Struktur Partai Persatuan Pembangunan

1. Mengembalikan kepercayaan umat Islam kepada Partai Persatuan Pembangunan melalui perbaikan kinerja terpilih calon legislatif; 2. Memperbaiki moral umat Islam dalam konteks persatuan dan kesatuan; 3. Meningkatkan pendidikan agama Islam kepada generasi penerus. 67

II.7. Struktur Partai Persatuan Pembangunan

Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir, yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita. Untuk menempatkan orientasi dan cita-cita parpol, diutamakan adanya suatu perangkat kerja dan pola kerja yang baik atau dengan kata lain partai politik memiliki struktur organisasi yang mampu mempengaruhi pola kerja. Sehingga orientasi dan cita-cita dari parpol akan terealisasi. Struktur dapat dianggap sebagai pola-pola hubungan antara komponen atau bagian organisasi yang telah ditetapkan. Struktur adalah perencanaan formal untuk mencapai efisiensi divisi tenaga kerja dan koordinasi yang efektif dari aktivitas anggota. 68 Struktur Organisasi adalah susunan formal dan sistematis mengenai operasional dan aktifitas yang ada dalam organisasi dan interelasi operasional-operasional tersebut dengan yang lain. Partai Persatuan Pembangunan sebagai salah satu partai dari sekian banyak parpol yang ada di Indonesia telah menampilkan suatu orientasi kepartaiannya sepanjang perjalanan historis garis kehidupan berpolitik institusi. Dalam hal ini, secara eksplisit tampak bahwa eksistensi PPP masih mendapat dukungan dari seluruh elemen konstituen khususnya dalam tataran Pemilihan Umum. Dari keberhasilan PPP untuk berkompetisi dalam konstelasi politik nasional maupun 67 Pemaparan dalam pertemuan terbatas dan sosialisasi mengenadi Visi dan Misi PPP dalam Pemilu Legislatif 2009 di Madina 68 Haris, S, Politik Organisasi Perspektif Mikro Diagnosa Psikologis, Yokyakarta : Pustaka Pelajar, 2006. Hal. 136-138 Universitas Sumatera Utara lokal tidak terlepas dari kematangan internal partai politik yang didukung oleh struktur organisasi yang rapi. Partai Persatuan Pembangunan memiliki jaringan dan infrastruktur yang menyebar disegenap penjuru negeri, lengkap dengan struktur kepengurusan sampai tingkat ranting. Kelengkapan struktur organisasi tersebut membuat PPP lebih mudah untuk mengembangkan dan memasarkan produk-produk politik serta mengonsentrasikan kerja politiknya untuk mencari pendukung. Struktur organisasi PPP memiliki 2 dua komponen yang terstruktur yaitu : pertama, struktur organisasi formal PPP dan kedua, struktur organisasi informal PPP. Struktur organisasi formal merupakan struktur dan representasi perencanaan yang sengaja dilakukan untuk membentuk pola hubungan antara komponen yang diarahkan untuk mencapai tujuan secara efektif. Struktur formal secara khusus akan menghasilkan pedoman aktivitas yang akan dilaksanakan. Adapun struktur formal organisasi dan kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan tersirat dalam Ketetapan-ketetapan Muktamar VI Partai Persatuan Pembangunan tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Bab VII bagian pertama susunan daerah Pasal 10, 1. Daerah Partai Persatuan Pembangunan ialah seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang disusun sesuai dengan susunan daerah pemerintahan : a. Wilayah Partai Persatuan Pembangunan ialah Propinsi; b. Cabang Partai Persatuan Pembangunan ialah Kabupaten atau Kota; c. Anak Cabang Partai Persatun Pembangunan ialah Kecamatan atau sebutan lain yang disamakan; d. Ranting Partai Persatuan Pembangunan ialah DesaKelurahan atau sebutan lain yang disamakan. Universitas Sumatera Utara 2. Pembentukan daerah Partai Persatuan Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, dilaksanakan dengan ketentuan : a. Wilayah Partai Persatuan Pembangunan dibentuk oleh seluruh Dewan Pimpinan Cabang di wilayah tersebut dan ditetapkan oleh pengurus Harian Dewan Pimpinan Pusat. b. Cabang Partai Persatuan Pembangunan dibentuk oleh seluruh Pimpinan Anak Cabang di cabang tersebut dan ditetapkan oleh Pengurus Harian Dewan Pimpinan Wilayah. c. Anak Cabang Partai Persatuan Pembangunan dibentuk oleh seluruh Pimpinan Ranting di Anak Cabang tersebut dan ditetapkan oleh Pengurus Harian Dewan Pimpinan Cabang. d. Ranting Partai Persatuan Pembangunan dibentuk oleh anggota di Ranting dan ditetapkan oleh Pengurus Harian Pimpinan Anak Cabang. 3. Untuk daerah otonomi khusus yang susunan daerah pemerintahannya terdapat perbedaan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, susunan dan pembentukan daerah partainya dapat disesuaikan oleh Pimpinan Harian Wilayah yang bersangkutan. 4. Di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dibentuk perwakilan Partai Persatuan Pembangunan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan. Kepemimpinan Partai Persatuan Pembangunan disusun sesuai dengan tingkatan pemerintahan : a. Di tingkat nasional berkedudukan di Ibukota Negara, disebut Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan disingkat DPP PPP; b. Di tingkat propinsi berkedudukan di Ibukota Propinsi, disebut Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan Pembangunan disingkat DPW PPP; Universitas Sumatera Utara c. Di tingkat KabupatenKota berkedudukan di Ibukota KabupatenKota, disebut Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan disingkat DPC PPP; d. Di tingkat kecamatan atau sebutan lain yang disamakan berkedudukan di Ibukota Kecamatan disebut Pimpinan Anak Cabang Partai Persatuan Pembangunan disingkat PAC PPP; e. Di tingkat desakelurahan atau sebutan lain yang disamakan berkedudukan di DesaKelurahan disebut Pimpinan Ranting Partai Persatuan Pembangunan disingkat PR PPP; f. Untuk daerah otonomi khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 3 susunan kepemimpinannya disesuaikan oleh Pimpinan Harian Wilayah yang bersangkutan; g. Untuk perwakilan Partai Persatuan Pembangunan di Luar Negeri disebut Pimpinan Perwakilan Partai Persatuan Pembangunan. 69 Sedangkan susunana struktur formal organisasi Dewan Pimpinan Cabang terdapat dalam Pasal 27 1. Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan terdiri atas : a. Pengurus Harian Dewan Pimpinan Cabang; b. Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Cabang; c. Majelis Pakar Dewan Pimpinan Cabang; d. Bagian; e. Lembaga. 2. Masa bakti Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan adalah 5 lima tahun. 3. Pengurus Harian Dewan Pimpinan Cabang, Pimpinan Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Cabang, Pimpinan Majelis Pakar Dewan Pimpinan Cabang dipilih dan ditetapkan oleh Musyawarah Cabang. 4. Pengurus Harian Dewan Pimpinan Cabang membentuk Bagian dan Lembaga. 69 Dikutip dari Ketetapan-ketetapan Muktamar VI Partai Persatuan Pembangunan Tentang Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, hal, 9-11. Universitas Sumatera Utara BAB III ANALISIS DATA III.1. Partai Politik dalam Konfigurasi Politik Rezim Orde Baru Komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekonomi menjadi kerangka dasar untuk memahami penataan politik kepartaian yang dilaksanakan rezim Orde Baru. Restrukturisasi kehidupan politik dianggap sebagai tuntutan yang amat logis dan wajar untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas. Dalam konteks ini pembaruan politik kepartaian dan tuntutan akan suatu sistem politik yang lebih stabil serta dapat menjamin berlangsungnya perbaikan kehidupan ekonomi pada dasarnya menjadi pembenaran akan cara pandang semacam itu. Pada suatu sistem politik yang menempatkan partai politik sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah, partai politik seharusnya menjadi institusi yang mengemban fungsi-fungsi komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik sebagaimana umumnya. Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan interests articulation atau political interests yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide-ide, visi, dan kebijakan-kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide-ide dan kebijakan atau aspirasi kebijakan itu diproses sedemikian rupa sehingga dapat diharapkan mempengaruhi atau bahkan menjadi kebijakan negara atau pemerintah. Universitas Sumatera Utara Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting dalam melakukan sosialisasi politik political sosialization. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang menjadi pilihan partai politik dimasyarakatkan kepada konstituen untuk mendapatkan umpan balik berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dengan sosialisasi politik ini, partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan politik. Partai politiklah yang menjadi struktur-antara yang harus memainkan peran dalam mensosialisasikan cita-cita kebangsaan dalam kesadaran kolektif masyarakat. Fungsi ketiga partai politik adalah sarana rekrutmen politik political recruitment. Partai dibentuk memang dimaksudkan untuk menjadi kendaraan yang sah untuk menyeleksi kader-kader pemimpin negara pada jenjang-jenjang dan posisi-posisi tertentu. Kader-kader itu ada yang dipilih secara langsung oleh rakyat, ada pula yang dipilih melalui cara yang tidak langsung, seperti oleh Dewan Perwakilan Rakyat, ataupun melalui cara-cara yang tidak langsung lainnya. Partai hanya boleh terlibat dalam pengisian jabatan-jabatan yang bersifat politik seperti Menteri, Gubernur, BupatiWalikota yang pengangkatan pejabatnya melalui prosedur politik. Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat. Seperti sudah disebut di atas, nilai-nilai values dan kepentingan- kepentingan interests yang tumbuh dalam kehidupan masyarakat sangat beraneka ragam, rumit, dan cenderung saling bersaing dan bertabrakan satu sama lain. Jika partai politiknya banyak, berbagai kepentingan yang beraneka ragam itu dapat disalurkan melalui polarisasi partai-partai politik yang menawarkan ideologi, program, dan altrernatif kebijakan yang berbeda-beda satu sama lain. Universitas Sumatera Utara Dengan perkataan lain, sebagai pengatur atau pengelola konflik conflict management, partai berperan sebagai sarana agregasi kepentingan aggregation of interests yang menyalurkan ragam kepentingan yang berbeda-beda itu melalui saluran kelembagaan politik partai. Partai mengagregasikan dan mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik. Berbeda halnya dalam konfigurasi politik rezim Orde Baru, partai politik yang ada PPP dan PDI termasuk Golkar ini berubah menjadi patner pemerintah dalam arti menjaga kelangsungan Pancasila dan UUD 1945 dalam tatanan politik yang tengah dibangun. Oleh karena itu, partai dijadikan salah satu “modal dasar pembangunan” yang dimaksudkan sebagai pendukung dari segala kebijakan rezim. Dalam rangka mengukuhkan dan memperjelas kedudukan partai yang antik itulah maka tidak hanya penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan, tetapi juga diciptakan “jarak”, baik antara partai dan masyarakat pedesaaan melalui konsep massa mengambang maupun antara partai dan birokrasi melalui konsep monoloyalitas. Pola “politik aliran” 70 seperti yang pernah berkembang dalam kehidupan kepartaian pada masa sebelumnya agaknya menjadi sumber kekhawatiran yang beralasan bagi rezim Orde Baru guna membatasi keterlibatan partai. Akan tetapi, pembatasan itu berlaku juga bagi partai PPP dan PDI maupun Golkar. Kenyataannya Golkar justru dapat memanfaatkan hubungan itu 70 “Politik aliran” adalah pola politik yang lahir dari jaringan korporasi antara partai, organisasi masyarakat yang menjadi onderbouw partai dan massa yang dibangun atas dasar ikatan-ikatan primordial, seperti agama, ideologi, hubungan darah, bahasa, dan etnis. Tentang hal ini lihat, Clifford Geertz, Abangan, Santri dan Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981. Universitas Sumatera Utara untuk menembus massa hingga di tingkat pedesaan. Kecuali itu, dinamika internal Gokar bahkan sebagian besar mencerminkan pengaruh suprastruktur proses politik nasional. Kedudukan Golkar yang jauh lebih baik, dimungkinkan karena sejak awal Golkar dianggap sebagai alternatif golongan pembaruan yang bersama- sama dengan militer menjadi pendukung utama format politik yang dibangun Presiden Soeharto. Dalam keadaan seperti itu bisa dimaklumi bahwa format politik yang dikehendaki hanya dapat dicapai dengan membiarkan Golkar bekerja sama dengan birokrasi – yang pada dasarnya merupakan tangan resmi pemerintah dalam melaksanakan tugas – dan yang mengasingkan partai dari birokrasi. Pada gilirannya kecenderungan faktual seperti ini menimbulkan struktur kepartaian yang tidak setara setidaknya bagi kalangan partai, PPP dan PDI. Arah penataan itu menciptakan dua persoalan yang lain. Pertama, posisi partai politik menjadi begitu bergantung kepada arah dan kecenderungan politik nasional karena tidak berakar ke bawah. Kedua, kalangan partai menjadi sulit mengidentifikasikan hakikat keberadaan mereka dalam tatanan politik yang berlaku. Apalagi bila dihubungkan dengan masa silam kehidupan partai yang kurang menarik bagi rezim Orde Baru. Konflik-konflik di dalam tubuh PPP dan PDI tampaknya berhubungan erat dengan kedua permasalahan yang dikemukakan ini. Rezim Orde Baru mempunyai anggapan dasar bahwa partai politik menjadi sumber konflik dan ketidakstabilan politik, seperti yang pernah dialami pada periode Demokrasi Liberal. Dengan demikian, pemerintah oleh partai Universitas Sumatera Utara maupun keikutsertaan partai dalam pemerintah dianggap sebagai “masa lalu yang buruk” yang tidak perlu diulang lagi. Penciptaan “jarak” antara partai politik dan birokrasi tampaknya menjadi indikasi kecenderungan tersebut. Selain itu, keterlibatan partai politik dalam bitokrasi akan mengganggu dan bahkan menghambat tugas pelayanan birokrasi. Apalagi dalam era pembangunan yang menjadi obsesi pemerintah sejak awal. Diyakini bahwa tugas birokrasi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah hanya dapat berjalan dengan lancar bila birokrasi dijauhkan dari politik, termasuk kerja sama mereka dengan partai politik. Implikasi atas kenyataan yang terjadi ini adalah tertutupnya kesempatan bagi politisi dari partai politik agar duduk atau menempati posisi dalam birokrasi pemerintahan, khususnya posisi sebagai menteri yang merupakan elit birokrasi. Oleh sebab itu, tidak mengherankan bila selama Orde Baru, kecuali H.M.S. Mintaredja dan Frans Seda tidak ada lagi tokoh partai atau politisi partai yang memperoleh jabatan sebagai menteri dalam kabinet pembangunan. 71 Disamping pembatasan di atas, kalangan partai juga menghadapi setiaknya dua kenyataan yang lain. Pertama, posisi kursi yang dapat diraih kalangan partai di DPR semakin mengecil. Sementara itu, jumlah perolehan kursi “fraksi pemerintah” Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi ABRI malahan semakin meningkat. Pada Pemilu 1971 perimbangan kekuatan antara fraksi partai Fraksi Persatuan Pembangunan dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dan “fraksi pemerintah” adalah 124 kursi 26,59 berbanding dengan 336 kursi 73,04, 71 Lihat Fachry Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimima, “Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan” dalam Farchan Bulkin, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia : Pilihan Artikel Prisma, Jakarta: LP3ES, 1985 hal 245-246 Universitas Sumatera Utara pada pemilu 1977 penguasaan kursi PPP dan PDI adalah 128 kursi 27,83 berbanding 332 kursi 72,19, pada Pemilu 1987 perimbangan itu berubah menjadi 101 kursi 20,20 berbanding dengan 399 kursi 79,80 72 . Kesempatan untuk meraih kursi yang semakin sedikit sudah tentu akan mempertajam perbedaan yang sudah ada dalam partai, yang kemudian bermuara pada konflik. Kedua, proses peralihan kepemimpinan di dalam tubuh partai politik mengalami kemacetan. Sementara itu, pada saat yang sama jumlah mereka yang ingin meraih posisi kepemimpinan semakin bertambah. PPP sebagai contoh dalam hal ini, pada kurun masa 18 tahun kehadirannya, partai ini baru berhasil menyelenggarakan dua kali muktamar. Padahal ADART yang menjadi konstitusi partai mengatur bahwa muktamar berlangsung selambat-lambatnya empat tahun sekali. Berbagai hal menjadi alasan para pimpinan partai untuk menunda muktamar sehingga merangsang pertikaian yang berkembang diantara mereka. Pelaksanaan kongres sampai yang ketiga juga dilaksanakan oleh PDI. Namun, seperti halnya PPP, gejala penundaan kongres dialami PDI, khususnya pada Kongres II 1981, dan Kongres III 1986. Bila ADART dipakai sebagai rujukan maka Kongres II seharusnya dapat dilaksanakan sebelum 1981, mengingat Kongres I pada 1976, sedangkan Kongres III empat tahun kemudian. 73 Ada berbagai usaha dari pengurus lama untuk menunda kongres yang mewarnai perilaku itu, baik menjelang kongres II maupun kongres-kongres berikutnya. Pada kongres III pengurus DPP PDI yang dipimpin Sunawar 72 Lihat Djohermansyah Djohan, “Pola dan Masa Depan Perimbangan Kekuatan Politik di DPR” dalam Nazaruddin Syamsuddin et.al, Masa depan Kehidupan Politik Indonesia. Jakarta : Penerbit Rajawali dan AIPI, 1988 hal. 63 73 Lihat Adriana Elisabeth Sukamto, et al., PDI dan Prospek Pembangunan Politik, Jakarta: Grasindo, 1991 hal. 25 Universitas Sumatera Utara Sukowati justru menginginkan pelaksanaan munas Majelis Permusyawaratan Partai – lembaga tertinggi kedua dibawah kongres – sebelum pelaksanaan kongres III agar pelaksanaan Pemilu 1987 tidak terganggu. Alasan itu perlu ditolak kelompok yang dipimpin Hardjanto yang menghendaki pelaksanaan kongres sebelum pemilu. Perselisihan pendapat itu lalu berkembang menjadi konflik yang mengakibatkan kegagalan PDI untuk memilih formatur guna menyusun kepengurusan yang baru. Dilihat dari posisi kepemimpinan partai ini, persaingan itu menjadi sengit sehingga ada kelompok yang mempertahankan status quo, dan ada kelompok yang menghendaki proses alih kepemimpinan sesuai konstitusi partai. Lalu posisi kepemimpinan partai bagi kedua partai merupakan jalan terpendek untuk meraih posisi di lembaga legislatif, terutama di DPR. Konflik di dalam tubuh PPP yang menyangkut perebutan kursi Ketua Komisi VII DPR antara unsur NU Nahdathul Ulama dan MI Muslimin Indonesia pada akhir 1980, kasus Daftar Calon Sementara DCS PPP untuk Pemilu 1982 pada akhir 1981 antara kedua unsur yang sama, serta pertikaian antara kelompok Naro dengan Soedardji mengenai perubahan pimpinan FPP di DPR pada 1984, setidaknya dapat ditijau dari sisi pandang itu. 74 Demikian pula berkaitan dengan konflik di dalam tubuh PDI antara SanusiUsep dan IsnaeniSunawar 1978, konflik menjelang kongres maupun pertikaian antara kemas Fachrudin, dkk. dan DPP 1987. 75 Salah satu aspek yang menarik dari kebijakan politik fusi 1973 adalah penggabungan sembilan partai politik menjadi dua partai “baru” itu sebenarnya 74 Abdul Azis Thaba, Op.Cit., hal. 39 75 Adriana, Op.Cit., hal. 41 Universitas Sumatera Utara lebih didorong oleh faktor dari luar lingkungan partai politik. Dalam hal ini, desakan pemerintah dan perubahan politik nasional daripada faktor yang berasal dari setiap partai itu sendiri. Kenyataan itu mengakibatkan tingkat integrasi yang rendah diantara unsur-unsur atau bekas partai yang ada. PPP, meskipun keempat unsur yang befusi ke dalamnya berasal dari partai-partai Islam, hal itu tidak berarti bahwa persepsi agama dan pandangan politik mereka juga sama. Demikian pula halnya dengan PDI perbedaan-perbedaan itu bahkan begitu tajam sehingga sejak awal kelima unsur yang bergabung telah memendam benih-benih konflik. Posisi yang kurang menguntungkan itu sangat disadari oleh kalangan partai. Akibatnya, sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “akomodatif” dalam perilaku politiknya. Ada pula sebagian yang lain mencoba bersikap “radikal” dalam upaya mempertahankan kebanggaan historis sebagai aktivis partai. Akan tetapi, politisi yang memilih pola perilaku radikal itu pada umumnya tersingkir atau disingkirkan dari panggung politik Orde Baru. Berdasarkan sebagian kasus konflik didalam tubuh PPP maupun dalam PDI sebenarnya dapat ditinjau dari segi ini, yakni tarik menarik dan benturan antara kepemimpinan partai yang cenderung akomodatif dan kepemimpinan yang cenderung radikal. Sikap politisi akomodatif dapat bertahan, bahkan cukup kuat. Namun, hal itu tidak berarti mereka dapat segera mengantisipasi arah dan kecenderungan politik nasional yang tengah berlangsung. Kenyataan itu setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Universitas Sumatera Utara Pertama, politisi partai memang tidak terlibat dan dilibatkan dalam proses penataan kehidupan politik. Kehadiran partai secara formal dan politisi partai diakui, tetapi mereka tidak menjadi bagian dari lingkaran elit penentu dalam struktur politik. Pada umumnya indikasi ini dapat dilihat pada proses pembuatan Undang-Undang, dan pada khususnya Undang-Undang mengenai bidang politik. Kedua, ketidakpastisan arah pembangunan sistem kepartaian. Di satu pihak ruang gerak partai dibatasi, baik secara formal melalui Undang-Undang yang berlaku maupun secara informal melaui lembaga “restu”, dan sejenisnya dalam seleksi kepemimpinan partai. Di pihak lain, partai diminta dan diimbau agar lebih mandiri, serta berperan aktif dalam pembangunan. Disamping itu, partai secara formal diakui mempunyai kedudukan yang sejajar dengan Golkar, tetapi tidak memperoleh keleluasaan yang sama dalam merangkul birokrasi. Dilema ini secara konseptual akan bermuara pada pertanyaan bagaimanakah sistem kepartaian yang hendak dibangun? Berdasarkan segi jumlah, sistem yang dianut itu tampaknya masih bersifat multy-party, namun sistem itu mengarah pada apa yang disebut “sistem partai yang dominan” yang menampilkan Golkar sebagai partai hegemonik. 76 Ketiga, tingkat kepekaan elite partai yang rendah terhadap arah perubahan politik yang tengah terjadi. Kenyataan ini bersumber dari kalangan intelektual dan pemikir yang semakin berkurang dalam memilih karir sebagai politisi partai. Kecenderungan itu semakin menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja bila diperhatikan bahwa serangan terhadap partai pada awal Orde Baru sebagian 76 Tentang konsep kepartaian seperti ini, lihat Duverger, Partai-partai Politik dan Kelompok- kelompok Kepentingan, Jakarta: Bina Aksara, 1981 hal. 40 Universitas Sumatera Utara bersumber dari kalangan Intelektual, khususnya yang tergabung dalam Kesatuan Aksi sarjana Indonesia. Faktor-faktor di atas menempatkan politisi partai pada posisi yang bergantung pada kekuatan luar terutama pemerintah. Akibatnya, setiap perilaku politik yang tampil adalah dalam rangka memperoleh legitimasi dari pemilik kewenangan itu. Konflik yang menyangkut isu “modernisasi partai” dalam PPP, mengakibatkan Ridwan Saidi berseteru dengan Naro, dan pertikaian mengenai tanda gambar Ka’bah 1984 antara kelompok SoedardjiSyarifuddin HarahapB.T. Achda dengan Naro yang menjadi perseteruan selama tujuh bulan setidaknya dapat dipahami melalui kecenderungan di atas. 77 Demikian juga perbedaan pendapat menjelang Kongres II PDI pada 1981 antara SunawarIsnaeni melawan “Kelompok Empat”, Usep Ranawidjaja, Abdul Madjid, Ny. D. Walandaouw, dan Zakaria Raib, lalu konflik mengenai isu “negara sekuler” yang bermuara pada kubu Sunawar Sukowati di satu pihak dan Hardjantho di pihak yang lain pada 1984. 78 Di samping itu, sumber penting konflik yang lain menjelang muktamar atau kongres tampaknya menjadi upaya setiap kelompok yang bertikai guna merebut simpati pemerintah dengan harapan bahwa pemerintah akan memihak dan memenangkan salah satu dari mereka. Kecenderungan ini terlihat dari penyebarluasan pernyataan setiap pihak yang bertikai kepada media massa sebelum hal yang sama dikemukakan dalam forum formal partai. Bila pemerintah tidak memihak salah satu dari mereka, konflik itu cenderung berlarut-larut dan menyita waktu yang lama. Demikian pula sebaliknya. Hal ini terlihat khususnya 77 Abdul Azis Thaba, op., cit., hal. 55 78 Adriana, op., cit., hal. 41 Universitas Sumatera Utara pada kasus PDI. Ketika pemerintah memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum DPP PDI yang baru, pertikaian pun berakhir, meskipun pilihan itu meredam benih konflik yang baru. Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa fusi memang mampu mengurangi konflik dan pertentangan politik di tingkat pemerintahan dan sistem politik. Tetapi pada prinsipnya hanya merupakan pengalihan dari konflik politik nasional di masa lalu menjadi konflik dalam tubuh parpol. Jika pola konflik PPP dan PDI selama periode Orba diperhatikan, pada prinsipnya merupakan miniatur dari konlik politik nasional di masa lalu. III.2. Kebijakan Politik Fusi dan Perkembangan PPP Dinamika internal PPP hampir sama dengan yang dialami oleh PDI. Perbedaannya hanya terletak pada rentang waktu terjadinya konflik. Strategi dan campur tangan pemerintah tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh PDI. Namun demikian, karena kinerja kepemimpinan PPP di bawah Ismail Hasan Metareum dianggap kondusif, PPP tidak banyak mengalami intervensi, penggarapan dari dalam, ataupun dikacaukan oleh pihak eksternal pemerintah. Akan tetapi, itu tidak berarti partai hasil fusi Partai Islam ini bebas dari intervensi pemerintah dan militer. Pasca fusi 1973, tipologi unsur PPP, menurut Deliar Noer, ada dua, yaitu 1 kelompok modernis yang secara longgar ada pada Muslimin Indonesia MI atau Parmusi dan Syarikat Islam SI atau PSII; dan 2 kelompok tradisionalis yang relatif ada pada NU dan Perti. Fusi ini telah memakan banyak korban, setelah sebelumnya SI dan MI digarap lebih dahulu karena tipe kepemimpinan mereka yang dianggap “radikal”. Parmusi yang muncul pada 1968 sebagai Universitas Sumatera Utara metamorfosis dari Masyumi telah mengalami perubahan-perubahan dengan keputusan presiden. Penggarapan dari dalam ini menunjukkan bahwa ideologi Islam masih dianggap sebagai ancaman oleh Orde Baru sehingga mereka tidak menginginkan kembalinya tokoh-tokoh tua Masyumi dalam gelanggang politik. Nasib yang sama juga dialami oleh SI sebelum fusi dengan digarapnya kepemimpinannya, dengan alasan menentang pemerintah. Kelompok yang sebagian propemerintah inilah yang membidani fusi partai Islam ke PPP 79 . Unsur yang memimpin PPP sebagai hasil fusi dari partai aliran Islam ini setidaknya menurut tipologi Deliar Noer, yaitu H.M.S. Mintaredja sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat, K.H. Idham Chalid sebagai Presiden Partai, K.H. Masykur sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Pusat, dan K.H. Bisri Sjamsuri selaku Rois ‘Aam Majelis Syuro. Kepengurusan ini tidak berubah meskipun PPP telah melakukan Munas pada 6-8 November 1975. Baru saja fusi dilakukan pada 1973, PPP sudah dianggap membuat ulah, terutama menyangkut RUU Perkawinan yang diajukan oleh pihak pemerintah pada tahun itu. Alasan utama penolakan itu adalah secara prinsipil RUU itu bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun F-PP hanya berjumlah 94 orang dari 460 anggota DPR, mereka berhasil menggagalkan RUU tersebut karena didukung oleh tokoh-tokoh Islam di luar partai, didukung pula oleh organisasi pelajar, mahasiswa, pemuda, dan massa Islam. Ketegangan antara pemerintah dengan PPP mereda pada 1974 hingga 1975 setelah munculnya Peristiwa Malari 1974. Mengenai Kasus Malari, Ali Moertopo sempat menuduh bahwa peristiwa 79 Lihat Syamsuddin Haris, Op.,cit., hal. 10 Universitas Sumatera Utara itu ada kaitannya dengan tokoh PSI dan Masyumi, tetapi dibantah oleh Syafruddin Prawiranegara. 80 Untuk menghindari konflik, terutama yang berasal dari unsur yang membentuknya, PPP hanya bergantung pada “Konsensus 75”. Konsensus ini mencerminkan bahwa struktur kepemimpinan di PPP diusahakan untuk dapat menampung seluruh unsur yang ada secara proporsional berdasarkan patokan hasil Pemilu 1971. Dalam Pemilu 1977, muncul penolakan dari Mendagri Amirmachmud tentang lambang Ka’bah yang tetap digunakan oleh PPP. Sekjen Departemen Agama, Kolonel Bahrum Rangkuti, juga menolaknya. Akan tetapi, PPP tetap mempertahankan identitas Islam melalui simbol Ka’bah. 81 Campur tangan dalam masalah ideologi ini sering dilakukan baik oleh pihak Depdagri maupun pejabat militer yang menduduki jabatan di pemerintahan. Unsur utamanya adalah persoalan perombakan struktur ideologi, mentalitas, dan perilaku partai politik. Pertentangan kepentingan ideologis ini sering menjadi ancaman bagi para aktivis partai politik, termasuk PPP Pasca-Pemilu 1977, kekecewaan mulai muncul dan NU, terutama mengenai komposisi jatah kursi di DPR. Waktu itu, PPP memperoleh jatah 13 kursi untuk komisi DPR, lebih kecil jika dibandingkan dengan 100 anggota DPR yang diangkat dari ABRI. Jatah kursi ini lalu dibagi berdasarkan rasio NU:MI:SI:Perti=7:4:1:1. Di samping itu, NU juga mendapat jatah Komisi I, VII, dan VIII. Jatah Ketua Komisi VII dipinjamkan kepada MI, dengan catatan harus dikembalikan. 82 80 Syamsuddin Haris, Ibid., hal. 11 81 Syamsuddin Haris, Ibid., hal. 12 82 Syamsuddin Haris, Ibid.,hal. 19 Universitas Sumatera Utara Ternyata pada 1980, MI bersikeras tidak mau mengembalikan, akhirnya dilakukan voting, tetapi MI dibantu oleh F-ABRI dan F-KP sehingga NU kalah. Kasus ini semakin mengecewakan NU dan tanda-tanda konflik antar unsur sudah mulai terlihat di tubuh PPP. Konflik ini semakin menajam ketika beberapa orang dari unsur NU ikut menandatangani Petisi 50 dan Soedardji dari MI mengatakan mengancam 17 rekannya yang ikut menanyakan kepada Presiden perihal pernyataan keprihatinan Petisi 50. Pasca-Pemilu 1977, dan pada pelaksanaan SU MPR 1978, PPP kembali membuat ulah ketika berlangsung pembahasan mengenai Rantap MPR tentang P- 4 dan dimasukkannya aliran kepercayaan dalam GBHN. Kesan tidak utuhnya unsur-unsur di PPP mulai tampak dalam kasus ini. Perbedaannya terletak pada taktik dan strategi masing-masing, meskipun mereka semuanya menolak rantap dan GBHN tersebut. Unsur MI menginginkan F-PP tetap ikut voting meskipun kalah, sementara SI mengusulkan agar abstain saja, sedangkan NU bersikeras menolak voting dan memilih walk out dari ruang sidang. Mengenai sikap PPP ini, Presiden Soeharto sempat berang dan mulai menjaga jarak dengan PPP terutama unsur dari NU. Akibat sikap ini, kader NU yang masih dilibatkan dalam Kabinet Pembangunan I yang memegang jabatan menteri, pada Kabinet Pembangunan II tergusur dan hanya ada dua orang menteri yang berasal dan non-Golkar, yaitu H.M.S. Miritaredja Parmusi dan Sunawar Sukowati dan PNI. Kekecewaan unsur NU semakin terlihat karena semasa Orde Lama, biasanya posisi Menteri Agama selalu berasal dan NU. Tampaknya, pemerintah Orde Baru lebih suka memilih dari kelompok lain dan setelah Pemilu 1982, kebanyakan dipilih dan unsur MI Muhammadiyah. Universitas Sumatera Utara Perseteruan antar unsur ini semakin memuncak pada 1980 berkaitan dengan pengesahan UU Pemilu. PPP tampak tidak kompak, unsur NU menganggap pemilu tidak akan luber bila partai politik tidak diikutsertakan dalam kepanitiaan atau Lembaga Pemilihan Umum LPU. Sementara itu, unsur MI, SI, dan Perti dapat menerima RUU Pemilu yang diajukan oleh pemerintah. Untuk melakukan kekacauan pada PPP munculnya fenomena John Naro atau Jaelani Naro, yang sering disebut sebagai kader yang bukan berasal dari unsur fusi PPP tetapi lebih sebagai kader bebas. Bahkan ada pula yang mengatakan, dia berasal dan unsur pemerintah, seperti Soerjadi yang masuk ke PDI. John Naro akhirnya tampil sebagai Ketua Umum PPP dalam Munas PPP ke- 3. Pasca-Pemilu 1982, Naro membuat persoalan dengan cara menyusun Daftar Calon Sementara PPP tanpa sepengetahuan anggota DPP yang lain, terutama dari kalangan NU. Hasilnya, banyak tokoh NU yang vokal hanya dijadikan nomor pajangan, sementara yang moderat justru menduduki urutan awal. NU, yang merasa dirugikan, kemudian mengajukan protes ke LPU, tetapi ditolak. 83 Setahun kemudian, 1983, konflik kembali muncul antara kubu Idham Chalid NU dengan J. Naro. Kubu Idham menuntut agar Naro menegakkan prinsip musyawarah dalam partai. Tuntutan ini muncul berkaitan dengan ulah Naro yang melakukan perubahan susunan DPP tanpa sepengetahuan presiden partai dan anggota DPP lainnya. Perseteruan ini kian berbuntut menjelang pelaksanaan Muktamar I pada 1984. Kubu Idham Chalid, yang tidak puas atas panitia muktamar yang dibentuk oleh Naro, kemudian membentuk panitia tandingan. 83 Abdul Azis Thaba, op., cit.,hal. 75 Universitas Sumatera Utara Akibat konflik ini posisi NU semakin terpinggirkan di PPP. Apalagi setelah NU didera oleh konflik panjang sejak 1982 karena Idham Chalid diminta mundur oleh para ulama dalam pertemuan sepuluh ulama di Surabaya pada 1 Mei 1982, yang dihadiri banyak kubu. Pada 1984, ketika Munas NU di Situbondo, NU kembali ke khittah 1926 dan lepas dan PPP Dengan jelas diketahui bahwa kubu ulama yang menentang kepemimpinan Idham Chalid mendapat restu dan pemerintah. Inilah faktor yang agak meredakan konflik di tubuh NU. Setelah keluar dan PPP, pada Pemilu 1987 – setelah didahului oleh keinginan pemerintah untuk menerapkan asas tunggal Pancasila pada 1984-1985 – NU kembali mengejutkan berbagai pihak dengan menyatakan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. NU menerima pemberlakuan asas tunggal Pancasila dari pemerintah dalam Munas di Situbondo 18-21 Desember 1984. Sementana itu, di tubuh PPP muncul pendebatan sengit tentang diberlakukannya asas tunggal ini terutama berkaitan dengan tanda gambar PPP. Kubu Soedardji menginginkan perubahan tanda gambar apabila PPP menerima asas tunggal, sementana kubu Naro menganggap tanda gambar merupakan hasil keputusan Muktamar. Tekanan ideologisasi ini bagi PPP merupakan tekanan berat, apalagi mendekati pelaksanaan Pemilu 1987. Bagaimanapun, Islam merupakan simbol dan strategi PPP untuk memperoleh suara dalam pemilu. Isu tanda gambar ini akhirnya memperuncing konflik di PPP Kubu Soedardji yang menginginkan digantinya tanda gambar Ka’bah menyusun kekuatan hingga berjumlah 18 disebut Kelompok 18 dan membentuk DPP tandingan dengan Syah Manaf sebagai Ketua Umum dan Syarifuddin Harahap Universitas Sumatera Utara sebagai Sekjen. Untuk memperkuat kelompoknya, kubu Soedardji melakukan perubahan susunan pemimpin F-PP secara sepihak. Dari konflik yang masih belum tuntas inilah PPP menyongsong Pemilu 1987. Saat itu, NU melakukan berbagai penggembosan dengan memfatwakan bahwa umat Islam tidak harus mencoblos PPP, tetapi bisa Golkar, ataupun PDI. Setelah selesai Pemilu 1987, Naro kembali mengajukan DCS PPP dengan menggeser kelompok Soedardji dari daftar. Sementara itu, kubu Soedardji membuat daftar lain dan ditolak oleh Mendagri, persis kasus yang pernah dialami oleh Idham Chalid pada 1982. 84 Setahun kemudian, pada pelaksanaan SU MPR 1988, PPP kembaIi membuat kejutan dengan mencalonkan Naro sebagai wakil presiden bersaing dengan Sudharmono dari Golkar dan ABRI. Tentang ini, banyak tekanan yang dialami oleh PPP hingga akhirnya Naro mengundurkan diri sebagai calon wapres. Menjelang muktamar II PPP, Presiden soeharto menjelaskan : “….kalau sampai Majelis harus bertannya kepada saya, siapa yang akan saya pilih diantara kedua calon itu. Apa jawaban saya? Secara rasional harus saya jawab, ‘saya sudah lama mengenal Sudharmono, lebih lama mengenal Sudharmono daripada mengenal Naro’. Dengan begitu tentunya saya juga akan lebih percaya kepada Dharmono daripada kepada Naro” 85 Tentang hal ini, para penentang Naro, seperu Aisyah Amini dan Hartono Mardjono, menyatakan bahwa pemerintah telah “memutuskan” berakhirnya riwayat Naro di PPP. Menjelang Muktamar PPP, intervensi pemerintah sudah mulai muncul di beberapa daerah terhadap Naro. Lagu lama mengintervensi partai 84 Abdul Azis Thaba, ibid., hal. 77 85 Soeharto, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya, Otobiografi sebagaimana dituturkan kepada G. Dwipayana dan Ramadhan KH. Jakarta: PT Citra Lamtoro Gung Persada, 1989 hal. 543 Universitas Sumatera Utara dilakukan kembali oleh pejabat pemerintah, ABRI, dan yang lainnya. Meskipun dengan cara tidak mengintervensi secara langsung, tetapi tersembunyi, yang sebelumnya dinyatakan bahwa pemerintah tidak menyukai formatur tunggal, merupakan sinyal untuk menggusur Naro dari PPP. Dalam Muktamar II PPP berhasil dipilih tujuh orang formatur yaitu Ismail Hasan Metareum, J. Naro, Kadir Abbas, Karmani, Imam Sofyan, Sulaiman Fadely, dan Muchsin Bafadhal. Ketujuh orang ini yang dibebani tugas untuk menyusun pengurus DPP PPP. Bahkan di luar dan di dalam formatur sendiri, muncul isu intervensi dari pemerintah yang memberikan restu kepada Mahdi Tjokroaminoto – mulailah terlihat simpang siurnya kerja formatur yang sebelumnya telah didahului oleh keinginan setiap unsur untuk mengajukan calonnya masing-masing. Naro sendiri kehilangan kepercayaan dari keenam formatur lainnya. Kelompok MI Ismail Hasan Metareum, Kadir Abbas, dan Muchsin Bafadhal mengajukan Hartono, sementara unsur dan NU Karmani, Imam Sofyan, dan Sulaiman Fadely mencalonkan Karmani. Seperti halnya kasus yang pernah menimpa PDI, jalan yang ditempuh adalah melakukan konsultasi dengan Mendagri. Setelah mereka melakukan konsultasi, Mendagri membantah merestui calon tertentu. Akan tetapi, dalam kesempatan lain, ketua formatur, Imam Sofyan, menemui Mendagri Rudini dan pihak pemerintah menginginkan Yusuf Anwar Gofar sebagai ketua umum, namun ditolak. Alasannya, dia merupakan orang yang setia kepada Naro. Akhirnya, Imam Sofyan mengusulkan tokoh yang dianggap moderat dan dapat diterima oleh siapa saja, yaitu Ismail Hasan Metareum sebagai Ketua Umum PPP. Universitas Sumatera Utara Dari kasus ini tampak bahwa budaya politik partai masih sangat terhegemoni oleh kekuasan negara, dan menganggap legitimasi politik selalu harus “direstui” oleh pemerintah. Bahkan muncul kecenderungan umum, apabila seorang ketua organisasi partai ataupun organisasi kemasyarakatan telah memilih pemimpinnya dan belum diterima oleh presiden, berarti belum mendapat legitimasi dari pemerintah – seperti yang pernah menimpa Gus Dur, yang tidak diterima oleh Presiden Soeharto, ketika terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah setelah Muktamar NU di Cipasung. Fenomena ini menarik karena getaran kekuasaan Orde Baru telah benar- benar merasuk ke dalam setiap budaya politik elit, baik yang ada di partai politik maupun di lembaga legislatif, yudikatif, ataupun eksekutif. Jalur utama budaya politik itu ternyata bersifat tunggal dan ditentukan oleh satu orang, yaitu Soeharto. Dengan demikian, betapapun demokrasi diberikan untuk memilih seorang ketua seperti tecermin dalam kasus PPP, hasil akhirnya masih bergantung kepada presiden sebagai mandataris MPR. Dengan demikian, demokrasi yang diterapkan adalah “semu” karena seorang pemimpin partai politik tidak dapat leluasa memiliki kekuasaannya, meskipun ia telah terpilih melalui mekanisme pemilihan menurut ADART-nya. Kasus ini hampir sama dengan yang dialami oleh Megawati, yang akhirnya tergusur dan disingkirkan dari struktur kepemimpinan PDI. Dari kasus yang dialami oleh PPP dan PDI, dapat ditarik benang merah. Pertama, bahwa betapapun seseorang didukung dari bawah menjadi ketua partai, apabila ia dianggap “membahayakan” penguasa, dengan cara apa pun ia akan digusur. Kedua, negara memiliki segala sumber penentu akhir dari setiap proses Universitas Sumatera Utara politik yang dijalankan oleh partai politik. Dengan kata lain, hegemoni kekuasaan negara, terutama Presiden Soeharto dengan segala jajarannya, tidak dapat diganggu gugat. Akibat dari hal ini partai politik pascafusi mengalami konflik internal. Ada tiga macam asumsi atas gejala konflik internal tersebut. Pertama, konflik itu diciptakan oleh pihak luar, terutama dari unsur penguasa, sebab dinilai “orang” yang akan mendudukinya tidak dapat diatur dan membahayakan penguasa. Kedua, konflik itu memang dipelihara dengan tujuan agar tidak ada partai politik yang solid dalam membangun kekuatannya yang akhirnya dapat menandingi kekuatan Golkar. Ketiga, tujuan lainnya adalah agar Golkar menjadi single majority, yang akhirnya memuluskan segala sandiwara politik agar status quo tetap terpelihara. III.3. Kebijakan Mempersempit Ruang Gerak PPP Jatuhnya Orde Lama, bubarnya PKI dan Ormas pendukungnya serta melorotnya kekuatan PNI Marhaenisme pada awal tahun 1966, merupakan titik awal lahirnya Orde Baru. Dimana Orde Baru bagi pemerintah Soeharto dilahirkan sebagai reaksi sekaligus “koreksi total” atas segala bentuk penyelewengan Orde Lama. Salah satu program pemerintah pada awal Orde Baru adalah untuk melaksanakan pembaharuan politik, berdasarkan TAP MPRS Nomor XXII tahun 1966 yang menyebutkan perlunya pembaharuan politik. Kekuatan politik Orde Baru diharapkan tidak lagi berorientasi pada Ideologi, tetapi pada program. Dan menurut pemerintah Orde Baru ketidakstabilan politik yang terjadi sebelumnya disebabkan kesalahan sistem kepartaian. Diketahui juga partai politik saat itu sangatlah banyak, sehingga banyaknya partai politik menimbulkan banyak idiologi dan sekaligus kegiatan partai politik sulit terkontrol dan akahirnya timbul Universitas Sumatera Utara gerakan-gerakan yang membahayakan bangsa dan Negara. Hal ini menjadi alasan utama Orde Baru mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan fusi partai-partai politik, sehingga mulai pemilu tahun 1977 partai politik hanya ada tiga, yaitu Golkar, PDI dan PPP. Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia mengalami pasang surut. Sejak kemerdekaan sampai jatuhnya Soekarno dan dilanjutkan oleh Soeharto bangsa Indonesia tetap tidak merasakan ni’matnya kemerdekaan. Boleh jadi benar apa yg dikatakan Lord Action “Power tends to corrupt and the absolut power corrupt absolutely .” Kedua tokoh itu semula mendapat dukungan rakyat yang cukup luar biasa tetapi ternyata mereka telah menyalahgunakan kekuasaan itu untuk kepentingan pribadi dan kroni-kroninya sehingga justru hanya menyengsarakan bangsa saja. Sejarah itu sumber pelajaran yang sangat berharga sehingga kita perlu menggali lebih jauh perjalanan panjang Orde Baru yang diperankan oleh sang diktator berdarah dingin dalam upayanya membungkam lawan-lawan politiknya terutama umat Islam yang dianggap sebagai ancaman utama bagi kelangsungan kekuasaannya yang biasa dia sebut sebagai ancaman ekstrem kanan. 86 Sebagai panglima tertinggi ABRI Soeharto dapat menggunakannya sebagai alat memberangus hak politik umat Islam melalui beberapa tahapan. Sepuluh tahapan awal sebagai tahap pengkondisian menurut Dr. Din Syamsuddin 87 “Dapat dicatat bahwa respon umat Islam terhadap perubahan politik selama sepuluh tahun pertama Orde Baru yang dalam hubungannya dengan 86 Di Bawah Bayang-Bayang Soekarno-Soeharto Hartono Ahmad Jaiz 87 Islam Politik Era Orde Baru M. Din Syamsuddin Universitas Sumatera Utara agenda depolitisasi Islam dapat dipandang sebagai suatu pengkondisian hubungan antara Islam degan negara Pancasila dan politik.” Adapun tahapan kedua antara tahun 1976-1986 merupakan masa uji coba. Rezim menguji depolitisasi Islam secara formal degan menetapkan undang-undang yang mewajibkan semua partai politik dan organisasi swasta mencantumkan Pancsila sebagai asas. Hal tersebut justru menurut Donald Emerson membangkitkan respon umat Islam. Kebangkitan Islam ada kalanya tergantung pada pengamatan. Tetapi yangg jelas di Indonesia telah berlangsung dalam tahun 80-an di kota-kota terutama kota besar di pulau Jawa bukti-bukti adanya kebangkitan Islam tidak bisa dipungkiri. Marilah kita melihat lebih jelas sepak terjang Soeharto pada kedua periode tahapan tersebut. Sekilas tentang Soeharto Sejak 1951 Soeharto sudah menunjukkan sikap keras terhadap semua pihak yg memperjuangkan idiologi Islam. Maka ketika ditengarai bahwa TNI 426 di Jawa Tengah mengadopsi idiologi Islam karena mereka mantan pasukan Hizbullah dan Sabilillah dia tumpas habis. Soeharto naik ke puncak kekuasaan sebagai presiden RI adalah melalui kudeta yang tidak berdarah. Soekarno digulingkan oleh ABRI dan angkatan 66 karena dinilai telah menyalahgunakan kekuasaan sebagai seorang diktator. Untuk menarik simpati tahap awal begitu berkuasa Soeharto membebaskan sejumlah mantan tokoh Masyumi seperti Muhammad Natsir, Kasman Singodimejo, Prawoto Mangkusaswito dan Hamka yang ditahan oleh Soekarno. Rezim Orde Baru keberatan untuk memenuhi tuntutan rehabilitasi Masyumi dan PSI karena partai- partai itu dianggap telah menyimpang dari Pancasila dan UUD 45. menurut Dr. Universitas Sumatera Utara Masykur Hakim kelakuan kekejaman kepemimpinan militer pimpinan Soeharto terhadap Islam politik dapat dilihat dari dua dimensi politik dan keagamaan. Dari segi politik ABRI masih dendam kepada Masyumi karena partai ini diizinkan kembali berkiprah di pentas politik nasional maka menjadi ancaman serius bagi kekuatan Orde Baru dan militer. Bias keagamaan degan jelas terlihat pada pernyataan 21 Desember yang merupakan hasil keputusan rapat komando militer regional ABRI yang dipimpin oleh Jenderal Panggabean. Tetapi sayangnya Dr. Masyur tidak menyebutkan isi dokumen itu. Tetapi David Jenkins mencatat pernyataan Soeharto yang berbunyi “Our common every is Islam.” 88 Bahkan Hartono Ahmad Jaiz menyatakan “Hantaman terhadap politik Islam masa Orde Baru yang masih tersisa sampai orde reformasi telah melebihi kadar yang dicanangkan arsitek penjajah yakni Snock. Kalau Snock hanya mengkhawatirkan politik Islam justru Orde Baru telah membabat pula norma-norma syariat jilbab dilarang di sekolah dan perkantoran.” Tahapan Pertama 1966-1976 Pada sidang MPRS antara tahun 1966-1967 umat Islam mengajukan tuntutan agar presiden orang Islam dan negara berdasar Islam muncul kembali dan bisa dipastikan akhirnya ditolak. Melihat gelagat politik Orde Baru yang tidak beres akhirnya para tokoh Islam menggunakan dakwah sebagai alat perjuangan dgn mengangkat slogan “Mengulamakan sarjana dan menyarjanakan ulama.” M. Natsir pada tanggal 9 Mei 1967 mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia . Pada tanggal 15 Februari 1968 Presiden Soeharto memberitahukan bahwa tidak seorang pun bekas Masyumi diizinkan utk 88 Soeharto and His General David Jenkins Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia Universitas Sumatera Utara memimpin dan mengambil peranan dalam Partai Muslimin Indonesia . Dan pemilu 1968 ditunda sampai degan tahun 1971 disebabkan karena beberapa faktor 1. Usaha pemerintah untuk memperoleh jaminan agar persoalan dasar negara tidak diubah dan tidak menjadi program partai serta tidak muncul dalam kampanye. 2. Usaha pemerintah untuk membuat keseimbangan antara anggota DPR dari luar Jawa degan Jawa. 3. Usaha pemerintah untuk mengangkat 100 orang dari 460 DPR oleh pemerintah dan 307 anggota MPR dari 920 anggota termasuk 100 orang yang mewakili golongan fungsional tentara politisasi intelektual. Menjelang pemilu 1971 dukungan pemerintah untuk memenangkan Golkar dalam pemilu terlihat sangat jelas. Persiapan yang efektif dan strategis mengakibatkan Golkar-ketika itu masih disebut Sekber Golkar-jauh mengungguli partai-partai lainnya. Golkar berhasil meraih suara 62,80 NU mendapat suara 1.841.867 . Tetapi Parmusi yang sering disebut pengganti Masyumi hanya mendapat suara 5,36 . Dua partai Islam kecil lainnya juga kehilangan dukungan karena masing-masing hanya mendapat suara 29 dan 13 pada pemilu 1955 dan mendapat suara 23 dan 17 pada pemilu 1971. Pada Januari 1973 pemerintah Orde Baru melakukan restrukturisasi sistem kepartaian. Kecuali terhadap Golkar pemerintah melakukan tekanan terhadap sembilan partai politik yang ada. Dalam plot politik ini empat partai Islam digabung menjadi satu yakni Partai Persatuan Pembangunan . Lima lainnya yang terdiri dari nasionalis dan partai-partai Kristen digabung menjadi satu partai yakni Partai Dekomrasi Indonesia . Fusi yang artificial ini segera melahirkan konflik Universitas Sumatera Utara internal terutama di tubuh PPP yang akhirnya mempengaruhi penampilan politiknya di masa-masa berikutnya. Tahap Kedua Agenda politik rezim Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Proyek ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam yang kuat secara politik akan menjadi hambatan bagi modernisasi. Ada beberapa orang di kalangan elit pemerintah yang kecewa degan kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional. Lepas dari masalah phobia Islam tertentu di antara kebanyakan anggota kelompok yang berkuasa yang secara kebetulan terdiri dari para intelektual sekuler pandangan demikian mengandung logika politiknya sendiri yakni bahwa dengan mendepolitisasi Islam mereka akan mempertahankan kekuasaan dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka. Dengan mempertimbangan asumsi tersebut orang dapat melihat dimensi politik tertentu dari idiologi modernisasi atau pembangunan yang dijalankan oleh rezim. Penerapan ideologi ini merupakan keputusan strategis yang sekurang- kurangnya mempunyai dua implikasi politik. Pertama rezim Orde Baru akan mempunyai suatu basis ideologis yang kuat yang menyentuh kebutuhan pokok rakyat sehingga rakyat akan memberikan dukungan dan partisipasi dalam politik, bahwa pembangunan menjadi salah satu simbol legitimasi politik. Kedua dukungan politik dan partisipasi rakyat pada gilirannya akan mempertahankan kontinuitas proses pembangunan dan kekuasaan rezim. Interaksi dinamis antara partisipasi politik dan pelembagaan politik kemudian diharapkan terjadi melalui rekayasa politik termasuk depolitisasi Islam bisa diimplementasikan Muslimin Indonesia MI adalah organisasi massa yang sudah mengalami penggabungan dan perubahan bentuk, dari fungsi partai politik independen hingga Universitas Sumatera Utara menjadi salah satu unsur dalam Partai Persatuan Pembangunan. Perubahan bentuk ini dilakukan karena adanya kebijakan politik dari Jenderal Soeharto pada tahun 1971 yang menginginkan agar diadakan pengelompokkan partai politik berdasarkan persamaan ideologi dan platform partai. Tujuan politik dari Orde Baru mengadakan pengelompokkan terutama terhadap kelompok politik Islam adalah untuk memudahkan pengawasan dan mudah memecah dari dalam. Dalam kondisi yang pro dan kontra terhadap ide fusi tersebut Partai Muslimin Indonesia Parmusi, Partai Nahdhatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia dan Partai Tarbiyah Islamiyah sepakat mendeklarasikan Partai Persatuan Pembangunan PPP di tahun 1973. Sejak tahun 1973-1994, kepemimpinan di PPP dikuasai oleh elite-elite politik dari unsur Muslimin Indonesia.Di bawah pimpinan HMS Mintaredja kondisi partai dalam keadaan yang kompak walaupun terjadi konflik internal partai tetapi berkat adanya kedudukan beberapa ulama kharismatik seperti KH Bisri Syansuri berhasil diredam. Bagi seluruh anggota legislatif, Mintaredja memberikan kebebasan mengeluarkan pendapatnya tanpa khawatir akan dipecat dari keanggotaan DPR maupun partai. Kejatuhan Mintaredja di PPP karena ia telah tidak disukai lagi oleh Jenderal Soeharto terutama sejak keberaniannya menuntut kepada Soeharto agar PPP diberikan kursi kementrian di kabinet. Mulai tahun 1978, pimpinan di PPP diambil alih oleh Djaelani Naro secara kontroversial tanpa melalui suatu forum Muktamar partai. Selama dipimpin oleh Djaelani Naro, keadaan PPP mulai diterpa oleh konflik internal yang luar biasa konflik tersebut tidak hanya melibatkan antara elite politik MI versus NU, tetapi juga antara elite politik ME versus MI. Djaelani Naro memiliki- kebijakan keras Universitas Sumatera Utara terhadap para anggota legislatif yang menyimpang dari kebijakan Orde Baru. Sosok Naro lebih terkesan sebagai perpanjangantangan kebijakan rezim Orde Baru di PPP. Keberanian Djaelani Naro untuk mencalonkan dirinya sebagai salah seorang wakil presiden RI di tahun 1988 pada saat sidang umum MPR, telah mengakibatkan kemarahan Soeharto terhadapnya. Periode kepemimpinan Ismail Hasan Meutareum 1989-1994, mulai membenahi konflik internal partai melalui kebijakan rekonsiliasi terhadap tokoh- tokoh PPP baik dari unsur NU, MI,SI, dan Pena. Ismail Hasan melakukan kebijakan untuk mengurangi fanatisme berlebihan diantara empat unsur tersebut melalui bentuk pengajian bersama dan pendidikan-pendidikan kader bersama.Yang diinginkan olehnya adalah fanatisme terhadap PPP saja. Partai politik pada masa itu dipandang sebagai sumber konflik dan ketidakstabilan, sehingga pemerintahan oleh partai politik maupun keikutsertaan partai politik dalam pemerintahan dianggap masa lalu yang buruk yang tidak perlu diulang. Untuk mendukung gagasan pencapaian stabilitas politik dan pembaruan ekonomi, maka Orde Baru memandang perlu membentuk suatu kelompok non partai yang memiliki komitmen terhadap ide pembaruan tersebut. Untuk itulah dibentuk Golongan Karya Golkar. Agar Golkar dapat menjadi lokomotif yang efektif bagi pemerintahan Orde Baru maka ia harus dapat memenangkan Pemilu tahun 1971. Untuk memperlancar konsolidasi Golkar dalam upaya memenangkan Pemilu 1971, kelompok birokrasi yang didominasi Amir Mahmud mengeluarkan peraturan untuk menyingkirkan partai-partai politik. Proses deparpolisasi birokrasi tersebut dilakukan dengan menerapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Universitas Sumatera Utara Permendagri No. 12 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah PP No. 6 tahun 1970. Melalui kedua peraturan perundang-undangan inilah sikap anti partai di kalangan birokrasi dibentuk, sekaligus direnggutnya basis-basis massa yang selama ini menjadi sumber dukungan partai politik. Disterilkannya birokrasi dari partai politik dan ditanggalkannya atribut partai politik dalam birokrasi, menjadikan pegawai negeri tidak mempunyai pilihan lain kecuali masuk ke dalam barisan Golkar. Kedua peraturan tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya Kepres No. 82 tahun 1971 tentang pembentukan Korpri sebagai satu-satunya wadah organisasi pegawai negeri. Dalam pembentukan Korpri ini secara implisit juga sudah dinyatakan bahwa Korpri merupakan salah satu pilar Golkar, disamping kino-kino dan ABRI. Pernyataan ini kemudian dipertegas dengan adanya kesepakatan yang selalu didengungkan dalam setiap penyelenggaran Munas Korpri bahwa aspirasi anggota Korpri disalurkan ke Golkar. Memang diakui bahwa penerapan kebijakan monoloyalitas birokrasi pada masa awal Orde Baru ikut membantu terciptanya stabilitas dan kemampuan umum pemerintah -yang memungkinkan pemerintah didukung birokrasi melakukan pembangunan di berbagai bidang. Hal ini sangat sulit dilakukan pada masa Orde Lama, di mana anggota birokrasi terpecah belah dalam berbagai afiliasi politik. Setelah pemerintah Orde Baru berhasil memaksakan partai-partai Islam berfusi dalam PPP terlihat dari dokumen partai itu masih berjuang bagi kepentingan umat Islam dengan tanda gambar Ka’bah. Pada tahun 1977 pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Amir Mahmud dan Sekjen Departemen Agama Bahrun Rangkuti sangat keberatan terhadap penggunaan tanda gambar Universitas Sumatera Utara Ka’bah dalam pemilu tahun 1977. Tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. PPP dituduh mendapat bantuan dari Libya dan dihubung-hubungkan dengan komando jihad. Akhirnya diciptakan isu SARA dengan membuat tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984 89 . Klimaksnya rezim Orde Baru pada tahun 1985 memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh parpol dan ormas. Inilah pohon buruk bernama Orde Baru dengan konsep Dwifungsi ABRI-nya. III.2. Perolehan Suara PPP Pada Masa Orde Baru Pada pemilu pertama setelah berfusi, yang dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 1977, partai yang membawa panji Islam ini berhasil menaikkan perolehan suaranya di berbagai daerah. Bahkan, di DKI Jakarta dan DI Aceh PPP sanggup mengalahkan Golkar. Secara nasional, untuk mendudukkan wakilnya di DPR PPP berhasil memperoleh 18.743.491 suara sekaligus meraih 99 dari 360 kursi DPR yang diperebutkan, atau naik 2,17 bertambah lima kursidibandingkan gabungan kursi empat partai Islam pada Pemilu 1971. Penambaha kursi ini bertolak belakang dengan rivalnya Golkar yang kehilangan empat kursi dibandingkan Pemilu 1971, dan PDI yang juga merosot perolehan kursinya dibandingkan gabungan perolehan gabungan kursi partai-partai yang berfusi kepada PDI sebelumnya, yakni hanya memperoleh 29 kursi atau berkurang satu kursi dibandingkan dengan gabungan suara PNI, Parkindo, dan Partai Katolik pada pemilu 1971. 90 Selengkapnya, perolehan kursi dan suara pada Pemilu dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel I.2. Perolehan Suara Pada Pemilu 1977 89 K.H. Firdaus, Dosa-Dosa Politik, hal. 26 90 Lihat, Pemilu 1977.situs www.kpu.go.id Universitas Sumatera Utara No Partai Suara Kursi 1971 Keterangan 1 Golkar 39.750.096 62.11 232 62.80 -0.69 2 PPP 18.743.491 29.29 99 27.12 +2.17 3 PDI 5.504.757 8.60 29 10.08 -1.48 JUMLAH 63.998.344 100.00 360 100.00 Sumber : www.kpu.go.id Dalam perjalanan selanjutnya, kekompakkan PPP mulai terganggu ketika pemerintah menyampaikan Rancangan Undang-Undang RUU penyempurnaan Undang-Undang Pemilu yang akan digunakan pada Pemilu 1982. Pergesekkan terjadi ketika kelompok NU, yang merupakan mayoritas dalam Fraksi Persatuan pembangunan F-PP DPR, menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 1980. Ketidakhadiran NU tersebut berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS 91 Tanggal 21 Februari 1980, FPP DPR memasukkan materi duduknya partai politik dan Golkar dalam KPPS sebagai wakil ketua untuk menjamin terselenggaranya Pemilu yang Lamgsung, Umum, Bebas, dan Rahasia LUBER. Usulan tersebut ditolak oleh Presiden Soeharto. Akhirnya, DPP PPP memutuskan menerima kedudukan partai politik dan Golkar dalam KPPS hanya sebagai pengawas sebagaimana yang dikehendaki oleh Presiden Soeharto 92 Keputusan ini kemudian membuahkan perselesihan antara kelompok NU di DPR yang mendapat dukungan dari PBNU dengan Ketua Umum DPP PPP Dr.H.J.Naro,S.H. maupun pimpinan lain dan NU yang mengikuti kebijakannya. 91 Lihat, Tim Litbang Kompas, Op,Cit Hlm,90 92 Lihat, Tim Litbang Kompas, Op,Cit., hlm 90 Universitas Sumatera Utara Perselisihan ini ternyata berbuntut pada pengurangan jatah kursi NU dalam penyusunan Daftar Calon Sementara DCS untuk Pemilu 1982. Penciutan jatah kursi ini lalu menimbulkan silang pendapat yang berlarut-larut antara kubu NU dan kubu non-NU. Konflik tersebut ternyata membawa benih-benih perpecahan di daam tubuh PPP 93 . Pada Pemilu 1982 yang dilangsungkan secara serentak pada tanggal 4 Mei, PPP hanya berhasil merebut 94 kursi di DPR RI. Sebaliknya, perolehan Golkar meningkat menjadi 242 kursi. Walaupun gagal merebut kemenangan di Aceh dari PPP, namun secara nasional Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi dan itu berarti PPP dan PDI masing-masing kehilangan lima kursi dari pemilu sebelumnya. 94 Lihat Tabel I.3 Tabel I.3 Perolehan Suara Pada Pemilu 1982 No Partai Suara DPR Kursi 1977 Keterangan 1 Golkar 48.334.724 64.34 242 62.11 + 2.23 2 PPP 20.872.880 27.78 94 29.29 - 1.51 3 PDI 5.919.702 7.88 24 8.60 - 0.72 JUMLAH 75.126.306 100.00 364 100.00 Hilangnya lima kursi tersebut bisa jadi merupakan isyarat bahwa partai yang pernah meraup dukungan dari mayoritas umat Islam Indonesia ini mulai mengalami kerapuhan yang berawal dari kekecewaan sebagian kalangan NU. 93 Ibid.Hlm.91 94 Lihat Pemilu1982. Situs www.kpu.go.id Universitas Sumatera Utara Untuk mengakhiri konflik tersebut, dalam muktamarnya yang ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan, dan tidak lagi mempunyai hubungan organisator dengan PPP. Keputusan yang dibuat akhir tahun1984 itu kemudian membuat NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya ini. Akibatnya, pada Pemilu 1987 yang diselenggarakan secara serentak di seluruh tanah air pada tanggal 23 April, perolehan suara PPP langsung anjlok dari 94 menjadi 61 kursi 11,81. Hilangnya 33 kursi tersebut membuat PPP terpuruk jauh di bawah Golkar. Kendati posisinya masih di atas PDI, namun secara politis kekuatan PPP saat itu sudah mulai keropos. Reputasinya sebagai partai Islam pun memudar. Maklum, warga NU yang menjadi basis massa terbesar PPP kala itu banyak yang hengkang ke Golkar atau PDI, mengikuti preferensi politik para Kiyai mereka. Aksi penggembosan yang dilakukan tokoh NU, terutama Jawa Timur dan Jawa Tengah ini, merupakan pukulan telak buat PPP yang saat itu dipimpin oleh H. J. Naro. Apalagi ditambah dengan pemberlakuan peraturan baru yang membuat PPP tidak boleh lagi memakai asas Islam dan tanda gambar Ka’bah 95 . Kebijakan politik Orde Baru melalui Undang-Undang No.3 Tahun 1985 tentang perubahan atas Undang-Undang No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya telah mewajibkan perubahan lambang partai dan penetapan Pancasila sebagai satu-satunya asass kekuatan sosial politik. Akibatnya, tahun itu juga PPP langsung mengganti lambangnya dari Ka’bah menjadi “Bintang”, sekaligus menanggalkan Islam sebagai asasnya. 95 Lihat. Pemilu 1987.situs www,kpu,go,id Universitas Sumatera Utara Tabel I.4 Perolehan Suara Pada Pemilu 1987 No Partai Suara Kursi 1982 Keterangan 1 Golkar 62.783.680 73.16 299 68.34 +8.82 2 PPP 13.701.428 15.897 61 27.78 - 11.81 3 PDI 9.384.708 10.87 40 7.88 +2.99 85.869.816 100.00 400 Sumber: www.kpu.go.id Pemberlakuan Undang-Undang No.3 Tahun 1985 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, memang tidak sejalan dengan visi awal pendirian PPP yang telah menegaskan dirinya sebagai partai Islam. Akan tetapi, kalangan PPP meyakini bahwa perubahan PPP menjadi partai berideologi sekuler pada era Orde Baru, hanyalah sebuah taktik perjuangan untuk menyiasati sebuah kebijakan pemerintah, meskipun sejatinya jati diri PPP adalah berasaskan Islam. Pada masa Orde Baru PPP memang identik dengan partai kaun dhu’afa yang marjinal, terpinggirkan secara politik, ekonomi, dan budaya. Sejarah menunjukkan bahwa sejak berdirinya, PPP kerap menjadi target peminggiran oleh penguasa Orde Baru. Mereka takut kepada PPP karena partai ini berpolitik dengan mengedepankan akhlak mulia dan moral yang tinggi sehingga dalam perjuangan senantiasa berpihak kepada rakyat kecil, kaun dhua’fa, serta mereka yang tertindas dan tergusur. PPP juga identik dengan perlawanan terhadap otoritarianisme dan segala bentuk kemaksiatan yang merugikan masyarakat. Universitas Sumatera Utara Tekanan Orde Baru begitu sistemis. Mulai dari sestem kepartaian yang memutus mata rantai organisasi dengan sestem massa mengambang floating mass, intervensi kepengurusan partai oleh penguasa melalui sistem pembinaan politik dalam negeri, sampai dengan sistem pemilu yang jauh dari sifat jujur dan adil jurdil. Bahkan, soal penentuan asas dan lambng partai juga diintervensi oleh kekuasaan. Di tengah politik yang sangat tidak fair, secara sistematis PPP terus ditekan sehingga perolehan suara dari Pemilu ke Pemilu yang penuh rekayasa itu selalu mengalami kemerosotan. Dalam catatan Chozin Chumaidy, persoalan mendasar yang dihadapi oleh partai politik PPP dan PDI pada masa Orde Baru adalah asumsi yang diyakini oleh pemerintahan Orde Baru, yaitu meminimilisasi partisipasi politik rakyat dalam rangka menjaga stabilitas politik yang “dinamis” untuk menjamin laju pertumbuhan ekonomi. Asumsi ini dipegang teguh oleh pemerintahan Orde Baru akibat trauma politik yang terjadi pada masa pemerintahan orde lama yang menganggap bahwa partai politik menjadi sumber instabilitas sehingga tpemerintah tidak dapat melaksanakan program pembangunan. Kabinet dalam masa demokrasi parlementer tidak ada yang bertahan lama, selalu jatuh bangun. Kemudian pada tahun 1959 konstituante yang terdiri dari wakil partai politik dianggap tidak mampu merumuskan undamg-undang sehingga konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno dan Indonesia kembali pada Undang Undang Dasar 1945 melaui dekrit Presiden 5 Juli, serta dimulailah masa Demokrasi Terpimpin. Asumsi yang muncul akibat trauma politik itu menimbulkan implikasi terhadap kehidupan politik Orde Baru yang diwujudkan dalam bentuk: Universitas Sumatera Utara 1. Penyederhanaan partai politik melalui fusi pada tahun 1973 2. Kebijakan massa mengambang floating mass. 3. Keberpihakan birokrasi dan ABRI terhadap Golkar. 4. Pemilihan umum yang tidak jujur dan adil JURDIL. 5. Diskriminasi dalam pengadaan sumber-sumber keuangan. 6. Kontrol pemerintah dalam rekruitmen calon legislative dan pejabat lembaga-lembaga tinggi Negara. 7. Lembaga Pemilihan Umum yang tidak Independen. 8. Intervensi Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri sebagai Pembina politik terhadap masalah intern partai. 9. Intimidasi dan provokasi bagi rakyat utuk memilih Golkar. 96 Menurut Indria Samego, pemgamat politik CIDES format politik Orde Baru menekankan stabilitas sehingga kekuatan politik apapun tidak boleh menyimpang dari kerangka bakunya. Dalam format baku itu Negara cukup dominan menampilkan Menteri Dalam Negeri sebagai Pembina politik. Ini mempersulit manuver kekuatan manapun, tidak hanya peserta Pemilu OPP tertentu. Seluruh kekuatan sosial di Indonesia yang mau melakukan improvisasi lebih, akan langsung tunduk pada format baku ini. 97 Pemerintah Orde Baru memang menjadi sangat kuat dan berhasil menciptakan stabilitas politik selama lebih dari tiga dasawarsa. Selama Orde Baru, berkembang pemikiran bahwa pembangunan akan ditandai oleh dua hal yang tidak bisa dicapai secara bersamaan. Pada satu sisi, 96 Ibid., hlm 189-190 97 Wawancara Indria Samego:”Keliru Anggapan Kalau PPP Tolak Hasil Pemilu Hubungan Islam- Pemerintah Hancur”. Tempo Interaktif. Edisi 1502, 11 Juni 1997 Universitas Sumatera Utara pertumbuhan ekonomi pada Orde Baru mencapai rata-rata 6.6, tetapi disisi lain “kue pembangunan” tersebut tidak dibagi merata. 98 Di pihak lain, pemerintahan yang kuat mengakibatkan lemahnya posisi rakyat sehingga keputusan-keputusan politik tidak dapat diawasi untuk kepentingan siapa. Mekanisme check and balances yang berlaku dinegara-negara demokratis tidak berjalan. DPR sebagai lembaga legislatif tidak mampu menjalankan hak-haknya. Demikian pula dengan lembaga BPK, MA, dan DPA yang di subordinasi oleh lembaga kepresidenan. Lebih dari itu, lembaga pers juga diawasi dengan ketat melalui mekanisme pencabutan SIUPP Surat Izin Usaha Penerbitan Pers, dan organisasi infrastruktur lainnya pun dikooptasi oleh negara 99 . Akan tetapi, hal itu tidak berarti PPP tidak bergigi. Menggeliatnya PPP sebagai kekuatan politik yang lebih berani bersuara bisa kita lacak sejak tahun 1989. Saat itu, dibawah kepemimpinan Ismail Hasan Metareum, PPP tampil dengan pembawaan yang lebih kalem. Pribadu Buya – panggilan akrab Ismail Hasan Metareum – yang tenang turut membentuk karakter PPP menjadi partai yang sejuk. Tampaknya Buya ingin mengakhiri gejolak di tubuh PPP dan segera menciptakan ketenangan dan kesejukan. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan domolratisasi di lingkungan partai dan melanjutkan konsolidasi dalam rangka menyatukan kembali seluruh warga PPP. Meski demikian, di balik kesejukannya, partai ini juga mulai tampil lebih kerasdan kritis terutama dalam memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penataan politik nasional. Mantan anggota DPR dari PPP, Zein Badjeber, 98 Hamzah Haz.2003 Indonesia Baru dan Kemandirian Nasional. Jakarta” Pustaka Indonesia Satu.hlm.15 99 Chozin Chumaidy.Op.Cit., hlm.190 Universitas Sumatera Utara memotret Buya Ismail sebagai sosok teduh. “Jika bicara, ia pelan, pidatonya tidak berapi-api,” katanya kepada Tempo. Meski penampilannya tenang dan kalem, menurut Zain bukan berarti Buya seorang penakut. Ia mencontohkan bagaimana kerasnya suara PPP mempersoalkan kecurangan yang dilakukan pemerintah Orde Baru terhadap hasil Pemilu 1992 di sejumlah daerah. Semua protes itu disuarakan lantang oleh Buya. Padahal, ketika itu situasi politik tidak kondusif dan pemerintah dianggap masih represif. Alhasil, orang dekat Soeharto yang bekerja di Sekretariat Negara menelpon Buya. “Intinya. Pak Ismail Hasan diminta untuk tidak neko-neko.” Kata Zain Badjeber sambil mengingat-ingat masa silam. Ketika itu, masih menurut Zain, Buya menjawab terror itu dengan tenang,”Pemerintah jangan campur tangan. Ini urusan oartai kami,”tutur Zain Badjeber. 100 Konsolidasi internal sekaligus sikap tegas yang dibangun oleh Buya ini tampaknya berhasil meredam gejolak di dalam tubuh partai. Alhsil, dalam Pemilu 1992 PPP bisa tampil lebih “kompak” dibandingkan dengan Pemilu 1982 dan 1987. Pada Pemilu 1992 yang dilaksanakan tanggal 9 Juni 1992 tersebut PPP bisa meraih 17,01 suara, atau sebanyak 62 kursi di DPR. Perolehan kursi tersebut menunjukkan bahwa PPP hanya berhasil menambah satu kursi dibandingkan perolehannya pada Pemilu 1987. Akan tetapi perolehan kursi itu masih terpaut jauh di bawah Golkar yang berhasil merebut 282 kursi DPR. Meskipun ada penambahan kursi dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, tetapi pada Pemilu 1992 PPP kehilangan banyak kursi di luar Pulau Jawa, malah partai 100 Perginya Sosok Teduh Buya Ismail. Majalah Tempo Interaktif. Edisi:06xxxiv – 10 April 2005 Universitas Sumatera Utara ini sama sekali tidak memiliki wakil sama sekali di Sembilan provinsi, termasuk tiga provinsi di Sumatera. PPP memang berhasil menaikkan perolehan tujuh kursi di Jawa, tetapi karena kehilangan enam kursi di Sumatera, partai itu hanya mampu menaikkan satu kursi secara nasional. Penurunan kursi juga dirasakan Golkar, apabila pada Pemilu 1987 perolehan suaranya mencapai 73.16 , pada Pemilu 1992 turun menjadi 68.10 , atau merosot 5.06 . Penurunan yang tampak nyata dapat dilihat pada perolehan kursi, yakni menurun dari 299 menjadi 282, atau kehilangan 17 kursi dibandingkan Pemilu sebelumnya. Sebaliknya, PDI justru berhasil menaikkan perolehan suara dan kursi di berbagai daerah. Pada Pemilu 1992 itu PDI berhasil meningkatkan perolehannya menjadi 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987 sehingga menjadi 56 kursi. Ini artinya, dalam dua pemilu 1987 dan 1992 PDI berhasil menambah 32 kursinya di DPR RI. Lihat Tabel I.5 Tabel I.5 Perolehan Suara Pada Pemilu 1992 NO Partai Suara Kursi 1987 Keterangan 1 Golkar 66.599.331 68.10 282 73.16 - 5.06 2 PPP 16.624.647 17.01 62 15.97 + 1.04 3 PDI 14.565.534 14.89 56 10.87 + 4.02 Jumlah 97.789.534 100.00 400 100.00 Sumber : www.kpu.go.id Universitas Sumatera Utara Menghadapi pemilu selanjutnya 1997 PPP masih diliputi ketidakberdayaan dalam menghadapi rekayasa politik eksternal-terutama dari penguasa, baik dalam bentuk keberpihakan aparat pemerintah terhadap salah satu organisasi peserta pemilu OPP maupun propaganda untuk memutuskan hubungan antara PPP dengan umat Islam – pasca penggembosan NU dan penerapan asas tunggal Pancasila. Bagi PPP, keberpihakan aparat pemerintah terhadap Golkar telah membuat peraturan dan konstelasi politik di Indonesia saat itu menjadi tidak sehat. Sikap pemerintah yang cenderung memenangkan Golkar membuat partai politik selalu dipojokkan. Kondisi ini diungkapkan Buya Ismail pada acara pembukaan Musyawarah Wilayah Muswil III DPW PPP Bali, Jumat, 8 September 1995. Dengan tegas Buya menyatakan bahwa peran dan posisi partai politik dipinggirkan dari Demokrasi di Indonesia. Pergaulan dalam politis sangat diplomatis, penuh kepura-puraan. Didaerah partai politik bagaikan kekuatan haram yang harus dijauhkan, dikucilkan,dan digencet. Kompas, 1191995. Ungkapan itu memang dimaksudkan untuk memperotes sikap pemerintah yang dinilai tidak fair terhadap semua OPP. Kecenderungan pemerintah berpihak kepada Golkar telah membuat warga partai politik, khususnya PPP banyak yang mengalami perlakuan yang diskriminatif dari pemerintah daerahnya masing- masing. Sebagai contoh, agar bisa menjadi Pegawai Negri Sipil PNS warga masyarakat harus memiliki nomor pokok anggota Golkar NPAG. Ketentuan NPAG ini dirasa sangat merugikan partai karena masyarkat yang mau menjadi PNS atau membuka usaha lainnya boleh jadi akan berpikir dua atau tiga kaliuntuk memilih PPP. Banyak kalangan menilai protes PPP tersebut merefleksikan puncak Universitas Sumatera Utara kekecewaan PPP terhadap peraturan dan sistem politik yang ada pada saat itu. Ada keyakinan bahwa kejadian itu merupakan maneuver dari partai yang mendasari perjuangannya pada prinsip pada akhlakul larimah ini, untuk bangkit dan mengubah penampilannya dari partai yang “lembek” menjadi partai “keras”. Perubahan penampilan ini bisa dimaklumi mengingat selama ini PPP selalu mencoba tenang, dan hanya melancarkan kritik secara halus agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Sayangmya, karena gaya kritik seperti itu, suaranya malah tidak dihiraukan. Secara eksternal perubahan gaya PPP ini juga dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran bahwa massa bekas partai Islam ini akan “lari” hanya karena merasa terkesan kurang berani. Apalagi saat itu PDI yang mendirakan dirinya sebagai partainya wong cilik sedah lama tampil “galak” dan “agresif” dalam membela kepentingan rakyat. Akan tetapi, bersamaan dengan upaya-upaya PPP untuk menaikkan kembali kepercayaan umat, muncul juga upaya-uaya lain untuk membuat umat Islam berpaling dari PPP. Terhadap kondisi ini, Buya Ismail juga pernah mensinyalir bahwa di saat kepercayaan masyarakat kepada PPP sedang tinggi, muncul insinuasi-insinuasi bahwa PPP bahwa PPP tidak bisa mengklaim dirinya sebagai partainya umat Islam Kompas,1031996. Kampanye-kamanye tersebut dinilai ampuh untuk mengucilkan PPP dari umat Islam, ulama, dan tokoh-tokoh Islam menjadi renggang. Berangkat dati dua kondisi yang kurang menguntungkan tersebut, PPP mencoba bangkit untuk melawan bentuk-bentuk kezaliman yang telah ditimpakan kepada dirinya. Dalam kaitan ini PPP mencoba menghilangkan kesan sejuk yang Universitas Sumatera Utara selama ini melekat, lalu membangun citra baru yang lebih dinamis untk meraih simpati dari masyarakat. Akhirnya, pada tahun 1997, dalam suasana erayaan hari lahirnya yang ke-24 PPP merumuskan sepuluh masalah mendasar dan krusial yang tengah dihadapi bangsa ini, yakni : 1. Merosotnya nilai bangsa yang semakin terasa di semua strata kehidupan. Indikasinya adalah berkembangnya kejahatan secara berani, perkosaan, keberingasan, korupsi, dan kolusi, kesewenwng- wenangan, pungli, dan suap. 2. Keadilan dan kepastian hukum yang ditandai dengan materi hukum yang kurang menyelami spirit kerakyatan, dan penegakkan hukum yang terkesan belum mencerminkan rasa keadilan, kepastian, dan ketenteraman; 3. Persamaan, kebersamaan, dan kekeluargaan yang semakin popular diucapkan, tetapi pelaksanaannya makin tidak popular di mata rakyat; 4. Kesenjangan sosial; 5. Politik dan demokratisasi yang semakin mengarah kepada upaya memupuk kekuatan untuk kelompok yang berkuasa atau kelompok kepentingan; 6. Semakin sulitnya membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena praktik korupsi dan kolusi serta pamer kemewahan telah menjalar ke dalam nadi kehidupan bangsa; 7. Mandeknya fungsi DPR karena intervensi suprastruktur lewat kebijakan-kebijakan sepihak yang tidak adil; 8. Masalah kaum pekerja yang hak-haknya diabaikan; Universitas Sumatera Utara 9. Rendahnya kualitas pendidikan karena meroeotnya wibawa guru, dan semakin mahalnya biaya pendidikan; 10. Pemasungan terhadap ruang gerak kreativitas generasi muda terutama dalam politik. Kendati tidak memiliki wewenang untuk melaksanakan kesepuluh tuntutan tadi, PPP tetap konsisten memperjuangkannya baik melalui pernyataan- pernyataan politik maupun aksi nyata wakil-wakilnya di DPR. Karena bagi PPP, perbaikan terhadap ke sepuluh kondisi di atas merupakan amanah dalam rangka ama ma’rif nahi munkar menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebagai kelanjutan dari perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar maka dalam kampanye menjelang Pemilu 1997 PPP banyak mengangkat tema yang berkaitan dengan perbaikan terhadap kesepuluh kondisi tersebut. Masalah kesenjangan sosial, kemiskinan, dan ketidakadilan dalam pembangunan politik dan ekonomi merupakan tema utama dari keprihatnan PPP. Dengan mengembangkan iklim sejuk ke dalam bukan ke luar, konflik intern relatif mereda, dan PPP pun relatif solid. Dengan soliditas tersebut, PPP maju ke gelanggang kampanye Pemilu 1997 dengan mengusung tema perubahan dan pembaharuan yang kemudian lebih popular sebagai reformasi dan mendapat sambutan gegap gempita dari massa calon pemilih. 101 Dukungan massa terhadapkehadiran PPP dalam kampanye Pemilu 1997 ini terbilang luar biasa. Apalagi dalam kampanye kali ini terjadi fenomena “Mega – Bintang”, dimana massa PDI pro-Megawati Soekarnoputri yang tidak puas 101 Lihat dua buku yang diterbitkan oleh Dewan Pusat Partai Persatuan Pembangunan pada tahun 1998, yaitu perubahan untuk keadilan demi kepentingan rakyat dan reformasi milik rakyat, Universitas Sumatera Utara dengan campur tangan pemerintah dalam pengambilalihan kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 bergabung dengan massa PPP. Kekompakan seluruh DPW PPP dalam menghadapi Pemilu 1997 ini pun membuat penampilan PPP pada Pemilu kali ini tampak lebih percaya diri. Alhasil, dari 112.991.160 pemilih yang datang ke TPS, 25.340.028 diantaranya memilih PPP. Dengan demikian, dari 424 kursi di DPR, PPP berhasil merebut 89 kursi. Perolehan ini jauh lebih baik dibandingkan perolehan pada Pemilu 21987 dan 1992. Dipihak lain, Golkar mampu meraih 325 kursi dan PDI turun drastis hingga 11 kursi.Lihat Table I.6 Tabel I.6. Perolehan Suara Pada Pemilu 1997 NO Partai Suara Kursi 1992 Keterangan 1 Golkar 84.187.907 74.51 325 68.10 + 6.41 2 PPP 25.340.028 22.43 89 17.00 + 5.43 3 PDI 3.463.225 3.06 11 14.90 _ 11.84 Jumlah 112.991.150 100.00 425 100.00 Sumber: www.kpu.go.id Pulihnya kembali kepercayaan diri PPP melalui peningkatan perolehan suara pada Pemilu 1997 ini hanya bisa dirasakan sesaat saja. Pasalnya, Pemilu 1997 ini merupakan Pemilu penutup pada masa rezim Orde Baru. Pemerintahan Soeharto – Habibie yang seharusnya berjalan hingga 2002 terjyata berhenti ditengah jalan karena didesak oleh kuatnya gerakan reformasi saat itu. Pemerintahan Soeharto tumbanga pada Mei 1998, diteruskan oleh Pemerintahan Universitas Sumatera Utara orde reformasi pimpinan Presiden B.J.Habibie. Pada masa pemerintahan transisi inilah terjadi gerakan pembaharuan dalam sisitem politik Indonesia. 102 Sejak berdirinya PPP memang telah menggariskan prinsip ibadah ;istiqomah; kebenaran, kejujuran,dan keadilan; musyawarah; persamaan, kebersamaan, dan persatuan; serta amar ma’ruf nahi munkar sebagai landasan perjuangan.Oleh karena itu, di tengah suasana politik yang sangat tidak kondusif untuk bersuara kritis, PPP tetap berani lantang menyatakan kebenaran dan menolak segala kemungkaran. Sebagai peserta sistem politik yang “diatur dari atas” – yang diperkirakan akan menjadi jinak – tanpa disangka PPP juga bisa bersikap ekstrem. Pada masa Orde Baru PPP acap kali berada di posisi berseberangsn dengan sikap politik penguasa. Oleh karena itu, sungguh tidak tepat apabila PPP dikatakan sebagai bagian dari rezim Orde Baru. Sedikit membuka lembaran lama misalnya, bagaimana PPP dengan segala keterbatasannya pada masa Orde Baru tetap menunjukkan sikap kritis, tegas, dan istiqomah. Pada tahun 1973, di awal fusi partai, ketika pemerintah meyampaikan RUU perkawinan yang pasal-pasalnya bertabrakan dengan syariat Islam, F-PP di DPR RI berdiri di barisan terdepan dalam memperjuangkan aspirasi umat Islam. Dari semua anggota DPR hanya F-PP yang berani menyatakan sikap menolak RUU katena bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan yang lalu diikuti aksi walk-out itu merupakan cermin kegigihan PPP dalam memperjuangkan kepentingan umat. 102 Lihat Tim LITBANG Kompas.Op. Cit. Hlm.95, dan Rasyid R.Sulaiman. Posting:25102006.Napak Tilas Perjuangan.Situs Resmi Partai Persatuan Pembangunan www.ppp.or.id Universitas Sumatera Utara Meski hanya memiliki 94 kursi dari total 460 anggota DPR, tetapi PPP akhirnya berhasil melakukan koreksi mendasar terhadap RUU Perkawinan tersebut sehingga mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasannya dalam RUU tersebut, dan mengubah UU yang Sekuleristik itu menjadi sejalan dengan syariat Islam yang dapat diterima oleh umat Islam. Berkat kegigihan dan dukungan dari umat Islam, RUU yang diajukan oleh pemerintah itu berhasil diubah sehingga tidak bertentangan dengan syariat Islam. Keberhasilan PPP dalam menolak draft RUU Perkawinan hingga dikoreksi secara mendasar sebelum disahkan menjadi undang-undang. Menjadikan PPP sebagai partai alternative bagi umat Islam 103 Selanjutnya PPP juga menentang rekayasa politik melalui Rancangan Undang-Undang No.15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum sebagai bagian dari rekayasa melestarikan kekuasaan yang semakin otoriter. Sebagai partai politik yang tumbuh dari bawah PPP memang selalu bertekad memperjuangkan tegaknya kedaulatan rakyat. Tekad tersebut dibuktikan dengan walk –out nya 61 angota F-PP dari Sidang Paripurna DPR yang hendak mengesahkan RUU Perubahan dan Tambahan Atas Undang-Undang Pemilu karena RUU yang hendak disahkan itu disusun sekadar untuk melestarikan kekuasaan yang sudah mengidap penyakit orde lama yang ditkator-otoriter. 104 Penolakan PPP tersebut sejalan dengan sekap 26 tokoh nasional, purnawirawan perwira tinggi TNI, Ulama, dan Aktivis Kampus, yang menyampaikan petisi kepada pemerintah dan DPR. 105 103 Eggi Sudjana 2006. Islam Fungsional Paradigma Baru PPP.Jakarta: PT Reka Bima Perwira. Hlm 27 104 Lihat, Antara lain : Saimima, Fachry Ali dan Iqbal A.Rauf. Merosotnya Aliran Dalam Partai Persatuan pembangunan .Prisma No.12 Desember 1981. 105 Para penandatanganan Petisi 26 ini adalah: Prof.DR.H.R.Kasman Singodimedjo,S.H.,Mayjen Purn.Dr. Azis Saleh, M.Natsir, M.Radjab Ranggsoli, Dr.Anwar Harjono,S.H., K.H.A. Sjaichu, Universitas Sumatera Utara Inti dari petisi yang disampaikan adalah pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dalam kaitan ini petisi ini menuntut agar dilaksanakan Pemilu secara umum, langsung, bebas, dan rahasia, berkesamaan. Hal ini berarti setiap warga negawa berkedudukan sama di depan hukum. Petisi 26 pada intinya menolak sistem pemilu yang bertentangan dengan UUD 1945, karena hal itu bersifat konstitusional, serta berarti mengingkari janji Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tetapi, suara lantang PPP dan opini publik yang menolak Undang-Undang Pemilu yang menunjukkan kekuasaan penguasa itu tetap dianggap sepi oleh pemerintahan Orde Baru yang ditulangpunggungi oleh Golkar dan ABRI. 106 PPP juga mengambil posisi berhadap-hadapan dengan penguasa, ketika secara sistematis otoriterial penguasa membungkam aksi mahasiswa dan menangkap tokoh masyarakat yang menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto. Penguasa yang didukung Golkar dan ABRI saat itu menangkap aktivis mahasiswa, tokoh masyarakat, dan memberendel sejumlah koran dan membubarkan dewan mahasiswa. Kemudian untuk memperdalam cengkeraman kuku penguasa, pemerintah mengeluarkan konsep Normalisasi Kehidupan KampusBadan Koordinasi Kemahasiswwaan NKKBKK tahun 1978 sebagai alat guna meluluhkan kreativitas mahasiswa. H.M.Ch. Ibrahim, H. Bustama, S.H., Letjen Mar. Purn, H.Ali Saddikin, Jend. Pol . Purn Hoegeng, Jend Purn DR. A.H. Nasution,S.K Trimurti, Ir. Slamet Btaranata, Manai Sophian, Soebadyo Sastro Satomo, Prof, Dr. Ismail Suny, S.H.,M.C.L, K.H.M Thihir Rahily, KH. Abdullah Syafie, IR.H.M Sanusi, Drs. Med.Doddy Ch. Suryadiredja, dr. Judilhery Justam, Indra K.Budenani,Drs.A.M Fatwa, Haryono S. Yusuf, Drs. Sulaiman Hamzah, dan Ibrahim G.Zakir. 106 Lihat Lukman Hakiem penyunting.1998. Menegakkan Kedaulatan Rakyat Senarai Gagasan Fraksi Persatuan Pembangunan Dalam Badan Pekerja Sidang Istimewa DMPR RI 15 -30 September 1998. Jakarta: Fraksi Partai Persatuan pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Rasyid R.Sulaiman.Op.Cit Universitas Sumatera Utara Berkenaan dengan itu sikap kritis PPP terhadap pemerintah kembali terlihat. PPP mengambil sikap menentang konsep yang zalim tersebut dengan mengajukan usul interpelasi mengenai NKKBKK. Perlawanan PPP yang popular dengan nama “Intepelasi Syafi’ Sulaiman”, itu membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama kalangan mahasiswa. 107 Akan tetapi, interpelasi yang intinya adalah pembelaan terhadap mahasiswa itu ditolak mentah-mentah oleh Fraksi Karya Pembangunan F-KP dan ABRI yang memiliki suara dominan di DPR. Perlawanan lain yang juga dilakukan oleh PPP pada tahun 1978 adalah mengenai rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan serta Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 ke dalam TAP MPR. PPP menolak P4 dengan cara walk out dari Sidang MPR 1978. Ketetapan MPR itu, setelah Presiden Soeharto turun, ternyata memang dicabut dan diubah. Perlawanan lain yang juga dilakukan oleh PPP pada tahun 1978 adalah mengenai rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan serta Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4 ke dalam TAP MPR. PPP menolak P4 dengan cara walk out dari Sidang MPR 1978. Ketetapan MPR itu , setelah Presiden Soeharto turun, ternyata memang dicabut dan diubah. Sejak tahun 1978, PPP memang mulai melihat tanda-tanda kuat melekatnya sifat-sifat orde lama ke dalam Orde Baru. Oleh karena itu, melalui Sidang Umum MPR1978 FPP MPR RI, mengingatkan seluruh bangsa Indonesia agar mencegah kemunkaran dan meluasnya berbagai penyakit orde lama tersebut. Antara lain dengan mengajukan Rancangan Ketetapan tentang Pembatasan Masa 107 Tim Litbang Kompas.Op.Cit., hlm.90 Universitas Sumatera Utara Jabatan Presiden untuk mencegah kembali memusatnya kekuasaan di satu tangan; menolak penafsiran tunggal dan final terhadap Pancasila karena penafsiran tunggal dan final selain mengkerangkeng keterbukaan Pancasila juga mendorong negara untuk memonopoli Pancasila dan menjauhkannya dari pelukan rakyat; dan menolak sistem politik monopolis yang secara arogan ditunjukkan dengan pemaksaan masuknya Komite Nasional Indonesia Pusat ke dalam GBHN. 108 Sikap kritis PPP dengan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar secara konsisten dalam Sidang Umum MPR 1978 adalah bukti konkret betapa PPP dengan segala keterbatasannya pada saat itu telah berupaya mencegah terperosoknya Negara kedalam orde lama. Sayangnya, absolutisme kekuasaan pada waktu itu mencemooh seluruh peringatan PPP, bahkan sejak itu proses pembungkaman dan peminggiran PPP berlangsung secara sistematis berkesinambungan dengan eskalasi yang semakin cepat dan dengan bentuk rekayasa yang maskin beragam. 109 Kritik terhadap Orde Baru memang mulai meluas sejak tahun 1978. Sejumlah purnawirawan ABRI, baik secara perseorangan maupun bersama-sama, mulai tampil menyuarakan sikap kritis. Sejumlah sesepuh dan pejuang bangsa, antara lain Dr. Mohammad Hatta ProklamatorMantan Wakil Presiden RI, R Pandji Soerosa Mantan Wakil Ketua BPUPKIMantan Menteri Luar Negeri, Jend. A.H Nasution Mantan Menko HankamKasab dan Mantan Ketua Parati katolik, H. Nuddin Lubis Mantan Wakil Ketua DPRMPR, dan Dr. Anwar Harjono,S.H. Mantan Juru Bicara Partai Masyumi, yang prihatin menyaksikan 108 Lihat, Pengantar Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan dalam buku Menegakkan Kedaulatan Rakyat; Senarai Gagasan Fraksi Persatuan Pembangunan dalam Badan Pekerja Sidang Istimewa MPR RI 15-30 September 1998. ed. Lukaman Hakiem.1998. Jakarta: Fraksi Persatuan pembangunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.Hlm 12 109 Ibid., hlm. 12-13 Universitas Sumatera Utara mulai terjadinya pelanggaran terhadap konstitusi pada tanggal 1 Juni 1978 mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi YLKB. 110 Dalam deklarasi pembentukannya, YLKB antara lain menyatakan bahwa serangkaian peristiwa nasional yang terjadi 1977 dan 1978, “…khususnya yang menyangkut pelaksanaan pemilihan umum, pembentukan lembaga-lembaga demokrasi kita, danpersidangan MPR, beserta keadaan ke dalam dan ke luar yang lembag yang mengantarkannya adalah mendorong kita untuk lebih cermat dan lebih konsisten mengusahakan tegaknya penghayatan Pancasila dan kehidupan bernegara yang murni menurut Undang-Undang Dasar 1945, sebagimana juga telah menjadi tekad seluruh bangsa pada kebangkitan orse baru dua belas tahun yang lalu 1966 111 . Pada tanggal 1 Mei 1980, tokoh-tokoh YLKB bersama tokoh masyarakat lainnya - sehingga berjumlah 50 orang – mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang kemudian popular dengan istilah “Petisi 50”. Petisi ini yang pada intinya pernyataan keprihatinan terhadap kesewenangan Presiden Soeharto yang secara semena-mena menafsirkan Pancasila untuk kepentingan kekuasaan, serta mengajak ABRITNIPolri berdiri disemua golongan, serta menipis fitnahan maker. Dari 460 anggota DPR RI dari empat fraksi hanya 19 anggota, 17 dari fraksi PPP dan dua dari Fraksi PDI yang memberikan respon terhadap Petisi tersebut. Adapun dari Fraksi PPP yang memberikan respon adalah H.MJusuf Haskim,H.MBaidhowi,H.Muchtar Rasyid, K.H. Ali Yafie, H.M. Munsar, H. Hisbullah Huda, Des Ziadan Djauhari, Drs. Rachmat Muljo Miseno, Ny. Hj. Asmah Sjahroni, Ny. Musrifah Ali Masjhar, 110 Ibid., hlm. 15-16. 111 Yayasan Lembaga Berkonsultasi, Publikasi Perkenalan .1978. Jakarta. Hlm 5 Universitas Sumatera Utara Ny.H.A.S. Wahid Hasyim, H. Murthado Maknur, Imam Churmen, Iman Rosjadi, Sutanto Martoprasono, A. Chalik Ali, dan Soelaiman Fadeli. Adapun dari PDI adalah Prof. Usep Ranuwidjaja dan Dwidjosukarto 112 . Kendati petisi tersebut disampaikan secara konstitusional, namun keprihatinan itu malah direspon oleh penguasa dengan membunuh hak-hak perdata anggota Petisi 50 dengan melarang bepergian ke luar negeri, memutus mata pencarian mereka, hingga dilarang dimuat di media massa. Kala itu, perjuangan menegakkan kebenaran memang selalu tidak berjalan mulus, karena selalu dihadang oleh penguasa. Apa yang terpapar dari uraian tadi hanyalah sebagian dari perjuangan PPP dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar , terutama dalam menghadapi perilaku yang ditunjukkan oleh rezim Orde Baru , yang pada awalnya mengaku ingin menegakkan demokrasi Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, namun ternyata tak ubahnya dengan otoriterisme rezim orde lama. 112 Rasyi R.Sulaiman. Op.Cit Universitas Sumatera Utara BAB IV PENUTUP

IV.1. Kesimpulan