Negara Orde Baru Dan Pengendalian Politik Islam ( Studi Terhadap Hubungan Akomodatif Orde baru Terhadap Umat Islam Priode 1985 - 1994 )

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Arief, Islam demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gusdur danAmien Rais, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.1996

Abrar, Ahmad Zaini, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru, Solo: Ramadhani, 1990

Ali, Fachry dan Bahtiar Efendy, Merambah Jalan Baru Islam, Bandung: Mizan,1986

Ali, Fachry , PPP, Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan, Jakarta: LP3ES, 1988

Ali, Fachry, “ Merosotnya Aliran dalam PPP.” Prisma, Desember 1981.

Benda, H.J., Bulan Sabit dan Matahari Terbit, terj.YIIS, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980

Boland, B.J,Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafiti Press, 1985 Budiardjo, Miriam, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982 Cahyono, Heru, Peranan Ulama dalam Golkar, Jakarta: Grafiti Press, 1985

Efendy, Bahtiar, Teologi Baru Politik Islam : Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, Jakarta: Galang Press, 2000

Effendy, Bahtiar,” Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik di Indonesia,” Prisma, 1995

Halim, Abdul, Politik Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005 Haris, Syamsuddin, PPP dan Politik Orde Baru, Jakarta: Grassindo, 1991

Iqbal, Muhammad dan Azhari Akmal Tarigan, Syariat Islam di Indonesia: Aktualisasi ajaran Islam dalam dimensi Ekonomi, Politik dan Hukum, Jakarta: Misaka Galiza, 2004

Kacung Marijan, Quo Vadis NU ?, Jakarta: Erlangga, 1992

Krissantono,”Ali Moertopo di atas Panggung Poltik Orde Baru,” Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991

Mardjono, Hartono, Politik Indonesia 1996 – 2003, Jakarta: Gema Insani Press, 1996


(2)

Sadjali, Munawir, Wawasan Perjuangan Muslim Indonesia, Makalah disampaikan pada hari jadi HMI ke-43 di Yogyakarta, 4 Februari 1990.

Qadir Djailani, Abdul, Musuh-musuh Melakukan Offensif, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1987

Romli, Lili, Islam Yes Partai Islam Yes: Sejarah Perkembangan Partai – Partai Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006

Runua, Nung (ed), Dinamika Politik Indonesia : Dari Pemilu 1992 hingga Kabinet Pembangunan, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1994

Sadjali, Munawir, Kontekstualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Paramadina, 1997 Slamet Effendy Yusuf, Mohammad Ichwan Sjam dan Masdar Farid Mas’udi, Dinamika Kaum Santri, Menyusuri Jejak & Pergolakan Internal NU, Jakarta: Rajawali, 1983

Surbkti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Grassindo, 1993

Suryadinata, Leo, Golkar dan Militer : Studi tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992

Syamsuddin, M.Din, Islam dan Politik era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001 Syamsuddin, Nazaruddin, Ikatan Golkar di Laut Islam, Forum Keadilan, Nomor 15, 12 November 1992.

Thaba, Abdul Aziz, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Politik Islam di Tingkat Nasional, Jakarta: Integrita Press, 1984

Van Bruinessen, Martin, NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar & LKiS, 1995

Harian dan Surat Kabar

Editor, 10 Oktober 1992, 16 februari 1991, 2 Februari 1991, 10 Oktober 1992 Forum Keadilan, 17 Maret 1994, 28 Oktober 1993

Kompas, 22 Agustus 1988


(3)

Media Dakwah, September 1994 Merdeka, 10 Desember 1990

Panji Masyarakat, 1-10 Agustus 1988, 1-11 Februari 1994, 21-30 Desember 1990 Suara Karya, 10 Desember 1990


(4)

PROPOSAL PENELITIAN

NEGARA ORDE BARU DAN PENGENDALIAN POLITIK ISLAM ( STUDI TERHADAP HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU

TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985 – 1994 ) O

L E H

USNI HASIBUAN 020906035

Dosen Pembimbing : Drs. Warjio. SS. MA Dosen Pembaca : Drs. Indra Kesuma Nst, S. IP. M.Si

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2007


(5)

DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN

Daftar Isi………...…………. ... i

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Manfaat Penelitian ... 8

1.5.Batasan Masalah ... 8

1.6.Kerangka Teoritis ... 9

1.6.1. Islam ... 11

1.6.2. Pemikiran Politik Islam ... 16

1.6.3. Negara ... 19

1.6.4. Negara Orde Baru ... 21

1.6.5. Model – Model Kepolitikan Orde Baru ... 25

1.6.6. Relasai agama dan Islam dalam Islam ... 31

1.7.Metodologi Penelitian ... 35

1.7.1 Metode Penelitian ... 35

1.7.2. Jenis Penelitian ... 36

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data ... 36

1.7.4. Analisa Data ... 36


(6)

BAB II. FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU DENGAN UMAT ISLAM 1985-1994

2.1.Munculnya Gerakan Pemikiran Baru Islam ... 38

2.1.1. Reformulasi dasar-dasar Keagamaan ... 39

2.1.2. Mendefinisikan ulang cita-cita politik Islam ... 41

2.1.3. Meninjau kembali Strategi politik Islam ... 43

2.2. Kemerosotan Pengaruh Politik Partai Islam ... 45

2.3. Kemerosotan Pengaruh Politik “ Kelompok Tanah Abang “dan dinamika elite Islam di Golkar ... 58

BAB III. ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985 – 1994 3.1. RUU Pendidikan Nasional ... 67

3.2. RUU Peradilan Agama ... 70

3.3. Kasus Monitor... 71

3.4. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila ... 73

3.5. Pengiriman 1000 Da’i untuk daerah-daerah terpencil dan lahan transmigran / SKB tentang pengumpulan zakat/ Pelayanan zakat / Pelayanan Haji/ Penayangan Pelajaran Bahasa Arab di TVRI / Silaturrahi ke UII... 74

3.6. Bank Muamalat Indonesia ( BMI ) ... 77

3.7. Semaraknya Media Islam ... 78

3.8. Lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia ( ICMI ) ... 78


(7)

BAB IV. KESIMPULAN

3.1. Kesimpulan ... 84 3.2. Saran ... 88


(8)

BAB II

FAKTOR-FAKTOR TERJADINYA HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU DENGAN UMAT ISLAM 1985 - 1994

1. Munculnya Gerakan Pemikiran Baru Islam

Dinamika umat Islam dalam hubungannya dengan Orde Baru pada awal dasawarsa 1970-an yang tetap diwarnai dengan ketegangan dan konfrontasi telah menempatkan posisi kaum muslimin menjadi marginal dalam proses politik Orde Baru, dibanding kelompok lain yang lebih sedikit kuantitasnya. Betapa banyak harga yang harus dibayar umat Islam selama periode konfrontasi itu. Hasil yang diperoleh sama sekali tidak sepadan dengan energi yang dikeluarkan.

Berbagai strategi pengedepanan artikulasi “Partai Islam” dan “oposisi” kurun waktu itu justru makin menempatkan umat Islam dipinggiran papan percaturan politik Orde Baru. Indikasi paling riil semakin merosotnya posisi politik umat Islam bias dilihat dari hampir tidak adanya jabatan strategis Negara yang dipegang oleh tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang “Gerakan Islam”. Sementara, konsep-konsep kebijakan yang dihasilkan negara juga banyak yang tidak mangakomodasi aspirasi kaum muslimin.

Keadaan tersebut membawa konsekwensi psikologis-bahkan sebagai beban karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim-terhadap para pemimpin Islam Indonesia, terutama kalangan intelektual generasi baru yang mulai menggeliat pada awal dekade 1970-an.

Pandangan ini memunculkan suatu gerakan apa yang disebut dengan “Pemikiran Baru Islam” dikalangan intelektual muda Islam pada 1970-an, yang merupakan perkembangan radikal dalam pemikiran politik keagamaan umat Islam


(9)

pada zaman Orde Baru. Gerakan pemikiran baru itu tidak saja membicarakan posisi umat Islam dalam kancah politik Orde Baru, tetapi juga membicarakan tentang Tuhan, manusia dan berbagai persoalan kemasyarakatan, terutama yang berhubungan dengan persoalan politik umat Islam serta bagaimana melakukan terobosan-terobosan untuk mengembalikan daya gerak psikologis umat Islam.69

Dalam perkembangan selanjutnya, “Pemikiran Baru’ (Intelektualisme Baru), menurut Bachtiar Effendy, membawa tiga implikasi: (1) mereformulasikan dasar-dasar keagamaan/teologis politik; (2) mendefinisikan ulang cita-cita politik Islam; (3) meninjau kembali strategi politik Islam.

70

1. Reformulasi dasar-dasar Keagamaan/Teologis politik Islam

Pada pembicaraan sebelumnya, telah disebutkan bahwa persoalan dasar yang dihadapi politik umat Islam dalam hubungannya dengan negara adalah adanya kesulitan untuk membangun sintesis yang memungkinkan diantara keduanya.faktor utama yang menyebabkan kemandegan politik ini adalah keinginan para pemikir dan aktivis politik Islam untuk membangun hubungan Isalm dan negara secara legalistic dan formalistik.

Sikap semacam ini dasar keagamaannya, yang merujuk pada pemahaman tertentu atas doktrin, bahwa Islam itu pada dasarnya bersifat holistic. Termasuk didalamnya pemahaman bahwa Islam memberikan konsep yang jelas dan baku tentang negara atau sistem pemerintahan. Bahkan, ada pihak yang berpendapat bahwa negara adalah bagian integral agama-sebuah pandangan politik-keagamaan yang merujuk pada proposisi: inna al Islam ad-din wa ad- dawlah, bahwa Islam

69

Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam, Jakarta: Mizan, 1986, hlm.122-123.

70


(10)

itu agama dan negara. Karenanya, dari sudut pandang teologis semacam ini, adalah wajar jika Islam dijadikan dasar ideologi negara.

Generasi baru pemikir dan aktivis muslim juga percaya pada sifat Islam yang holistik itu. Tetapi, mereka menolak pendapat bahwa Islam memberikan suatu kehidupan yang detail dan baku. Sifat holistic Islam hanya meliputi nilai-nilai moral yang berperan sebagai petunjuk umum bagi kehidupan. Begitu pula, kaitan Islam dan negara atau sistem pemerintahan hanya didasarkan prinsip-prinsip etis, bukan konsepsi baku.

Mereka tidak menemukan indikasi kuat bahwa Islam memberikan aturan baku dalam hubungannya dengan negara dan pemerintahan. Bahkan istilah “negara” pun tidak ada dalam Al Qur’an. Bagi mereka, persoalan “negara” merupakan produk pemikiran politik sebagai counter terhadap kolonialisme barat.71

Dalam pandangan mereka, Islam tidak mewajibkan umatnya untuk membentuk suatu negara. Sebaliknya, mereka cendrung percaya bahwa Islam lebih mementingkan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat yang baik, yaitu masyarakat yang merefleksikan subtansi ajaran Islam seperti prinsip keadilan, egalitarianisme, partisipasi, musyawarah, dan lainnya. Sejauh mekanisme tatanan kemasyarakatan (dan negara) diatur dengan prinsip-prinsip dasar seperti itu, yang menurut Robert N. Bellah cirri-ciri itu terdapat pada negara kota Muhammad di Kesimpulan ini mereka dapatkan setelah melakukan kajian-kajian intensif atas doktrin Islam maupun diskursus politik Islam dalam sejarah klasik (Al Mawardi, Ibnu Thaimiyah), maupun kontemporer (Ali Abdul Raziq, Abu Al-A’la Al Maududi, Sayyid Qutb, dan sebagainya).

71


(11)

Madinah, maka cukuplah untuk dikatakan bahwa itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Atas dasar pemikiran demikian, mereka tidak memiliki persoalan teologis dalam hubugannya dengan konstruk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Kenyataan bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, cukuplah bagi mereka untuk berpendapat, bahwa Indonesia adalah negara yang memperhatikan nilai-nilai keagamaan (religious state), tanpa harus menjadi “negara-agama” atau”negara-teokratis” (theocratic state).

2. Mendefinisikan ulang cita-cita politik Islam.

Dilihat dari perspektif keagamaan, sebenarnya tidak ada perbedaan esensial antara pemikir dan aktivis politik Islam terdahulu dan yang muncul pada dekade 1970-an dan berikutnya. Sebanding dengan situasi keagamaan yang melingkup i kaum calvinis, dimana diskursus ekonomi mereka dipengaruhi oleh doktrin beruf,72 Keterlibatan politik umat Islam juga dilandasi oleh semangan ajaran Islam, seperti amar ma’ruf nahi munkar. Perumusan cita-cita politik mereka tampaknya dipengaruhi oleh konsepsi ajaran tentang baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur- sebuah negeri yang makmur dibawah ampunan Ilahi. Dalam konteks demikian, dapatlah dikatakan bahwa para pemikir dan aktivis politik Islam itu sebenarnya Qur’anic centerd- bergerak berdasarkan pemahaman mereka terhadap Al Qur’an. Hal ini dalam pengertian, bahwa ide dan praktik politik mereka, setidak-tidaknya ada hubungannya dengan nilai-nilai Islam.73

Tapi, pada soal implementasi cita-cita dasar ini, dua generasi pemikir dan aktivis Islam itu berdoa. Kecendrungan skriptualistik generasi lama telah

72

Max Weber, The Protestan Ethnic and the Spirit or Capitalism, Translated by Tallcot Parson, London: George Allen and Unwin L.td.,1985 dalam Bahtiar Efendy, Op.Cit.,hal. Hal. 31.


(12)

mendorong mereka untuk menegakkan sebuah cita-cita ketika hubungan antara Islam dan negara bersifat formulatistik dan legalistic. Cita-cita ini ditandai dengan keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara. Tampaknya bagi mereka, ide tentang “negara yang damai dibawah ampunan Ilahi” tak akan dapat diciptakan dalam kontruksi negara yang secara forma tidak berdasarkan Islam sebagai ideologinya.

Sebaliknya, sebagimana telah diisyaratkan dimuka, generasi pemikir dan aktivis Islam baru lebih cendrung pada pendekatan yang subtansialistik atas doktrin-doktrin kemasyarakatan Islam. Dengan lebih menekankan pada substansi, mereka menolak cita-cita politik Islam yang bersifat legalistik dan formalistic. Karena itu, mereka tidak berkeinginan untuk menegakkan “Negara Islam”. Bahkan, mereka menolak gagasan tentang Islam sebagai dasar negara. Perhatian utama mereka adalah tebentuknya sebuah sistem social politik yang merefleksikan, atau sesuai dengan, nilai-nilai Islam.

Karena prinsip-prinsip etis politik Islam berbicara tentang keadialan (adl), masyawarah (syura), persamaan (musawah), maka bentuk sistem kenegaraan yang secara subtansif mencerminkan nilai-nilai Islam adalah demokrasi. Untuk itu, perumusan ulang cita-cita politik Islam berujung pada (1) terbentuknya mekanisme politik yang sifatnya egaliter dan demokratis; dan (2) berlakunya proses-proses ekonomi yang lebih kurang equitable.

Kenyataan bahwa jalan untuk menuju Indonesia yang demokratis dan egaliter masih panjang, hal itu harus dilihat sebagai sesuatu yang memprihatinkan seluruh bangsa Indonesia. Karena watak cita-cita politik Islam yang universal itu, pendekatannya pun harus bersifat integrative, dengan melibatkan seluruh kekuatan


(13)

bangsa. Dengan demikian, cita-cita untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi hendaknya dilakukan dengan kerangka sistem politik yang ada.74

3. Meninjau kembali strategi politik umat Islam

Strategi politik Islam di masa lalu ditandai oleh dua karakter utama: (1) politik partisan, dan(2) parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan. Yang pertama berkaitan erat dengan adanya pengelompokan Islam sebagai kategori kekuatan-kekuatan politik ( Masyumi, NU, PSII, Perti).

Dalam konteks pengelompokan seperti itu, terdapat kejelasan peran dan kelembagaan politik Islam. Tetapi karena tajamnya polarisasi ideology di antara partai politik yang ada ketika itu, pendekatan politik partisan ini menimbulkan persoalan bagi Islam sebagai entitas keagamaan. Karenanya, konsep umat Islam sering tidak jelas. Pengakuan atas keIslaman seseorang tidaklah didasarkan atas kenyataan bahwa ia adalah seorang Islam, tetapi lebih didasarkan atas hubungannya dengan organisasi social-politik Islam serta ide-ide yang dikembangkannya. Karena sifatnya yang reduksionis ini, cita-cita politik Islam menjadi milik organisasi social-politik Islam, bukan masyarakat Islam secara keseluruhan.

Yang kedua merujuk kepada kenyataan bahwa pendekatan politik Islam bersifat monolitik. Hal ini dalam pengertian bahwa cita-cita politik Islam lebih banyak di perjuangkan lewat parlemen. Sementara sarana-sarana lain, yang mungkin secara makropolitik lebih strategis, kurang diperhatikan. Karenanya, dapat dipahami jika kegiatan-kegiatan NU dan Muhammadiyah yang sifatnya “non politik” tidak mempunyai makna politik yang strategis.

74


(14)

Strategi politik Islam yang dikembangkan oleh generasi baru Muslim sekarang ini lebih bersifat inklusif, integrative, dan diversifikatif. Sementara tetap berpegang pada prinsip baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur dan amar ma’ruf nahi munkar, mereka tidak mengartikulasikannya dalam konteks subjektivisme ideologis dan simbolis, tetapi merumuskannya dalam kerangka cita-cita masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kalau buku Aspirasi Umat Islam Indonesia bisa dijadikan rujukan, dapat dikatakan bahwa agenda mereka meliputi soal-soal besar, termasuk demokratisasi, toleransi politik dan agama, egalitarianisme social-ekonomi dan partisipasi politik.

Sementara itu, mereka juga tidak menganggap parlemen sebagai instrumen utama untuk menyalurkan aspirasi politik umat Islam. Kendatipun sifatnya yang “non politik”, organisasi semacam NU, Muhammadiyah, MUI, dan sejumlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya yang dikembangkan oleh generasi baru pemikiru dan aktivis Islam dianggap mempunyai makna strategis untuk mengembangkan cita-cita politik Islam.

Kalaupun harus melalui jalur partai, organisasi politik Islam seperti PPP tidak merupakan satu-satunya pilihan. Karena sifat dari politik Islam yang lebih inklusif dan integrative, GOLKAR dan PDI pun dianggap potensial untuk memperjuangkan kepentingan Islam. Bahkan, ada kecendrungan pada sebagian besar pemikir dan aktivis Islam untuk menyalurakan aspirasi sosial-politiknya melalui GOLKAR.

Ini semua menunjukkan adanya sebuah transformasi yang cukup berarti dalam pemikiran dan praktik politik Islam. Semua itu, baik pada tataran dasar-dasr teologis, cita-cita politik, dan strategi pendekatannya, ditujukan untuk


(15)

menghadirkan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara (politik). Dalam konteks yang lebih empiric, intelektualisme dan aktivisme baru ini dikembangkan untuk menghadirkan sebuah Islam politik yang lebih inklusif dan integrative dalam hubungannya dengan kontruk negara Indonesia yang ada.

2. Kemerosotan Pengaruh Politik Partai Islam

Berbagai sikap keras perlawanan kalangan Islam terutama PPP pada Pemilu dan terutama aksi walk-out-nya pada SU MPR 1978 semakin memancing kemarahan rezim Orde Baru terhadap para pemimpin politik Islam. Dalam menanggapi perilaku “oposisi” PPP itu, Jendral Ali Moertopo dengan geram menyatakan pada pers: “Bahwa sikap Fraksi PPP di dalam MPR sebagai orang yang mau tenggelam dan setengah gila”.75

Beberapa waktu kemudian, Presiden Soeharto dalam sebuah pidato mengecam semua kelompok di Tanah Air yang tampak memusuhi Pancasila dan justru berpegang teguh kepada ideologi-ideologi saingannya, seperti komunisme, marhaenisme atau agama dan dia mangancam menerjunkan ABRI untuk memukul mereka. Tindakan ini jelas dialamatkan kepada tindakan walk-out PPP, terutama unsur NU, sebagai peringatan bahwa tidak akan ada lagi toleransi untuk perlawanan terhadap ideologi resmi.

76

Kelanjutan dari ketidaksukaan rezim terhadap “Partai Islam” itu ialah intervensi untuk melumpuhkan PPP dari dalam secara intensif. Tindakan konkret awalnya adalah penggeseran Ketua Umum PPP, Mintaredja, yang “didubeskan”,

75

Abdul Qadir Djailani, Musuh-musuh Melakukan Offensif, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1987, hal..325.

76


(16)

diganti dengan Djailani Naro (“Jhon Naro”), yang diatur rapi melalui manipulasi politik yang dijalankan Ali Moertopo.

Bahkan tanpa ada undangan rapat pengurus, apalagi Muktamar, Naro mengumumkan dirinya sebagai ketua baru Naro nampaknya membawa misi penguasa untuk membungkam kalau tidak dikatakan menyingkirkan, politisi Islam PPP yang terlalu kritis terhadap rezim Orde Baru. Sebagai orang titipan, Ali Moertopo dan bekas anggota FKP pada 1968, Naro menjadi sumber penting kemelut dan ketegangan internal PPP yang memang telah cukup rentan akibat “fusi separo badan”.

Tindakan rezim Orde Baru untuk menekan PPP, terutama unsur NU sebagai elemen “garis oposisi”, bukan hanya itu saja, jaringan NU di daerah-daerah juga mengalami tekanan keras dari penguasa militer dan sipil dari tingkat pusat hinggan birokarasi lokal yang curiga dan marah. Para usahawan yang merupakan soko guru terpenting sebagian besar cabang NU sangat merasakan tekanan tersebut. Para usahawan yang dianggap berafiliasi dengan NU tidak hanya dibuntu jalur kontrak bisnisnya dari pemerintah, bahkan urusan-urusan bisnis swasta mereka pun sering diintervensi. Para usahawan yang sumula cukup terwakili dalam kepengurusan di berbagai cabang-cabang NU itu, karena tekanan beruntun terhadap mereka, terpaksa mulai bersikap moderat, atau bahkan menarik diri sama sekali dari aktivitas politik paraktis.

Rekayasa suprastruktur lebih lanjut untuk menggeser kelompok berhaluan oposisi di PPP adalah dengan mem-back-up faksi akomodasionis atau oportunis untuk menguasai sumber-sumber kekuasaan di Parlemen dan kepengurusan Partai. Upaya itu terlihat dari dukungan penuh FKP dan FABRI pada kelompok MI yang


(17)

merebut posisi Ketua Komisi di DPR-RI yang semestinya merupakan jatah NU. Perebutan jatah kursi Komisi dari tangan NU dari perolehan 13 Ketua Komisi FPP di DPR-RI. Dari 13 Komis jatah FPP itu, alokasi antar unsur dibagi dengan rasio NU:MI:SI:Perti=7:4:1:1.

Sesuai dengan kesepakatan fraksi-fraksi di DPR, alokasi ketua komisi untuk unsur Nu adalah di Komisi I, VII, VIII. Kemudian muncuk kesepakatan pada 1978, NU meminjamkan posisi Ketua Komisi VII (Bidang Perdagangan, Keuangan dan Bank Sentral)77

Merasa mendapat angin dari pemerintah, faksi MI meningkatkan ambisinya untuk merebut ketua komisi lain yang berada dalam kendali unsur NU. Lagi-lagi unsur NU kalah sehingga beberapa posisi ketua komisi lainnya ikut terserabot unsur lain yang mendapat dukungan dari FKP dan FABRI. Akibat yang semula di pegang Rahmat Muljomuseno (NU) kepada Sudarji (MI), dengan syarat harus dikembalikan setahaun kemudian, setelah batas waktu peminjaman habis, ternyata MI masih minta perpanjangan satu tahun lagi. Di sini NU masih menunjukkan jiwa besarnya denag menyetujui pemintaan perpanjangan unsur MI. Namun kebesaran jiwa unsur NU ternyata membuat faksi MI lupa daratan. Sampai batas waktu perpanjangan terakhir unsur MI justru bersikeras mencengkram jabatan Ketua Komisi yang basah itu.

Kali ini NU habis kesabarannya, sehingga menjelang persidangan DPR 1980/1981 menjadi pergesekan terbuka antara NU dan MI. Untuk menentukan siapa yang berhak memimpin Komisi VII akhirnya diputuskan melalui voting. Dalam proses pemungutan suara itu faksi NU kalah, karena MI didukung oleh FKP dan FABRI yang nota bene kepanjangan tangan pemerintah di parlemen.


(18)

penyerobotan kursi-kursi yang seharusnya milik NU itu, perbandingan unsur dalam FPP yang memegang jabatan ketua komisi pun berubah dengan menyusutnya posisi dan meningkatnya posisi MI.

Rasio jatah kursi ketua komisi bergeser, yang semula 7 banding 4 antara NU dan MI berubah menjadi 5 berbanding 6. secara distribusinya sebagai berikut:NU: 5, MI: 6, SI: 1 dan Perti: 1. keadaan itu semakin mengecewakan para tokoh NU, karena sebelum penyerobotan jatah kursi ketua komisi tersebut mereka juga telah meras a ”dikhianati” dalam pembagian kursi DPR hasil Pemilu 1977. Dalam distribusi ini seharusnya mengacu pada ”konsensus 1975” yang mendasarkan pembagian kursi dalam PPP dengan perimbangan hasil yang diperoleh empat Partai Islam pada Pemilu 1971.

Tetapi kenyataanya yang terjadi penambahan lima kursi PPP dalam Pemilu 1977 hanya dinikmati unsur-unsur minoritas dalam partai ( MI, Perti,dan SI ), sedangkan kursi dari NU justru merosot dari 58 menjadi 56. Anehnya, setiap MI merebut posisi-posisi yang dipegang oleh NU, para politisinya selalu mengklaim sebagai kelompok mayoritas di PPP karena sebagai penerus Masyumi- partai besar Islam pada 1955. Padahal hampir seluruh pendiri dan aktivis Masyumi seperti M. Natsir sampai Lukman Harun ( Tokoh Parmusi ) berkali-kali membantah bahwa MI merupakan pewaris Masyumi.

Berbagai ketimpangan distribusi sumber-sumber kekuasaan dan kekecewaan dalam tubuh PPP diatas semakin menyulut pertikaian internal lebih besar, tatkala terjadi proses penyusunan daftar calon DPR untuk Pemilu 1982. MI mulai mengabaikan kesepakatan di antara unsur berfusi pada awal pendirian partai


(19)

menyangkut distribusi nama calon yang handak disusun. Unsur MI mengharapkan dikuranginya jatah NU yang semula 56 kursi menjadi49.

Keinginan ini ditolak unsur NU yang menghendaki komposisi daftar calon tetap seperti semula. Sikap unsur NU itu didasarkan oleh keputusan Munas Alim Ulama Nu di Kaliurang yang memberikan amanat kepada PBNU untuk mempertahankan jiwa konsensus Munas PPP 1975 serta kekuatan massa riil NU sebagai kontributor surar terbesar bagi PPP dibandingkan unsur lain.

Sikap teguh NU untuk berpegang pada konsesus 1975 dan agresifitas kelompok Naro(MI) membuat proses penyusunan Daftar Calon Sementara (DCS) anggota DPR 1982 menjadi alot dan panas. Dari pernyataan dan sepak terjang Naro dan Sudarji dalam upaya mengeliminasi tokoh-tokoh dari unsur NU nampak tak diragukan lagi, keduanya membawa “pesan sponsor” untuk menjegal orang-orang yang berpotensi menjadi “oposan” pemerintah. Dengan arogan Sudardji berkata bahwa ia tak menghendaki satu pun dari unsur NU masuk daftar caleg DPR PPP. Sudardji berusaha memojokkan Nu, bahwa anggota NU tempo hari sudah melakukan walk-out, mendukung Petisi 50 dan ikut menandatangani angket mengenai Pertamina. Juga dengan sensasionalnya dikatakan, bila jumlah 50 anggota NU masih dicalonkan maka kehidupan Orde Baru menjadi terancam.78

Dengan terlontarnya ucapan-ucapan kasar diatas bisa diduga kalau penyusunan caleg PPP sedang meluncur ke jalan buntu. Rapat-rapat pertemuan penyusunan daftar calon seolah-olah hanya menjadi arena saling menggebrak, hingga batas akhir penyerahan pada 27 September 1981 belum ada kata kesepakatan di antara mereka, meski tak kurang dari 22 kali rapat telah dilakukan.

78

Fachry Ali dan Iqbal Abdurrauf Rauf Saimina,”PPP, Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan.” dalam Farchan Bulkian (Pengantar), Analisa Kekuatan Politik di Indonesia,


(20)

Lembaga Pemilihan Umum (LPU) memberikan perpanjangan waktu pada PPP untuk menyerahkan susunan daftar calon hingga 27 Oktober 1981. hingga batas ahir perpanjangan waktu itupun tetap mengalami jalan buntu karena masing-masing pihak ngotot untuk berpegang pada pendiriannya.

J.Naro dengan sekutu-sekutunya dekatnya kemudian mengambil jalan pintas dengan cara sepihak menyerahkan daftar calon anggota DPR kepada Mendagri selaku Ketua LPU. Dalam daftar calon versi kelompok Naro tersebut porsi NU mengalami pengurangan drastic disbanding Pemilu sebelumnya. Hal ini tentu saja menjengkelkan para tokoh NU, apalagi urutan daftar nama yang dikehendaki NU diaduk-aduk sedemikian rupa, sehingga tokoh-tokoh utama yang dijagokan NU tidak mungkin jadi.

Mereka yang dijadikan kartu mati oleh J.Naro umumnya sangat vocal dalam menyikapi Orde Baru seperti Yusuf Hasyim, Syaifuddin Zuhri dan Imron Rosyadi. Daftar calon sementara yang diserahkan secara sepihak oleh J. Naro tenyata deterima dan dianggap syah oleh Mendagri ( Ketua LPU dan PPI ). Kendati keputusan untuk menerima urutan calon itu diprotes oleh kalangan NU, Idham Chalid sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak, meski telah dilakukan upaya membuat daftar calon tandingan.

Karena tidak puas dengan penaganan sengketa intern partai tersebut dan merasa PPP tak bisa diharapkan lagi menjadi alat perjuangan, pada 19 Februari 1981 KH. Syaifuddin Zuhri menyerahkan jabatan Ketua DPP PPP kepada Presiden Partai (Idham Chalid).

Mengomentari pengunduran diri KH.Syaifuddin Zuhri, wakil Sekjend NU, Abdurrahman Wahid melihatnya sebagai “kejadian penting”. Suatu tindakan


(21)

formal pertama dilingkungan NU untuk melepaskan organisasi sosial keagamaamitu dari kaitan organisasi dengan PPP. Ini tentu memiliki implikasi sendiri bagi perkembangan politik jangka panajang di Tanah Air kita. Lebih jauh dari itu, Presiden partai Dr. KH. Idham Chalid mengancam akan juga mengundurkan diri jika tidak terdapat penyelesaian intern PPP.79

Begitu menyakitkan kekisruhan PPP menjelang Pemilu 1982, sehingga pengurus Syuriah PB NU merasa perlu secara khusus membahas berbagai kerugian yang diderita NU itu. Dalam pertemuan tersebut Syuriah PB NU memutuskan akan mempertimbangkan kedudukan NU di PPP apabila azas musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi (PPP) tetap tidak ditegakkan.

Rentetan kejadian yang merugikan kalangan NU tersebut tak kurang menimbulkan perdebatan panas tentang kegunaan ikut serta dalam politik parlementer.

80

Dampak dari gejolak internal yang tak terselesaikan diatas terasa sekali pengaruhnya dalam penampilan PPP masa kampanye dan Pemilu 1982. kesemarakan kampanye PPP mulai agai memudar, banyak para pemimpin politik muslim yang semula menyatakan dukungannya dalam kampanye Pemilu 1977 kini menolak memberikan dukungan. Mereka antara lain M. Natsir, Nurcholish Madjid, Kasman Singodimedjo dan sebagainya. Polemik dan perang statemen-terkadang disertai caci-maki-yang tersebar di media massa yang menyertai kemelut PPP itu memperlihatkan betapa parahnya keretakan yang terjadi sehingga mulai menimbulkan krisis kepercayaan sebagai partai Islam. Dengan susah payah

79

Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Politik Islam di Tingkat Nasional, Jakarta:Integrita Press, 1984, hlm.169.

80


(22)

akhirnya PPP dalam Pemilu 1982 itu memperoleh 94 kursi, yang berarti mengalami penurunan 5 kursi dibandingkan Pemilu 1977.

”Penggembosan” dan Upaya Penetrasi Elit NU ke dalam ”Partai Orde Baru”

Sebagai realisasi dari keputusan kembali ke khittah 1926, yang berarti NU tidak lagi terikat dengan organisasi politik manapun, PB-NU mengeluarkan SK No.1./PB NU/1-1985 tentang larangan bagi pengurus harian Nu memiliki rangkapan jabatan sebagai pengurus harian partai politik/organisasi sosial politik manapun. Rupanya materi keputusan itu dianggap penting sehingga pada 26 Oktober 1985, PB NU kembali menegaskan pelarangan rangkap jabatan dengan SK 72/A.-II/04-d/XI/85 danNO.92/1986.

Intruksi semacam itu tentu dirasakan sebagai suatu hal yang kurang mengenakkan bagi sebagian pemimpin-pemimpin di daerah-daerah, karena banyak pengurus NU di daerah-daerah kebanyakan juga juga menjabat sebagai pengurus PPP. Di hadapkan pilihan seperti itu, sebagian dari mereka mematuhi intruksi itu dengan menanggalkan jabatannya di PPP, namun ada juga yang menolak.

Bila prinsip netralitas NU terhadap partai-partai politik sebagai konsekuensi kembali ke khittah ’26 benar-benar dijalankan seperti keluarnya intruksi di atas, mau dikamanakan massa NU yang besar dan relatif kohesif itu? Menjelang di selenggarakannya kampanye Pemilu 1987, jawaban terhadap pertanyaan itu, mulai menampakkan kejelasan.

Para pemimpin NU, termasuk Abdurrahman Wahid, semakin terlihat aktif melakukan perjalanan ke daerah memberikan pengarahan warga NU. Intinya,


(23)

mereka membawa pesan sederhana, warga NU tidak lagi wajib memilih PPP, tidak haram mencoblos GOLKAR dan PDI. Tetapi dalam peyampaian mereka memiliki titik tekan berbed-beda . yang itu tergantung pada yang melatar belakanginya. Bagi para tokoh NU yang semula di PPP kemudian disingkirkan Naro, seperti Yusuf Hasyim, Mahbub Junaidi dan seterusnya, pesan-pesan yang disampaikan sarat dengan muatan sentimen PPP.

Bagi mereka yang merasa akan mendapatkan keuntungan bila suara NU berpindah de Golkar, namun tidak pernah terlibat langsung konflik dengan Naro, umumnya melakukan persuasi lebih halus agar massa NU mengalihkan suaranya ke partai pemerintah. Namun disamping tokoh-tokoh yang menggunakan khittah dengan muatan-muatan kepentingan itu, banyak tokoh-tokoh NU yang melakukannya dengan tulus demi kebaikan organisasi. Upaya-upaya tokoh NU agar warganya melakukan meninggalkan dukungannya pada PPP dalam Pemilu, 1987 itulah yang kemudian diistilahkan ”penggembosan”.

Gerakan penggembosan yang nampaknya secara diam-diam menjadi policy kepemipinan Abdurahman Wahid menjadi sangat efektif karena diperburuk oleh perkataan-perkataan provokatif J.Naro sendiri yang menjelek-jelekkan NU. Di berbagai kesempatan, Naro mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan partai sebagai ”telur busuk” yang jumlahnya tak lebih dari 200 orang.

Dalam pidatonya yang sangat kasar dihadapan masa pendukung PPP Bandung, Naro berujar ”Biar saja ” telur-telur busuk” itu keluar dari partai. Terlalu lama dalam keranjang (PPP) yang baik ini, malah akan merusakkan telur-telur yang masih bagus. Pernyataan-pernyataan vulgar semacam itu tentu semakin menyulut emosi dikalangan tokoh-tokoh dan warga NU. Senjata ampuh lain yang


(24)

digunakan untuk mengempiskan suara PPP adalah isu azas tunggal yang berari PPP tidak lagi bisa mengklaim sebagai partai Islam.

Adalah para tokoh-tokoh NU berpengaruh seperti KH. Fuad

Hasyim(Cirebon), KH.Hamid Baid howi ( Lasem), KH.Syafi’i Sulaiman, KH. Shobib Bisri, KH. Yusuf Hasyim, H. Saiful Mujab dan H. Mahbub Junaedi yang paling aktif berkeliling ke daerah - daerah untuk melakukan pengembosan. Para tokoh - tokoh tersebut biasanya menggunakan acara - acara ceramah keagamaan (pengajian )sebagai ajang penggembosan sehingga kadang sulit dibedakan apakah itu acara pengajian atau penggembosa. Semakin mendekati Pemilu para tokoh NU terlihat semakin intensif menggerogoti PPP sehingga di Jawa Timur saja tak kurang dari 900 pengajian.

Yang dimuati pesan pemboikotan pada PPP. Mereka baik secara terang-terangan atau implisit, membujuk warga NU untuk memilih Golkar. Sekurang-kurangnya para tokoh NU dalam materi-materi ceramahnya menegaskan berulang-ulang garis batas NU dan PPP dibandingkan dua OPP yang lain terutama Golkar.

Rentang waktu masa kampanye, Abdurrahman Wahid mengisi acara-acara pengajian di Golkar. Di Surabaya, Gus dur memberikan ceramah di DPD Golkar Jawa Timur, ketika pada hari yang sama PPP juga menggelar kampanye. Dalam konteks acara yang sama, Gus Dur berbicara dalam acar Isra’ Mi’raj di Gedung DPP Golkar di Jakarta. Dalam pada itu, Abdurrahman Wahid pada Harlah NU ke-61 di Surabaya, dihadapan sekitar 10.000 warga Nahdliyah mensinyalir adanya kesalah pahaman hubungan umat Islam dan negara yang sering diwarnai


(25)

pertentangan. Gus Dur dalam acara itu berkali-kali menyatakan bahwa NU secara kelembagaan telah meninggalkan politik praktis.

Gus Dur juga aktif melakukan kontak-kontak loby dengan pimpinan Golkar, yang bisa ditafsirkan sebagai suatu konsesi politik dijanjikan akan diberikan oleh Golkar kepada pemimpin NU itu bila berhasil mengkonversikan pengikutnya ke Golkar berhasil. Atas dasar itu, dalam retropeksi, H. Abdurrahman Wahid sering kali dianggap bertanggung jawab dalam gerakan penggembosan ini. Pengkritik yang paling vokal terhadap aksi penggembosan itu adalah KH. Syansuri Badawi, seorang guru senior di Tebu Ireng dan calon PPP di DPR. Dalam sebuah serangan yang tersebar terhadap Abdurrahman Wahid dan pendukungnya, dia mengatakan bahwa sebagai umat Islam, warga NU tidak punya pilihan kucuali memberikan suaranya kepada partai Islam, PPP.

Martin Van Bruissen menyatakan, umat Islam luar NU yang taat, termasuk banyak diantaranya yang memandang rendah kepemimpinan Naro, melontarkan cemooh yang bertubi-tubi kepada Abdurrahman Wahid karena dipandang menghianati kepentingan Islam. Apapun tuduhan yang diajukan pada Abdurrahman Wahid, gerakan penggembosan ini nampaknya merupakan langkah lanjut ”pembaru muda” untuk melakukan ”eksperimen politik strategi akomodasi berprinsip” dengan negara.

Betapapun usaha-usaha yang membendung gelombang penggembosan telah dilakukan PPP, termasuk tokoh NU yang masih berada di Partai itu, upaya itu sia-sia belaka. Selebaran-selebaran yang beredar di kalangan NU sangat merugikan PPP. Demikian halnya dengan kajian-kajian keagamaan yang dilakukan tokoh-tokoh NU yang lebih banyak memberi angin kepada Golkar.


(26)

Derasnya gelombang penggembosan yang dilakukan tokoh NU menjelang Pemilu keempat Orde Baru itu benar-benar membuat kelabakan para aktivis PPP. Dilaporkan banyak DPC PPP mengeluhkan sulitnya mencari saksi pemungutan suara dan Panwaslakcam. Kampanye-kampanye partai berlambang bintang tersebut juga sepi dari pengunjung.

Sebagian pemimping NU Jawa Timur, menurut Martin Van Bruissen, malah terlihat berlebihan dalam menyerang PPP, sehingga memunculkan berbagai ketegangan sosial di beberapa tempat. Suatu hal yang dianggap melebihi proporsi yang diharapkan pemerintah. Oleh karena itu, Laksusda ( aparat militer ) yang elitnya kebetulan terlibat dengan rivalitas dengan pimpinan Golkar segera mengeluarkan larangan berceramah beberapa tokoh NU. Meskipun kumudian Ditsospol mencabut kembali ”pencekalan” terhadap tokoh NU yang ”menghantam” PPP melalui ceramah-ceramahnya.

Alasan yang dipakai dalam ”penggiringan” massa NU ke ”Partai Orde Baru” antara lain adalah, meningkatakan sarana-sarana ibadah umat Islam berkat bantuan pemerintah. Suatu Bathsul-Masail yang diadakan di pondok-pondok psantren si – DIY Yogyakarta berkesimpulan:

” Apabila pertimbangan-pertimbangan di atas diterapkan dengan kritis dan tidak emosional, Golkar lah yang pantas dipilih dalam Pemilu, sebab keculi telah membawa manfaat bangsa dan umat Islam Indonesia, kita juga lebih dapat mengamalkan taat kepada Ulil Amri dan dapat lebih dekat lagi dengan... jadi memilih Golkar adalah pilihan yang tepat...Kami yakin, dengan menitipkan aspirasi melalui Golkar, di samping kita ikut menjaga kewibawaan Ulama, juga pamasyarakatan ajaran Ahlussunnah wal jamaah akan lebih dapat teralisir.81

81


(27)

Koalisi de facto NU dengan bekas ”musuh besarnya” Golkar, sebagaimana telah diketengahkan diatas, menghasilkan suatu perolehan suara yang mengejutkan dalam Pemilu 1987. Golkar mengalami lonjakan suara yang cukup besar, dari 66,34% pada Pemilu 1982 menjadi 72,99% pada Pemilu 1987. sementara PPP hanya memperoleh 15,96% yang berarti mengalami penurunan 11,82% dibanding Pemilu sebelumnya. Di daerah-daerah kantong NU, PPP mengalami kemerosotan suara yang besar, sebaliknya perolehan suara Golkar menggelembung.

Sebagai konsesi atas penyeberangan massa NU ke Golkar dalam Pemilu 1987, H. Abdurrahman Wahid dan Saiful Mujab (Mantan Politisi PPP) memperoleh kursi MPR – RI dari FKP. Beberapa tokoh NU lain, yang menjadi anggota MPR yang ditunjuk pemerintah adalah KH.Imron Hamzah ( mantan anggota DPR dari PPP ) dan HM. Syah manaf ( Mantan fungsionaris PPP DKI Jakarta ). Lebih jauh lagi, dalam SU MPR itu, Abdurrahman Wahid melakuakan lompatan akamodasi politik yang ”spektakuler”, dengan kesediaannya menyetujui status aliran kepercayaan dalam GBHN sebagimana yang dikehendaki oleh kelompok kebathinan Golkar. Langkah ini jelas sangat berlawanan dengan sikap politik para Ulama dan pemimpin NU yang dalam SU MPR 1978 melakukan walk out atas kedudukan aliran kepercayaan dalam GBHN.

Namun usaha NU untuk memasukkan pesantren ke dalam GBHN tidak berhasil karena kurang mendapat dukungan fraksi-fraksi pemerintah. Tetapi, yang terpenting dari kehadiran pimpinan NU di MPR mewakili FKP dan kesediaannya dalam menyetujui keberadaan aliran kepercayaan dalam GBHN itu adalah makna simbolis bagi suatu tahap pembalikan dari periode sebelumnya.


(28)

Bila periode dua dasawarsa pertama Orde Baru organisasi Islam terbesar ini berada dalam garda depan kekuatan politik Islam yang ”oposan” terhadap negara, pada awal kepemimpinan Abdurrahman Wahid justru berubah sikap menjadi affirmatif terhadap eksesntuasi politik negara Orde Baru.

3. Kemerosotan Power Politik “Kelompok Tanah Abang” dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR

Dalam upaya mencipatakan dapur politik (Kitchen kabinet) lembaga kepresidenan, Soeharto mangangkat orang-orang kepercayaannya kedalam Spri (Staf Pribadi). Spri yang terbentuk tak lama setelah tersusun kabinet Ampera, beranggotakan enam perwira AD yang telah lama memiliki kedekatan dengan Soeharto dan dua tim penasehat sipil untuk urusan politik dan ekonomi. Dalam perkembangannya, Spri mengangkat lagi enam orang perwira.

Keseluruhan para perwira yang masuk kedalam Spri tersebut menjadi dua belas, dengan penugasan yang telah digariskan oleh Soeharto.82

Sedangkan munculnya Ali Moertopo sebagai pembantu politik terpercaya Soeharto disebabkan keduanya telah menjalin hubungan akrab semenjak di Divisi Diponegoro, kemudian dalam pembentukan Tjuduad-Kostrad.

Dalam Spri ini, Ali Moertopo dan Sudjono Humardani merupakan orang yang paling berpengaruh. Bahkan karena kedekatan hubungannya dengan Soeharto, banyak beredar desas-desus bahwa Sudjono merupakan penasehat sprituil (dukun politik) Soeharto.

83

82

Fachry Ali, “ Merosotnya Aliran dalam PPP.” Prisma, Desember 1981,hal.245.

83

Krissantono,”Ali Moertopo di atas Panggung Poltik Orde Baru,” Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991, hal.139.

Ketika menjadi bawahan Soeharto, terutama pada Asintel Operasi Khusus (Opsus), Ali Moertopo telah banyak menunjukkan reputasi yang cemerlang.


(29)

Daftar keberhasilan Ali Moertopo bisa dilihat pada suksesnya penyelesaian damai konfrontasi dengan Malaysia dan kampanye memenangkan penentuan pendapat rakyat di Irian Barat 1969. Bahkan Jendral Nasution menengarai, tatkala masa transisi yang penuh ketidakpastian pos usaha kup G-30-S 1965, Ali Moertopolah yang tekadang menjadi sandaran pemikiran strategi politik yang harus ditempuh Soeharto.

Dengan berbagai reputasi Ali Moertopo tadi, tak mengherankan bila dia dengan keterampilan politiknya berhasil membuktikan diri sebagai seorang pembantu Soeharto yang sangat diperlukan. Karena itu, bisa dipahami bila kemudian Ali Moertopo mendapat tugas langsung dari Soeharto untuk melakukan conditioning (penggalangan) dalam pengamanan kepentingan politik negara Orde Baru, termasuk menjawab tantangan Pemilu yang harus segera dilaksanakan.

Penundaan penyelenggaraan Pemilu telah memberikan waktu lebih banyak bagi para petinggi AD untuk melakukan reorganisasi dalam sekber Golkar. Kepengurusan DPP Golkar hasil reorganisasi tersebut telah menunjukkan meningkatnya pengaruh Ali Moertopo di dalam sekber Golkar sebagaimana diperlihatkan dengan munculnya kino baru dalam Golkar yang diisi kaum intelektual dan politisi yang sangat dekat Ali Moertopo.84

Ada tiga kelompok cendikiawan dan politisi di sekitar Ali Moertopo. Kelompok pertama terdiri dari Lim Bian Kie ( Yusuf Wanandi ), Lim Bian Khoen

Kino baru sekber Golkar yang diberi nama Kino Karya Pembangunan hampir secara keseluruhan diisi intelektual dan politisi yang memiliki latar belakang kultural Jawa abangan, Katolik dan Sosialis.

84


(30)

( Sofyan Wanandi ), Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo. Mereka telah lama menjalin hubungan yang terdekat dengan Ali Moertopo, di mana Lim Bian Kie menjadi asistennya sejak tahun 1967. mereka tampil sejak Gestapu dengan rasa khawatir akan kejayaan Islam, mereka memiliki rasa khawatir bila gerak laju pemimpin politik Islam tidak dikendalikan dan rehabilitasi organisasi-organisasi Muslim dibiarkan akan merusak keseimbangan antara kekuatan-kekuatan secular dan Muslim.

Kelompok kedua disebut sebagai Gadjah Mada Group. Pada 1996 sama-sama tidak memberikan rasa simpatinya terhadap partai-partai Muslim dan secular dan berusaha agara seluruh partai politik dilarang sehingga pemerintahan Indonesia dapat diberi bentuk baru. Orang-orangnya yaitu Sumiskum, Sulistyo, Sugiharto, Soekarno dan Soeroso, mereka dikenal bersifat anti Presiden Soekarno dan memusuhi aspirasi-aspirasi Islam.

Kelompok ketiga adalah kelompok Bandung dengan tokohnya Rachman Tolleng dan Midian Sirait. Mereka bekerja sama dengan sponsor-sponsor dari kalangan militer untuk memperlihatkan bahwa modernisasi Indonesia bergantung pada ABRI.

Keberhasilan Ali Moertopo merekrut kelompok-kelompok intelektual dan mantan aktivis-aktivis di atas merupakan salah satu sumber kekuatan politik yang penting baginya sebagai politicl player idi pentas nasional. Sumber kekuatan politik lain yang menjadi sumber keberhasilan Ali Moertopo untuk menjadi actor politik yang sangat berpengaruh pada awal Orde Baru adalah kemahiran siasat politiknya yang diperoleh dari penempaan perjalanan panjang dan berliku-liku sebagai prajurit militer.


(31)

Karir militer Ali Moertopo merangkak dari bawah sebagai prajurit tiga hingga karirnya terus menanjak sampai kemudian secara intens menggeluti dunia intelijen terutama seksi intelijen Kostrad yang disebut Operasi Khusus ( Opsus ). Setelah Jendral Soeharto memegang kekuasaan, selain ditugaskan sebagai Aspri, dia tetap dipercaya mengelola jaringan intelijen Opsus Kostrad tersebut. Dengan menggunakan Opsus sebagai basisnya, Ali Moertopo membangun Bapilu ( Badan Pengendali Pemilu ), sebuah organisasi krusial untuk menghadapi Pemilu 1971.

Pada tahun 1971 kelompok Ali Moertopo mendirikan sebuah think-thank yang diberi nama Center for Strategic and Internasional Studies (CSIS) untuk mempromosikan kepentingan – kepentingannya. Lembaga yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardani dan Daud Yoesoef kemudian populer disebut sebagai kelompok Tanah Abang. Dalam perjalanannya, kelompok Tanah Abang tak hanya sekedar sebagai tangki pemikir melainkan telah bergerak sebagai kelompok kepentingan politik terlalu jauh, sehingga orang-orangnya banyak menduduki posisi strategis di GOLKAR dan pemerintahan. Untuk menunjukkan betapa besarnya ambisi kelompok Tanah Abang ini, perlu dicatat bahwa didalam GOLKAR pernah mendesakkan gagasan untuk menjadikan kelompok Tanah Abang ini sebagai “Kabinet Bayangan”, dimana anggota kabinet bayangan ini anrara lain terdiri dari Daud Yoesoef dan Panglaykim.

Meskipun rencana tersebut gagal karena mendapat tantangan keras dari berbagai pihak, kelompok CSIS telah banyak berhasil membentuk visi kebijaksanaan negara pada dua dekade pertama kekuasaan rezim Orde Baru. Keberhasilan lembaga yang dibawah pengaruh patronase Ali Moertopo dan


(32)

Sudjono Humardani dalam mempengaruhi policy process selain karena personal linkages-nya juga barangkali kemampuannya dalam mengelola informasi.

Adalah tidak mengherankan jika kemudian kebijaksanaan politik awal pemerintah Orde Baru banyak dirasakan menyayat hati kaum muslimin, karena kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan cenderung hendak memusuhi umat Islam. Dalam pikiran kelompok Ali Moertopo, Islam merupakan potensi yang sangat membahayakan apabila diberi kesempatan. Ada kecendrungan memandang Islam identik dengan “ Darul Islam”, sehingga ia cendrung menghancurkan Islam.85

Menurut Richard Tanter,86

85

Affan Gaffar, “ Partai Politik, Elite dan Massa dalam Pembangunan Nasional,” dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru (Solo: Ramadhani, 1990) hal.22.

86

Harian KAMI, 4 Oktober 1973, sebagaimana dikutip Heru Cahyono.op.cit., hal.130-131.

dalam kurun decade 1970-an pemerintah Orde Baru, agen-agen intelijen yang berada dalam pengaruh Ali Moertopo menempatakan posisi kelompok Islam sebagai sasaran utama dari rangkaian operasi intelijen mereka. Agen intelijen tersebut banyak menanamkan sumber untuk penetrasi (penyusupan) dan manipulasi terhadap kelompok Islam militant atau radikal, provokasi menjadi alat yang menonjol dalam operasi yang dijalankan.

Metode operasi intelijen yang dijalankan Opsus biasanya dengan jalan intervensi pada rapat-rapat atau musyawarah partai dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.


(33)

Dalam usaha memenuhi ambisi politiknya, Ali Moertopo tak segan-segan menggunakan cara-cara inkonvensional, antara lain, seperti dikatakan Soemitro, Ali Moertopo menghimpun dan membina unsur bekas DI/TII, PRRI dan unsur parpol peniggalan Orde Lama yang bisa dipergunakan untuk alat manuver politiknya.

Sementara itu dalam komposisi kepengurusan Munas III GOLKAR, pengaruh dan peranan politik kelompok CSIS yang merupakan kubu Ali Moertopo mulai merosot. Jika dalam kepengurusan Golkar 1978 orang-orang dari “Tanah Abang” banyak memegang posisi kunci seperti Sekretari Jendral, wakil ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Munas Golkar 1983, kelompok Tanah Abang hanya terwakili dua orang. Dan itu pun jabatan yang kurang memiliki bobot politis. Kedua orang dari CSIS itu masing-masing, Drs. Moerdopo, menjadi wakil ketua dibidang kesenian dan kebudayaan dan Yusuf Wanandi, sebagai wakil ketua bidang Hubungan Luar Negeri DPP Golkar periode 1983-1988.

Kemerosotan politik kubu Ali Moertopo sangat terkait dengan kesenjangan politik Ali Moertopo dengan Soeharto. Ada dua hal yang menyebabkan gap Ali Moertopo dengan Soeharto yang menyebabkan termarginalisasinya kubu Ali Moertopo dalam percaturan politik nasional dan di DPP GOLKAR, khususnya dalam kurun waktu itu.

Pertama, pada dekade 1970-an Ali Moertopo telah dapat mengerahkan sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kekuasaan Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik bulan January 1974 (Peristiwa Malari) adalah persaingan antara Ali Moertopo dengan Jendral


(34)

Soemitro. Selain kedua faktor itu, Soeharto secara jelas ingin mendemonstrasikan supremasi politiknya atas Ali Moertopo dan Sudjono Humardani serta kaki tangannya di “Tanah Abang”. Berangkat dari kenyataan diatas, Presiden Soeharto di penghujung dekade 1970-an hingga berlanjut dasawarsa1980-an secara perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan politik Ali Moertopo dan sekutu-sekutunya.

Sejak itu Soeharto menoleh kepada Sudharmono yang berhasil mengelola sekretariat negara menjadi “Super birokrasi”. Sebagai orang yang sukses mereorganisasikan kantor kepresidenan, Sudharmono yang terlihat tidak memiliki ambisi politik yang mengkhawatirkan telah membuktikan sebagai pembantu Presiden Soeharto yang cakap dan diperlukan.

Dengan demikian tak mengherankan bila dalam Munas GOLKAR III Soeharto merekomendasikan Sudharmono sebagai Ketua Umum GOLKAR Periode 1983-1988. Golkar dibawah kepemimpinan Sudharmono, selain berhasil mengkonsolidasikan dirinya lebih solid, juga secara intensif melakukan pendekatan dengan ormas-ormas Islam. Kepemimpinan Sudharmono relatif berhasil menjaga Otonomi Golkar dari intervensi lebih jauh dari pimpinan ABRI. Dia juga mampu mengatasi peranan yang dimainkan oleh Ali Moertopo dan Sudjono Humardani, serta berhasil menetralisi KINO dalam tubuh GOLKAR.87

Pendekatan Golkar yang dipelopori Sudarmono terhadap kelompok Islam menemukan momentum yang tepat dengan terjadinya “kemenangan” kalangan pemimpin ormas-ormas Islam terkemuka yang lebih akomodasionis terhadap politik negara sikitar pertengahan dekade 1980-an. Dalam kepengurusan

87

Nazaruddin Syamsuddin,” Ikatan Golkar di Laut Islam,” Forum Keadilan, Nomor 15, 12 November 1992.


(35)

Sudharmono ini, Golkar banyak menampung “pembelotan” dari tokoh-tokoh muslim yang semula berada dibarisan PPP.

Selain mobilisasi massa NU ke GOLKAR, Ridwan Saidi, mantan tokoh HMI di PPP yang dikecewakan oleh Nario, dalam Pemilu 1987 juga menyatakan “pembelotannya” ke Golkar. Dalam SU MPR 1988. Golkar menunjuk Saiful Mujab, mantan tokoh PPP, manjadi salah satu wakil Golkar di MPR, selain juga Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid yang menjadi Badan Pekerja MPR dari Fraksi Golkar. Untuk menunjukkan perubahan yang lebih simpatik kepemimpinan Golkar dibawah Sudharmono dibanding Ali Moertopo dalam hubungannya dengan masyarakat politik Muslim dinyatakan secara lugas oleh Eky Syahruddin:

“Sewaktu Golkar dibawah supervisi CSIS, suasananya anti-Islam, seolah Islam terpojokkan. Sewaktu Dharmono memimpin Golkar, beliau merangkul kalangan Islam. Nah, suasananya mulai berbeda.”

Terlepas dari adanya sedikit akses politik internal Golkar akibat penghijauan itu, perestasi Sudharmono yang gemilang dengan keberhasilan Golkar menyedot lebih dari 70% suara dalam Pemilu 1987 telah meningkatkan kredibilitas politik-nya di tingkat nasional dan sekaligus menambah kepercayaan Presiden Soeharto. Dalam konteks semacam itu, maka menjelang pemilihan wakil presiden dalam SU MPR 1988, Sudharmono memilik peringkat tertinggi dalam bursa pencalonan Wapres yang beredar dimasyarakat.

Tidak seperti SU MPR sebelumnya, Presiden Soeharto dalam SU MPR 1988 kali ini tidak mengumumkan nama calon wakilnya. Tetapi Presiden Soeharto mengajukan kriteria calon wakil Presiden yang secara implisit dia menginginkan Sudharmono sebagai pendampingnya. Selanjutnya Golkar secara


(36)

resmi mengajukan mengumumkan pengajuan Sudharmono sebagi calon Wakil Presiden. Namun berbagai peristiwa menyertai proses pemilihan wakil Presiden yaitu Sudharmono, dimana “faksi Benny” yang merupakan orang kuat dalam jajaran Angkatan Darat memperlihatkan keberatannya dengan pengajuan Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Benny Moerdani dengan segala daya upaya berusaha untuk menjegal naiknya Sudharmono yang pada ahirnya membuatnya berhadapan dengan Soeharto yang segera melucuti basis-basis kekuatan politiknya di militer.

Munas ketiga Golkar yang berlangsung pada Oktober 1983 juga telah menandai awal era baru peranan politik elit Islam di dalam tubuh partai negara Orde Baru. Tampilnya Akbar Tanjung sebagai kandidat Sekjend yang nota bene memiliki hubungan genealogis dengan kalangan gerakan Islam tentunya memiliki makna kultural yang penting bagi Golkar dan kalangan Islam pada khususnya. Hal ini ditambah lagi dengan naiknya dua mantan aktivis HMI menduduki jabatan Departemen Cendikiawan dan Tani/Nelayan di DPP GOLKAR yaitu Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Ir. Usman Hasan.


(37)

BAB III

ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM PERIODE 1985-1994

1. RUU Pendidikan Nasional

RUU ini diajukan Pemerintah pada tanggal 23 Mei 1988 melalui Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr.Fuad Hasan. Masalah pendidikan nasional pernah menjadi bahan pembicaraan serius dalam SU MPR 1973 dan 1978. Pada SU MPR 1973, persoalan ini diambangkan.

Tidak dibicarakan lebih lanjut karena adanya pertentangan tajam antara FKP-yang mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah-dan FPP yang justru mewajibkannya. Dalam SU MPR 1978, usulan FPP untuk memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan lembaga psantren dalam GBHN gagal melalui voting di Komisi A.

RUU Pendidikan Nasional dibuat berdasarkan hasil rumusan KPPN (Komisi Perubahan Pendidikan Nasional) yang dibentuk dalam periode Mendikbud Daoed Joesoef.88

Pada mulanya, hasil rumusan KPPN disebut RUU tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional, kemudian oleh Prof.Fuad Hasan diubah menjadi RUU Pendidikan Nasional. Beberapa rumusan pasal yang semula dihapuskan, antara lain: gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu atap (Depdikbud) dan Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional (DPN) dihapus. KPPN dibentuk tahun 1978 dan di ketuai oleh Prof.Dr.Slamet Imam Santoso dengan Sekretaris I Dr.A.W.M.Pranarka.

88

Pokok-pokok Pembaharuan Pendidikan Nasional menurut Mendikbud Daoed Joesoef dapat dilihat dalam Panji Masyarakat, no. 152, 1 Agustus 1978, hal. 10-13. sedangkan komentar terhadapnya antara lain dikemukakan oleh Prof.Dr.Deliar Noer, Panji Masyarakat, no. 255, 15


(38)

Pada masa Daoed Joesoef, DPN memilik fungsi yang dominant, yaitu sebagai dapur pemikir yang dihuni banyak anggota CSIS. Ketuanya adalah Dr.A.W.M.Pranarka.

Pada mulanya RUU Pendidikan Nasional yang diajukan pemerintah berisi pasal-pasal yang merugikan kepentingan pendidikan Islam.

1. RUU ini tidak mengatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama disekolah-sekolah sebagaimana yang diamanatkan dalam GBHN 1983/1988 dan 1988/1993.

2. RUU PN ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk lembaga-lembaga pendidikan keagamaan.

3. Adanya aturan tentang pidan maksimal satu tahun dan denda Rp.10 juta terhadap sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi sumber belajarnya, seperti perpustakaan. Bagi sekolah-sekolah madrasah, yang umumnya belum berkembang, aturan ini sangat memberatkan.

4. Dalam RUU ini ada kalimat Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan dalam GBHN tertera kalimat, Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada yang menduga-duga, bahwa yang membuat RUU PN adalah “orang yang tidak beriman”.

5. RUU ini memberikan space yang terlalu besar kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah. Hal ini akan membuat pemerintah memperoleh kewenangan yang berlebihan untuk mengatur pendidikan nasional. Sebab bisa saja pemerintah melakukan


(39)

interpretasi baru terhadap pasal-pasal dalam RUU yang belum jelas dan operasional tersebut.

Reaksi pertama, seperti yang dicatat oleh Panji Masyarakat, disampaikan oleh Badan Kerja Sama Pondok Psantren (BKSPP) yang berkedudukan di Jawa Barat.89

1. Menolak RUU Pendidikan Nasional untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang.

Dalam pernyataannya tanggal 11 Juli 1988 mereka menyampaikan sikap :

2. Meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali dan

menyempurnakan RUU tersebut dengan memperhatikan aspirasi yang hidup di tengah masyarakat.

3. Mengimbau DPR untuk membahas secara mendalam dengan penuh tanggung jawab, dan kalau perlu mengambil inisiatif mengubah RUU PN, sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia yang sedang membangun. 4. Para Ulama, pemimpin lembaga pendidikan dakwah, ormas dan ahli

pendidikan, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) agar mempelajari dan memperhatikan hal yang sangat menentukan nasib umat ini.

Reaksi berikut berasal dari para Ulama dan pimpinan Psantren yang tergabung dalam Yayasan Pondok Psantren Indonesia (YPPI) ketika melakukan dengar pendapat dengan FPP.90

89

Panji Masyarakat, 1-10 Agustus 1988, hal.49

Alasan penolakannya adalah bahwa RUU PN tidak megatur pendidikan agama dan RUU PN sama sekali tidak menyebut pesantren. Malalui lobyng-lobyng yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam, pasal-pasal yang memberatkan ini berhasil dihapus.


(40)

2.RUU Peradilan Agama

RUU Peradilan Agama berhasil disyahkan dalam DPR dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1989. hal ini tidak terlepas dari upaya keras pemerintah melalui Menteri Agama untuk meyakinkan para pengkritik RUU PA tersebut.

Temasuk pula pernyataan Presiden Soeharto yang menjamin bahwa Piagam Jakarta tidak akan diberlakukan. Dengan berhasil diundangkannya RUU PA tersebut, maka beberapa kemajuan untuk kepentingan Islam dapat dicatat.

1. Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani pembagian warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di wilayah Indonesia yang lain.

2. Keputusan Peradilan Agama sifatnya final, tidak perlu dikukuhkan lagi oleh Peradilan Umum. Eksekusi keputusannya dilakukan Peradilan Agama sendiri. Sehingga di Peradilan Agama diadakan jabatan juru sita.

3. Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga statusnya sama dengan hakim-hakim lainnya.

4. Jabatan Hakim, panitera, dan juru sita dalam Peradilan Agama hanya dapat di isi oleh orang-orang yang beragama Islam. Hal ini tentunya memberikan ketenangan psikologis.

Menurut Mentri Agama Munawir Sadjali, kedudukan peradilan Agama di negara Pancasila Indonesia, malah lebih kokoh dan lebih hormat dibandingkan dengan Peradilan Agama di ”negara-negaara Islam” lainnya. Atau dalam bahasa


(41)

Mentri Agama Munawir Sadjali sendiri, UUPA adalah lompatan besar. Dari segi perundang-undangan adalah lompatan seratus windu.91

Reaksi keras umat Islam ini, dapat dipahami, karena berhubungan dengan kecintaan umat kepada Rasul-Nya. Di sisi lain, pemerintah menanggapinya dengan cepat. TVRI langsung menayangkan permintaan maaf Arswendo

Upaya bapak Presiden Soeharto tahun 1985 membentuk proyek

komplikasi hukum Islam di Indonesia untuk menyeragamkan acuan hukum Islam untuk menjadi pegangan yang seragam bagi hakim-hakim agama di seluruh Indonesia. Tahun 1987, proyek ini berhasil menyusun tiga rancangan, yaitu mengenai perkawinan, mengenai pembagian warisan, dan mengenai pengelolaan benda-benda wakaf, infak, dan sedekah. Setelah disempurnakan, maka sesuai dengan intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tertanggal 10 Juni 1991 secara resmi diperintahkan untuk mamasyarakatkannya sebagai komplikasi hukum.

3. Kasus Monitor dan berbagai isu lainnya.

Bermula dari hasil angket asal-asalan yang dilakukan Tabloid Monitor, edisi 13 Oktober 1990. Dalam artikel yang berjudul,” Ini dia 50 Tokoh Yang Dikagumi Pembaca Kita,” nama Nabi Muhammad saw. Berada diperingkat 11 dibawah Arswendo sendiri yang berada diperingkat 10.

Artikel tersebut segera saja menimbulkan reaksi keras umat Islam. Sehari setelah pemuatan artikel tersebut, sekelompok Mahasiwa dan Pelajar mendatangi kantor Monitor untuk memprotes. Sejak saat itu muncul protes dimana-mana. Melalui pernyataan ormas-ormas Islam, tokoh-tokoh Islam, ceramah dan khutbah di mesjid-mesjid, dan lain sebagainya.


(42)

Atmowiloto, pemimpin redaksi, pembuat angket, dan penulis artikel yang menghebohkan tersebut. Departemen Penerangan memberikan peringatan keras kepada Monitor, dan kemudian menyusul pembredelan melalui SK Menpen No. 162/ Kep / Menpen / 1990 yang membatalkan SIUPP Monitor sejak tanggal 23 Okktober 1990.

Tidak cuma sampai disini, Ketua PWI DKI Jaya Masdun Pranoto mencoret keanggotaan Arswendo di PWI, serta mencabut rekomendasi yang diberikan PWI kepadanya untuk menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Monitor. Selain itu, ia dipecat dari jabata Wakil Direktur Kelompok Majalah dan Tabloid PT. Gramedia. Tanggal 26 Oktober 1990, Arswendo resmi menjadi tahanan Polda Metro Jaya.92

“Keranjingan” massa Islam untuk selalu tanggap memberikan reaksi ats persoalan-persoalan yang menyangkut moral ( Islam). Setelah “keberhasilan” menghapus SDSB,

93

Sementara itu, isu-isu dunia Islam banyak ditangani dan di koordinasikan oleh Komite Nasional Indonesia Untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI). Komite ini dibentuk pada tahun 1990 atas saran Moh. Natsir sebagai dukungan terhadap gerakan intifada Paslestina. Pembentukannya dibidani oleh K.H.Abdul Rosyid, H. Husein Umar, Zulfahmi Marjohan, K.H. Hhalil Ridwan, dan H.A. Sumargono. Mereka adalah Ulama-ulama terkenal yang dikenal ikhlas dan tawaddhu, tanpa ambisi kekuasaan, sehingga memilik jaringan luas kepada ormas-ormas Islam. berkali-kali massa kembali turun ke jalan.sebut saja: kasus Bapindo, solidaritas Bosnia, tragedi Waduk Nipah, masalah Palestina, dan pornografi.

92

Editor, 2 Februari 1991, hal. 40-42

93


(43)

Elite kekuasaan membiarkan akivitas mereka karena isu-isu yang diangkatnya bersifat internasional yang sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah.94

Jumlah ini menjadi bagian dari jumlah masjid di seluruh Indonesia pada ahir Repelita IV (1988/1989) berjumlah 548.959 buah. Tahun 1992/1993 bertambah menjadi 587.435 buah. Sementara itu pengadaan kitab suci Al Qur’an

4. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila

Yayasan ini didirikan oleh Presiden Soeharto pada bulan Feburari 1982 bersama para pejabat negara yang beragama Islam. Tujuannya adalah memperbanyak rumah ibadah yang jumlahnya dirasakan masih sangat kurang, terutama untuk golongan masyarakat yang tidak mampu. Dana Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) berasal dari sumbangan instansi pemerintah, badan swasta, amal jariah, dan ibadah. Di instansi pemerintah, sumbangan ditarik dari kalangan pegawai negeri dan anggota-anggota ABRI yang muslim.

Masjid bantuan YABMP mudah dikenali karena memilik ciri khas. Atapnya Joglo bersusun tiga, rancangan Presiden Soeharto. Di atas atap terdapat hiasan bintang segi lima – yang menandakan Pancasila – dengan hiasan kaligrafi Arab ” Allah ” dan ” Muhammad ” di atasnya.

Arsitektur bangunan kokoh dan megah, dengan harga antara 120 juta dan 140 juta per masjid. Masjid seperti ini tersebar di seluruh pelosok Nusantara sampai dengan tahun 199, jumlahnya 439 masjid. Dan pada tahun 1994 sudah mencapai 634 masjid, tersebar di 206 kabupaten dan kotamadya. Masjid-masjid ini mampu menampung 377 ribu jamaah, sedangkan dana yang dikeluarkan kurang lebih 82 Milyar rupiah.


(44)

pun terus bertambah dari tahun ketahun. Jika pada tahun 1988/1990 diadakan 192.000 buah kitab suci Al Qur’an, maka pada tahun 1992/1993 melonjak tiga kali lebih, menjadi 622.557 buah.

5. Pengiriman 1.000 Dai untuk daerah-daerah Terpencil dan Lahan Transmigran /SKB tentang Pengumpulan Zakat/ Pelayanan Haji/ Penayangan Pelajaran Bahasa Arab di TVRI/ Silaturrahmi ke UII.

Bekerja sama dengan MUI, YABMP, dan Yayasan Dharmais yang juga dipimpin Ny.Tien Soeharto berhasil menyukseskan ” Program Seribu Dai ” tahun 1989-1990.95

1. Para Da’i diperlukan seperti transmigran lainnya. Yang biaya kepindahannya ke daerah tujuan, ditanggung.

Menyadari sebagian besar Transmigrasi adalah umat Islam yang perlu memperoleh siraman rohani Islam, dikirimkan 1.000 Dai ke daerah-daerah terpencil dan lahan transmigran. MUI mempersiapkan trainingnya, sedangkan YABMP dan Yayasan Dharmais menyiapkan dananya. Ketentuan-ketentuannya diatur sebagai berikut:

2. Sebelum diberangkatkan ke daerah-daerah transmigran, para da’i di tatar dahulu beserta keluarganya selama satu bulan atas biaya Yayasan Dharmais.

3. Selama tiga tahun, para da’i mendapatkan bantuan sebesar Rp.100.000,00 setiap bulan dari Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila dan diberi alat transportasi sepeda.

95


(45)

Berbagai inisiatif Pak Harto tersebut mendapatkan sambutan hangat dari kalangan Islam. Dengan kedatangan para da’i tersebut diharapkan mereka menjalankan ibadah agamanya dengan baik.

Selanjutnya keluar Surat Keputusan Bersama Tentang Zakat. SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang pengumpulan zakat.96

Dananya berasal dari bantuan Presiden Soeharto selaku Ketua YABMP Rp.2 Milyar, dana yang tersedia Rp.3,5 Milyar, ditambah APBD setiap daerah serta bantuan suka rela kaum muslimin, terutama dari Ikatan Persaudaraan Haji Pemerintah semakin meningkatkan pelayanan jamaah haji, yang dari tahun ke tahun terus bertambah. Pelayanan itu antara lain dengan rehabilitasi dan penambahan asrama haji di empat tempat embarkasi: (1) Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta , dengan biaya Rp.565 juta; (2) Asrama Haji Juanda, Surabaya, dengan biaya Rp.117 juta; (3) Asrama Haji Ujung Pandang dengan biaya Rp.291 juta; dan (4) Asrama Haji Polonia Medan, dengan biaya Rp. 100 juta.

Kemudian dilanjutkan dengan pembangunan Asrama Haji di Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Yogyakarta, Jawa Tengah, NTB, dan perluasan asrama haji yang telah ada di Kalimantan Tengah.

Selain itu, atas terjadinya musibah terowongan Mina, telah disampaikan santunan kepada para keluarga korban. Presiden Soeharto lalu memprakarsai pembangunan empat rumah sakit Islam di empat daerah embarkasi untuk mengenang musibah Mina yang berlokasi di Ujung Pandang, Medan, Jakarta, dan Surabaya.


(46)

Indonesia. Keempat rumah sakit Islam ” Haji” ini pembukaannya dilakukan sendiri oleh Presiden.

Perhatian Presiden tidak berhenti sampai disini. Ia kemudian mengusulkan kepada pemerintah Arab Saudi untuk membangun satu terowongan tambahan di samping Terowongan Al – Muaisim, Mina. Terowongan yang di maksud saat ini sudah didirikan, terlepas dari apakah hal itu karena adanya imbauan Presiden atau bukan.

Penayangan pelajaran Bahasa Arab di TVRI juga mulai dilaksanakan. Sebelumnya, sudah banyak usulan untuk menayangkan pelajaran Bahasa Arab di TVRI. Penayangannya baru dimulai bulan November 1990. semula dua kali seminggu, kemudian dikurangi seminggu sekali.

Kesediaan Pak Harto untuk bersilaturrahmi ke Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dapat dicatat tersendiri, mengingat UII adalah Universitas Islam Pertama di Indonesia. Dalam acara dies natalinya yang ke-50, tanggal 15 Desember 1993, Presiden Soeharto hadir, didampingi oleh Mensesneg Moerdiono, Menag Munawir Sadjali, dan Gubernur DIY.97

Tragedi Nipah yang meletus bulan Oktober 1993 segera menimbulkan reaksi keras kalangan Ulama Madura khususnya, warga NU dan umat Islam di Jawa Timur pada umumnya. Sejak mencul protes tersebut, pemerintah dan ABRI segera mengambil sikap akomodatif. Para Ulama diajak berbincang dan bahkan Selanjutnya Pak Harto ikut pula membuka Rabithatul Ma’ahid Islamiyah (RMI) IV di Pesantren Asshidiqiyah, RMI merupakan perkumpulan pesantren yang berada di bawah naungan payung NU.

97


(47)

ABRI mengambil sikap tegas dengan menarik anggotanya yang terlibat dalam kasus tersebut.98

6. Bank Muamalat Indonesia ( BMI )

Inisiatif pembentukan Bank yang bersandarkan pada syari’ah Islam, pertama kali datang dari MUI. Tonggak pertamanya diadakan lokakarya di Cisarua, Bogor, tanggal 19-22 Agustus 1990 dengan tema ” Masalah bunga Bank dan Perbankan.” prakarsa ini kemudian dimatangkan dalam Munas MUI 22-24 Agustus 1990.

Hasilnya, dibentuk Tim Perbankan Kecil yang diketuai oleh Dr.Ir.M.Amin Aziz. MUI lalu mengadakan loby kepada para Mentri dan pejabat tinggi. Di antaranya yang dengan antusias mendukung adalah Menristek Habibie, yang juga ketua umum ICMI sehingga kerja sama antar keduanya pun terjalin. Kebetulan ICMI juga menunjuk Dr. Amin Aziz sebagai Ketua Tim Mobilisasi dan BMI. Pada mulanya, nama yang akan dipakai adalah Bank Syariah Islam Indonesia. Tetapi, nama ini tidak disepakati karena dikhawatirkan mengingatkan orang pada Piagam Jakarta. Kemudian muncul nama Bank Islam dan Bank Amal Indonesia, dua nama yang dimunculkan kemudian, juga tidak disetujui. Akhirnya disepakati nama Bank Muamalat Indonesia, disingkat BMI.

Hanya dalam waktu dua bulan setelah K.H. Hasan Basri menghadap Presiden tanggal 27 Agustus 1991, terkumpul dana sebesar Rp.64,1 Milyar, dengan Rp 3 Milyar di antaranya, sebagai dana awal, diberikan oleh Pak Harto dari dana kas YABMP.


(48)

7. Semaraknya Media Massa Islam

Sejak pertengahan tahun 1980-an, dunia penerbitan Islam disemarakkan dengan terbitnya media Islami ”modern” melengkapi media massa ”tradisional” Islam sebelumnya. Dapat dicatat harian ”Republika” yang menjadi ”corong” ICMI. Pertama kali terbit tanggal 4 Januari 1993 dengan oplah 95 ribu, setahun kemudian melonjak menjadi 145 ribu.99

Ada pula spekulasi yang berkembang dalam masyarakat pada saat embirio ICMI akan lahir: (1) Apakah ini sebuah rekayasa politik pemerintah menjelang pemilu tahun 1992? Dan (2) Ataukah memang ada political will pemerintah untuk mengakomodasi pemikiran kalangan umat Islam agar kelak menjadi lebih Berikutnya jurnal ilmiah Ulumul Qur’an, Islamika, Suara Masjid, Asy-syahadah, Makrifah, Al Hikmah, dan Studi Islamika. Majalah-majalah lama yang masih berkiprah misalnya Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Media Dakwah, Risalah, dan Hidayatullah.

Buku-buku Islampun kian semarak, bukan saja diterbitkan oleh penerbit yang ”khas Islam”, seperti Gema Insani Press, Mizan, Bulan Bintang, Al Bayan, dan Pustaka Panjimas, tetapi juga penerbitu umum lain seperti Gramedia, LP3ES, Grafiti, dan Sinar Harapan.

8. Lahirnya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

Pembentukan ICMI merupakan tonggak terpenting dalam hubungan akomodatif antara Islam dan negara karena dalam organisasi ini bertemu tokoh-tokoh Islam yang berada diluar birokrasi dengan yang ada di dalam birokrasi. Sehingga ada yang menyebutkan dengan aliansi cendikiawan dan birokrasi.

99


(49)

diperhatikan dan dipertimbangkan dalam proses pembuatan kebijaksanaan nasional.100

” Bila identitas telah ditegakkan dan saf telah dirapatkan, maka ”pesimisme” terhadap masa depan umat boleh mulai dihapus dari kamus sejarah gerakah Islam di negeri ini. Bukankah perjalanan keberhasilan Nabi Muhammad saw. Sendiri dalam menegakkan agama Allah bermula dari ketegasan mengemukakan identitas Islam. Meski badai menerpa dan kesadaran akan urgensi perapatan barisan. Lebih populer, yang belakangan ini diungkapkan pepatah: ”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.

Dalam uraian terdahulu telah disebutkan bahwa prakarsa pembentukan ICMI murni berasal dari bawah yaitu para mahasiswa Unibraw, Malang kendatipun sebelumnya telah diciptakan semacam kondisi kondusif oleh Imamuddin Abdulrahim.

Akan tetapi ide ini kemudian diambil alih oleh para cendikiawan dan ”arus atas” dengan tokohnya Habibie, yang mendapat lampu hijau dari Presiden Soeharto. Dipandang dari sudut ini, tampak sekali keanekaragaman anggota-anggota ICMI, yang kemudian hari berpotensi menjadi penyebab timbulnya konflik internal.

Pembentukan ICMI menimbulkan pro dan kontra. Sebagian besar umat Islam menanggapinya dengan penuh harapan, sedangkan sebagian yang lain walupun jumlahnya tidak sebanyak yang pertama, menganggapnya sebagai langkah mundur bahkan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Harapan umat Islam tersebut, secara manis diungkapkan oleh Dr.Azyumardi Azra dalam kolom ” Hati ke hati” Panjimas, ketika ICMI baru saju lahir.

101

100

Editor, 16 februari 1991


(50)

Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk menegakkan harapan tersebut:102

1. ICMI adalah satu-satunya ormas keislaman yang didukung oleh seluruh umat Islam, terutama ormas-ormasnya.Kenyataan ini tentunya juga tidak mengabaikan kritik-kritik yang dilontarkan oleh beberapa tokoh Islam. Selama ini tidak ada satu pun organisasi Islam yang memperoleh dukungan mutlak umat. Sebelumnya, SDI sebelum kemerdekaan dan Masyumi pasca kemerdekaan pernah mendapatkan dukungan umat, tetapi mereka adalah organisasi politik yang berorientasi politis.

2. dukungan bulat ini menumbangkan asumsi sementara orang bahwa umat Islam pada umumnya alergi dengan dan bersikap apatis terhadap organisasi-organisasi formal Islam. Pengalaman sebelumnya, PPP sebagai parpol Islam tidak begitu berhasil menyuarakan aspirasi umat.

3. Tampilnya Prof.Dr.Habibie sebagai ketua umum ICMI meruntuhkan tradisi kepemimpinan umat yang berasal dari umat sendiri. Habibie belum pernah aktif dalam pergerakan Islam. Ia lebih dikenal sebagai teknolog kaliber internasional daripada pemimpin Islam. Habibie berasal dari birokrat, yang sebelumnya biasanya, ” dilawankan ” dengan umat Islam. Dr. Amien Rais mengatakan bahwa keberadaan ICMI merupakan suatu prestasi yang penting bagi umat Islam di Indonesia. ICMI dapat berfungsi sebagai perekat atau jembatan yang mempererat kerja sama intern umat Islam Indonesia. Sambil menanggapi suara-suara sumbang yang pada saat itu banyak ditujukan pada ICMI, asisten Ketua Umum ICMI ini mengatakan, dampak politis ICMI

102


(51)

pasti ada, walaupun ia bukan organisasi politik dan tujuannya bukan berpolitik praktis. ICMI adalah suatu fenomena politik.103

Moh. Natsir, mantan tokoh Masyumi, menanggapi kelahiran ICMI dengan mengatakan,” berdirinya ICMI merupakan langkah positif. Semoga nantinya bisa menyelesaikan permasalahan-permasalahan di masyarakat.

104

” Pemerintah yakin seluruh rakyat Indonesia menyambut baik hadirnya ICMI, karena organisasi ini lahir atas kesadaran para cendikiawan maslim sendiri untuk meningkatkan peranan mereka dalam pembangunan umat dan bangsa. Organisasi ini akan mampu berperan positif bagi pembangunan bangsa, apabila tidak terjebak dalam semangat sempit dan bersifat ekslusif. Melainkan tepat diliputi oleh wawasan luas, wawasan untuk terus menkonsolidasikan kebangsaan yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”.

Pernyataan Mentri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara menarik untuk dikemukakan,” berdirinya ICMI telah menghapus rasa malu dan takut yang pernah merundung umat Islam. Kini umat Islam mulai bangga dengan keislamannya

Demikian pula pernyataan Wakil Presiden Sudharmono ketika menutup Simposium ICMI:

105

susunan anggota MPR 1992-1997 menimbulkan perbincangan hangat dalam masyarakat, terutama yang selalu mengkritik manuver-manuver politik Habibie dengan ICMI-nya, karena banyaknya tokoh-tokoh Islam yang menjadi anggota MPR. Sehingga banyak yang menyebutnya denga ” ijo royo – royo ” Sebenarnya bukan agama Islam yang dipersoalkan, sebab sejak dulu anggota MPR yang beragama Islam selalu mayoritas, tetapi tampilnya tokoh-tokoh Islam tersebut termasuk yang selama ini oposan pemerintah, sebagaian besar adalah

9. Bendera Islam di Senayan dan Munas Golkar 1993/1998

103

Suara Karya, 10 Desember 1990

104


(52)

anggota ICMI dan bawahan Habibie. Mereka mewakili utusan-utusan golongan dan daerah. Pengurus ICMI yang menjadi anggota MPR antara lain Dr. Muhammad RH. ( Asisten II ICMI ) dan Marwah Daud Ibrahim, bahkan Prof.J. Katili menjadi Wakil Ketua DPR/MPR.

Menurut catatan Editor, ada 24 orang anggota MPR yang merupakan bawahan Habibie di pemerintahan, seperti BPPT dan kantor Menristek.106

Soetjipto Wirosardjono, tokoh ICMI, mengatakan justru bagus, karena masuknya para cendikiawan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi MPR. Tidak perlu dipersoalkan. ICMI atau bukan.

Sedangkan aktivis ICMI yang pusat ada 37 orang. Dipihak lain, anggota-anggota CSIS yang pada awal Orde Baru merupakan think – thank tidak ada lagi yang menjadi anggota MPR.

Masuknya tokoh – tokoh Islam tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra. Dr. Imamuddin Abdurrahman, seorang cendikiawan muslim, menyatakan keheranannya, mengapa jumlah mayoritas muslim di MPR di persoalkan. Malah katanya lebih lanjut, jumlah itu masih kurang bila dibandingkan dengan proporsi jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam dan non Islam.

107

106

Editor, 10 Oktober 1992.

107

Editor, no.3, 10 Oktober 1992, hal. 33

Prof. Suhardiman,” Sang Dukun Politik”,mengamininya. Katanya masuknya anggota ICMI bahkan bisa meramaikan dinamika demokrasi.

Burhan Magenda, pakar politik UI, mengatakan bahwa kelompok Islam sejak tahun 1980 – an semakin dewasa. Pada saat itu, sebenarnya mereka sudah masuk ke elit pemerintahan sehingga masuknya anggota ICMI dalam MPR hanya merupakan kelanjutan dari perkembangan tersebut.


(1)

Islam lebih dari sekedar sistem ritus atau teologis. Seperti dikatakan oleh Deliar Noer, semenjak berdiri Islam meliputi dua aspek, yaitu aspek agama dan aspek masyarakat atau politik.56

Dalam pemikiran politik Islam, pandangan masalah hubungan agama dan negara ada tiga paradigma. Pertama, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan ( integrated ). Kedua, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang saling terkait dan berhubungan ( simbiotik ). Ketiga, paradigma yang menyatakan bahwa antara agama dan negara merupakan suatu yang harus terpisah ( sekularistik ).

Berdasarkan itu, maka Islam tidak mengenal dinding pemisah antara yang bersifat spiritual dan temporal, tetapi mencakup kedua segi itu. Islam merupakan agama yagn memberikan panduan ( etik ) bagi setiap aspek kehidupan.

57

Pandangan pertama melihat bahwa Islam merupakan agama yang serba lengkap dan sempurna, yang didalamnya bukan hanya mengatur masalah ibadah tetapi juga mencakup politik atau negara. Tuhan melalui Nabi Muhammad telah menurunkan aturan – aturan untuk kehidupan manusia. Karena Tuhan Maha Adil, maka aturan - aturanNya pastilah benar dan adil. Karena manusia merupakan khalifah Tuhan dimuka bumi, maka manusia berkewajiban untuk mengelola kehidupan ini sesuai dengan aturan – aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Karena itu, manusia harus taat dan tunduk pada Tuhan. Berdasarkan itu, maka

56

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, Jakarta ; LP3ES. 1982, hal.1.

57

Din Syamsuddin menyebutnya atas ketiga hal tersebut terdiri dari paradigma integrated, simbiotik, dan sekularistik. Sementara Umaruddin Masdar menyebutnya dengan konservatif, modernis,dan liberal. Lihat Din Syamsuddin,” Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik Islam”, Ulumul Qur’an, No.2 Vol.IV tahun 1994 Umaruddin, Membaca Pikiran


(2)

untuk mengelola negara tinggal melaksanakan aturan – aturan yang ditetapkan oleh Tuhan. Dalam pandangan kelompok ini, Syariah dipahami sebagai totalitas yang par excellent bagi tatanan kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Karena itu legitimasi politik negara harus berdasarkan syari’ah.

Paradigma ini dianut baik oleh kalangan Syi’ah maupun oleh kalangan Sunni. Bagi kalang Syi’ah, agama ( imamah ) adalah lembaga keagamaan dan mempunyai fungsi keagamaan. Legitimasi keagamaan berasal dari Tuhan yang diturunkan lewat garis keturunan Nabi Muhammad. Legitimasi politik harus didasarkan pada legitimasi keagamaan. Dan hal ini hanya dimiliki oleh para keturunan Nabi Muhammad. Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan mempunyai fungsi penyelenggaraan “ Kedaulatan Tuhan “, maka negara bersifat teokratis, di mana kekuasaan mutlak berad di “ tangan “ Tuhan dan konstitusi negara berdasarkan pada wahyu Tuhan.58

Sementara pemikir dari kalangan Sunni dapat dilihat dari pandangan Muhammad Rasyid Ridha, Sayid Quthb, dan Abu A’la Maududi. Ketiga pemikir ini berpendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang lengkap dengan petunjuk yang mengatur segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena itu, untuk mengatur kehidupan politik umat Islam tidak perlu atau meniru sistem lain. Di sini, ketiga pemikir ini anti pada sistem politik Barat. Bagi mereka sistem politik Barat tidak sesuai dengan prinsip – prinsip dan ajaran Islam. Islam memiliki sistem politik sendiri, sebagaimana yang telah dipraktikkan pada masa Nabi Muhammad dan KhulafaurRasyidin.59

58

Din Syamsuddin, Ibid., hal.6.

59

Munawir Sadjali, Islam dn Tata Negara : Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta : UI Press, 1990, hal. 205.


(3)

Qadir Abu Fariz, Islam mempunyai sistem politik sendiri yang meliputi, yaitu (1) kedaulatan milik Allah ; (2) keadilan dan persamaan; (3) taat; dan (4) syura.60

Pendekatan kedua yang menyatakan bahwa antara agama dan negara saling terkait dan berhubungan berdasarkan pada argumen bahwa agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Begitupun, negara memerlukan agama karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral.61

Ketiga adalah paradigma yang menyatakan perlunya adanya pemisahan antara agama dan negara. Paradigma ini menolak paradigma pertama dan kedua. Pelopor paradigma ini adalah Ali Abdul Raziq, Ulama dan pemikir dari Mesir. Dalam kalangan Islam, pemikiran tentang pemisahan antara agama dan negara yang dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq ini bukan saja ditolak, tetapi juga bersifat kontroversial karena pandangan - - pandangan dan hujah – hujah yang dilontarkannya tidak sesuai dengan sumber dan fatwa yang ada. Dalam bukunya yang berjudul Al – Islam Wa Usul al – Hukm, mengemukakan bahwa : syari’at Islam semata – mata bercorak spiritual yang tidak memiliki kaitan dengan hukum dan praktik duniawi; (2) Islam tidak mempunyai kaitan apa pun dengan sistem pemerintahan pada periode Nabi maupun Khulafaurrasyidin: (3) Kekhalifahan bukanlah bukanlah sistem politik keagamaan atau keIslaman, tetapi sebuah sistem yang duniawi; (4) Kekhalifahan tidak mempunyai dasar baik dalam Al – Qur’an maupun Hadis. Dalam bagian lain, Ali Abdul Raziq menolak keras pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara Islam di Madinah. Misi dari Nabi Para pemikir Islam yang termasuk dalam paradigma ini antara lain adalah Ibnu Taimiyah, Al – Mawardi, dan Al – Ghazali.

60

Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Pers, 2000.

61


(4)

Muhammad adalah semata – mata utusan Tuhan. Ia bukan seorang kepala negara atau pemimpin politik.62Pandangan Ali Abdul Raziq tersebut mendapat kritikan yang keras dan tajam dari Dhiya Din ar – Rais. Dalam bukunya yang berjudul Al –

Islam wa al – Khalifah fi al – ‘Ashr al – Hadis, ia mengatakan bahwa apa yang

ditulis oleh Ali Abdul Raziq hanyalah sekedar pernyataan – pernyataan kosong tanpa pijakan dalil. Ali Abdul Raziq lebih layak disebut dongeng dan khurafat. Disini Dhiya Din memberikan bukti – bukti dengan mengutip dalil dan kesepakatan atau ijma ulama tentang adanya negara Islam dan bahwa Nabi bukan hanya sebagai pemimpin agama tetapi juga sebagai Kepala Negara.63

Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah metode historical atau sering disebut dengan metode sejarah. Sejarah adalah pengetahuan yang tepat terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan atau fakta – fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.

1.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Metode Penelitian

64

Dalam metode sejarah diperlukan pandalaman yang tepat dengan studi kepustakaan yang intensif. Dalam penelitian ini sumber yang digunakan adalah buku – buku dan cetakan. Dalam penelitian ini, sipeneliti bergantung pada gambaran tertulis atau dapat dikatakan bergantung pada data skunder.

62

Ibid, hal.8.

63

Buku tersebut telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Khilafah, Bandung : Pustaka, 1985.

64

Hadari Nawawi. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:Gadjah Mada University, 1995, hlm. 4.


(5)

1.7.2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuannya tidak diperoleh melalui prodedur statistik atau bentuk hitungan lainnya.65 Penelitian seperti ini bertumpu pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dasar dan bersifat deskriptif.66

Teknik pengumpulan data dan informasi dalam studi ini adalah menggunakan metode Library Research atau studi pustaka. Studi pustaka adalah pengumpulan data dengan cara menghimpun buku, makalah, dan dokumen – dokumen serta sarana informasi lainnya yang tentu saja yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.

1.7.3. Teknik Pengumpulan Data

67

Penulis menganalisa data dengan manghayati dan berusaha memahami suatu peristiwa tertentu yang dinyatakan dalam kalimat atupun uraian. Jenis analisa data ini sering dipergunakan dalam jenis penelitian deskriptif dan penelitian histories.

Dalam proses pengumpulan data, peneliti menggunakan jenis data skunder. Jenis data skunder adalah semua data yang diperoleh secara langsung baik dari peneliti lain, atau buku – buku, majalah, jurnal, Koran atau catatan – catatan yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.4. Analisa data

68

65

Anslelm Strauss, Dasar – dasar Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2003,hal.4.

66

Lexy J. Moleong, M.A.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung:M.Dawam.Rahardjo, hal.7.

67

Hadari Nawawi, Op.Cit., hal. 43.

68


(6)

1.8. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

BAB II URAIAN TEORITIS

Bab ini menguraikan teori-teori yang relevan dengan penelitian yang dilakukan yaitu: Islam, Pemikiran politik Islam, negara, negara Orde Baru dan relasi antara agama dan negara dalam Islam.

BAB III. FENOMENA MENJELANG TERJADINYA POLITIK AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP UMAT ISLAM

Bab ini menguraikan beberapa fenomena atau peristiwa yang merupakan faktor – faktor yang mendorong terjadinya politik akomodatif Orde Baru terhadap umat Islam periode 1985 – 1994 yaitu : Munculnya “ Gerakan Pemikiran Baru “ dikalangan intelektual muda pada 1970 – an, Kemerosotan pengaruh partai politik Islam serta Kemerosotan power politik “ kelompok Tanah abang dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR.

BAB IV. ANALIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU DAN UMAT ISLAM

Bab ini menguraikan dengan lebih mendetail bagaimana proses terjadinya hubungan yang akomodatif antara Orde Baru dengan umat Islam periode 1985 – 1994.

BAB V. PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari penilitian yang dilakukan.