Model-Model Kepolitikan Orde Baru

keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan politik. Tampaknya bahwa negara telah menjadi mesin politik yang aktif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. Negara strukturalis klasik yang sering di klaim sebagai basis teoritis- konseptual negara modern dengan Bapak Pembangunannya Max Weber, selalu menganggap bahwa negara merupakan agen yang berhak melakukan monopoli. Penggunaan kekerasan fisik dan mampu memaksakan kehendaknya atas masyarakat, karena, negara memiliki kekuasaan otoritatif yang sah. Tugas utama negara adalah menjamin ketertiban masyarakat melalui agen-agennya yaitu : politisi, tentara dan birokrasi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lahirnya kepatuhan masyarakat terhadap negara. Besarnya peran negara terhadap masyarakat menyebabkan rapuhnya tingkat kemandirian politik masyarakat sehingga prakarsa dalam masyarakat seakan-akan menjadi tidak tumbuh. Lembaga Perwakilan Rakyat kurang berfungsi dengan baik karena lembaga ini kurang mempunyai kebebasan berpendapat. Sementara organisasi-organisasi politik yang berfungsi untuk menjaring calon- calon wakil rakyat pada hakekatnya bukan merupakan organisasi yang mandiri, baik secara finansial maupun secara intelektual.

1.6.2.1 Model-Model Kepolitikan Orde Baru

Para ahli politik dan pengamat Indonesianis dari dalam maupun luar negeri mengidentifikasi perpolitikan Orde Baru kepada beberapa model. Model perpolitikan ini diharapkan dapat membantu usaha untuk mengenal secara mendetail konfigurasi politik hukum rezim Orde Baru, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa energi politik sangat berpengaruh terhadap hukum Universitas Sumatera Utara dan lembaganya. Oleh sebab itu, berikut ini dikemukakan model-model perpolitikan rezim pemerintahan Orde Baru berikut : a. Paham Integralistik Paham Integralistik muncul pertama kali yaitu pada saat Prof. Mr. Dr. Soepomo mengajukan tiga pilihan yaitu paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik tepatnya dalam pidato Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dalam paham integralistik, negara menjadi mutlak. Kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Dalam paham ini negara bersifat totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan” bukan “bagian-bagian”. 17 Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu diikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial mengatasi kepentingan individual yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual. 18 Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan 17 Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta : Grafiti, 1994, hal.8 18 Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hal. 54 Universitas Sumatera Utara dilakukan dengan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak dikenal tirani mayoritas atas minoritas. 19 b. Beamtenstaat Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber. 20 Dalam konteks demikian, Ruth T. Mc Vey 21 memperkenalkan model Beamtenstaat, yaitu model yang menunjukkan adanya persamaan gaya politik pemerintahan Orde Baru dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang sama dalam hal tekanan terhadap administrasi daripada terhadap politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Inilah bentuk ideal “negara pegawai” Beamtenstaat, ketika negara menjadi mesin birokrasi yang efisien the state as efficient bureaucratic machine. c. Patrimonialisme Jawa Model kepolitikan ini berangkat dari pendekatan kultural, di antaranya dianut oleh Donald K. Emmerson, 22 William L. Liddle, dan Harold Crouch. 19 Ibid., hal. 55 20 Marsilam Simanjuntak, Op.Cit., hal. 247 21 Ruth T. Mc Vey, “The Beamtenstaat in Indonesia”, dalam Benedict Anderson dan Audrey Kahin eds, Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca : Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hal. 85 22 Donald K. Emmerson, The Bureaucracy in Indonesia, Cambridge, Mass : Center for International Studies, MIT, 1974, dan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite Political Culture and Cultural Politics, Ithaca : Cornell University Press, 1976. Universitas Sumatera Utara Sedangkan dari kalangan pakar Indonesia di antaranya karya Soemarsaid Martono, Yahya Muhaimin, Soedjatmoko, Fachri Ali, dan Sartono Kartodirjo. Konsep patrimonialisme banyak dipakai oleh ilmuwan politik dan mencoba menjelaskan perkembangan politik di Eropa pada abad pertengahan hubungan yang bersifat patrimonialisme tersebut, ada pihak yang merupakan “penguasa” lain mengidentifikasikan kepentingannya. Hubungan tersebut berlangsung dalam “pertukaran keuntungan” advantage exchange yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak. Dalam menjalankan kepolitikan Orde Baru, hubungan yang bersifat patrimonialisme didasarkan pada budaya Jawa. Menurut model ini, terdapat kontinuitas nilai-nilai politik yang berlangsung pada masa lalu di rujuk pada kerajaan Mataram II dengan nilai-nilai politik Orde Baru. Misalnya nilai-nilai kekuasaan dalam paham kebudayaan Jawa yang menurut Anderson memenuhi empat sifat; konkret, homogen, tetap dan tidak mempersoalkan legitimasi. 23 Birokrasi Orde Baru, walaupun memperlihatkan ciri-ciri modern, tetap dipengaruhi nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik masa lalu Jawa, seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah” patron- client. Berdasarkan asumsi di atas, menurut Richard Robinson pendekatan kultural menghasilkan dua proposisi : 24 1. Bahwa hakikat pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui kerangka perspektif daya tahankelangsungan kebudayaan Jawa yang membentuk praktik politik para pejabat atau elite birokrasi tersebut; dan 23 Benedict Anderson, The Idea of Power in Javanese Culture”, dalam Claire Holt ed., Culture and Politics in Indonesia, Ithaca, N.Y : Cornell University Press, 1972, hal 4-8 24 Manuel Kaiseipo, Dari Kepolitikan Birokratik ke Korporatisme Negara, Birokrasi dan Politik di Indonesia, dalam Jurnal Ilmu Politik. No. 2 tahun 1987, hal. 24 Universitas Sumatera Utara 2. Bahwa identitas dan struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial yaitu struktur-struktur patront-client yang bersifat pribadi dan tersusun secara vertikal. d. Negara Otoriter Birokrasi Rente Model kepolitikan ini diperkenalkan oleh Arief Budiman dalam bukunya tentang perbandingan antara pembangunan di Indonesia dengan pembangunan di Korea Selatan. 25 Ciri-ciri negara otoriter birokrasi OB menurutnya adalah bersifat otoriter, sangat mengandalkan birokrasi sebagai alat mencapai tujuan, membendung partisipasi masyarakat, melaksanakan pembangunan ekonomi dan politik secara top-down dari atas ke bawah dan menggunakan ideologi teknokratis-birokratis. 26 Dalam otoriter birokratik rente, kaum borjuis tidak terbentuk dalam negara karena mereka mendapat fasilitas melalui hubungan personal dengan penguasa. Jelasnya, para elite negara meminta imbalan, rente, atau ongkos sewa, para elite bertindak sebagai “rentenir” karena menyewakan jabatannya untuk kepentingan pengusaha, jabatan birokrasi bagi elite negara menjadi semacam “alat produksi” untuk melakukan akumulasi modal melalui sistem rente. 27 Intinya, dalam negara OB rente yang muncul bukan kaum borjuis yang kuat akan tetapi yang muncul adalah kelompok pengusaha yang tergantung kepada fasilitias dan perlindungan negara. Negara OB rente mulai tumbuh dan 25 Arief Budiman, State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990, hal.12 26 Ibid., hal. 13-14 27 Ibid., hal. 17 Universitas Sumatera Utara menguat di Indonesia ketika militer selalu menekankan stabilitas politik secara berlebihan pada permulaan tahun 1970-an. 28 e. Negara Kapitalis Rente Rent Capitalism State Model ini diperkenalkan oleh Olle Tornquist. Ia menekankan sifat “rente” dari model kepolitikannnya. Indonesia dan India adalah sebuah negara dengan pembangunan kapitalis tetapi menjadi rente karena digerogoti oleh perilaku dan kebijakan para pendukung rezim ini. 29 Dalam model ini sifat otonomi relatif, negara didasarkan pada rasionalitas ekonomi, yaitu bagaimana memperoleh keuntungan sebesar-besarnya demand dengan kerugian sekecil-kecilnya suply. Rasionalitas ekonomi ini membenarkan negara berbuat apa saja, termasuk yang tidak demokratis. Pola-pola patronase, bapakisme, nepotisme, dan lain-lain tidak dipermasalahkan, termasuk sistem proteksionisme, monopoli, dan pemberian fasilitas-fasilitas. Model negara kapitalis rente ini relatif otonom dan berhubungan dengan kaum berjuasi domestik dan internasional. f. Konsep Politik Birokrasi Bureacracy Polity Bureacracy Polity adalah bentuk sistem politik dengan kekuasaan membuat keputusan terletak sepenuhnya di tangan para penguasa negara, terutama para perwira militer dan pejabat tinggi birokrasi. Tidak ada partisipasi masyarakat, yang ada hanya mobilisasi. Di dalam bentuk birokrasi terjadi persaingan antara lingkaran-lingkaran birokrat dan elite militer. Elite ini, terutama adalah Presiden. Legitimasi pemimpin dalam bureacracy polity bukan berdasarkan otoritas tradisional seperti penguasa 28 Ibid., hal. 59 29 Olle Tornquist, “Rent Capitalism, State and Democracy, a Theorical Proposition”, dalam Arief Budiman ed, State and Civil Society in Indonesia, Clayton : Monash University, 1990, hal. 29-50 Universitas Sumatera Utara tunggal, melainkan otoritas legal. Jackson mengakui bahwa terjadi konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden Soeharto, tetapi hal itu terjadi secara konstitusional melalui Supersemar, tap-tap MPRS, dan Pemilu dan dalam beberapa hal dibatasi oleh kepentingan elite birokrasi dan militer. 30 Menurut Lance Castle, ada tiga ciri masyarakat politik birokratik : 1 lembaga politik yang dominan adalah aparat birokrasi; 2 lembaga-lembaga politik lainnya, seperti parlemen, partai politik, dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi; dan 3 massa di luar birokrasi secara politiskonomis adalah pasif. 31

I.6.3. Partai Politik