Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness to Accept Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar Kawasan Industri: Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perbaikan kualitas penduduk merupakan tujuan pembangunan dan sekaligus faktor utama penunjang pembangunan ekonomi karena peningkatan kualitas penduduk berarti peningkatan produktivitas masyarakat dalam pembangunan. Kualitas penduduk menyangkut kualitas fisik maupun non-fisiknya. Peningkatan kualitas fisik mencakup peningkatan dalam makanan bergizi, kesegaran jasmani atau olahraga, pola hidup sehat, dan yang paling penting lingkungan sehat.

Pesatnya pembangunan ekonomi terutama di sektor industri telah terjadi di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kawasan industri yang tersebar, tidak hanya di kota-kota besar seperti Surabaya, Bandung, Jakarta dan lain-lain. Kawasan industri juga telah merambah ke kota-kota lainnya, tidak terkecuali Bogor. Pembangunan kawasan industri bukan hanya berdampak pada sosial ekonomi masyarakat saja, tetapi juga membawa pengaruh terhadap perubahan kualitas fisik lingkungan sekitar kawasan industri. Ada dua dampak yang dapat disebabkan dari keberadaan kawasan industri, yaitu dapat berupa manfaat ataupun kerugian. Dua hal tersebut seakan tidak bisa dihindari akibat adanya industri. Manfaat yang diterima tentu tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.

Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan mobilitas perorangan yang belum pernah terjadi


(2)

sebelumnya pada sebagian besar penduduk dunia, terutama di negara-negara maju. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Banyak kebutuhan umat manusia hanya dapat dipenuhi oleh barang dan jasa yang disediakan dari sektor industri.

Pada umumnya, permasalahan dalam ekonomi lingkungan mengacu pada ekonomi mikro. Namun isu-isu lingkungan ada hubungannya dengan perilaku ekonomi makro. Kondisi ekonomi makro suatu negara dapat dilihat dari beberapa indikator, misalnya angka pengangguran, angka pertumbuhan ekonomi, angka inflasi, jumlah penduduk, dan sebagainya. Hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC) mengatakan bahwa degradasi lingkungan akan meningkat pada tahap-tahap awal pembangunan ekonomi, namun setelah mencapai titik tertentu, pertumbuhan ekonomi lebih lanjut akan mampu mengurangi tingkat kerusakan lingkungan. Hipotesis ini mengatakan kerusakan lingkungan yang parah rawan terjadi di negara-negara berkembang yang mayoritas merupakan negara miskin dan terbelakang. Sebaliknya, keadaan lingkungan di negara-negara industri maju lebih baik karena mereka memiliki income yang cukup untuk melakukan usaha-usaha perbaikan lingkungan (Putri et al, 2008). Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.


(3)

Gambar 1. Environmental Kuznets Curve

Dalam sektor industri, pengendalian lingkungan akibat limbah industri merupakan salah satu masalah yang perlu ditanggulangi bagi setiap negara berkembang yang akan masuk ke era industrialisasi. Limbah adalah konsekuensi logis dari setiap pendirian suatu industri (pabrik) walaupun tidak semua industri menghasilkan limbah. Bila limbah yang mengandung senyawa kimia tertentu sebagai bahan berbahaya dan beracun dengan konsentrasi tertentu dilepas ke lingkungan maka hal itu akan mengakibatkan pencemaran, baik di sungai, tanah maupun udara (Kristanto, 2004). Pemahaman akan pencemaran sangat penting artinya, baik bagi masyarakat umum maupun pengusaha.

Pada awalnya, suatu industri berdiri dengan beberapa kegiatan pendahuluan yang paling umum, yang tidak menimbulkan keberatan dari masyarakat lingkungan sekitar. Namun setelah industri tersebut berdiri, masyarakat mulai mendekat dengan mendirikan pemukiman di sekelilingnya. Ketika industri tersebut dirasakan mulai mengganggu, masyarakat sekitar, yang mendekat setelah industri tersebut beroperasi, mulai protes. Keadaan ini sebenarnya tidak perlu terjadi bila pola penggunaan lahan dan konsep tata ruang cukup jelas diterapkan. Pengaturan peruntukan lahan untuk berbagai kepentingan,

K

er

usa

k

an


(4)

misalnya, pemukiman, usaha peternakan dan perindustrian sudah harus ada guna mengurangi terjadinya konflik kepentingan.

Penurunan kualitas lingkungan yang terjadi akibat pencemaran merupakan salah satu penyebab konflik yang terjadi di Kelurahan Nanggewer. Kondisi lingkungan sudah tidak mendukung untuk keperluan kegiatan sehari-hari. Terutama dalam penurunan kualitas air, padahal air memiliki fungsi ekonomi bagi kehidupan manusia yaitu air digunakan untuk menunjang kehidupan manusia baik produksi, distribusi maupun konsumsi. Berbagai macam penyakit telah dirasakan masyarakat akibat pencemaran tersebut. Telah terjadi kerugian yang harus ditanggung masyarakat akibat pencemaran terhadap lingkungan sekitarnya selain itu besarnya keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas pencemaran atau kerusakan yang terjadi, hal inilah yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah

Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong adalah salah satu wilayah di Kabupaten Bogor yang berada di sekitar kawasan Industri. PT. Sutra Kabel Intimandiri, PT. Dinar Makmur, PT. Bintang Kharisma, PT. Upati, PT. Sri Intan Toki, dan PT. Asaita Mandiri Agung merupakan beberapa industri yang terdapat di sekitar kelurahan Nanggewer. Pada kasus pencemaran ini masyarakat lebih berpandangan bahwa PT. Sutra Kabel Intimandiri adalah industri yang menyebabkan terjadinya pencemaran pada air tanah maupun udara. Menurut Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Karadenan Dr. Tami, pencemaran air tanah yang terjadi di Kelurahan Nanggewer disebabkan dari adanya kebocoran kolam penampungan yang digunakan untuk proses produksi pada PT. Sutra Kabel


(5)

Intimandiri. Namun, untuk kasus pencemaran udara PT. Sutra Kabel Intimandiri bukan merupakan sumber tunggal pencemaran, melainkan ada beberapa industri seperti PT. Dinar Makmur, PT. Bintang Kharisma, PT. Upati, PT. Sri Intan Toki, dan PT. Asaita Mandiri Agung yang juga berperan terjadinya pencemaran udara di Kelurahan Nanggewer. Menurut Bapak Soeharto, Lurah Kelurahan Nanggewer, untuk pencemaran udara, lebih disebabkan oleh asap hitam yang keluar dari pipa saluran pembuangan yang merupakan sisa hasil pembakaran. Pencemaran ini tentu saja akan memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan, terutama pada pencemaran udara dan pencemaran air tanah (air sumur) masyarakat setempat. Kepala Bidang Pemberantasan, Pencegahan Penyakit, dan Kesehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor memaparkan zat kimia dalam air sumur sudah melebihi ambang batas. Menurut hasil test Laboratorium Kesehatan Daerah Kabupaten Bogor menjelaskan bahwa tingkat kekeruhan dan warna air sudah melebihi ambang batas, zat besinya empat kali lipat, dan mangan mencapai sepuluh kali lipat di atas ambang batas. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kualitas Air Sumur Kelurahan Nanggewer

No. Jenis Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan

Kadar Maksimum yang Diperbolehkan Parameter fisik

1 Bau - Tidak Berwarna -

2 Warna TCU 488* 50

3 TDS mg/L 29,30 1500 4 Kekeruhan NTU 423* 25

Parameter Kimiawi

5 Nitrat mg/L 10,81* 10

6 Besi mg/L 4,17* 1,00

7 Mangan mg/L 5,65* 0,50

8 Timbal mg/L 5,39* 0,06

9 Sianida mg/L 0,13* 0,10

Sumber: Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor ( 2011) Keterangan: * parameter yang diperiksa lebih dari kadar maksimal


(6)

   Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, masyarakat Kelurahan Nanggewer sudah tidak bisa memanfaatkan air sumur karena sangat berbahaya bagi kesehatan. Keadaan ini tentunya sangat merugikan masyarakat sekitar kawasan industri, mereka kesulitan mendapatkan sumber air bersih karena air sumurnya yang sudah tidak layak, baik untuk dikonsumsi maupun sekedar untuk mencuci pakaian karena menimbulkan bau yang pekat pada pakaian. Kesehatan masyarakat di Kelurahan Nanggewer pun terganggu oleh penyakit yang muncul akibat pencemaran yang terjadi. Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, penyakit yang muncul akan sangat serius dan berlangsung lama, penyakit tersebut diantaranya pusing-pusing, batuk, sakit paru, vertigo, dan sesak napas. Menurut data Pusat Kesehatan Masyarakat Karadenan, penyakit yang diderita masyarakat Nanggewer RT 01/RW 05 yang jumlah penduduknya kurang lebih 100 orang diantaranya adalah Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA) seanyak 45 orang, ASMA satu orang, maag empat orang, dermatitis (gatal) 10 orang, dan nyalgia (pegal-pegal) 11 orang. Dilihat dari jenis penyakit dan jumlah orang yang menderitanya, pencemaran udara yang terjadi sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat Nanggewer. Untuk kasus pencemaran air, telah ada upaya-upaya dari pihak PUSKESMAS Karadenan seperti pengambilan sampel air bersih dan air limbah, pengobatan masal, dan penyuluhan kepada masyarakat.  

Tingginya frekuensi yang menderita penyakit akibat pencemaran tersebut mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat Nanggewer. Ada biaya kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat, seperti biaya pengobatan (Cost of Illness) atas penyakit yang diderita akibat pencemaran udara dan air tanah, selain itu ada juga biaya pengganti (Replacement Cost) untuk kembali


(7)

mendapatkan air bersih yang layak untuk dikonsumsi. Melihat kondisi seperti ini, ada baiknya bila pihak pencemar memberikan kompensasi kepada masyarakat Nanggewer yang telah menerima dampak dari pencemaran yang terjadi. Pencemaran air dapat berdampak sangat luas, misalnya dapat meracuni minum, meracuni makanan hewan, menjadi ketidakseimbangan ekosistem sungai dan danau, pengrusakan hutan akibat hujan asam, salah satu dampak yang diakibatkan yaitu terhadap estetika lingkungan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2004)

Kondisi inilah yang melatarbelakangi penggunaan teknik CVM. Metode CVM digunakan berdasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Nilai kompensasi atau Willingness to Accept (WTA) yang dihasilkan merupakan bentuk kesediaan menerima kompensasi masyarakat atas kerusakan jasa lingkungan sekitar mereka. Bagaimanapun masyarakat memiliki hak atas sumberdaya yang tercemar (udara dan air sumur).

Berdasarkan uraian diatas maka timbul beberapa pertanyaan yang perlu dikaji dalam penelitian ini, diantaranya:

1) Bagaimana kondisi responden/masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer akibat terjadi pencemaran?


(8)

2) Berapa nilai kerugian yang ditanggung oleh masyarakat akibat keberadaan industri di sekitar lingkungan mereka?

3) Berapa besar nilai kompensasi yang bersedia diterima masyarakat akibat pencemaran lingkungan oleh industri di Kelurahan Nanggewer?

4) Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengidentifikasi kondisi responden/masyarakat sekitar kawasan industri di kelurahan Nanggewer akibat terjadi pencemaran.

2) Mengestimasi nilai kerugian masyarakat akibat adanya industri di Kelurahan Nanggewer.

3) Mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat atas rusaknya atau tercemarnya lingkungan di Kelurahan Nanggewer.

4) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan masyarakat dalam menerima kompensasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1) Akademisi dan peneliti, sebagai referensi khususnya dalam mengestimasi kerugian ekonomi akibat kerusakan lingkungan.

2) Pemerintah, dalam menetapkan kebijakan mengenai kompensasi yang diterima oleh masyarakat atas rusaknya jasa lingkungan.


(9)

3) Industri, sebaiknya limbah diolah terlebih dahulu sebelum di buang ke kolam penampungan atau ke lingkungan sekitar, agar tidak terjadi penurunan kualitas lingkungan.

4) Masyarakat luas, untuk lebih mementingkan terjaganya kualitas jasa lingkungan.

1.5 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

Wilayah penelitian ini adalah Kampung Roda Pembangunan RT 01 RW 05 Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat yang bertempat tinggal di wilayah tersebut. Responden terbagi kedalam tiga wilayah, wilayah pertama yaitu reponden yang memiliki jarak tempat tinggal ≤ 100 meter dengan industri, wilayah kedua 101-500 meter, dan wilayah tiga dengan jarak > 500 meter. Ilustrasi mengenai pembagian wilayah tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Penelitian ini terfokus pada estimasi nilai kerugian yang diterima masyarakat. Estimasi kerugian ini adalah dampak negatif yang dirasakan oleh masyarakat atas pencemaran air dan udara. Metode WTA yang digunakan bermaksud untuk mengetahui besaran nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat.


(10)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekonomi Pencemaran

Definisi ekonomi pencemaran tergantung pada beberapa efek fisik limbah pada lingkungan dan reaksi manusia terhadap efek fisik. Efek fisik dapat biologis (misalnya perubahan spesies, kesehatan yang buruk), kimia (misalnya efek dari hujan asam pada permukaan), atau auditori (kebisingan). Reaksi manusia muncul sebagai ketidakpuasan, kecemasan, atau ketidaknyamanan (Pearce dan Turner, 1990).

Biaya eksternal juga dikenal sebagai eksternalitas negatif atau diseconomy eksternal. Eksternalitas adalah pengaruh atau dampak atau efek samping yang diterima oleh beberapa pihak sebagai akibat dari kegiatan ekonomi, baik produksi, konsumsi atau pertukaran yang dilakukan pihak lain. Eksternalitas dapat bersifat menguntungkan (positive externalities) atau bersifat merugikan (negative externalities). Eksternalitas negatif adalah pengaruh yang diterima oleh beberapa pihak akibat kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain yang mengakibatkan penurunan kesejahteraan dan hilangnya kesejahteraan tersebut tidak dikompensasi. Eksternalitas positif adalah kegiatan satu pihak menghasilkan peningkatan kesejahteraan pada pihak lain.

2.1.1 Kondisi Optimal Tanpa Terjadi Eksternalitas dan dengan Eksternalitas

   

Dengan adanya eksternalitas, kita tidak dapat mencapai kondisi-kondisi optimalitas pareto (P=MSC). Tingkat harga ketika terjadi eksternalitas akan lebih tinggi dibandingkan ketika tidak terjadi eksternalitas. Sebaliknya, output yang


(11)

dihasilkan akan lebih sedikit ketika terjadi eksternalitas (Pearce dan Turner, 1990). Sebagaimana ditampilkan pada Gambar 3.

P

MSC MPC

Biaya Eksternal

p2

p1

D

q2 q1 Jumlah output Gambar 3. Biaya Eksternal dan Keluaran Pasar

Gambar 3 mengilustrasikan hubungan antara jumlah produksi dan biaya eksternal. Perpotongan kurva permintaan dan kurva biaya swasta marjinal (MPC) terjadi pada harga p1 dan kuantitas q1. Inilah harga dan kuantitas yang muncul pada pasar kompetitif dimana produsen mengabaikan biaya eksternal. Namun pada kenyataannya, biaya sosial marginal (MSC) lebih tinggi dari MPC karena MSC terdiri atas MPC dan MEC. Maka tingkat output yang efisien secara sosial adalah q2 pada tingkat harga p2. Perhatikan bahwa tingkat output q1 lebih besar dibandingkan tingkat output q2, sementara tingkat harga p1 lebih rendah dibandingkan tingkat harga p2.

Sistem pasar memproduksi terlalu banyak dengan harga yang terlalu rendah dibandingkan dengan tingkat kuantitas dan harga pada efisiensi sosial. Ini karena perusahaan tidak membayar jasa lingkungan sebagai penyedia cara untuk membuang limbah. Cara ini murah untuk perusahaan, tetapi tidak murah untuk


(12)

masyarakat yang terkena berbagai dampak negatif akibat pencemaran. Tingkat output yang optimal yang dapat dicapai oleh perusahaan dalam pasar persaingan sempurna (PPS) adalah pada saat P=MC. Hal ini yang melatarbelakangi mengapa kompensasi yang dikeluarkan dari perusahaan dirasakan perlu oleh masyarakat. 2.1.2 Penyebab Terjadinya Eksternalitas dan Cara Mengatasinya

Ada beberapa hal yang menyebabkan masalah eksternalitas diantaranya masalah hak kepemilikan (property rights), property rights sangat menentukan alokasi sumberdaya yang efisien karena bagaimana produsen dan konsumen menggunakan SDA tergantung pada hak pemilikan/pengelolaan yang mengatur SDA tersebut, barang publik/public goods, common resources, kegagalan pasar/market failure, dan kegagalan pemerintah/ state failure. Dari kelima penyebab masalah eksternalitas, kegagalan pemerintah/state failure banyak terjadi di Indonesia. Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest group) yang tidak mendorong efisiensi dan tidak berwawasan lingkungan (Putri et al, 2008). Kelompok-kelompok ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijakan dan sebagainya. Aksi rent seeking bisa dalam bentuk: lobby interest groups untuk memberlakukan aturan yang melindungi/menguntungkan mereka, atau sogokan pada oknum-oknum pemerintah. Rent seeking menyebabkan dampak lingkungan yang seharusnya diselidiki atau diatasi dengan penerimaan pemerintah dari denda atau pajak dan lain-lain tidak dilaksanakan dengan semestinya sehingga masalahnya makin lama makin serius. Permasalahan kegagalan pemerintah dalam pelaksanaan denda atau pajak perlu diselesaikan untuk mengatasi masalah eksternalitas. Selaain itu


(13)

permasalahan eksternalitas juga dapat diatasi oleh subsidi dan bargaining (penawaran) dari kedua belah pihak yang bersangkutan.

Pencemaran air tanah merupakan proses masuknya makhluk hidup, zat, energi atau komponen lain oleh kegiatan manusia, yang menyebabkan kualitas air turun (Nemerow 1978). Pencemaran dari perspektif ekonomi bukan hanya dilihat dari hilangnya nilai ekonomi sumber daya akibat berkurangnya kemampuan sumber daya baik kualitas maupun kuantitas, namun juga dilihat dari dampaknya terhadap masyarakat.

Bagi masyarakat, pencemaran air tanah yang terjadi merupakan sebuah kerugian, terutama secara ekonomi. Masyarakat tidak lagi bisa memanfaatkan sumber daya air secara normal, baik digunakan untuk MCK maupun untuk konsumsi. Jika ini yang terjadi tingkat kesejahteraan masyarakat pun akan menurun, terutama ketika masyarakat harus mengeluarkan biaya tambahan seperti biaya penyakit, biaya pengganti untuk mencari sumber air baru yang lebih layak untuk dikonsumsi untuk memenuhi kegiatan sehari-hari.

2.2 Industri dan Klasifikasinya

Setiap bangsa membutuhkan dan berhak mencita-citakan basis industri yang efisien untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang terus berubah. Industri mengekstraksi material dari basis sumber daya alam, dan memasukkan baik produk maupun limbah ke lingkungan hidup manusia. Dengan kata lain, industri mengakibatkan berbagai perubahan dalam pemanfaatan energi dan sumber-sumber daya alam.

Kristanto (2004) menjelaskan industri secara garis besar dapat diklasifikasikan kedalam tiga bagian, diantaranya industri dasar atau hulu, industri


(14)

hilir, dan industri kecil. Industri dasar atau hulu memiliki sifat sebagai berikut: padat modal, berskala besar, menggunakan teknologi maju dan teruji. Lokasinya selalu dipilih dekat dengan bahan baku yang mempunyai sumber energi sendiri, dan pada umumnya lokasi ini belum tersentuh pembangunan. Oleh karena itu industri hulu membutuhkan perencanaan yang matang beserta tahapan pembangunannya, mulai dari perencanaan sampai operasional. Di sudut lain juga dibutuhkan pengaturan tata ruang, rencana pemukiman, pengembangan hidup perekonomian, pencegahan kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Pembangunan industri ini dapat mengakibatkan perubahan lingkungan, baik dari aspek sosial-ekonomi dan budaya maupun pencemaran. Terjadi perubahan tatanan nasional, pola konsumsi, tingkah laku, sumber air, kemunduran kualitas udara, penyusutan sumber daya alam, dan sebagainya. Industri hilir merupakan perpanjangan proses industri hulu. Pada umumnya industri ini mengolah bahan setengah jadi menjadi barang jadi, lokasinya selalu diusahakan dekat pasar. Industri kecil umumnya banyak berkembang di pedesaan dan perkotaan, dan memiliki peralatan sederhana. Walaupun hakikat produksinya sama dengan industri hilir, tetapi sistem pengolahannya lebih sederhana. Sistem tata letak pabrik maupun pengolahan limbah belum mendapat perhatian. Sifat industri ini padat karya.

Sesuai dengan program pemerintah, untuk lebih memudahkan pembinaannya, industri dasar dibagi lagi menjadi industri kimia dasar, industri mesin, dan logam dasar, sedangkan industri hilir sering juga disebut dengan aneka industri.

Di negara maju, pentingnya industri sebagai penyedia lapangan kerja relatif telah menurun sejak beberapa dekade terakhir. Namun demikian,


(15)

pergeseran lapangan kerja menuju ke sektor industri jasa telah meningkat dengan pesat sejalan dengan ditemukannya beberapa proses dan teknologi baru. Kebanyakan para ekonom terus mempermasalahkan apakah datangnya era ekonomi yang berlandaskan informasi akan semakin menekan lapangan kerja di sektor industri atau justru akan memperluas kesempatan kerja secara keseluruhan.

Sebagian besar negara berkembang mengawali kemerdekaannya praktis tanpa industri modern sama sekali. Selama dekade 1960 dan 1970an industri perdagangan, produksi dan lapangan kerja mereka tumbuh lebih cepat daripada sektor-sektor yang sama di negara-negara pasar industri. Perdagangan internasional dalam barang-barang manufaktur merupakan salah satu faktor yang mendasari perubahan peta industrialisasi dunia.

Secara umum, produk industri setiap negara terus berdiversifikasi dan bergerak menuju ke bidang-bidang yang lebih padat modal, seperti produk-produk logam, bahan kimia, mesin dan peralatan. Berbagai industri berat, yang banyak menimbulkan pencemaran terus berkembang. Pada saat yang sama sektor industri yang berhubungan dengan produk pangan (agro-industri) terus menurun dengan cukup berarti.

2.3 Klasifikasi Kualitas Air

Kondisi air digambarkan dengan kualitas dan ketersediaannya (volume). Kualitas air berhubungan dengan kelayakan pemanfaatannya untuk berbagai kebutuhan sedangkan ketersediaan air berhubungan dengan berapa banyak air yang dapat dimanfaatkan dibandingkan dengan kebutuhannya. Kualitas air juga dipengaruhi oleh volumenya yang berpengaruh langsung pada daya pulih air (self purification) untuk menerima beban pencemaran dalam jumlah tertentu


(16)

(Kementerian Lingkungan Hidup, 2009). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas Air dan pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air diterapkan menjadi 4 kelas yaitu:

1) Kelas I, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2) Kelas II, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

3) Kelas III, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

4) Kelas IV, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

2.4 Konsep Industri Global Berwawasan Lingkungan

Persepsi dan respon masyarakat dunia terhadap permasalahan pembangunan dan lingkungan senantiasa berkembang. Gro Halem Brundtland mantan PM Norwegia yang juga ketika itu menjabat sebagai ketua komisi dunia untuk lingkungan dan pembangunan, mempublikasikan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita Bersama (Our Common Future), konsep pembangunan yang berkelanjutan mendapatkan gaungnya secara internasional. Sebelum konferensi Stockholm 1972, sebagian besar pemimpin dunia menganggap bahwa kerusakan


(17)

lingkungan hidup adalah harga yang harus dibayar jika ingin melaksanakan pembangunan. Sejak pascakonferensi sampai dekade 1980an, persepsi semacam itu semakin pudar, dan yang berkembang adalah bahwa antara pembangunan dan lingkungan sesungguhnya merupakan dua sisi mata uang yang sama. Dekade 1980an juga diwarnai dengan berkembangnya gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yang di Indonesia lebih populer dengan istilah pembangunan berwawasan lingkungan.

Hal ini bisa kita lihat dengan diberlakukannya UU No 4/1982 tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan PP No.29/1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun, pelaksanaan undang-undang ini pun masih tersendat-sendat. Sebagai buktinya pelaksanaan studi AMDAL hingga kini belum dijadikan masukan dalam tahap perencanaan dan operasi proyek. Kondisi semacam ini terjadi mungkin disebabkan kebanyakan di antara kita belum menyadari manfaat dari dimasukkannya wawasan lingkungan ke dalam kiprah pembangunan, hal ini dapat terjadi karena peraturan lingkungan hidup seperti AMDAL, hanya dilihat dari sisi biayanya saja.

2.5 Pencemaran dan Limbah

Pada dasarnya kegiatan suatu industri adalah mengolah masukan (input) menjadi keluaran (output). Pengamatan terhadap sumber pencemar sektor industri dapat dilaksanakan pada masukan, proses maupun pada keluarannya dengan melihat spesifikasi dan jenis limbah yang diproduksi. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri diakibatkan adanya limbah yang keluar dari pabrik dan mengandung bahan beracun dan berbahaya. Bahan pencemar keluar bersama-sama dengan bahan buangan (limbah) melalui media udara, air dan tanah yang


(18)

merupakan komponen ekosistem alam. Bahan buangan yang keluar dari pabrik dan masuk ke lingkungan dapat diidentifikasikan sebagai sumber pencemaran, dan sebagai sumber pencemaran perlu diketahui jenis bahan pencemar yang dikeluarkan, kuantitas dan jangkauan pemaparannya.

Menurut Soeparman dan Soeparmin (2001), limbah cair merupakan bahan buangan yang timbul karena adanya kehidupan manusia sebagai makhluk hidup maupun makhluk sosial. Apabila limbah cair tidak ditangani sebagaimana mestinya maka dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran permukaan tanah serta air tanah, yang berpotensi menjadi penyebab timbulnya penularan berbagai macam penyakit saluran pencemaran.

Antara satu pabrik dengan pabrik lainnya berbeda jenis dan jumlah bahan pencemar yang dikeluarkannya, tergantung pada bahan baku yang digunakan, proses dan cara kerja karyawan dalam pabrik. Pencemaran terjadi akibat bahan beracun dan berbahaya dalam limbah lepas masuk ke dalam lingkungan, sehingga terjadi perubahan terhadap kualitas lingkungan. Menurut Wardhana (1995), komponen pencemaran air yang berasal dari limbah industri, rumah tangga, dan pertanian dapat dikelompokkan sebagai buangan padat, organik dan pengolahan bahan makanan, anorganik, cairan berupa minyak, berupa panas, dan zat kimia.

Menurut Kristanto (2004), sumber bahan beracun dan berbahaya dapat diklasifikasikan menjadi:

1) Industri kimia organik maupun anorganik.

2) Penggunaan B-3 sebagai bahan baku atau bahan penolong. 3) Proses kimia, fisika dan biologi di dalam pabrik.


(19)

Kemampuan lingkungan untuk memulihkan diri sendiri karena interaksi pengaruh luar, disebut dengan daya dukung lingkungan. Daya dukung lingkungan antara tempat yang satu dengan tempat yang lainnya berbeda. Beberapa komponen lingkungan dan faktor yang mempengaruhinya ikut menetapkan nilai daya dukung lingkungan.

Kristanto (2004) menjelaskan bahwa pengertian limbah itu sendiri adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Bedasarkan nilai ekonominya, limbah dibedakan menjadi limbah yang mempunyai nilai ekonomis dan limbah yang tidak mempunyai nilai ekonomis. Limbah yang memiliki nilai ekonomis yaitu limbah di mana dengan melalui suatu proses lanjut akan memberikan suatu nilai tambah. Misalnya dalam pabrik gula, tetes merupakan limbah yang dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri alkohol, sedangkan ampas tebu sebai limbah dari pabrik gula juga dapat dijadikan bahan baku untuk industri kertas karena mudah dibentuk menjadi bubur pulp.

Williams (1979) mengelompokkan bahan pencemar menjadi tiga tipe, yaitu bahan patogenik, estetik dan ekomorpik. Bahan pencemar pada penelitian ini bersifat patogen (pathogenic pollutants) yaitu bahan pencemar yang dapat menyebabkan penyakit pada menusia, misalnya pencemaran logam berat.

Limbah non ekonomis adalah suatau limbah walaupun telah dialakukan proses lanjut dengan cara apapun tidak akan memberikan nilai tambah, kecuali sekedar untuk mempermudah sistem pembuangan. Limbah jenis ini sering menimbulkan masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Menurut Kristanto (2004) limbah industri dapat digolongkan menjadi tiga bagian:


(20)

1) Limbah cair, terdapat beberapa keracunan dalam mengidentifikasi limbah cair, yaitu buangan air yang digunakan untuk mendinginkan mesinnya.

2) Limbah Gas dan Partikel, limbah ini merupakan limbah yang banyak dibuang ke udara. Jenis limbah ini akumulasinya di udara dipengaruhi oleh arah angin, namun sumbernya bersifat stasioner maka lingkungan sekitarnya menerima risiko dampak pencemaran yang paling tinggi.

3) Limbah padat, hasil buangan industri yang berupa padatan, lumpur, dan bubur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Limbah ini dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat yang dapat didaur ulang (misalnya plastik, tekstil, potongan logam) dan limbah padat yang tidak memiliki nilai ekonomis.

Oleh karena itu dalam kegiatan industri dan teknologi, air yang telah digunakan (air limbah industri) tidak boleh langsung dibuang ke lingkungan karena dapat menyebabkan pencemaran. Air tersebut harus diolah terlebih dahulu agar mempunyai kualitas yang sama dengan kualitas air lingkungan. Jadi air limbah industri harus mengalami proses daur ulang sehingga dapat digunakan lagi atau dibuang kembali ke lingkungan tanpa menyebabkan pencemaran air lingkungan. Proses daur ulang air limbah industri atau Water Treatment Recycle Process adalah salah satu syarat yang harus dimiliki oleh industri yang berwawasan lingkungan.

Beberapa jenis industri yang menghasilkan limbah gas atau partikel dapat dilihat pada Tabel 2.


(21)

Tabel 2. Jenis Industri dan Limbahnya

No. Jenis Industri Jenis Limbah Dampak

1 Industri pupuk Uap asam NH3, bau, partikel

Menyebabkan hujan asam Menyebabkan sakit kepala 2 Industri pangan Hidrokarbon

Karbon monoksida

Penyebab Kanker Penyakit jantung dan pernapasan

3 Industri pertambangan Nitrogen dioksida Iritasi paru-paru 4 Industri metalurgi

(tembaga, baja, seng, timah, dll)

Karbon monoksida Hidrokarbon

Pernapasan Pusing Kanker Gatal-gatal

Sumber: Kristanto (2004)

2.6 Replacement Cost dan Cost of Illness

Penurunan kualitas lingkungan memberikan dampak negatif terhadap masyarakat Kelurahan Nanggewer. Dipandang dari sisi ekonomi, kerugian atau penurunan atas kualitas lingkungan akan menyebabkan timbulnya biaya. Pada penelitian ini akan dibahas dua macam biaya yang ditanggung oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer yaitu Replacement Cost dan Cost of Illness. Replacement Cost atau biaya pengganti merupakan metode yang digunakan untuk menilai suatu sumber daya alam yang dilihat dari biaya yang dikeluarkan untuk menggantikan atau memperbaiki sumberdaya tersebut setelah adanya kerusakan (Garrod dan Willis, 1999). Metode Replacement Cost dapat digunakan untuk menentukan nilai suatu aset pada saat ini.

Biaya kesehatan atau Cost of Illness didefinisikan sebagai metode yang digunakan untuk mengestimasi kerugian yang ditanggung masyarakat yang didasarkan pada biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan akibat adanya penurunan kualitas lingkungan. Apabila dijabarkan, metode biaya kesehatan ini terdiri dari biaya rumah sakit, biaya obat, biaya perawatan, dan penurunan produktivitas (berkurangnya waktu bekerja).


(22)

2.7 Contingent Valuation Method (CVM)

Metode ini disebut Contingent Valuation karena metode ini mencoba mendorong orang untuk mengungkapkan apa yang akan mereka lakukan jika mereka ditempatkan pada kondisi tertentu. Pada awalnya, metode ini didasarkan atas ide sederhana bahwa jika kita ingin mengetahui berapa nilai yang bersedia dikeluarkan atau diterima oleh orang untuk mencapai kondisi lingkungan tertentu, kita dapat menanyakannya kepada mereka. Studi Contingent Valuation telah digunakan untuk mempelajari banyak faktor lingkungan, diantaranya yaitu kualitas udara, nilai keindahan alam, kualitas kondisi pantai, perlindungan spesies liar, dan kepadatan populasi alam liar (Fauzi, 2006).

CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui: pertama, keinginan membayar (WTP) dari masyarakat, misal terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air, udara, dan sebagainya), dan kedua keinginan menerima (WTA) masyarakat atas suatu kondisi lingkungan yang rusak. Teknik CVM didasarkan pada asumsi hak kepemilikan, jika individu yang ditanya tidak memiliki hak-hak atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam, maka pengukuran yang relevan adalah dengan mengukur seberapa besar keinginan membayar untuk memperoleh barang tersebut. Sebaliknya, jika individu yang kita tanya memiliki hak atas sumberdaya maka pengukuran yang relevan adalah seberapa besar keinginan untuk menerima kompensasi yang paling minimum atas hilang atau rusaknya sumberdaya yang dia miliki (Fauzi, 2006). Penilaian WTA perlu dilakukan di Kelurahan Nanggewer, karena pada kasus ini pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer.


(23)

1. Menyusun pasar hipotetik

Langkah yang pertama adalah menetapkan suatu alasan untuk suatu barang atau jasa dimana tidak ada arus pembayaran.

2. Memperoleh penawaran (bid)

Metode untuk memperoleh penawaran diantaranya adalah bidding games yaitu dengan cara responden diberikan penawaran yang lebih tinggi secara progresif hingga mereka memperoleh nilai max WTP atau min WTA, payment card yaitu suatu kisaran nilai yang sudah diberikan pada kartu dan responden diminta untuk memilih satu, open-ended question yaitu responden diminta memberi laporan tentang max WTP atau min WTA, close ended question ada tiga jenis yaitu dichotomous choice (diberikan sebuah penawaran, responden diminta jawaban ya atau tidak), double bounded choice (yang menjawab tidak pada penawaran pertama akan diberikan penawaran selanjutnya), dan yang terakhir trichotomous choice (responden diberikan tiga pilihan untuk membayar ya, tidak atau indiferen.

3. Mengestimasi mean WTP/WTA

Dengan tiga pendekatan pertama dalam menimbulkan penawaran, nilai mean dan median dari WTP atau WTA dapat diperoleh.

4. Mengestimasi kurva penawaran

5. Menentukan total WTA (agregating data) 6. Evaluasi Pelaksanaan CVM

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang terkait dengan topik penelitian ini yaitu penelitian yang pernah dilakukan oleh Bujagunasti (2009). Pada penelitiannya, Bujagunasti


(24)

menggunakan metode replacement cost dan cost of illness. Hasil penelitiannnya menunjukkan adanya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat pencemaran, total kerugian masyarakatnya yaitu sebesar Rp. 13.385.300 per tahun.

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Ani Triani (2009) juga dapat dijadikan referensi, penelitian dengan topik “Analisis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Pembayaran Jasa Lingkungan DAS Cidanau”. Pada penelitiannya itu Ani menggunakan metode analisis regresi berganda untuk menganalisis fungsi Willingness to Accept. Perhitungan terhadap dugaan nilai rataan WTA (EWTA) menghasilkan nilai sebesar Rp 5.056,98 per pohon per tahun. Satu hektar lahan berjumlah 500 pohon, setelah dikonversikan maka didapat nilai rataan WTA sebesar Rp 2.528.4900,00 per ha per tahun. Sementara hasil perhitungan total WTA Kelompok Tani Karya Muda II sebesar Rp 217.450,00 per pohon per tahun, luas lahan sebesar 25 ha dengan tiap ha lahan ditumbuhi pohon berjumlah 500 pohon. Mengacu pada jumlah pohon yang terdapat di lokasi penyedia jasa lingkungan maka diperoleh nilai total kesediaan kelompok tani Karya Muda II untuk menerima kompensasi terhadap upaya konservasi sebesar Rp 2.718.125.000. Pada penelitian ini juga menghasilkan variabel yang secara nyata berpengaruh adalah tingkat pendapatan, nilai pembayaran dan kepuasan jasa lingkungan yang diterima, lama tinggal, jumlah pohon, dan penilaian terhadap cara penetapan nilai pembayaran. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, status kepemilikan lahan, dan biaya pemeliharaan.

Sementara pada penelitian ini total kerugian yang ditanggung oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer sebesar Rp 7.426.000 per bulan. Pada


(25)

penelitian ini juga menghasilkan nilai rataan WTA sebesar Rp 275.000 per bulan, sedangkan total WTA yang dihasilkan dari 48 responden sebesar Rp 13.200.000 per bulan. Untuk variabel yang secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi adalah jumlah tanggungan dan ada atau tidaknya upaya mengatasi pencemaran. Hal ini berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh penelitian Ani Triani (2009), pada penelitiannya variabel jumlah tanggungan tidak secara nyata berpengaruh terhadap besarnya kesediaan menerima kompensasi responden di kawasan DAS Cidanau.


(26)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Pada saat ini industrialisasi merupakan hal sentral dalam pembangunan ekonomi negara. Banyak kebutuhan masyarakat suatu negara yang hanya dapat dipenuhi oleh barang dan jasa yang disediakan dari sektor industri. Namun, dalam pelaksanaannya industri memberikan perubahan terhadap kualitas lingkungan. Perubahan kualitas tersebut berupa pencemaran air dan udara, ada kerugian ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer.

Pada kasus pencemaran air, untuk menanggung hal tersebut masyarakat Kelurahan Nanggewer harus mencari sumber air baru untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, misal air galon, air PDAM, dan lain-lain. Sumber air yang baru ini tentu menunjukkan adanya biaya yang harus dikeluarkan oleh masyarakat untuk tetap dapat mendapatkan air bersih. Padahal jika air tanah tidak tercemar, masyarakat Kelurahan Nanggewer dapat mendapatkan air bersih tanpa harus ada biaya yang dikeluarkan. Sama halnya dengan pencemaran udara yang terjadi tentu juga menimbulkan kerugian ekonomi pada masyarakat Kelurahan Nanggewer. Pencemaran udara lebih berdampak pada kesehatan, terganggunya pernafasan, batuk-batuk, gatal, dan lain-lain merupakan penyakit yang tentunya diperlukan biaya untuk mengobati penyakit tersebut.

Penelitian ini akan mengidentifikasi kondisi responden setelah terjadi pencemaran menggunakan analisis deskriptif. Selain itu juga akan mengestimasi kerugian yang ditanggung responden dengan pendekatan metode biaya pengganti dan biaya berobat. Mengestimasi besarnya nilai WTA dan mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya merupakan tahapan akhir pada penelitiaan


(27)

ini. Analisis fungsi WTA dengan alat analisis model regresi berganda akan digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi nilai WTA masyarakat Kelurahan Nanggewer.

Untuk mempermudah pelaksanaan penelitian maka dibuat alur pemikiran yang akan menerangkan apa saja yang menjadi ruang lingkup pada penelitian ini. Seperti yang terlihat pada Gambar 4. Pada kasus kawasan industri di Kelurahan Nanggewer yang terjadi adalah pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga. Hal ini mengindikasikan telah terjadi kesalahan dalam tata kota di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Terjadinya kobocoran pada kolam penampungan air limbah sisa produksi industri sutra kabel juga merupakan sumber masalah yang mengakibatkan adanya pencemaran air tanah yang seharusnya dapat dikonsumsi warga secara aman. Tidak hanya kualitas air tanah saja yang menurun akibat adanya industri di sekitar pemukiman warga, tetapi juga kualitas udara di Kelurahan Nanggewer telah dicemari asap sisa hasil produksi industri. Keberadaan cerobong asap yang tidak terlalu jauh dari atap rumah warga menimbulkan berbagai masalah seperti kotoran atau debu yang menempel pada pakaian warga hingga penyakit yang timbul akibat pancemaran udara yang telah terjadi akibat keberadaan industri.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi responden sebenarnya setelah terjadi pencemaran di sekitar tempat tinggal mereka. Setelah mengetahui apa yang dialami oleh responden akibat pencemaran, penelitian ini juga akan mengestimasi berapa nilai kerugian ekonomi akibat pencemaran yang dihasilkan oleh pihak industri dan berapa nilai kompensasi yang bersedia diterima serta faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kesediaan menerima kompensasi


(28)

masyarakat Kelurahan Nanggewer akibat hilangnya hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan bersih.

Gambar 4. Kerangka Pemikiran Kawasan industri

Kelurahan Nanggewer

Peningkatan aktifitas industri

Peningkatan limbah

Pencemaran air tanah

Kondisi responden akibat terjadi pencemaran Estimasi nilai WTA

responden dengan Metode CVM Analisis

deskriptif

Estimasi nilai kerugian: Biaya Pengganti dan Biaya

Berobat

Analisis model regresi berganda

Mengetahui kondisi responden setelah terjadi pencemaran, mengestimasi nilai kerugian masyarakat akibat adanya industri, mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi besar kesediaan dalam menerima kompensasi.

Terjadi kebocoran pada kolam penampungan dan jarak cerobong asap sisa hasil produksi yang sangat dekat dengan atap rumah warga

Pihak industri yang mendekat ke pemukiman warga

Pencemaran udara


(29)

IV.METODE PENELITIAN

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Nanggewer merupakan salah satu pemukiman yang terdapat di sekitar industri, dimana industri terletak di tengah-tengah pemukiman masyarakat Kelurahan Nanggewer. Waktu penelitian adalah pada bulan September-November 2011.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer yang dibutuhkan meliputi kondisi responden, pandangan responden terhadap keberadaan industri di Kelurahan Nanggewer, besarnya biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, besarnya biaya yang dikeluarkan responden untuk kembali mendapatkan sumberdaya air yang hilang, serta mengenai seberapa besar mereka bersedia menerima kompensasi dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya yang diberikan pihak terkait seperti industri yang bersangkutan. Data primer ini diperoleh melalui kuesioner dan wawancara langsung dengan responden.

Data sekunder pada penelitian ini meliputi data-data industri yang terkait di Kelurahan Nanggewer, penyakit yang diderita masyarakat sekitar akibat pengaruh dari pencemaran, data kualitas air tanah di Kelurahan Nanggewer dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan pengumpulan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, Badan


(30)

Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Bogor, dan media yang mencakup penelitian ini.

4.3 Metode Pengambilan Contoh

Pengambilan contoh dilakukan secara sistematik sampling. Pada metode ini, pemilihan responden dilakukan secara sistematis, yaitu responden dipilih dengan pola memilih rumah berdasarkan jarak terhadap industri. Dengan radius sekitar 700 meter jarak tempat tinggal dari lokasi industri ditentukan sebagai responden. Pada pelaksanaannya jarak tempat tinggal warga dibagi kedalam tiga wilayah, wilayah pertama yaitu sebanyak 18 responden yang bertempat tinggal dengan jarak ≤ 100 meter dari industri, wilayah kedua sebanyak 23 responden dengan jarak 101-500 meter dari industri, dan wilayah ketiga sebanyak 7 responden dengan jarak > 500 meter dari industri. Jumlah responden yang dilibatkan dalam penelitian ini sebesar 48 orang.

4.4 Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Penelitian ini juga melihat kondisi masyarakat, nilai kerugian ekonomi yang diterima oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer akibat pencemaran air dan udara, juga besarnya nilai WTA masyarakat terhadap pencemaran yang terjadi di sekitar lingkungan mereka. Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan SPSS 15. Pada tabel akan dijelaskan matriks keterkaitan antara sumber data, metode analisis data dan tujuan dalam penelitian ini. Sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.


(31)

Tabel 3. Matriks Metode Analisis

No Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data

1 Mengidentifikasi kondisi responden sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer

Data primer dan sekunder

Analisis deskriptif

2 Mengestimasi nilai kerugian yang dialalmi oleh responden akibat adanya industri di Kelurahan Nanggewer

Data primer dan sekunder

Metode cost of illness

dan replacement cost

3 4

Mengestimasi besarnya WTA masyarakat

Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut

Data primer yang didapat dari kuesioner Wawancara dengan masyarakat yang terpilih menjadi responden Metode CVM Analisis regresi berganda dengan

microsoft excel dan

SPSS 15

Sumber : Penulis (2011)

4.4.1 Identifikasi Karakteristik Responden Sekitar Kawasan Industri di Kelurahan Nanggewer

Analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi kondisi masyarakat dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan bagaimana kondisi ekonomi, kesehatan, dan sosial dari masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer. Beberapa kondisi responden yang perlu dideskripsikan misalnya, laju pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, gambaran sektor pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya.

4.4.2 Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat

Pada penelitian ini, nilai kerugian yang diakibatkan dari pencemaran yang dihasilkan di kawasan industri Kelurahan Nanggewer diestimasi dengan menggunakan metode cost of illness dan replacement cost. Metode cost of illness yaitu mengestimasi kerugian ekonomi dengan menggunakan biaya kesehatan. Biaya kesehatan dikeluarkan oleh masyarakat di Kelurahan Nanggewer sebagai akibat dari mengonsumsi air tanah yang tercemar. Pada metode ini informasi yang


(32)

diperlukan diantaranya: (1) jenis penyakit, penyakit apa yang diderita oleh responden akibat mengonsumsi air sumur yang tercemar dan apakah penyakit tersebut penyakit turunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, seberapa sering responden mengalami penyakit tersebut dalam satu tahun, (3) biaya, besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, (4) kemana pergi berobat, apakah ke rumah sakit atau PUSKESMAS. Selain akibat dari mengonsumsi air tanah, biaya kesehatan yang dikeluarkan masyarakat juga akibat dari adanya pencemaran udara yang terjadi, udara yang dihirup telah terkontaminasi akibat adanya kawasan industri, hal ini juga menyebabkan timbulnya penyakit. Penyakit tersebut juga diestimasi dengan menggunakan metode biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh masyarakat. Informasi yang diperlukan diantaranya: (1) jenis penyakit, penyakit apa yang diderita oleh responden akibat menghirup udara yang telah terkontaminasi dan apakah penyakit tersebut merupakan penyakit turunan atau tidak, (2) tingkat mengalami penyakit, seberapa sering responden menglami penyakit tersebut dalam satu tahun, (3) biaya, besar biaya yang dikeluarkan responden untuk mengobati penyakit yang diderita, (4) kemana pergi berobat, apakah ke rumah sakit atau PUSKESMAS. Besarnya biaya kesehatan didapat dari menghitung jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh responden untuk mengobati penyakitnya.

Estimasi kerugian dengan menggunakan metode replacement cost didasarkan pada kasus penggunaan sumber lain akibat tercemarnya air sumur masyarakat yang dididentifikasi dengan penyebaran kuesioner. Informasi yang akan dicari terkait penggunaan metode replacement cost antara lain: 1) sumber air pengganti, yaitu darimana sumber air pengganti yang digunakan responden untuk


(33)

memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti MCK (mandi, cuci, kakus) dan minum, 2) jumlah konsumsi air pengganti, yaitu berapa besar jumlah konsumsi air pengganti yang digunakan responden, 3) biaya, yaitu besar biaya yang dikeluarkan responden untuk membeli sumber air pengganti.

4.4.3 Analisis Nilai WTA dari Masyarakat Terhadap Pencemaran Sekitar Kawasan Industri Kelurahan Nanggewer

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai dana kompensasi (WTA) yang bersedia diterima masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tersebut. Untuk mengetahui nilai WTA pada penelitian ini akan digunakan pendekatan CVM, yang terdiri dari enam tahapan, yaitu:

1. Membangun Pasar Hipotetik

Pasar hipotesis dibentuk atas dasar pencemaran yang terjadi akibat keberadaan industri di Kelurahan Nanggewer. Keberadaan industri memberikan dampak negatif terhadap kualitas lingkungan. Timbulnya penurunan kualitas lingkungan akibat mendekatnya industri ke pemukiman warga di Kelurahan Nanggewer berupa pencemaran air, udara, kebisingan dan pencemaran lainnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kompensasi atas pencemaran tersebut dari pihak pencemar dibantu lembaga-lembaga yang terkait seperti Badan Lingkungan Hidup sebagai mediator. Kompensasi diperlukan karena sebenarnya masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer memiliki hak untuk dapat memanfaatkan air tanah/sumur mereka tanpa tercemar. Pada kasus ini, pihak industrilah yang mendekat kepada masyarakat (daerah pemukiman). Kompensasi yang akan dilakukan pihak pencemar dibantu dengan BLH sebagai mediasi adalah dalam bentuk pemasangan instalasi air bersih dan pemberian dana kompensasi. Pemberian dana kompensasi ini ditujukan sebagai pertanggung jawaban atas


(34)

penurunan kualitas lingkungan di Kelurahan Nanggewer tersebut. Selanjutnya, pasar hipotetik dibentuk dalam skenario sebagai berikut:

Skenario:

Apabila pihak pencemar dibantu dengan pihak BLH sebagai mediasi akan melakukan upaya untuk mengatasi masalah pencemaran yang dimaksudkan bentuk solusi dan kompensasi terhadap permasalahan lingkungan yang terjadi di Kelurahan Nanggewer. Program yang akan dilakukan berupa pemasangan instalasi air bersih dan pemberian dana kompensasi. Besarnya dana kompensasi akan ditanyakan langsung kepada masyarakat Kelurahan Nanggewer, berapa nilai yang bersedia mereka terima atas penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak dari keberadaan industri. Besar dana kompensasi yaitu berkisar Rp 50.000 - Rp 200.000/KK/bulan.

Melalui skenario diatas, maka responden akan mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai rencana adanya upaya dari pihak pemerintah dan pencemar untuk mengatasi pencemaran yang terjadi.

2. Memperoleh Nilai Tawaran

Metode yang dipilih dalam penelitian ini untuk memperoleh nilai tawaran adalah Bidding Game. Metode ini dilakukan dengan melakukan penawaran, dimulai pada penawaran maksimal atau pada penelitian ini sebesar Rp 200.000, hingga angka minimum yang mau diterima oleh responden.

3. Menghitung Dugaan Nilai Tengah WTA (EWTA)

EWTA dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan keseluruhan nilai WTA dibagi dengan jumlah responden. Perhitungan dari dugaan nilai rataan WTA (EWTA) responden ditentukan dengan rumus:


(35)

EWTA = ...(1) Dimana :

EWTA = dugaan rataan WTA

Wi = batas bawah kelas WTA pada kelas ke-i Pf = frekuensi relatif kelas yang bersangkutan n = jumlah kelas interval

i = kelas ke-i

4. Menduga Kurva Penawaran WTA

Menduga kurva penawaran merupakan proses menentukan variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap nilai WTA. Pendugaan kurva penawaran akan dilakukan menggunakan persamaan berikut ini :

Mid WTA = f(X1, X2, X3, X4, X5, X6, X7, X8.є) ...(2) Dimana:

Mid WTA = nilai tengah WTA responden X1 = jumlah tanggungan (orang) X2 = tingkat pendidikan (tahun) X3 = pendapatan (rupiah/bulan) X4 = usia (tahun)

X5 = lama tinggal (tahun)

X6 = dummy variabel penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan (bernilai 1 untuk puas, 0 untuk tidak puas)

X7 = dummy variabel sudah dapet kompensasi pemasangan instalasi air (bernilai 1 untuk sudah dapat, 0 untuk belum dapat)

X8 = dummy variabel ada atau tidak, upaya mengatasi pencemaran (bernilai 1 untuk ada, 0 untuk tidak ada)

Є = galat

5. Menjumlahkan data

Penjumlahan data adalah proses dimana penawaran rata-rata (nilai tengah penawaran) dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Nilai total WTA dari masyarakat diduga dengan menggunakan rumus:

TWTA = ...(3) Dimana :


(36)

TWTA = total WTA

WTAi = WTA individu sampel ke-i P = jumlah populasi

ni = jumlah sampel ke-i yang bersedia menerima sebesar WTA i = responden ke-i yang bersedia menerima dana kompensasi N = jumlah sampel

6. Evaluasi Pelaksanaan CVM

Evaluasi CVM ini akan mengacu kepada (Mitchell dan Carson, 1989 dalam Garrod dan Willis, 1999) yaitu penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 hingga 15%.

4.4.4 Analisis Fungsi Willingness to Accept

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap WTA masyarakat Kelurahan Nanggewer. Alat analisis yang digunakan adalah model regresi berganda. Berdasarkan teori tentang WTA persamaan regresi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

midWTAi = β 0 + β1X1 + β2X2 +β3X3 +β4X4 + β5X5 + β6X6 + β7X7 + β8X8 .єi ...(4) Estimasi parameter yang diharapkan adalah β1, β2, β4, β5, β8 > 0 dan β3, β6, β7 < 0 Dimana :

midWTAi = nilai tengah WTA responden

β0 = konstanta

β1 sampai β8 = koefisien regresi

X1 = jumlah tanggungan (orang) X2 = tingkat pendidikan (tahun) X3 = pendapatan (rupiah/bulan) X4 = usia (tahun)

X5 = lama tinggal (tahun)

X6 = dummy variabel penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan (bernilai 1 untuk puas, 0 untuk tidak puas)

X7 = dummy variabel sudah dapat kompensasi pemasangan air (bernilai 1 untuk sudah dapat, 0 untuk belum dapat)

X8 = dummy variabel ada atau tidak, upaya mengatasi pencemaran (bernilai 1 untuk ada, 0 untuk tidak ada)

i = responden ke i yang bersedia menerima kompensasi


(37)

Diantara kedelapan variabel diatas, variabel yang diduga berbanding lurus dengan nilai WTA adalah variabel jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, usia lama tinggal, dan ada atau tidaknya upaya untuk mengatasi pencemaran. Banyaknya jumlah tanggungan dalam keluarga akan mempengaruhi besarnya nilai kompensasi yang diinginkan responden. Semakin banyak jumlah tanggungan maka semakin tinggi pula nilai kompensasi yang diinginkan. Tingginya tingkat pendidikan seseorang pun akan berbanding lurus dengan nilai kompensasi yang diinginkan responden. Hal ini karena responden yang berpendidikan tinggi akan menyadari akan seberapa besar kerugian yang ditanggung. Begitu juga dengan variabel lama tinggal, adanya pencemaran membuat masyarakat dengan lama tinggal lebih lama merasa dirugikan. Kerugian ini timbul karena sebelumnya merasa dapat memanfaatkan sumberdaya yang tersedia tanpa ada pencemaran. Hal ini yang diduga masyarakat yang lebih lama tinggal cenderung menginginkan nilai WTA yang lebih tinggi. Pada variabel usia pun demikian, semakin tinggi usia responden, maka semakin paham akan kerugian yang diterima akibat penurunan kualitas lingkungan di Kelurahan Nanggewer. Untuk variabel ada atau tidaknya upaya yang dilakukan responden untuk mengatasi pencemaran, ketika responden merasa telah ada upaya (bernilai 1) atau telah ada biaya yang dikeluarkan untuk melakukan upaya tersebut maka nilai WTA yang diinginkan responden diduga semakin besar.

Untuk variabel yang diduga berpengaruh negatif terhadap nilai WTA adalah variabel pendapatan , penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan, dan sudah dapat kompensasi pemasangan instalasi air. Untuk variabel pendapatan, diduga semakin tinggi pendapatan seseorang maka responden


(38)

tersebut cenderung tidak memperhatikan besarnya nilai kompensasi karena merasa berkecukupan untuk menanggungnya sendiri. Untuk penilaian responden terhadap kompensasi yang telah dilakukan semakin responden merasa tidak puas (bernilai 0) maka diduga nilai WTA semakin besar. Hal ini berlaku juga dengan variabel sudah dapat kompensasi atau belum, ketika responden belum mendapatkan kompensasi pemasangan instalasi air gratis (bernilai 0) maka diduga nilai WTA yang diinginkan semakin besar.


(39)

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kelurahan Nanggewer terletak di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan memiliki luas wilayah sekitar 446,493 Ha. Kelurahan ini berbatasan dengan Kelurahan Nanggewer Mekar sebelah Utara, Desa Cimandala, Kecamatan Sukaraja sebelah Selatan, Kelurahan Karadenan dan Kelurahan Sukahati sebelah Barat, Desa Sentul dan Desa Cijujung sebelah Timur. Dari segi pembagian wilayah Kelurahan Nanggewer dibagi menjadi 10 Rukun Warga (RW) dan 71 Rukun Tetangga (RT). Dari aspek aksesibilitas dan mobilitas, Kelurahan Nanggewer terletak di dua akses jalan utama yaitu jalan Raya Bogor-Jakarta sebelah Timur dan Jalan Raya Pemda sebelah Barat, memiliki fisik jalan beraspal dengan kondisi yang cukup baik. Akses menuju pusat kota Kecamatan Cibinong berjarak sekitar 4 km dan akses menuju pemerintahan Kabupaten Bogor sekitar 4 km. Peta Kelurahan Nanggewer dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: Kantor Kelurahan Nanggewer, Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor


(40)

5.2 Keagamaan, Pendidikan, dan Kesehatan

Sarana dan Prasarana keagamaan yang terdapat di kelurahan Nanggewer diantaranya 14 buah masjid jami, 37 buah musholla, majelis talim 36 buah, gereja empat buah, dan rumah doa satu buah. Keagamaan masyarakat di Kelurahan Nanggewer menganut agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Mayoritas penduduknya beragama islam yaitu, sekitar (98, 65%).

Pendidikan di Kelurahan Nanggewer sendiri tidak terlalu baik, hal ini dapat dilihat dengan mayoritaas penduduknya yang memiliki tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar (SD) atau sederajat. Sarana dan prasarana pendidikan yang terdapat di Kelurahan Nanggewer pun belum bisa dikategorikan baik yaitu hanya terdapat empat buah TK Swasta, dua buah SD Negeri, dua buah Madrasah Ibtidaiyah, empat buah pondok pesantren. Pemerintah Kabupaten Bogor perlu meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan di Kelurahan Nanggewer diantaranya dengan penambahan Sekolah Negeri Tingkat Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).

Untuk sarana kesehatan Kelurahan Nanggewer telah memiliki Puskesmas Pembantu satu buah, Poliklinik 24 jam satu buah, Rumah Bersalin dua buah, Posyandu 16 buah, dan Apotik dua buah. Hal ini pun telah diimbangi dengan keberadaan jumlah tenaga kesehatan yang ada di Kelurahan Nanggewer yaitu Dokter Puskesmas atau Dokter Umum sebanyak empat orang, Bidan desa satu orang, Dokter Praktek Swasta empat orang, Dukun Anak Terlatih lima orang, Tenaga Paramedis tiga orang, dan Kader Posyandu 48 orang. Pelaksanaan Keluarga Berencana (KB) di Kelurahan Nanggewer cukup baik, hal ini dapat dilihat dengan keadaan yang menunjukkan bahwa sekitar 73% pasangan usia


(41)

subur mengikuti program Keluarga Berencana (Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, 2010).

5.3 Kondisi Ekonomi dan Pembangunan

Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Nanggewer sangat beraneka ragam (heterogen). Sebagian besar penduduk bermata pencaharian di sektor jasa seperti Pegawai Negeri, Karyawan, Buruh, Wiraswasta, dan sebagian kecil bermata pencaharian di sektor pertanian dan peternakan. Hal tersebut dapat dimaklumi karena perkembangan Kelurahan Nanggewer menuju wilayah perkotaan. Sarana dan Prasarana perekonomian yang ada di Kelurahan Nanggewer adalah toko/warung/kios sebanyak 212 buah, matrial/toko bahan bangunan enam buah, wartel 20 buah, Mini Market dua buah, Ruko satu buah, Perusahaan/Industri 27 buah, dan Industri kecil/Rumah Tangga 43 buah. Hal ini diperlukan, karena bagaimanapun suksesnya pembangunan wilayah tidak terlepas dari tersedianya sarana dan prasarana pembangunan dan fasilitas yang mendukung aktivitas perekonomian.

5.4 Kondisi Responden Sekitar Kawasan Industri

Pemukiman di Kelurahan Nanggewer saat ini telah dikelilingi oleh perusahaan/industri. Keadaan ini menyebabkan terganggunya kesehatan dan menurunnya kualitas lingkungan masyarakat terutama penduduk RT 01/RW 05. Kondisi ini diperoleh berdasarkan survei yang telah dilakukan terhadap 48 Kepala Keluarga yang bertempat tinggal di Kelurahan Nanggewer RT 01/RW 05. Semua responden adalah kepala keluarga karena pengambilan keputusan dalam suatu rumah tangga biasanya lebih didominasi oleh laki-laki sebagai kepala keluarga. Kondisi sosial ekonomi responden juga telah dinilai dari beberapa variabel


(42)

diantaranya kondisi air, jumlah tanggungan, tingkat pendidikan, pendapatan, jarak tempat tinggal dengan industri, usia, lama tinggal, dan jenis pekerjaan.

5.4.1 Jarak Tempat Tinggal

Jarak rumah responden dengan industri dikelompokkan menjadi tiga bagian, bagian pertama yaitu rumah yang berjarak ≤ 100 m sebesar 37,50% atau sebanyak 18 Kepala Keluarga. Bagian kedua yaitu rumah yang berjarak 101-500 m sebesar 47,92% atau umumnya responden tinggal di bagian kedua yaitu sebanyak 23 Kepala Keluarga. Bagian ketiga diklasifikasikan untuk responden yang berjarak 501-1000 m dari industri, hanya sedikit responden yang bertempat tinggal di bagian ketiga ini.

Persentase sebaran jarak tempat tinggal responden dapat dilihat pada Gambar 6.

37,50% 47,92%

1,40% < 100 m

101-500 m 501-1000 m

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Gambar 6. Persentase Responden Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal

5.4.2 Persepsi Responden terhadap Kualitas Air Akibat Adanya Industri Berdasarkan Wilayah Tempat Tinggal

5.4.2.1Persepsi Responden Pada Wilayah Satu terhadap Kualitas Air

Penurunan kondisi air di Kelurahan Nanggewer merupakan kerugian bagi masyarakat sekitarnya. Kualitas air dikelompokkan menjadi tiga kategori, kategori pertama yaitu kondisi air yang sangat kotor, keruh, dan berbau. Kategori kedua yaitu kondisi air yang kotor dan berbau dan kategori ketiga yaitu kondisi air yang biasa saja, air tetap bersih, jernih, dan tidak berbau.Berdasarkan survei kepada 48


(43)

kepala keluarga yang terbagi tiga wilayah. Pada wilayah satu (≤ 100 meter) dengan responden sebanyak 18 kepala keluarga, sebagian besar kepala keluarga merasa bahwa kualitas air tanah yang berada di lingkungan mereka sudah tidak layak digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebanyak 12 kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori dua (kotor, berbau), sedangkan sebanyak empat kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori pertama (sangat kotor, keruh, dan berbau). Persentase persepsi responden wilayah satu terhadap kualitas air dapat dilihat pada Gambar 7.

22,22 %

66,67 % 11,11 %

kategori 1 kategori 2 kategori 3

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Gambar 7. Persentase Persepsi Responden Wilayah 1 terhadap Kualitas Air 5.4.2.2 Persepsi Responden Pada Wilayah Dua terhadap Kualitas Air

Pada wilayah dua (101-500 meter) dengan responden sebanyak 23 kepala keluarga, sebanyak 12 kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori dua (kotor dan berbau), sedangkan sebanyak delapan kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori pertama (sangat kotor, keruh, dan berbau). Hanya tiga kepala keluarga yang menilai kualitas air mereka masih berada pada kategori ketiga (biasa saja, air tetap bersih, jernih, dan tidak berbau) Persentase persepsi responden wilayah dua terhadap kualitas air dapat dilihat pada Gambar 8.


(44)

34,78 %

52,17 % 13,04 %

kategori 1 kategori 2 kategori 3

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Gambar 8. Persentase Persepsi Responden Wilayah 2 terhadap Kualitas Air 5.4.2.3Persepsi Responden Pada Wilayah Tiga terhadap Kualitas Air

Pada wilayah tiga (>500 meter) dengan responden sebanyak tujuh kepala keluarga, sebanyak empat kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori dua (kotor dan berbau), sedangkan sebanyak satu kepala keluarga menilai kualitas air tanah mereka berada pada kategori pertama (sangat kotor, keruh, dan berbau). Dua kepala keluarga yang menilai kualitas air mereka masih berada pada kategori ketiga (biasa saja, air tetap bersih, jernih, dan tidak berbau) Persentase persepsi responden wilayah tiga terhadap kualitas air dapat dilihat pada Gambar 9.

14,29 %

57,14 % 28,57 %

kategori 1 kategori 2 kategori 3

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Gambar 9. Persentase Persepsi Responden Wilayah 3 terhadap Kualitas Air Secara keseluruhan hasil survei menunjukkan sebanyak 58,33% responden menilai kualitas air mereka berada pada kategori dua, artinya secara umum adanya industri di Kelurahan Nanggewer telah menyebabkan penurunan kualitas air tanah dan menyebabkan adanya kandungan zat-zat yang berbahaya apabila tetap


(45)

dikonsumsi oleh masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu, responden harus mencari sumber air lain meskipun memerlukan biaya yang lebih mahal untuk mendapatkannya seperti PDAM dan air galon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

5.4.3 Jumlah Tanggungan

Jumlah penduduk Kelurahan Nanggewer RT 01/RW 05 yang menjadi responden adalah 48 orang. Berdasarkan jumlah tanggungan setiap kepala keluarga, sebagian besar kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan sebanyak satu hingga tiga orang sebanyak 66,67%, sebanyak 27,08% responden memiliki jumlah tanggungan empat hingga enam orang, dan sebanyak 6,25% sudah tidak memiliki tanggungan. Jika dilihat hasil tersebut menandakan tingkat kelahiran diantara masyarakat Kelurahan Nanggewer yang menjadi responden tidak tinggi. Hal ini disebabkan program keluarga berencana telah dilaksanakan diantara masyarakat yang menjadi responden. Persentase sebaran jumlah tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 10.

47,92%

35,42%

10,42%6,25%

1-2 orang 3-4 orang 5-6 orang

sudah tidak ada tanggungan

Sumber: Data Primer Diolah, 2011


(46)

5.4.4 Tingkat Pendidikan

Dalam penelitian ini tingkat pendidikan pada masyarakat Kelurahan Nanggewer diklasifikasikan menurut lama tahun menempuh pendidikan formal. Hal ini dilakukan untuk mempermudah perhitungan, untuk Sekolah Dasar pendidikan dihitung selama enam tahun yaitu sebanyak tujuh belas orang atau sebesar 35,42%. Pada tingkat SLTP pendidikan dihitung selama sembilan tahun yaitu sebanyak sepuluh orang atau sebesar 20,83%. Sebagian besar responden memiliki latar belakang pendidikan tingkat SLTA atau telah menempuh pendidikan selama dua belas tahun yaitu sebanyak sembilan belas orang atau sebesar 39,58%.

Masih sedikit sekali responden yang memiliki latar belakang pendidikan di atas SLTA. Sebesar 4,17% atau sebanyak dua orang responden yang memiliki latar belakang pendidikan di atas dua belas tahun yaitu tingkat Diploma (lima belas tahun).

Berdasarkan hasil survei diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Nanggewer masih beragam. Banyak responden yang masih memiliki tingkat pendidikan hanya sampai Sekolah Dasar, meskipun lebih dominan responden yang telah memiliki tingkat pendidikan SLTA. Untuk tingkat pendidikan paling lama yang dimiliki responden adalah tingkat Diploma, meskipun jumlahnya sedikit, namun hal ini menandakan bahwa tingkat pendidikan di Kelurahan Nanggewer masih beragam. Persentase sebaran tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 11.


(47)

35,42%

20,83% 39,58%

4,17%

6 Tahun (SD) 9 Tahun (SLTP) 12 Tahun (SLTA) 15 tahun (Diploma)

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Gambar 11. Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 5.4.5 Pendapatan

Berdasarkan tingkat pendapatan, responden memiliki kisaran pendapatan mulai dari Rp < 1.000.000 - Rp ≥ 3.000.000. Sebaran pendapatan responden yang memiliki pendapatan Rp < 1.000.000 yaitu sebesar 25%. Sebagian besar responden memiliki tingkat pendapatan per bulan pada kisaran Rp 1.000.000 - Rp 2.000.000 yaitu sebesar 62,50% atau sebanyak 30 orang dari 48 responden. Pendapatan rata-rata terbesar dimiliki pada responden yang berada pada wilayah dua yaitu sebesar Rp 1.469.565. Untuk Pendapatan rata-rata dari seluruh responden yaitu sebesar Rp 1.340.104 Persentase sebaran tingkat pendapatan per bulan responden dapat dilihat pada Gambar 12.

25%

62,50% 6,25%6,25%

< 1.000.000

1.000.000 - < 2.000.000 2.000.000 - < 3.000.000

≥ 3.000.000

Sumber: Data Primer Diolah, 2011


(48)

5.4.6 Usia

Sebaran usia responden tergolong bervariasi, yaitu berada pada kisaran 23-85 tahun. Jumlah responden yang berada pada kisaran 49-61 tahun memiliki jumlah responden yang paling banyak yaitu sebesar 39, 58% atau sebanyak 19 Kepala Keluarga. Untuk jumlah responden yang paling sedikit berada pada kisaran 75-85 tahun yaitu sebesar 2,08% atau sebanyak satu Kepala Keluarga. Persentase usia responden dapat dilihat pada Gambar 13.

25,00%

29,17% 39,58%

4,17%2,08% 23-35 tahun

36-48 tahun 49-61 tahun 62-74 tahun 75-85 tahun

Sumber: Data Primer Diolah, 2011

Gambar 13. Persentase Responden Berdasarkan Usia 5.4.7 Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan responden terbagi 4 kategori terdiri dari Buruh, Pegawai Swasta, Wiraswasta, dan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Tidak semua responden memiliki pekerjaan, ada sebagian responden yang berstatus sebagai pengangguran yaitu sebesar 6, 25% atau sebanyak 3 Kepala Keluarga adalah pengangguran. Sebagian besar responden berprofesi sebagai Pegawai Swasta yaitu sebesar 47, 92% atau sebanyak 23 orang. Hanya sedikit yang berprofesi sebagai PNS yaitu sebesar 4, 17% atau sebanyak 2 orang. Persentase jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 14.


(49)

14,58%

27,08% 47,92%

4,17%6,25%

Wiraswasta Buruh

Pegawai Swasta PNS

Pengangguran

Sumber: Data Primer Diolah, 2011


(50)

VI. ESTIMASI NILAI KERUGIAN AKIBAT PENCEMARAN

6.1 Dampak Adanya Industri Terhadap Kualitas Lingkungan di Kelurahan Nanggewer

Ada dua dampak yang diberikan akibat keberadaan industri diantara pemukiman warga Kelurahan Nanggewer yaitu bisa berupa manfaat dan kerugian. Manfaat yang diperoleh bisa berupa terbukanya lapangan pekerjaan. Namun manfaat dari keberadaan industri seperti kurang terasa oleh masyarakat Kelurahan Nanggewer, terutama warga RT 01/ RW 05. Hasil survei menunjukkan hanya lima orang dari 48 Kepala Keluarga yang terserap menjadi tenaga kerja. Hal ini tidak sebanding dengan dampak negatif yang diberikan dari keberadaan industri. Kerugian yang paling terasa adalah terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang berupa pencemaran air dan udara.

Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, pencemaran air terjadi akibat adanya kebocoran bak penampungan akhir (air limbah setelah pengolahan) dari perusahaan kabel. Setelah dilakukan survei sebagian besar warga meyakini kebocoran disebabkan oleh adanya ledakan pada bak penampungan akhir tersebut. Menurut Laporan Hasil Uji Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011), air limbah mengandung zat-zat berbahaya yang telah melebihi kadar maksimum. Untuk Seng (Zn) kandungannya telah mencapai 2,14 mg/L, sedangkan kadar maksimumnya hanya sebesar 1,0 mg/L, Timbal 0,65mg/L sedangkan kadar maksimum hanya sebesar 0,1 mg/L. Hasil tersebut menggambarkan bahwa air limbah yang berada pada bak penampungan akhir sangat berbahaya, apalagi saat ini telah mencemari air sumur warga Kelurahan


(51)

Nanggewer. Laporan Hasil Uji terhadap kandungan air limbah yang telah mencemari sumur warga Kelurahan Nanggewer dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Uji Air Limbah Setelah Pengolahan

No. Jenis Parameter Satuan Hasil Pemeriksaan

Kadar Maksimum yang Dibolehkan

1 TSS mg/L 320* 20

2 Sianida Total mg/L 0,02 0,2

3 Krom Total mg/L 0,46 0,5

4 Krom Hexavalent mg/L 0,15* 0,1

5 Tembaga (Cu) mg/L 0,65* 0,6

6 Seng (Zn) mg/L 2,14* 1,0

7 Nikel (Ni) mg/L 0,72* 1,0

8 Cadmium (Cd) mg/L 0,08* 0,05

9 Timbal (Pb) mg/L 0,65* 0,1

10 pH mg/L 7,30 6,0-9,0

Sumber: Laboratorium Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor (2011) Keterangan: * parameter yang diperiksa melebihi kadar maksimal

Selain pencemaran air, pencemaran udara juga terjadi di Kelurahan Nanggewer. Pencemaran udara dihasilkan dari cerobong asap yang dikeluarkan hasil sisa pembakaran. Kerugian yang dialami masyarakat diestimasi dengan menggunakan dua metode yaitu biaya pengganti (Replacement Cost) dan biaya pengobatan (Cost of Illness). Biaya pengganti yang dihitung yaitu biaya yang dikeluarkan untuk kembali mendapatkan air bersih setelah air yang biasa mereka gunakan tercemar, baik untuk konsumsi maupun untuk mandi, cuci, kakus (MCK). Biaya pengobatan yaitu biaya yang dikeluarkan karena terjadinya gangguan kesehatan akibat pencemaran air dan udara.

6.2 Keadaan Masyarakat Akibat Pencemaran

Keberadaan industri di sekitar kawasan pemukiman warga RT 01/RW 05 Kelurahan Nanggewer tidak hanya menyebabkan kerugian atas penurunan kualitas air sumur, tetapi juga berdampak pada kesehatan masyarakat Kelurahan Nanggewer. Pencemaran yang terjadi berakibat pada timbulnya berbagai macam


(1)

83

 

Lampiran 3. Uji Normalitas

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Unstandardiz

ed Residual

N

48

Normal Parameters

a

Mean

.0000000

Std. Deviation

1.24193938E

5

Most Extreme

Differences

Absolute

.114

Positive

.114

Negative

-.107

Kolmogorov-Smirnov Z

.790

Asymp. Sig. (2-tailed)

.561

a. Test distribution is Normal.

Uji Kolmogorov–Smirnov. Hipotesis yang diuji adalah:

H0 : data residual berdistribusi normal

H1 : data residual tidak berdistribusi normal

P-value (0.561) > 0.05, artinya data residual menyebar normal pada taraf nyata 5%

 

 

 

 

 

 

 

 

 


(2)

Lampiran 4. Uji Autokorelasi

 

Model Summary

b

Model

R

R Square

Adjusted R

Square

Std. Error of

the Estimate

Durbin-Watson

1

.687

a

.472

.364

1.36338E5

2.038

a. Predictors: (Constant), X3, X5, X9, X10, X1, X2, X8, X6

b. Dependent Variable: Y

Deteksi autokorelasi umumnya dilakukan dengan uji statistik Durbin-Watson

dengan menggunakan formula sebagai berikut.

Uji Durbin – Wason (DW test)

Hipotesis:

H0 : Tidak ada autokorelasi (r=0)

H1 : Ada autokorelasi (r

0)

Pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi:

Hipotesis nol

Keputusan

Jika

Tidak ada autokorelasi positif

Tolak

0 < d < dl

No decision

dl

d

du

Tidak ada autokorelasi negatif

Tolak

4-dl < d < 4

No decision

4-du

d

4-dl

Tidak ada autokorelasi, positif atau

negative

Tidak ditolak

du < d < 4-du

1.039

Dl

 

1.748

 

Du

 

2.252

 

4

du

 

2.038

 

Dw

 

 

 

 


(3)

85

 

Hasil perhitungan tolerance juga menunjukkan tidak ada peubah X (independen)

yang memiliki nilai tolerance kurang dari 0.10 yang berarti tidak ada korelasi

antar peubah yang melebihi 95%. Hasil perhitungan VIF juga menunjukkan tidak

ada satu peubah X pun yang memiliki nilai VIF lebih dari 10. Maka dapat

disimpulkan bahwa tidak terjadi masalah multikolinieritas dalam model regresi.

Lampiran 5. Uji Multikolinieritas

Coefficients

a

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients

t

Sig.

Collinearity Statistics

B

Std. Error

Beta

Tolerance

VIF

(Constant)

-62402.669

148498.683

-.420

.677

X1

31803.424

15310.673

.292

2.077

.044

.684

1.462

X2

13318.849

9536.501

.224

1.397

.170

.525

1.904

X6

2853.888

1955.117

.263

1.460

.152

.418

2.391

X9

-61668.906

43421.176

-.176

-1.420

.163

.876

1.141

X10

156037.645

43790.320

.447

3.563

.001

.862

1.161

X5

-18.049

2211.812

-.001

-.008

.994

.550

1.818

X8

-542.388

85410.359

.000

-.006

.995

.695

1.439

X3

-.020

.025

-.110

-.779

.440

.675

1.481

a. Dependent Variable:

Y (besar WTA)


(4)

4

Appendix A

Table A-1

Models with an intercept (from Savin and White)

Durbin-Watson Statistic: 1 Per Cent Significance Points of dL and dU

k’*=1 k’=2 k’=3 k’=4 k’=5 k’=6 k’=7 k’=8 k’=9 k’=10 n dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU dL dU 6 0.390 1.142 --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- ---7 0.435 1.036 0.294 1.676 --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- ---8 0.497 1.003 0.345 1.489 0.229 2.102 --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- ---9 0.554 0.998 0.408 1.389 0.279 1.875 0.183 2.433 --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- --- ---10 0.604 1.001 0.466 1.333 0.340 1.733 0.230 2.193 0.150 2.690 --- --- --- --- --- --- --- --- --- ---11 0.653 1.010 0.519 1.297 0.396 1.640 0.286 2.030 0.193 2.453 0.124 2.892 --- --- --- --- --- --- --- ---12 0.697 1.023 0.569 1.274 0.449 1.575 0.339 1.913 0.244 2.280 0.164 2.665 0.105 3.053 --- --- --- --- --- ---13 0.738 1.038 0.616 1.261 0.499 1.526 0.391 1.826 0.294 2.150 0.211 2.490 0.140 2.838 0.090 3.182 --- --- --- ---14 0.776 1.054 0.660 1.254 0.547 1.490 0.441 1.757 0.343 2.049 0.257 2.354 0.183 2.667 0.122 2.981 0.078 3.287 --- ---15 0.811 1.070 0.700 1.252 0.591 1.465 0.487 1.705 0.390 1.967 0.303 2.244 0.226 2.530 0.161 2.817 0.107 3.101 0.068 3.374 16 0.844 1.086 0.738 1.253 0.633 1.447 0.532 1.664 0.437 1.901 0.349 2.153 0.269 2.416 0.200 2.681 0.142 2.944 0.094 3.201 17 0.873 1.102 0.773 1.255 0.672 1.432 0.574 1.631 0.481 1.847 0.393 2.078 0.313 2.319 0.241 2.566 0.179 2.811 0.127 3.053 18 0.902 1.118 0.805 1.259 0.708 1.422 0.614 1.604 0.522 1.803 0.435 2.015 0.355 2.238 0.282 2.467 0.216 2.697 0.160 2.925 19 0.928 1.133 0.835 1.264 0.742 1.416 0.650 1.583 0.561 1.767 0.476 1.963 0.396 2.169 0.322 2.381 0.255 2.597 0.196 2.813 20 0.952 1.147 0.862 1.270 0.774 1.410 0.684 1.567 0.598 1.736 0.515 1.918 0.436 2.110 0.362 2.308 0.294 2.510 0.232 2.174 21 0.975 1.161 0.889 1.276 0.803 1.408 0.718 1.554 0.634 1.712 0.552 1.881 0.474 2.059 0.400 2.244 0.331 2.434 0.268 2.625 22 0.997 1.174 0.915 1.284 0.832 1.407 0.748 1.543 0.666 1.691 0.587 1.849 0.510 2.015 0.437 2.188 0.368 2.367 0.304 2.548 23 1.017 1.186 0.938 1.290 0.858 1.407 0.777 1.535 0.699 1.674 0.620 1.821 0.545 1.977 0.473 2.140 0.404 2.308 0.340 2.479 24 1.037 1.199 0.959 1.298 0.881 1.407 0.805 1.527 0.728 1.659 0.652 1.797 0.578 1.944 0.507 2.097 0.439 2.255 0.375 2.417 25 1.055 1.210 0.981 1.305 0.906 1.408 0.832 1.521 0.756 1.645 0.682 1.776 0.610 1.915 0.540 2.059 0.473 2.209 0.409 2.362 26 1.072 1.222 1.000 1.311 0.928 1.410 0.855 1.517 0.782 1.635 0.711 1.759 0.640 1.889 0.572 2.026 0.505 2.168 0.441 2.313 27 1.088 1.232 1.019 1.318 0.948 1.413 0.878 1.514 0.808 1.625 0.738 1.743 0.669 1.867 0.602 1.997 0.536 2.131 0.473 2.269 28 1.104 1.244 1.036 1.325 0.969 1.414 0.901 1.512 0.832 1.618 0.764 1.729 0.696 1.847 0.630 1.970 0.566 2.098 0.504 2.229 29 1.119 1.254 1.053 1.332 0.988 1.418 0.921 1.511 0.855 1.611 0.788 1.718 0.723 1.830 0.658 1.947 0.595 2.068 0.533 2.193 30 1.134 1.264 1.070 1.339 1.006 1.421 0.941 1.510 0.877 1.606 0.812 1.707 0.748 1.814 0.684 1.925 0.622 2.041 0.562 2.160 31 1.147 1.274 1.085 1.345 1.022 1.425 0.960 1.509 0.897 1.601 0.834 1.698 0.772 1.800 0.710 1.906 0.649 2.017 0.589 2.131 32 1.160 1.283 1.100 1.351 1.039 1.428 0.978 1.509 0.917 1.597 0.856 1.690 0.794 1.788 0.734 1.889 0.674 1.995 0.615 2.104 33 1.171 1.291 1.114 1.358 1.055 1.432 0.995 1.510 0.935 1.594 0.876 1.683 0.816 1.776 0.757 1.874 0.698 1.975 0.641 2.080 34 1.184 1.298 1.128 1.364 1.070 1.436 1.012 1.511 0.954 1.591 0.896 1.677 0.837 1.766 0.779 1.860 0.722 1.957 0.665 2.057 35 1.195 1.307 1.141 1.370 1.085 1.439 1.028 1.512 0.971 1.589 0.914 1.671 0.857 1.757 0.800 1.847 0.744 1.940 0.689 2.037 36 1.205 1.315 1.153 1.376 1.098 1.442 1.043 1.513 0.987 1.587 0.932 1.666 0.877 1.749 0.821 1.836 0.766 1.925 0.711 2.018 37 1.217 1.322 1.164 1.383 1.112 1.446 1.058 1.514 1.004 1.585 0.950 1.662 0.895 1.742 0.841 1.825 0.787 1.911 0.733 2.001 38 1.227 1.330 1.176 1.388 1.124 1.449 1.072 1.515 1.019 1.584 0.966 1.658 0.913 1.735 0.860 1.816 0.807 1.899 0.754 1.985 39 1.237 1.337 1.187 1.392 1.137 1.452 1.085 1.517 1.033 1.583 0.982 1.655 0.930 1.729 0.878 1.807 0.826 1.887 0.774 1.970 40 1.246 1.344 1.197 1.398 1.149 1.456 1.098 1.518 1.047 1.583 0.997 1.652 0.946 1.724 0.895 1.799 0.844 1.876 0.749 1.956 45 1.288 1.376 1.245 1.424 1.201 1.474 1.156 1.528 1.111 1.583 1.065 1.643 1.019 1.704 0.974 1.768 0.927 1.834 0.881 1.902 50 1.324 1.403 1.285 1.445 1.245 1.491 1.206 1.537 1.164 1.587 1.123 1.639 1.081 1.692 1.039 1.748 0.997 1.805 0.955 1.864 55 1.356 1.428 1.320 1.466 1.284 1.505 1.246 1.548 1.209 1.592 1.172 1.638 1.134 1.685 1.095 1.734 1.057 1.785 1.018 1.837 60 1.382 1.449 1.351 1.484 1.317 1.520 1.283 1.559 1.248 1.598 1.214 1.639 1.179 1.682 1.144 1.726 1.108 1.771 1.072 1.817 65 1.407 1.467 1.377 1.500 1.346 1.534 1.314 1.568 1.283 1.604 1.251 1.642 1.218 1.680 1.186 1.720 1.153 1.761 1.120 1.802 70 1.429 1.485 1.400 1.514 1.372 1.546 1.343 1.577 1.313 1.611 1.283 1.645 1.253 1.680 1.223 1.716 1.192 1.754 1.162 1.792 75 1.448 1.501 1.422 1.529 1.395 1.557 1.368 1.586 1.340 1.617 1.313 1.649 1.284 1.682 1.256 1.714 1.227 1.748 1.199 1.783 80 1.465 1.514 1.440 1.541 1.416 1.568 1.390 1.595 1.364 1.624 1.338 1.653 1.312 1.683 1.285 1.714 1.259 1.745 1.232 1.777


(5)

86

 

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada tanggal 29 Oktober 1989.

Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Urip

Purnama dan Ibu Oon Binarti. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD

Negeri Semplak 2 Bogor Barat, yang lulus pada tahun 2001, setelah itu penulis

menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 6 Bogor tahun 2004,

penulis juga menamatkan pendidikan lanjutan menengah atas di SMA Negeri 5

Bogor tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur

Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2007. Setelah melewati Tingkat

Persiapan Bersama (TPB), penulis melanjutkan studi Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut

Pertanian Bogor.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di berbagai organisasi, diantaranya

Anggota Muda KAREMATA FEM IPB pada tahun 2008, Ketua Umum

KAREMATA FEM IPB pada tahun 2009. Penulis juga tercatat sebagai anggota

Divisi E-Ship

Resource and Environmental Economics Student Association

(REESA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB pada tahun 2008-2009. Selain

itu, penulis pun aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan di lingkup Fakultas.


(6)

RINGKASAN

RIONY RIHARDHIKA PURNAMA.

Estimasi Nilai Kerugian dan Willingness

To Accept Masyarakat akibat Pencemaran Air Tanah dan Udara di Sekitar

Kawasan Industri: Kasus Industri Kabel di Kelurahan Nanggewer, Kecamatan

Cibinong, Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh

YUSMAN SYAUKAT.

Pesatnya pembangunan ekonomi terutama di sektor industri telah terjadi di

Indonesia. Pembangunan kawasan industri bukan hanya berdampak pada sosial

ekonomi masyarakat saja, tetapi juga membawa pengaruh terhadap perubahan

kualitas fisik lingkungan sekitar kawasan industri. Ada dua dampak yang dapat

disebabkan dari keberadaan industri, yaitu dapat berupa manfaat ataupun

kerugian. Dua hal tersebut seakan tidak bisa dihindari akibat adanya industri.

Manfaat yang diterima tentu tersedianya lapangan pekerjaan yang dapat

meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Perubahan kualitas lingkungan

merupakan dampak lain dari keberadaan indsutri dan cenderung mengakibatkan

menurunnya kualitas lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kondisi

responden/masyarakat sekitar kawasan industri di Kelurahan Nanggewer,

mengestimasi nilai kerugian masyarakat akibat adanya industri di Kelurahan

Nanggewer, mengestimasi besarnya nilai kompensasi yang bersedia diterima oleh

masyarakat atas tercemarnya lingkungan di Kelurahan Nanggewer dan

mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kesediaan masyarakat dalam

menerima kompensasi.

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data

sekunder. Data primer didapatkan secara langsung dari masyarakat Kelurahan

Nanggewer RT 01/RW 05 melalui wawancara dan kuesioner dan data sekunder

diperoleh dengan cara informasi media cetak, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor,

Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor, dan sumber-sumber yang relevan

dengan topik penelitian.

Sebanyak 48 Kepala Keluarga yang menjadi responden dalam penelitian

ini. Tidak semua responden telah mendapatkan kompensasi pertama yang berupa

pemasangan instalasi air bersih PDAM. Hal ini menimbulkan konflik diantara

masyarakat, tidak ada kejelasan tentang realisasi kompensasi yang kedua berupa

penanggungan biaya distribusi air PDAM seperti yang telah dijanjikan pihak

industri juga menjadi masalah dalam proses kompensasi di Kelurahan Nanggewer.

Estimasi total rata-rata kerugian yang harus diterima oleh masyarakat Kelurahan

Nanggewer RT 01/ RW 05 akibat pencemaran yang terjadi mencapai Rp 421.754


Dokumen yang terkait

Perubahan Lingkungan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Nanggewer Mekar, Kecamatan Cibinong Akibat Kegiatan Industri

0 10 101

Distribusi Polutan di Udara Sekitar Kawasan Industri (Studi Kasus : Daerah Industri Cibinong Kab. Bogor)

0 4 1

Persepsi, Preferensi, dan Willingness To Pay Masyarakat Terhadap Lingkungan Pemukiman Sekitar Kawasan Industri (Kasus Kawasan Industri di Kelurahan Utama, Cimahi, Jawa Barat)

0 10 204

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi dan Willingness to Pay Masyarakat Akibat Pencemaran Air Tanah Studi Kasus di Kelurahan Kapuk Muara, Jakarta Utara

1 10 12

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi akibat Pencemaran Air Tanah : Studi kasus di Kelurahan Harapan Jaya, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat

2 10 257

Estimasi Biaya Eksternal dan Willingness to Accept Masyarakat Akibat Pencemaran di Sekitar Kawasan Pabrik Gula Cepiring, Kendal

1 7 93

. Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Dan Willingness To Accept Masyarakat Akibat Pencemaran Limbah Cair Sarung Tenun, Desa Wanarejan Utara, Kecamatan Taman, Kabupaten Pemalang

0 2 100

Estimasi Nilai Kerugian Masyarakat Akibat Pencemaran Air Tanah di Sekitar Kawasan Industri (Studi Kasus Industri Keramik di Kelurahan Nanggewer, Kabupaten Bogor)

5 36 94

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Pencemaran Di Sekitar Kawasan Industri Baja (Kelurahan Tegal Ratu, Kecamatan Ciwandan, Kota Cilegon).

0 6 101

Estimasi Nilai Kerugian Ekonomi Masyarakat Akibat Kegiatan Industri Pengolahan Aspal Di Kelurahan Kayumanis, Kota Bogor

2 8 86