(4)

98 RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 11 Februari 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Dr.Radjab Tampubolon dan Pipih Pudjiastuti Bsc.

Penulis memulai pendidikan di TK Melati Kota Bogor pada tahun 1995, kemudian melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri Polisi I Bogor. Pada tahun 2001, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri I Kota Bogor. Pendidikan selanjutnya yang ditempuh penulis adalah di Sekolah Menengah Umum Negeri I Kota Bogor pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) yang selanjutnya diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan yaitu sebagai Staf Departemen Corporate Social Responsibility (CSR) HIMPRO REESA tahun 2008/ 2009, Anggota Keluarga Pecinta Alam Fakultas Ekonomi dan Manajemen (KAREMATA), dan terakhir sebagai Ketua Umum Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) FUTSAL IPB tahun 2009/ 2010.


(5)

RINGKASAN

BAHROIN IDRIS TAMPUBOLON. Analisis Willingness To Accept Masyarakat Akibat Eksternalitas Negatif Kegiatan Penambangan Batu Gamping (Studi Kasus Desa Lulut, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI

Kegiatan penambangan batu gamping merupakan kegiatan tambang terbuka (open pit) dan dilakukan melalui cara peledakan dengan sistem berjenjang

(bench). Kegiatan penambangan tentunya berpotensi menimbulkan eksternalitas

negatif bagi masyarakat maupun lingkungan sekitar seperti penurunan kualitas dan kuantitas air, kebisingan, getaran, pencemaran udara, kehilangan keanekaragaman hayati, dan penurunan tingkat kesehatan. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji eksternalitas negatif dan kesediaan menerima dana kompensasi masyarakat melalui pendekatan ekonomi sumberdaya dan lingkungan. Tujuan penelitian ini secara khusus yaitu: (1) mengindentifikiasi eksternalitas negatif yang dirasakan masyarakat akibat dari aktivitas penambangan batuan gamping; (2) mengkaji peluang kesediaan masyarakat dalam menerima dana kompensasi; (3) mengkuantifikasikan besarnya nilai kesediaan menerima dana kompensasi oleh masyarakat akibat eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan batuan gamping; dan (4) mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh pada besarnya nilai dana kompensasi masyarakat sekitar penambangan di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor Jawa Barat.

Penelitian ini merupakan studi kasus yang dilakukan di Desa Lulut Kecamatan Klapanunggal Kabupaten Bogor. Pengambilan data dilakukan selama bulan April sampai dengan Juni 2011. Eksternalitas negatif yang dialami masyarakat diidentifikasi dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Peluang kesediaan menerima dana kompensasi masyarakat dianalisis dengan menggunakan regresi logistik. Besarnya nilai WTA masyarakat diketahui dengan menggunakan perhitungan Willingness To Accept. Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA masyarakat dianalisis dengan model regresi linier berganda.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan, sebagian besar masyarakat menyatakan eksternalitas negatif yang dirasakan adalah kebisingan dan getaran, perubahan kualitas udara serta perubahan kualitas dan kuantitas air. Hanya sebagian kecil responden yang menyatakan kehilangan keanekaragaman hayati. Mayoritas responden menyatakan bersedia menerima dana kompensasi atas eksternalitas negatif yang timbul. Nilai dugaan rataan WTA responden adalah sebesar Rp 137.500,00 per bulan per kepala keluarga dan nilai total WTA


(6)

- 4 - perbaikan Jalan Putih dan peningkatan kesempatan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar kawasan penambangan. (2) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan penambangan, menyelesaikan permasalahan eksternalitas negatif, dan pengawasan terhadap program tanggung jawab sosial perusahaan. (3) Penelitian selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian mengenai analisis Willingness to Pay.