membuat partai ini tampil memikat dikalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga
setelah Golkar dan NU.
II.3. Lahirnya Partai Persatuan Pembangunan PPP
Ketika dideklarasikan, warna Islam yang menjadi unsur dominan pembentukan partai ini tetap dipelihara. Untuk menjaga kelestarian ukuwah dan
perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi pada tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asas PPP. Bahkan, untuk memudahkan identifikasi
sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam lalu diusung menjadi lambang partai.
Partai Persatuan Pembangunan sendiri adalah partai jelmaan dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama NU,
Partai Muslimin Indonesia Parmusi, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti. Jika ditelusuri, pengalaman
politik keempat partai ini sudah dirintis sejak lama. Nahdlatul Ulama, secara formal didirian pada 31 Januari 1926 sebagai organisasi keagamaan dengan faham
Ahlussunah Wal Jamaah. Kendati sebagai organisasi keagamaan peran politik NU terutama dalam membangkitkan semangat perlawanan kepada Belanda sangat
berpengaruh. Orientasi politik NU baru muncul secara terbuka ketika organisasi bentukan KH Hasyim Asy’ari ini bergabung dengan Majelis Islam A’la Indonesia
MIAI tahun 1939. MIAI ini sendiri adalah organisasi yag bertujuan untuk
Universitas Sumatera Utara
memperkuat tali persatuan umat Islam Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang MIAI diganti menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia Masyumi.
52
Setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang isinya antara lain pemerintah mengizinkan rakyat
untuk mendirikan partai politik dalam menyalurkan segala paham dalam masyarakat. Berdasarkan maklumat yang ditandatangani oleh Wakil Presiden
Muhammad Hatta itu, tanggal 8 November 1945 tokoh-tokoh umat Islam langsung memproklamirkan berdirinya Partai Masyumi, dimana partai ini berbeda
dan terlepas sama sekali dengan nama organsasi yang sama pada zaman Jepang. Karena partai Masyumi adalah satu-satunya partai politik umat Islam, aspirasi dan
peran politik semua organisasi Islam harus disalurkan melalui Masyumi, termasuk NU.
Sebagai organsasi konfederasi kedudukan kelompok-kelompok Islam dalam partai Masyumi memang rawan konflik. Pembagian peran dalam struktur
organisasi yang menempatkan tokoh-tokoh NU pada posisi yang kurang bergengsi cenderung membuat usulan-usulan mereka kurang diindahkan. Hal ini membuat
NU kecewa lalu menyatakan diri keluar dari Masyumi. Selanjutnya para tokoh NU mendirikan Partai Nahdlatul Ulama pada 15 April 1952. Perpecahan ini lalu
berlanjut dengan persaingan antara keduanya pada Pemilu 1955. Masyumi pada pemilu tersebut menempati posisi kedua setelah PNI, sedangkan NU di tempat
ketiga di atas PKI. Peran politik NU terus berkembang hingga terbentuknya rezim Orde Baru. Bahkan, dalam tekanan rezim yang represif dan sarat rekayasa politik,
52
http:klikpolitik.blogspot.com200801analisis-partai.html . opini oleh Sultani : Sejarah PPP
diakses pada tanggal 14 februari 2010.
Universitas Sumatera Utara
NU masih bisa tampil memukau dengan meraup 10.214.795 suara 18,68 persen dari 54.651.770 pemilih dalam Pemilu 1971. Posisi ini persis dibawah Golkar,
partai binaan pemerintah saat itu. Partai Syarikat Islam Indonesia sebenarnya merupakan kelanjutan dari
Sarekat Islam SI yang dibentuk HOS Tjokroaminoto pada 1912. Sarekat Islam sendiri merupakan kelanjutan Sarekat Dagang Islam SDI yang dibentuk H.
Samanhudi tahun 1911. Perubahan nama dari SDI menjadi SI memberi perubahan orientasi perjuangan partai ini dari persoalan-persoalan politik SI bergerak secara
terang-terangan di lapangan politik dalam rangka mengorganisir pedagang Islam untuk melawan tekanan Belanda dan pedagang Cina.
53
Ketika Masyumi masih menjadi induk gerakan politik Islam Indonesia, suara dan peran SI tidak terdengar sama sekali. Tahun 1947 baru suara SI mulai
terdengar ketika para tokohnya yang ada di Masyumi keluar dan mendirikan Partai Syarikat Islam Indonesia PSII. Para tokoh SI ini tidak banyak berperan
dalam pengambilan keputusan-keputusan politik di Masyumi. Bahkan, ketika kabinet Amir Syarifuddin mengajak untuk bergabung dalam pemerintahan,
Masyumi cenderung menutup-nutupi peluang SI. Nama PSII ini kemudian menjadi populer di masyarakat ketimbang induk semangnya, SI dan SDI. Pada
pemilu 1955 partai ini bisa meraup 1.077.765 suara dari 37.755.404 pemilih. Perolehan ini sekaligus menempatkan partai tersebut di posisi nomor lima setelah
PKI. Partai Islam Perti sebetulnya cikal bakal dari Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah Perti yang didirikan pada 30 Mei 1930 di Bukit Tinggi, Sumatera
53
Koirudin, 2004, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hal. 17
Universitas Sumatera Utara
Tengah. Awalnya organisasi ini merupakan organisasi sosial yang bergerak dalam bidang pendidikan dan agama. Perti sendiri merupakan benteng pertahanan
golongan Islam tradisional terhadap penyebaran paham dari gerakan Islam modern. Pilihan Perti mengubah dirinya menjadi partai politik karena hubungan
yang kurang harmonis dengan Majelis Islam Tinggi MIT, sebuah partai Islam di Sumatera yang kemudian berubah menjadi Masyumi. Pada elite Perti beranggapan
dengan mengubah dirinya menjadi partai politik, paham keagamaan mereka lebih mudah dipertahankan. Pada Pemilu 1955 partai ini berada di posisi kesepuluh
dengan perolehan 483.014 suara. Ketika Presiden Soekarno memberlakukan kebijakan penguburan partai, Partai Islam Perti merupakan salah satu dari 9 partai
politik yang diizinkan hidup oleh Soekarno. Selain Perti, ada PNI; NU; PKI; Partai Katolik; Partai Murba; PSII; IPKI dan Partai Kristen Indonesia Parkindo.
Partai Muslimin Indonesia Parmusi secara formal didirikan tahun 1968 yag diprakarsai oleh berbagai organisasi sosial dan pendidikan Islam yang
sebagian besar pemukanya berasal dari anggota-anggota Masyumi. Partai Masyumi sendiri telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno karena dianggap
terlibat dalam beberapa pemberontakan yang terjadi di daerah. Kendati baru, reputasi tokoh-tokoh Masyumi yang ada dibalik Parmusi membuat partai ini
tampil memikat di kalangan umat Islam. Hal ini tercermin dari perolehan suara dalam Pemilu 1971, di mana Parmusi berada di nomor tiga setelah Golkar dan
NU. Ketika Soeharto baru berkuasa, hubungan pemerintah dan partai politik
saat itu masih berlangsung dengan baik. Pemerintah lalu mengadakan Pemilu tahun 1971 dengan mengakomodasi semua partai yang ada saat itu. Hubungan
Universitas Sumatera Utara
baik tersebut tidak berlanjut dengan baik karena dua tahun setelah Pemilu, Soeharto melakukan penciutan jumlah partai politik seperti yang dilakukan
Soekarno tahun 1960. Hasilnya adalah pengelompokan partai politik berdasarkan garis agama baca: Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan PPP, serta garis
nasionalis dan Kristen, yaitu : Partai Demokrasi Indonesia PDI. Kendati penyederhanaan partai ini penuh dengan nuansa pakasaan, secara
internal hubungan antarunsur di dalam tubuh partai penerus estafet perjuangan empat partai Islam tersebut tetap menunjukkan suasana persaudaraan yang solid.
Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh KH Idham Khalid NU, HMS Mintaredja Parmusi, Anwar Tjokroaminoto PSII, Rusli
Halil Perti dan KH Masykur NU dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran serta tanggung
jawab tokoh-tokoh umat dan pimpinan partai untuk bersatu, bahu membahu membina masyarakat agar lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah SWT melalui perjuangan partai politik. Dengan meleburkan diri ke dalam PPP itu berarti segala aktifitas politik
dikonsentrasikan untuk PPP. Sementara segala kegiatan yang bukan kegiatan politik tetap dikerjakan organisasi masing-masing sebagaimana sediakala. Partai
NU lalu berganti baju menjadi organisasi kemasyarakatan keagamaan NU, Partai Muslimin Indonesia Parmusi menjadi Muslimin Indonesia MI, Partai Syarikat
Islam Indonesia PSII menjadi Syarikat Islam SI, dan Partai Islam Perti menjadi Perti.
54
54
Syafruddin Amir, Op.Cit., hal. 12
Universitas Sumatera Utara
Sebagai wadah baru dari kekuatan-kekuatan politik yang sudah lama berkiprah dalam politik reputasi PPP pada masa-masa awal berdirinya sangat
dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi tersebut. Sebut saja peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan oleh pemerintah
tahun 1973. Dari semua anggota DPR hanya PPP yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut karena bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan yang
diikuti dengan aksi walkout itu berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasannya dalam RUU tersebut.
Selain itu, sebagai wadah dari partai-partai yang sudah memiliki basis massa yang sudah jelas di masa lalu, kekuatan PPP untuk menghadapi Pemilu
1977 masih banyak mendapat sokongan dari partai-partai tersebut. Jika dihitung perolehan kursi berdasarkan pemilu 1971, Partai NU memperoleh 58 kursi,
Parmusi 26, PSII 10, dan Perti 2 kursi. Itu artinya ketika akan menghadapi Pemilu 1977 partai yang dipimpin oleh H. MS. Mintaredja ini sudah dimodali 96 kursi.
Pada Pemilu 1977 partai yang membawa panji Islam ini berhasil meraup 18.745.592 29,29 suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Dengan
demikian, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil merebut 99 kursi untuk mendudukkan wakilnya di DPR. Penambahan tiga kursi ini bertolak
belakang dengan rivalnya Golkar yang kehilangan empat kursi, dan PDI satu kursi. Sukses PPP kali ini tidak lepas dari sokongan NU sebanyak 56 kursi,
Parmusi 25, PSII 14, dan Perti 4 kursi.
55
Sikap kritis PPP terhadap pemerintah kembali terlihat ketika muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan KampusBadan
55
Ibid., hal 15
Universitas Sumatera Utara
Koordinasi Kemahasiswaan NKKBKK tahun 1978. Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman itu membuat citra PPP semakin
baik di mata masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. Perlawanan lain yang dilakukan juga oleh PPP adalah rencana pemerintah untuk memasukkan aliran
kepercayaan, dan Pedoman Pengahayatan dan Pengalaman Pancasila P4 ke dalam TAP MPR.
Kekompakan dalam PPP mulai terganggu ketika pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU Pemilu yang akan digunakan untuk
Pemilu 1982. Pergesekan terjadi ketika kelompok NU yang merupakan mayoritas dalam Fraksi Persatuan Pembangunan F-PP DPR menolak hadir dalam sidang
pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No.21980. Ketidakhadiran NU tersebut berkaitan dengan persoalan keanggotaan
dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS. Untuk diketahui tanggal 21 Februari 1980, FPP DPR memasukkan materi
duduknya parpol dan Golkar dalam KPPS sebagai wakil ketua untuk menjamin terselanggaranya pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia Luber.
Usulan tersebut ditolak oleh Soeharto, presiden saat itu. Akhirnya DPP PPP memutuskan menerima kedudukan parpol dan Golkar dalam KPPS hanya sebagai
pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto. Keputusan ini kemudian membuahkan perselisihan antara kelompok NU
di DPR yang mendapat dukungan dari PBNU dengan Ketua Umum DPP PPP Dr. J. Naro, SH maupun pimpinan lain dari NU yang mengikuti kebijakannya.
Perselisihan ini ternyata berbuntut pada pengurangan jatah kursi NU dalam
Universitas Sumatera Utara
penyusunan Daftar Calon Sementara DCS untuk Pemilu berlarut-larut yang akhirnya bermuara pada konflik antara kubu NU dan kubu non-NU.
56
Konflik tersebut membawa benih-benih perpecahan di dalam tubuh PPP. Pada Pemilu 1982, perolehan suara PPP hanya 94 kursi. Hilangnya lima kursi
tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal
kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan NU. Untuk mengakhiri konflik tersebut, dalam Muktamarnya yang ke 27 di
Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan untuk kembali ke Khiitah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan tidak lagi mempunyai hubungan
organisatoris dengan PPP. Keputusan yang dibuat pada akhir tahun 1984 itu lalu membuat NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya itu.
Secara operasional, keputusan kembali ke Khittah 1926 oleh para kiai lokal diartikan sebagai tindakan “balas dendam” kepada PPP dengan cara menarik
dukungan mereka dari partai yang menjadi satu-satunya saluran aspirasi politik mereka selama ini. Para kiai di Jawa malah mengkampanyekan kepada para
pengikut mereka agar memilih Golkar atau PDI. Aksi penggembosan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU lokal ini
merupakan pukulan telak buat PPP. Perolehan suara partai pimpinan J. Naro ini pada Pemilu 1987 langsung anjlok dari 94 menjadi 61 15,25 persen kursi.
Kendati posisinya masih di atas PDI, secara politis kekuasaan PPP saat itu sudah benar-benar keropos. Reputasinya sebagai partai Islam pun memudar. Maklum,
56
Fachri Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimina, PPP, Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan, dalam Farchan Bulkin Pengantar, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta :
LP3ES, 1988, hal. 254
Universitas Sumatera Utara
warga NU yang menjadi basis massa terbesar ijo royo-royo ini banyak yang hengkang ke Golkar dan PDI mengikuti preferensi politik para kiai mereka.
Selain aksi penggembosan, runtuhnya kekuasaan PPP juga disebabkan oleh tindakan pemerintahan Orde Baru yang memberlakukan UU No.31985
tentang Perubahan atas UU No.31975 tentang Partai Politik dan Golonga Karya yang mewajibkan perubahan lambang partai dan penetapan Pancasila sebagai
satu-satunya asas kekuatan sosial politik. Tahun itu juga PPP langsung mengganti lambangnya dari Ka’bah menjadi bintang, sekaligus menanggalkan Islam sebagai
asasnya. Sejak saat itu PPP dibiarkan sebagai partai yang tergantung-gantung tanpa akar.
Di bawah pimpinan Ismail Hasan Metareum, PPP tampil dengan pembawaan yang lebih kalem. Pribadi Buya – panggilan akrab Ketua Umum PPP
– yang tenang turut membentuk karakter PPP menjadi partai yang sejuk. Bercermin kepada pengalaman kepemimpinan J.Naro yang cenderung memancing
gejolak di dalam PPP, tampaknya Buya berusaha untuk mengakhiri situasi seperti itu dan segera menciptakan ketenangan dan kesejukan. Salah satu caranya adalah
dengan meningkatkan demokratisasi di lingkungan partai dan melanjutkan konsolidasi dalam rangka menyatukan kembali seluruh umat PPP.
Konsolidasi yang dibangun oleh Buya ini secara internal berhasil meredam munculnya gejolak di dalam partai bintang. Namun, secara eksternal langkah yang
ditempuh Buya itu belum mengubah citra PPP sebagai satu partai yang sarat konflik. Kendati demikian, dalam Pemilu 1992 PPP bisa tampil lebih “kompak”
dibanding Pemilu 1987 dan 1982. Dari 107.565.697 pemilih yang terdaftar pada Pemilu 1992, PPP bisa meraih 17,07 persen suara, atau sebanyak 62 kursi di DPR
Universitas Sumatera Utara
15,5 persen. Perolehan kursi tersebut menunjukkan PPP hanya berhasil menambah satu kursi dibanding perolehannya pada Pemilu 1987. Perolehan
tersebut terpaut jauh di bawah Golkar yang berhasil meraup 67,98 persen suara pemilih, atau 282 kursi DPR 70,5 persen.
57
Tidak terangkatnya suara pemilih PPP dalam pemilu kali ini secara politis melengkapi kekalahan PPP pada dua pemilu sebelumnya. Kekalahan dalam tiga
pemilu secara berturut-turut agaknya membuat para petinggi partai pemegang nomor urut satu ini menjadi gamang untuk menghadapi Pemilu 1997.
Kegamangan ini bisa dimaklumi mengingat ketidakberdayaan mereka menghadapi rekayasa politik eksternal – terutama dari penguasa, baik dalam
bentuk keberpihakan aparat pemerintah terhadap salah satu organisasi peserta pemilu OPP atau propaganda untuk memutuskan hubungan antara PPP dan basis
massa.
58
II..4. Perspektif Ideologi dan Program Partai
A. Asas Partai
Partai Persatuan Pembangunan berasaskan Islam
59
B. Tujuan Partai
Tujuan PPP adalah terwujudnya masyarakat madani yang adil, makmur dan sejahtera lahir bathin dan demokratis dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berasaskan Pancasila di bawah ridho Allah SWT
60
.
57
Perginya Sosok Teduh Buya Ismail. Majalah Tempo Interaktif. Edisi : 06XXXIV04-10 April 2005
58
http:wikipedia.indonesian.comensiklopediappppartaipartaipolitikordelamaordebarupdf Diakses 20 Maret 2010
59
Diakses dari www.ppp.co.id
60
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
C. Usaha Partai
Untuk mencapai tujuan, PPP melakukan usaha-usaha sebagai berikut
61
: 1.
Melaksanakan ajaran Islam dalam hidup perorangan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Mendorong tercipatanya iklim yang sebaik-baiknya bagi
terlaksananya kegiatan-kegiatan peribadatan menurut syariat Islam. 3.
Memupuk ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan Bangsa
Indonesia dalam segala kegiatan kemasyarakatan dan kenegaraan. 4.
Menegakkan, membangun dan mempertahankan NKRI. 5.
Memperjelas, memperdalam pengetahun rakyat supaya lebih sadar akan hak dan kewajibannya selaku warga negara dari negara hukum
yang merdeka, berdaulat, demokratis dan menghormati HAM. 6.
Menggairahkan partisipasi seluruh rakyat dalam pembangunan negara dan mengusahakan adanya keseimbangan pembangunan jasmani dan
rohani. 7.
Mengadakan kerjasama dengan partai-partai politik dan golongan masyarakat lainnya untuk mencapai tujuan bersama atas dasar
toleransi dan harga menghargai. 8.
Memberantas paham komunismeatheisme dan paham-paham lainnya yang bertentangan dengan Islam dan Pancasila
61
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
9. Turut memelihara persahabatan antara Republik Indonesia dengan
negara-negara lain atas dasar hormat-menghormati dan kerjasama menuju terwujudnya perdamaian dunia yang adil dan beradab.
10. Melaksanakan usaha-usaha lainnya yang tidak bertentangan dengan
asas dan tujuan partai. D.
Jatidiri Partai Partai Persatuan Pembangunan adalah partai politik yang merupakan hasil
fusi politik partai Nahdlatul Ulama NU, Partai Muslimin Indonesia Parmusi, Partai Syariat Islam Indonesia PSII, dan Partai Islam
Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti yang berasaskan Islam, berwawasan nasional, berorientasi keumatan, kerakyatan dan keadilan, serta berupaya
untuk mengembangkan tatanan budaya dan perilaku politik Islami dalam wadah NKRI.
62
E. Landasan Perjuangan Partai
Landasan etik moral, dan inspirasional perjuangan PPP adalah nilai-nilai ajaran Islam, PPP dengan sadar menyakini bahwa kemerdekaan dan
terbentuknya Negara Republik Indonesia adalah atas berkat rahmat dan karunia Allah SWT, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD
1945. PPP berpendirian bahwa bangsa yang mayoritas beragama Islam memiliki jiwa dan semangat religius, yang terpencar dari nilai-nilai ajaran
agama yang menjadi dasar keyakinan dan menjiwai perikehidupan manusia dan masyarakat Indonesia.
63
62
Ibid.
63
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pemikiran tersebut PPP berkeyakinan bahwa dengan nilai-nilai Islam sebagai landasan perjuangan, PPP tetap dan terus
memiliki jiwa dan semangat religius. Untuk itu PPP bertekad untuk memelihara, mempertahankan, dan melestarikan jiwa dan semangat
religius Islam sebagai nilai dasar, sikap mental dan tekad untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, mandiri dan maju.
Sebagai partai yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah rakyat, PPP dalam seluruh program dan kegiatannya menitikberatkan
kepada pembangunan manusia seutuhnya secara rohaniah dan jasmaniah yang dijiwai oleh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Oleh karena itu PPP berpendirian bahwa nilai-nilai Islam harus menjadi sumber moral dan etik, sumber inspirasi dan sumber motivasi
dalam perjuangan pembangunan nasional.
II.5. Cita-cita Politik dan Visi Partai