Partai Politik Dalam Rezim Orde Baru

menghidupkan kembali denyut nadi politik yang telah dilemahkan selama 32 tahun. Perkembangan partai politik di Indonesia ini merupakan gambaran wajah peran rakyat dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan tingkat partisipasi politik masyarakat. Oleh karena itu, partai politik mempunyai posisi dan peranan yang penting dalam sistem politik demokratis. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Secara teoritikal, makin banyak partai politik memberikan kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan kewajibannya sebagai warga negara. Banyaknya alternatif pilihan dan meluasnya ruang gerak partisipasi rakyat memberikan indikasi yang kuat bahwa sistem pemerintahan di tangan rakyat sangat mungkin untuk diwujudkan. 38

1.6.3.1. Partai Politik Dalam Rezim Orde Baru

Sebagai wujud dari ide kedaulatan rakyat, dalam sistem demokrasi harus dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi- fungsi kekuasaan. Untuk menjembatani antara pemerintah dan rakyat, sebagai wujud bekerjanya demokrasi diperlukan adanya partai politik. Sistem demokrasi tidak mungkin berjalan tanpa adanya partai politik. Pembuatan keputusan secara teratur hanya mungkin dilakukan jika ada pengorganisasi berdasarkan tujuan- tujuan kenegaraan. Dengan demikian partai politik memainkan peran penghubung 38 Alfian, Komunikasi Politik Dan Sistem Politik Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1991 hal. 25 Universitas Sumatera Utara yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Karena itu partai politik merupakan pilar dalam sistem politik demokratis. Kehidupan politik pada masa-masa Orde Baru tidak diwarnai pertarungan ideologis. Deideologisasi yang dianut Orde Baru didasari oleh anggapan bahwa ideologi merupakan penyebab utama ketidakstabilan politik. Kebijakan ini berujung pada penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalami kehidupan bermasyarakat. berbangsa, dan bernegara. sehingga asas atau ideologi partai tidak dikenal saat itu. Implikasinya, kehidupan politik selama Orde Baru menumbuhkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap partai politik yang dianggap tidak lebih sebagai alat kekuasaan negara. Parpol tidak lagi representatif menjadi penghubung masyarakat dengan pemerintah. Relasi antara partai politik dengan kekuatan politik yang lain tercermin di dalam bentuk-bentuk kerja sama yang dijalin atas dasar kesamaan sistem nilai yang melandasi cita-cita, visi, atau ideologi partai platform dan persaingan, serta pilihan bentuk dan derajat partisipasi dalam mempengaruhi jalannya pemerintahan melebihi kemampuannya menerapkan prosedur demokrasi di dalam mekanisnie internal Partai Politik. Hal ini berarti, signifikansi Partai Politik dalam mekanisme sistem politik demokratis bukan saja akan ditentukan oleh platform serta pilihan bentuk persaingan dan kerja sama yang ditampilkan, tetapi juga bergantung kepada kemampuan Partai Politik dalam menginternalisasikan cita-citanya sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas partai dan kemampuannya memasyarakatkan cita-cita tersebut kepada para anggota sehingga terbangun komitmen bersama untuk mewujudkannya melalui aktivitas partai. Universitas Sumatera Utara Gambaran Partai Politik dalam dunia ide, atau setidak-tidaknya seperti yang dicita-citakan para pendiri republik, berbeda dengan realitas kehidupan Partai Politik di era Orde Baru. Deideologisasi Partai Politik yang dijalankan Orde Baru telah memutuskan roh perjuangan Partai Politik dengan segenap cita-cita untuk membangun bangsa. Perkembangan Partai Politik di tanah air menjadi ahistoris. Partai ideologis termarginalisasi oleh arus pragmatisasi politik. Dalam buku-buku sejarah yang ditulis selama Orde Baru 1966-1998, partai politik digambarkan sebagai sosok yang asing, karena cenderung hanya mementingkan diri sendiri. Upaya pemujaan diri yang berlebihan menyebabkan pemerintah Orde Baru terlalu terpaku kepada pertumbuhan ekonomi dan pemaksimalan pembangunan fisik dengan sarana hutang luar negeri. Partai-partai politik tidak berkembang, sekalipun jumlah kelompok oposisi terus bertambah secara diam-diam. Sesedikit apapun gerakan pembangkangan dilakukan, akibat-akibat yang ditimbulkan tidak bisa ditebak dan ditanggung. Sebuah desa bisa saja ditenggelamkan dengan air bah, penduduk diusir dengan mendatangkan gajah, tuduhan tentang organisasi tanpa bentuk, sampai penangkapan dan penahanan, bahkan kematian yang tidak diduga. Aparatus negara berubah menjadi begitu menakutkan, bahkan hanya dengan modal uniform. Perbedaan pendapat berarti perlawanan atas pemerintah. Jika dilihat dari sistem kepartaian yang menjadi pertanyaan adalah dimanakah sistem kepartaian Indonesia saat ini dapat diletakkan dalam klasifikasi yang ada? Sistem kepartaian Indonesia Orde Baru jelas bukan sistem dua partai. Sementara untuk menggolongkanya sebagai sistem satu atau multipartai pun terdapat banyak ganjalan. Universitas Sumatera Utara Sekalipun Golkar sepanjang sejarah Orde Baru selalu tampil mendominasi pentas kepartaian nasional, tapi partai-partai lain, PPP dan PDI bukan tidak memiliki peran sama sekali. Pola kompetisi antara ketiga parpol yang adapun tetap tampak terutama menjelang pemilu setiap lima tahun. Ciri sistem partai tunggal tak terpenuhi di sini. Namun ciri sistem multi partai, yaitu kekuatan yang imbang antara partai-partai politik sehingga setiap parpol akan mampu menandingi kekuatan parpol lain, juga tak terpenuhi. PPP dan PDI, bahkan dengan menggabungkan kekuatan mereka pun, tidak akan mampu menandingi kekuatan Golkar. Klasifikasi sistem satu, dua, dan multi partai jelas kurang memadai untuk digunakan sebagai kacamata analisis untuk mengamati sistem kepartaian Indonesia Orde Baru. Sebuah jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan itu dapat diambil dari Afan Gaffar 39 yang mengidentifikasi sistem kepartaian Indonesia saat ini sebagai sistem kepartaian hegemonik hegemonic party sistem, istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh La Palombara dan Weiner. 40 Ciri sistem kepartaian ini adalah, Golkar sebagai partai hegemonik terus-menerus mendominasi kekuasaan, sementara partai-partai politik lain hanya secara formal ada, namun tanpa kemampuan untuk menandingi kekuatan partai hegemonik itu 41 . 39 Afan Gaffar, Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party Sistem Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992. hal. 36 40 Afan Gaffar, Ibid., hal 35-36. Menurutnya, selama ini Indonesia telah mengalami tiga sistem kepartaian. Pertama, sistem multi partai pada masa demokrasi liberal, di mana terdapat banyak partai dengan tingkat otonomi tinggi dalam suasana kompetitif, namun tidak ada partai yang memiliki kekuatan mayoritas. Kedua, pada periode demokrasi terpimpin, yang muncul adalah apa yang disebutnya No-party Sistem. Tingkat kompetisi antar partai sangat rendah.Mereka hanya menjadi pemeran pembantu bagi tiga pemeran utama dalam kepolitikan Indonesia saat itu: Bung Karno, Angkatan Darat, dan PKI. Dan ketiga adalah sistem kepartaian hegemonik yang muncul sejak kemenangan besar Golkar dalam pemilu 1971 41 Afan Gaffar, Ibid, hal. 51-61 Universitas Sumatera Utara Hegemoni Golkar itu dimungkinkan oleh beberapa faktor yang telah dirancang dengan baik, yaitu: 1 Penciptaan aparatur keamanan yang represif untuk menegakkan dan menjaga kelangsungan tertib politik di dalam negeri; 2 Proses depolitisasi massa untuk sepenuhnya diarahkan pada kebijaksanaan dan pembangunan ekonomi; 3 Restrukturisasi partai-partai politik yang ada; dan 4 Penciptaan undang-undang pemilu serta prosesnya yang dapat menjamin Golkar menang dalam setiap pemilu. 42 Dalam sistem kepartaian hegemonik ini peran PPP dan PDI praktis sangat sedikit. Akses mereka terhadap kekuasaan hanya sampai pada lembaga legislatif, Yang inferior ketika berhadapan dengan eksekutif. Sementara itu politik massa mengambang floating mass telah memotong akar mereka pada lapisan masyarakat bawah. Akibatnya, partai-partai politik itu mengalami kesulitan kaderisasi dan rekrutmen aktifis yang cakap. Sementara aparat pemerintahan sampai level terendah merupakan kader Golkar. Kondisi kepartaian demikian, ditambah lagi dengan adanya kecenderungan bahwa dalam politik pengambilan keputusan the politics of policy making hubungan yang bersifat pribadi personal linkage lebih menonjol daripada institusional Linkage, 43 memungkinkan lembaga-lembaga non-partai memainkan peran yang lebih berarti daripada parpol. Kelompok-kelompok kepentingan, misalnya, dapat menjadi sarana dan wahana bagi masyarakat untuk dapat memiliki akses terhadap pembuatan keputusan dalam sistem politik yang ada, jauh lebih efektif daripada parpol, sebab 42 Afan Gaffar, Ibid., hal. 37-38. 43 Afan Gaffar, Partai Politik, Elit dan Massa dalam Pembangunan Nasional,dalam A. Zaini Abar ed., Beberapa Aspek Pembangunan Orde Baru Solo:CV Ramadhani, hal. 21 Universitas Sumatera Utara elit kelompok kepentingan selalu membawa citra tanpa pamrih atau ikhlas, tidak haus kekuasaan, jujur dan dengan berbagai karakter positif lainnya. Sementara itu elit partai selalu dicitrakan sebaliknya, seperti selalu mementingkan kepentingan pribadi, terlampau banyak politicking, berpamrih dan lain-lain. Keharusan bagi Orde Baru untuk membangun citra diri sebagai rejim demokratis mengharuskannya untuk menerima ide tentang partai politik. Akibatnya, kehadiran PDI dan PPP bukannya dalam kerangka untuk merealisasi komitmen bangsa untuk menjadi sebuah sistem politik yang demokratis, tapi justru untuk memenuhi secara simbolik status Indonesia sebagai negara demokratis –karena punya partai politik dan parlemen– di mata internasional.

I.7. Metodologi Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam melakukan pelaksanaan studi ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan studi pustaka. Penelitian deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Penelitian ini dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. 44 Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta – fakta, sifat – sifat dan hubungan antar fenomena yang sedang diselidiki. 44 Bambang Prasetyo dkk, 2005, Metode Penelitian Kuantitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal., 42 Universitas Sumatera Utara