BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Partai Persatuan Pembangunan PPP lahir dalam suatu masa ketika kebebasan berserikat dan berkumpul terdistorsi secara sistemik oleh kekuasaan
Orde Baru. Ketika PPP lahir, jangkar otoritarianisme dan korporatisme negara begitu kuat mencengkeram setiap organisasi politik dan organisasi massa. Partai
Persatuan Pembangunan adalah cermin persatuan melalui penggabungan atau fusi dari empat partai politik Islam peserta Pemilu 1971, yaitu Partai Nahdlatul Ulama
NU, Partai Syarikat Islam Indonesia PSII, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah Perti, dan Partai Muslimin Indonesia Parmusi.
Dalam naskah deklarasi pembentukan PPP yang ditandatangani oleh K.H. Idham Khalid NU, H.M.S. Mintaredja Parmusi, H. Anwar Tjokroaminoto
PSII, Rusli Halil Perti, dan K.H. Masykur NU, dikatakan bahwa kelahiran PPP merupakan wadah penyelamat aspirasi umat Islam dan cermin kesadaran
serta tanggung jawab tokoh-tokoh umat dan pemimpin partai untuk bersatu, bahu- membahu, serta membina masyarakat agar dapat lebih meningkatkan keimanan
dan ketakwaan kepada Allah SWT, melalui perjuangan partai politik.
1
Sejarah perkembangan PPP sejak deklarasi fusi empat partai Islam tentu saja mengalami pasang-surut. Jika kita lacak, di era Orde Baru, PPP hanya
dijadikan pelengkap penderita dalam bingkai Demokrasi Pancasila karena jika Demokrasi Pancasila dianggap sebagai demokrasi konsensus yang lahir dari bumi
Indonesia, seharusnya PPP dan PDI ketika itu ikut berkuasa dalam menjalankan
1
Tim Litbang Kompas, 2004, Partai-Partai Politik Indonesia ; Ideologi dan Program 2004 – 2009, Jakarta : Kompas. Halaman .88
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan Orde Baru. Akan tetapi, kedua partai tersebut hanya dijadikan sparing partner yang seolah-olah sudah dipastikan harus kalah.
Keberadaan PPP juga PDI pada masa Orde Baru tidak lebih dari sekadar “aksesoris” dalam sistem Demokrasi Pancasila. Aspirasi umat Islam khususnya
dan rakyat Indonesia pada umumnya disumbat dan dikekang dengan berbagai instrument hukum yang mendukung terhadap rezim otoriter. Intervensi Negara
terhadap berbagai kehidupan masyarakat temsuk kedalam internal partai politik dapat dilakukan setiap saat. Akibatnya, partai politik tidak dapat menjalankan
peran dan fungsinya seperti yang diharapkan. Dari semua Pemilu yang diikuti, dukungan masyarakat terhadap PPP
selalu mengalami penurunan. Selama di bawah kendali struktur politik Orde Baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992 dan1997, dukungan masyarakat terhadap
PPP menjadi fenomena yang menarik untuk ditelusuri. Demokrasi Pancasila yang dijadikan dalil dan dalih stabilitas politik untuk kelancaran pembangunan telah
membelenggu aspirasi rakyat. Rakyat disuguhkan politik hegemonik dengan hanya menampilkan tiga orsospol saja. Dahsyatnya, politik hegemonik tersebut
mewarnai rakyat mulai dari istana sampai ke tingkat RTRW. Pada setiap penyeleggaran Pemilu, satu orsospol harus dimenangkan oleh pemerintah sebagai
single majority, sedangkan dua orsospol lainnya PPP dan PDI hanya diposisikan sebagai penggembira panggung demokrasi.
Pada masa Orde Baru, situasi kondisi politik internal PPP dapat dikategorikan kepada dua fase, yaitu fase berasaskan Islam 1977 – 1982 dan fase
berasaskan Pancasila 1987 ,1992 ,1997. Kedua fase tersebut telah memberikan nuansa yang signifikan terhadap PPP dan psikologi para pendukungnya.
Universitas Sumatera Utara
Sesudah terjadinya fusi tahun 1973, Pemilu pertama yang diikuti PPP tahun 1977 menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Partai yang
membawa Panji Islam ini berhasil mendapat kepercayaan dengan perolehan suara 18.745.592 29.29 suara dari 64.000.185 pemilih yang terdaftar. Perolehan
suara itu meningkat 2,17 dari total perolehan partai-partai fusi NU, Parmusi, PSII, dan Perti dalam Pemilu 1971.
2
Alhasil, dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, PPP berhasil memperoleh 99 kursi atau 27,5 untuk mendudukkan
wakilnya di DPR dari sebelumnya yang hanya memliki 96 kursi sebelum fusi terjadi. Keberhasilan ini menunjukkan konsoliditas kalangan elite partai dan
soliditas para pendukungnya ketika menghadapi Pemilu dalam meraih simpati pendukung lain cukup terbangun dengan baik, walaupun dibayang-bayangi
skenario politik pemerintah yang tidak ramah. Pada pemilu 1982, dukungan masyarakat mengalami penurunan sebesar
1,51 dari Pemilu sebelumnya. Perolehan suara PPP pada Pemilu 1982 hanya 20,872,880 suara atau 27,78 dari 75.126.306 suara sah sehingga perolehan suara
kursi DPR pun menurun sebesar 3 atau 94 kursi 24.5 dari 364 kursi yang diperebutkan. Jumlah perolehan kursi ini turun lima kursi dari jumlah kursi DPR
hasil pemilu sebelumnya yang mencapai 99 kursi.
3
Hilangnya lima kursi tersebut mengisyaratkan bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat
Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan. Pangkal kerapuhan itu sendiri berakar pada kekecewaan kader-kader potensial PPP terhadap dinamika yang
terjadi di tubuh internal. Diantaranya dipicu oleh ketidakpuasan kader-kader potensial yang tidak terakomodir baik karena penolakan terhadap Undang-Undang
2
Syafruddin Amir, 2007, Transformasi Energi PPP, Konsolidasi Menuju Partai Sejati, Bandung : Idea Publishing, hal. 29
3
Ibid., hal 31
Universitas Sumatera Utara
No. 2 Tahun 1980 Tentang Kedudukan Partai Politik dan Golkar dalam KPPS yang hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden
Soeharto maupun oleh kebijakan ketua umum H.J. Naro, pada pelaksanaan Mukramar I dan pada penyusunan Daftar Calon Sementara DCS untuk Pemilu
1982 serta kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak aspiratif dan akomodatif. Dalam menghadapi Pemilu 1987, hilangnya identitas keIslaman PPP
merupakan suatu keterpaksaan imbas dari tindakan pemerintah Orde Baru yang memberlakukan Undang-Undang No.3 Tahun 1985 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang No.3 Tahun1975 tentang Partai dan Golongan Karya yang mewajibkan lambang Partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas
kekuatan sosial politik. Munculnya Undang-Undang No.3 Tahun 1985 tersebut berimplikasi pada hilangnya identitas PPP yang pada awalnya menggunakan
lambang Ka’bah harus berubah menjadi lambang bintang dan menanggalkan Islam sebagai asasnya dan selanjutnya secara terpaksa PPP harus berasaskan
Pancasila. Sejak saati itu PPP seolah kehilangan identitasnya sebagai partai Islam sehingga posisinya tergantung-gantung tanpa akar.
4
Berdasarkan hasil perhitungan suara Pemilu 1987 memperlihatkan bahwa dukungan masyarakat terhadap PPP mengalami penurunan yang drastis yaitu
11,81 dari perolehan pemilu 1982 atau 13.32 dari perolehan suara pada Pemilu 1977. Pada Pemilu 1987 ini PPP hanya berhasil meraih dukungan sebasar
13.701.428 15.97 suara dari 85.869.816 suara sah. Begitu juga perolehan kursi di DPR pun hanya memperoleh 61 kursi atau 15.25 dari 400 kursi yang
diperebutkan atau mengalami penurunan sebesar 9,23 dari perolehan kursi hasil
4
Chozin Chumaidy, 2006, Etika Politik dan Esensi Demokrasi; Jejak Pemikiran Demokrasi Politik Indonesia, Jakarta : Pustaka Indonesia Satu, hal. 201
Universitas Sumatera Utara
Pemilu 1982.
5
Selain karena hilangnya identitas Islam, anjloknya dukungan masyarakat terhadap PPP pada pemilu 1987 juga dipengaruhi oleh memuncaknya
perbedaan persepsi konflik di tubuh internal partai yang tidak kunjung terselesaikan. Kepentingan politik beberapa kader potensial PPP yang berdekatan
dengan basis kultural yang tidak terakomodasi telah berimbas pada larinya massa pemilih PPP dan lari kepada Golkar dan PDI.
Pada Pemilu 1992 PPP memperoleh dukungan 16.624.647 suara atau 17,01 dari 97.789.534 suara sah. Perolehan suara ini jika dibandingkan dengan
hasil Pemilu 1998 mengalami kenaikan sebesar 1.04 . Begitu juga dengan perolehan kursi di DPR, perolehan suara PPP hanya dapat menghantarkan 62
kursi dari 400 kursi yang diperebutkan atau mengalami kenaikan sebesar 0.25 dari perolehan kursi pada tahun 1987 dan mengalami penurunan 12 dari
perolehan tahun 1977. Sementara itu, Pemilu 1997 merupakan pemilu terakhir pada Orde Baru.
Pada pemilu ini, PPP meraih 25.340.028 22.43 atau naik 5.42 dari Pemilu 1992 dan turun 6.86 dari Pemilu 1977. Apabila dilihat dari perolehan kursi,
PPP memperoleh 89 kursi 20.94 dari 425 kursi yang diperebutkan atau naik 5.44 dari Pemilu 1992. Selain ditunjang oleh pembawaan kepemimpinan politik
Buya Metareum yang sejuk, kenaikan perolehan suara ini juga menjadi fenomena tersendiri bagi PPP sehubungan dengan terjadinya konflik internal di tubuh PDI
atas kepemimpinan Soerjadi yang dianggap sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Kondisi tersebut mengakibatkan Megawati yang menjadi rival
Soerjadi lebih memilih untuk memberikan dukungan suara kepada PPP sehingga
5
Syafruddin Amir. Op.Cit., hal. 33
Universitas Sumatera Utara
dalam menghadapi Pemilu 1997 muncullah trend “Mega Bintang”. Dengan demikian, kenaikan perolehan suara PPP ini sebagian besar merupakan tambahan
dukungan dari massa pendukung Megawati dan sebaliknya bagi PDI sendiri hal ini merupakan kerugian besar dengan kehilangan suara 11.83 yaitu hanya
memperoleh 3.06 suara yang sebelumnya Pemilu 1992 mencapai 14.89 .
6
Melihat begitu banyak nya tekanan demi tekanan yang dialami PPP pada masa Orde Baru membuat PPP sebagai sebuah partai politik kurang berhasil
menjalankan peran dan fungsinya di masyarakat, sehingga perolehan suara massa semakin kecil dan menurun. Tentunya PPP sebagai sebuah partai politik yang
ingin meraih kepentingannya harus berfikir ekstra keras dalam menghadapi kebijakan pemerintah Orde Baru yang secara terstruktur dan sistematis
menghalangi eksistensi partai-partai politik di era tersebut.
I.2. Perumusan masalah