Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

(1)

CURICULUM VITAE

Nama : Novia Yulinda Sari

Tempat/Tanggal lahir : Medan/ 05 November 1993 Agama : Islam

Alamat : Jl. Tuasan No. 48, Medan Orang Tua

Ayah : Ir. H. Indra Jaya Ibu : Hj. Murni Sari Hrp Riwayat pendidikan:

1. Pendidikan Tk di TK Pertiwi, Medan(1998-1999) 2. Pendidikan SD di SD Pertiwi, Medan(1999-2005) 3. Pendidikan SMP di SMP Negeri 11, Medan (2005-2008) 4. Pendidikan SMA di SMA Negeri 3, Medan (2008-2011) 5. FK USU ( 2011- hingga sekarang)


(2)

LAMPIRAN 2

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (INFORMED CONSENT) KESEDIAAN MENGIKUTI PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini,

NAMA :

UMUR :

Setelah membaca dan mendapat penjelasan serta memahami sepenuhnya tentang penelitian,

Judul Penelitian : Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

Nama Peneliti : Novia Yulinda Sari

Instansi Penelitian : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Dengan ini menyatakan setuju dan bersedia untuk menjadi subjek penelitian dengan sukarela dan tanpa paksaan.

Medan, 2014

(Nama dan Tanda Tangan)


(3)

(4)

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal Y, Platz EA, Niparko JK. Prevalence of Hearing Loss and Differences by Demographic Characteristics among US Adults : data from the National Health and Nutrition Examination Survey, 1999-2004. Arch intern Med. Jul 28 2008;168(14):1522-1530

Alford, R.L. et al., 2014. American College of Medical Genetics and Genomics Guideline for the Clinical Evaluation and Etiologic Diagnosis of Hearing Loss. Genetics in Medicine 16: 347-355.

Al-Ruwali, N. dan Hagr, A., 2010. Prevalence of Prebycusis in the Elderly Saudi Arabian Population. Journal of Taibah University Medical Sciences 5(1): 21-26.

Blevins, N.H., 2013. Presbycusis. Available From:

http://www.uptodate.com/contents/presbycusis [Accessed on 15 Mei 2014] Centers for Disease Control and Prevention, 2011. Types of Hearing Loss.

Available from: http://www.cdc.gov/ncbddd/hearingloss/types.html [Accesed 13 May 2014].

Ciorba, A., et al., 2012. The Impact of Hearing Loss on the Quality of Life of Elderly Adults. Clin Interv Aging 7: 159-163.

Dalton DS, Cruickshanks KJ, Klein BE, Klein R, Wiley TL, Nondahl DM. The Impact of Hearing Loss on quality of life in older adults. Gerontologist. 2003;43(5):661-668.

Gates, G.A., dan Mills, J.H., 2005. Presbycusis. The Lancet 366(9491): 1111-1120.

Hee-Nam, K. et al., 2000. Incidence of Prebycusis of Korean Populations in Seoul, Kyunggi and Kangwon Provinces. J Korean Med Sci 15: 580-584.


(5)

Howard, D., 2007. Intercultural Communivations and Conductive Hearing Loss. First Peoples Child & Family Review 3(4): 96-105.

Kujawa, S.G. dan Liberman, M.C., 2006. Acceleration of Age-Related Hearing Loss by Early Noise Exposure: Evidence of a Misspent Youth. The Journal of Neuroscience 26(7): 2115-2123.

Muhaimeed, H.A. et al., 2002. Conductive Hearing Loss: Investigation of Possible Inner Ear Origin in Three Cases Studies. The Journal of Laryngology & Otology 116: 942-945

Papalia, D.E., Olds, S.W. dan Feldman, R.D., 2005. Human Development 10th Edition. Dalam: Zulsita, A., Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H. Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Rodriguez-Paris, J. et al., 2008. Genetic Analysis of Prebycusis by Arrayed Primer Extension. Ann Clin Lab Sci Autumn 28(4): 352-360.

Roland, P.S., 2014. Presbycusis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/994159-overview [Accesed 13 May 2014].

Setiati, S., Harimurti, K. dan Roosheroe, A.G., 2006. Proses Menua dan Implikasi Kliniknya. Dalam: Zulsita, A., Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H. Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Shah, R.K., 2013. Hearing Impairment. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/994159-overview [Accesed 13 May 2014].

Shemesh, R., 2010. Hearing Impairment: Definitions, Assesment, and Management. University of Haifa, Israel.


(6)

Silva, L.P.A.d. et al., 2006. Etiology of Hearing Impairment in Children and Adolescents of A Reference Center APADA in the City of Salvador, State of Bahia. Rev. Bras. Otorrinolaringol 72(1)

Smith, R.J.H. et al., 2014. Deafness and Hereditary Hearing Loss Overview. University of Washington, Seattle.

Soesilorini, M., 2011. Faktor-Faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap

Prebikusis di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Soetirto, I., Hendarmin, H., dan Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran (Tuli). In: Soepardi, E.A. et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 10-22.

Sousa, C.S.d. et al., 2009. Risk Factors for Prebycusis in a Socio-Economic Middle-Class Sample. Braz J. Otorhinolaryngol 75(4)

Susanto, 2010. Risiko Gangguan Pendengaran pada Neonatus

Hiperbilirubinemia. Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Kesehatan Anak Universitas Diponegoro, Semarang.

Suwento, R. dan Hendarmin, H., 2007. Gangguan Pendengaran pada Geriatri. In: Soepardi, E.A. et al., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung

Tenggorokan Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 43-45.

Turner, J.S. dan Per-Lee, J.H., 1990. Auditory Dysfunction: Hearing Loss.Clinical Methods: The History, Physical, and Laboratory Examinations 3rd Edition. Boston: Butterworths.


(7)

World Health Organization, 2014. Prevention of Blindness and Deafness. Available From:

http://www.who.int/pbd/deafness/hearing_impairment_grades/en/ [Accessed on 3 Juni 2014]

Zhang, M., Gomaa, N., dan Ho, A., 2013. Presbycusis: A Critical Issue in Our Community. Ijohns 2(4): 111-120.

Zulsita, A., 2010. Gambaran Kognitif pada Lansia di RSUP H. Adam Malik Medan dan Puskesmas Petisah Medan. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.


(8)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep pada penelitian ini adalah:

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.2 Defenisi Operasional

a. Lansia menurut undang-undang No.13 tahun 1998 merupakan seseorang dengan usia di atas 60 tahun.

b. Tipe-tipe gangguan pendengaran di bagi tiga, yaitu : 1. Tuli Konduktif

Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran / konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga / membran timpani.

a. Cara Ukur : Observasi data sekunder b. Alat Ukur : Audiometri nada murni c. Hasil Pengukuran : AC dan BC lebih dari 25 dB

AC dan BC berimpit (tidak ada gap) d. Skala Pengukuran : Nominal

Gambaran gangguan pendengaran Lansia


(9)

2. Tuli Sensorineural

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan pada sepanjang telinga bagian dalam ataupun gangguan pada fungsi saraf pendengaran. Tuli sensorineural dapat dibagi menjadi tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.

a. Cara ukur : Observasi data sekunder b. Alat ukur : Audiometri nada murni

c. Hasil pengukuran : BC normal atau kurang dari 25 dB AC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap d. Skala pengukuran : Nominal

3. Tuli Campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural.

a. Cara ukur : Observasi data sekunder b. Alat ukur : Audiometri nada murni c. Hasil pengukuran : AC dan BC lebih dari 25 dB

Antara AC dan BC terdapat gap d. Skala pengukuran : Nominal

c. Derajat penurunan fungsi pendengaran dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu :

Ambang Dengar (AD) = �� 500�� + �� 1000�� + �� 2000�� +�� 4000�� 4


(10)

Hasil dari pengukuran kemudian akan dikategorikan menjadi enam kategori yaitu normal, tuli ringan, tuli sedang, tuli berat, dan tuli sangat berat berdasarkan International Standard Organization, yaitu :

• 0-25 dB : Normal

• 26-40 dB : Tuli ringan

• 41-55 dB : Tuli sedang

• 56-70 dB : Tuli sedang berat

• 71-90 dB : Tuli berat


(11)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Jenis yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Cross Sectional Study. Desain penelitian ini dilakukan dengan cara mengukur audiometri para lansia hanya dalam sekali pengukuran.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2014 sampai September 2014. Pengambilan data dilaksanakan di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

Kriteria inklusi:

1. Para lansia yang ada di Panti Jompo Karya Kasih Medan 2. Bersedia sebagai responden penelitian

Kriteria eksklusi:

1. Lansia yang tidak kooperatif saat pemeriksaan audiometri 2. Lansia yang sedang sakit

3. Lansia yang tidak berada ditempat pada saat penelitian

4.4 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah Total Sampling yang berarti sampel yang diambil adalah seluruh lansia yang menjadi subjek penelitian dan dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni. Alat atau instrumen pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini berupa audiometri nada murni.


(12)

4.4.1 Data Primer

Data primer merupakan data yang langsung diperoleh pada saat penelitian berlangsung, pada penelitian ini yang menjadi data primer adalah data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil dari pemeriksaan kemudian akan dikategorikan ke dalam enam kategori seperti yang sudah ditentukan sebelumnya. Selain itu, pola penurunan kemampuan pendengaran dengan intensitas frekuensi nada pada audiometri juga akan ditentukan.

4.4.2 Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang didapatkan dari pihak panti jompo perihal populasi para lansia.

4.5 Metode Analisa Data

Data yang diperoleh dari subjek penelitian yang berupa hasil pemeriksaan audiometri nada murni akan dimasukkan ke dalam tabel distribusi frekuensi dan dilakukan tabulasi silang dengan komputer.


(13)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti Jompo Karya Kasih Medan, yang mana panti ini diinspirasikan oleh seorang wanita bernama Martha Ponikem yang berusia 72 tahun. Martha Ponikem hidup tanpa keluarga. Wanita ini ditemukan oleh serdadu Belanda di satu jalan Martapura Kabupaten Langkat pada tahun 1950. Karena serdadu Belanda merasa kasihan, mereka meminta agar wanita itu diasuh dan dirawat oleh suster-suster St Yoseph.

Suster Ildefonsa menerima Martha Ponikem dengan baik. Setelah Suster Ildefonsa Van De Watering mengasuh dan merawat Martha Ponikem dengan baik, dia mengalami kendala bagaimana usaha supaya Martha Ponikem bisa terus dirawat dengan baik. Sejak itu pada Februari 1950, Suster Ildefonsa mendirikan sebuah rumah seperti yayasan yang dinamakan Karya Kasih pada tanggal 17 Oktober 1950.

Setelah berdirinya panti tersebut, kemudian Suster Ildefonsa mencari beberapa suster dari teman lamanya dahulu yang bersedia untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan merawat beberapa lansia di panti tersebut.

Sampai pada masa sekarang yaitu dari sejak tahun 1990 sampai pada tahun 2014. Penanggungjawab panti Karya Kasih Medan diserahkan kepada seorang suster asal Kabanjahe yang bernama Suster Theresia.

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Sampel

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang memenuhi kriteria inklusi di Panti Jompo Karya Kasih Medan yang terdaftar pada


(14)

Januari 2013 sampai dengan September 2014. Jumlah sampel lansia yang diambil yaitu sebanyak 75 orang.

5.1.1 Karakteristik Individu

Seperti penjelasan sebelumnya, pada penelitian pengambilan sampel diambil secara menyeluruh. Pada penelitian ini diambil sampel sebanyak 75 lansia karena 37 lansia dari 112 lansia tersebut tergolong kriteria eksklusi pada saat dilakukan penelitian. Dari keseluruhan sampel pada penelitian ini, karakteristik individu yang dapat diamati adalah kelompok usia dan jenis kelamin.

Berdasarkan data-data yang didapatkan pada saat penelitian, dapat dibuat karakteristik subjek penelitian sebagai berikut :

Tabel 5.1 Tabel distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik kelompok usia

Kelompok Usia N %

61-70 tahun 28 37.3

71-80 tahun 33 44.0

>80 tahun 14 18.7

Total 75 100.0

Berdasarkan tabel 5.1 diperoleh kelompok usia dengan sampel terbanyak yaitu pada kelompok usia 71-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%). Urutan kedua yaitu pada kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 28 orang (37.3%). Pada peringkat terakhir yaitu pada kelompok usia diatas 80 tahun dengan jumlah 14 orang (18.7%).

5.1.2 Jenis Kelamin

Pada penelitian ini dapat dilihat juga karakteristik sampel melalui jenis kelamin pada masing-masing sampel yang didata pada saat pelaksanaan penelitian di Panti Jompo Karya Kasih Medan. Jenis kelamin pada sampel dibagi dalam dua


(15)

kelompok secara garis besar yaitu kelompok jenis kelamin laki-laki dan kelompok jenis kelamin perempuan.

Tabel 5.2 Tabel distribusi frekuensi berdasarkan karakteristik jenis kelamin.

Jenis Kelamin N %

Laki-laki 30 40.0

Perempuan 45 60.0

Total 75 100.0

Dari tabel 5.2 diatas dapat diketahui bahwa lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan dengan jumlah terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 45 orang (60%), sedangkan laki-laki berjumlah 30 orang (40%).

5.1.3 Hasil Analisis Data

Pada penelitian ini telah dilakukan analisis secara deskriptif pada seluruh lansia di Panti Jompo Karya Kasih Medan yang dilakukan pemeriksaan audiometri nada murni. Hasil analisis data meliput dua tabel yang berupa persentase gangguan pendengaran pada telinga kanan dan persentase gangguan pendengaran pada telinga kiri.

Tabel 5.3 Tabel distribusi frekuensi antara jenis kelamin dengan hasil audiogram

Jenis Normal Gangguan Pendengaran

Kelamin n % n %

Laki-laki 1 1.3 29 38.7

Perempuan 0 0 45 60.0

Total 1 1.3 74 98.7

Berdasarkan pada tabel 5.3, didapatkan hasil distribusi frekuensi antara jenis kelamin dengan hasil audiogram yaitu laki-laki normal sebanyak 1 orang (1.3%) dan tidak ada perempuan normal, sedangkan laki-laki yang mengalami


(16)

gangguan pendengaran sebanyak 29 orang (38.7%) dan perempuan yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 45 orang (60%).

Tabel 5.4 Tabel distribusi frekuensi antara kelompok usia dengan hasil audiogram.

Kelompok Normal Gangguan Pendengaran

Usia n % n %

61-70 tahun 1 1.3 26 34,7

71-80 tahun 0 0 32 42,7

>80 tahun 0 0 16 21,3

Total 1 1.3 74 98.7

Dari tabel 5.4 didapatkan hasil distribusi frekuensi antara kelompok usia dengan hasil audiogram yaitu kelompok usia 61-70 tahun normal sebanyak 1 orang (1.3%), tidak ada yang normal pada kelompok usia 71-80 tahun dan tidak ada yang normal pada kelompok usia diatas 80 tahun. Gangguan pendengaran pada kelompok usia 60-70 tahun sebanyak 26 orang (34.7%), kelompok usia 71-80 yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 32 orang (42.7%), kelompok usia diatas 80 tahun yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 16 orang (21.3%).

Tabel 5.5 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram jenis gangguan pendengaran pada telinga kanan dan telinga kiri.

Hasil Telinga Kanan Telinga Kiri

Audiogram n % n %

Normal 4 5.3 1 1.3

Tuli Sensorineural 15 20.0 19 25.3 Tuli Konduktif 5 6.7 2 2.7

Tuli Campur 51 68.0 53 70.7 Total 75 100.0 75 100.0


(17)

Berdasarkan pada tabel 5.5, hasil audiogram pada telinga kanan yaitu normal sebanyak 4 orang (5.3%), tuli sensorineural sebanyak 15 orang (20%), tuli konduktif sebanyak 5 orang (6.7%), tuli campur sebanyak 51 (68%). Pada telinga kiri juga didapatkan normal sebanyak 1 orang (1.3%), tuli sensorineural sebanyak 19 orang (25.3%), tuli konduktif sebanyak 2 orang (2.7%), tuli campur sebanyak 53 orang (70.7).

Tabel 5.6 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram derajat gangguan pendengaran pada telinga kanan dan telinga kiri.

Hasil Telinga Kanan Telinga Kiri Audiogram n % n %

Normal 4 5.3 1 1.3 Tuli Sensorineural Ringan 1 1.3 - - Tuli Sensorineural Sedang 4 5.3 1 1.3 Tuli Sensorineural Sedang Berat 5 6.7 6 8.0 Tuli Sensorineural Berat 3 4.0 6 8.0 Tuli Sensorineural Sangat Berat 2 2.7 6 8.0 Tuli Konduktif Ringan 5 6.7 2 2.7 Tuli Campur Ringan 2 2.7 7 9.4 Tuli Campur Sedang 13 17.3 11 14.7 Tuli Campur Sedang Berat 12 16.0 13 17.3 Tuli Campur Berat 20 26.7 19 25.3 Tuli Campur Sangat Berat 4 5.3 3 4.0

Total 75 100 75 100.0

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh derajat gangguan pendengaran paling banyak pada telinga kanan yaitu tuli campur berat dengan jumlah 20 orang (26.7%) dan derajat gangguan pendengaran paling banyak pada telinga kiri yaitu tuli campur berat dengan jumlah 19 orang (25.3%).


(18)

Tabel 5.7 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram derajat gangguan pendengaran dengan kelompok usia pada telinga kanan.

Hasil Audiogram Telinga Kanan Usia 61-70 tahun Usia 71-80 tahun Usia >80 tahun Total

Normal 3 1 0 4

Tuli Sensorineural Ringan 1 0 0 1

Tuli Sensorineural Sedang 2 1 1 4

Tuli Sensorineural Sedang Berat

3 1 1 5

Tuli Sensorineural Berat 2 1 0 3

Tuli Sensorineural Sangat Berat

0 2 0 2

Tuli Konduktif Ringan 1 3 1 5

Tuli Konduktif Sedang - - - 0

Tuli Konduktif Sedang Berat - - - 0

Tuli Konduktif Berat - - - 0

Tuli Konduktif Sangat Berat - - - 0

Tuli Campur Ringan 1 1 0 2

Tuli Campur Sedang 5 6 2 13

Tuli Campur Sedang Berat 4 5 3 12

Tuli Campur Berat 4 11 5 20

Tuli Campur Sangat Berat 2 1 1 4

Total 28 33 14 75

Dari hasil tabel distribusi frekuensi diatas antara kelompok masing-masing usia para lansia dengan hasil audiogram pada telinga kanan para lansia didapatkan derajat gangguan pendengaran tuli campur berat pada usia 71-80 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 11 orang (33.3%).


(19)

Tabel 5.8 Tabel distribusi frekuensi antara hasil audiogram derajat gangguan pendengaran dengan kelompok usia pada telinga kiri.

Hasil Audiogram Telinga Kiri Usia 61-70 tahun

Usia 71-80 tahun

Usia >80 tahun

Total

Normal 1 0 0 1

Tuli Sensorineural Ringan 0 0 0 0

Tuli Sensorineural Sedang 0 1 0 1

Tuli Sensorineural Sedang Berat

2 2 2 6

Tuli Sensorineural Berat 3 2 1 6

Tuli Sensorineural Sangat Berat 3 3 0 6

Tuli Konduktif Ringan 2 0 0 2

Tuli Konduktif Sedang - - - 0

Tuli Konduktif Sedang Berat - - - 0

Tuli Konduktif Berat - - - 0

Tuli Konduktif Sangat Berat - - - 0

Tuli Campur Ringan 3 3 1 7

Tuli Campur Sedang 5 4 2 11

Tuli Campur Sedang Berat 5 8 0 13

Tuli Campur Berat 3 9 7 19

Tuli Campur Sangat Berat 1 1 1 3

Total 28 33 14 75

Dari hasil tabel distribusi frekuensi diatas antara kelompok masing-masing usia para lansia dengan jenis serta derajat gangguan pendengaran pada telinga kanan para lansia didapatkan derajat gangguan pendengaran tuli campur berat pada usia 71-80 tahun dengan jumlah sampel sebanyak 9 orang.


(20)

5.2 Pembahasan

Dari jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan karakteristik kelompok usia yaitu kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 28 orang (37.3%), kelompok usia 7-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%), kelompok usia diatas 80 tahun dengan jumlah 14 orang (8.7%).

Pada hasil penelitian yang dilakukan, kelompok usia pada sampel penelitian yaitu kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 26 orang (34.7%), kelompok usia 71-80 tahun dengan jumlah 32 orang (42.7%), kelompok usia >80 tahun dengan jumlah 16 orang (21.3%). Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian lain (Blevins, 2013) yang menyatakan sekitar umur antara 71-80 tahun yang merupakan jenis kelompok usia dengan tingkat terbanyak.

Dari jumlah sampel yang didapatkan berdasarkan karakteristik jenis kelamin yaitu jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 orang (60%) lebih banyak dibandingkan jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 30 orang (40%).

Pada hasil penelitian ini, jenis kelamin yang mengalami gangguan pendengaran didapatkan bahwa kelompok jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 orang (60%) lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin laki-laki yaitu dengan jumlah 29 orang (38.7%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian (Agrawal,1999) dan (Dalton, 2003) yang menyatakan jenis kelamin laki-laki lebih tinggi mengalami gangguan pendengaran dibandingkan jenis kelamin perempuan, karena pada laki-laki lebih sering terpapar bising dan lebih banyak faktor resiko dibandingkan perempuan. Pada penelitian ini didapatkan perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki, kemungkinan karena jumlah sampel jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki.

Berdasarkan literatur yang didapat, gangguan pendengaran yang paling sering terjadi pada usia lanjut ialah tuli sensorineural (Smith, 2014). Namun pada penelitian ini, jenis gangguan pendengaran paling yang paling banyak pada telinga kanan yaitu tuli campur sebanyak 51 orang (68%). Jenis gangguan pendengaran yang paling banyak pada telinga kiri yaitu tuli campur sebanyak 53


(21)

orang (70.7%). Tuli sensorineural pada lanjut usia lebih dikarenakan faktor degeneratif seperti contohnya presbikusis, sedangkan tuli campur pada lanjut usia lebih berhubungan dengan otosklerosis (Shemesh, 2010). Penelitian ini membutuhkan pemeriksaan lanjutan untuk menetapkan penyebab gangguan pendengaran pada lanjut usia.


(22)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 75 sampel lansia di panti jompo Karya Kasih Medan tentang gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di panti jompo Karya Kasih Medan pada tahun 2014 dari bulan Agustus-September, dapat ditarik kesimpulan berupa :

1. Proporsi lansia yang mengalami gangguan pendengaran sebanyak 74 orang (98.7%) dengan karakteristik demografi sebagai berikut :

a. Kelompok usia 61-70 tahun dengan jumlah 26 orang (34.7%), kelompok usia 71-80 tahun dengan jumlah 32 orang (42.7%), kelompok usia >80 tahun dengan jumlah 16 orang (21.3%).

b. Jenis kelamin perempuan dengan jumlah 45 orang (60%) lebih banyak daripada jenis kelamin laki-laki dengan jumlah 29 orang (38.7%). 2. Jenis gangguan pendengaran pada telinga kanan yaitu tuli sensorineural

sebanyak 15 orang (20%), tuli konduktif sebanyak 5 orang (6.7%), tuli campur sebanyak 51 orang (68%). Jenis gangguan pendengaran pada telinga kiri yaitu tuli sensorineural sebanyak 19 orang (25.3%), tuli konduktif sebanyak 2 orang (2.7%), tuli campur sebanyak 53 orang (70.7%).

3. Derajat gangguan pendengaran yang paling banyak dijumpai pada telinga kanan yaitu tuli campur berat dengan jumlah 20 orang (26.7%). Derajat gangguan pendengaran yang paling banyak dijumpai pada telinga kiri yaitu tuli campur berat dengan jumlah 19 orang (25.3%).


(23)

6.2. Saran

1. Penelitian ini diharapkan mampu mengedukasi pembaca tentang gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia.

2. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran pada para lansia untuk mengurangi faktor resiko terjadinya gangguan pendengaran pada para lansia

3. Penelitian ini membutuhkan penelitian lanjutan untuk lebih mendapatkan penyebab gangguan pendengaran pada lansia.

4. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pedoman untuk penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini ataupun untuk penelitian dimasa yang akan datang.


(24)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gangguan Pendengaran 2.1.1 Definisi

Gangguan pendengaran adalah ketidakmampuan secara sebagian ataupun keseluruhan untuk mendengarkan suara pada salah satu maupun kedua telinga (Susanto, 2010). Definisi lain mengatakan bahwa, gangguan pendengaran merupakan penurunan persepsi kekerasan suara dan atau disertai ketidakjelasan dalam berkata-kata. Unit kuantitatif yang digunakan untuk mengukur kekerasan suatu suara adalah desibel. Pada orang-orang normal, ambang batas (treshold) pendengaran adalah 0-10 desibel. Pada orang-orang dengan gangguan pendengaran, didapati peningkatan ambang batas pendengaran disertai dengan terganggunya proses persepsi suara dan proses pencapaian pengertian dari suatu percakapan (Turner dan Per-Lee, 1990).

2.1.2 Klasifikasi

Gangguan pendengaran secara umum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:

a. Tuli konduktif

Tuli konduktif dapat terjadi apabila terdapat lesi pada telinga luar maupun telinga tengah yang dapat menyebabkan gangguan penghantaran / konduksi gelombang suara untuk menggetarkan gendang telinga / membran timpani (Muhaimeed, dkk, 2002). Beberapa contoh kelainan pada telinga luar yang dapat menyebabkan terjadinya tuli konduktif adalah atresia liang telinga, sumbatan oleh serumen, otitis eksterna sirkumskripta, serta osteoma liang telinga. Sedangkan, contoh-contoh kelainan pada telinga tengah yang mampu menyebabkan terjadinya tuli konduktif adalah tuba katar / sumbatan tuba eustachius, otitis media, otosklerosis,


(25)

timpanosklerosis, hemotimpanum, serta dislokasi tulang-tulang pendengaran (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).

Menurut penelitian, tuli konduktif banyak dijumpai pada orang-orang suku Aborigin di Australia. Tuli konduktif pada anak-anak suku Aborigin paling banyak disebabkan oleh infeksi telinga. Tuli konduktif pada orang dewasa suku Aborigin biasanya merupakan kelanjutan / sequelae dari infeksi telinga pada masa anak-anak yang tidak diatasi dengan baik. Akibat dari banyaknya kejadian tuli konduktif pada suku ini, akhirnya menyebabkan timbulnya budaya “absence and avoidance” (Howard, 2007).

b. Tuli sensorineural

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2011), tuli sensorineural merupakan gangguan pendengaran yang terjadi sebagai akibat adanya gangguan pada sepanjang telinga bagian dalam ataupun gangguan pada fungsi saraf pendengaran. Tuli sensorineural dapat dibagi menjadi tuli sensorineural koklea dan tuli sensorineural retrokoklea.

Tuli sensorineural koklea dapat disebabkan oleh terjadinya aplasia yang biasanya kongenital, labirinitis yang dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus, intoksikasi obat-obatan seperti streptomisin, kanamisin, garamisin, neomisin, kina, asetosal ataupun alkohol. Selain penyakit-penyakit di atas, tuli sensorineural koklea dapat juga terjadi diakibatkan oleh tuli mendadak (sudden deafness), trauma kapitis, trauma akustik, serta pajanan bising yang berlama-lama. Tuli sensorineural retrokoklea biasanya disebabkan oleh neuroma akustik, tumor sudut pons serebelum, mieloma multipel, cedera otak, perdarahan otak, serta kelainan pada otak lainnya (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).


(26)

Kerusakan telinga oleh obat-obatan, suara keras / bising yang berlama-lama, serta usia lanjut akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam menerima nada tinggi pada bagian basal koklea. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh pajanan bising yang berlama-lama disebut juga dengan noise-induced hearing loss (NIHL). Sedangkan, gangguan pendengaran yang disebabkan oleh proses penuaan pada usia lanjut dapat disebut dengan presbikusis (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007).

Kedua jenis tuli sensorineural baik koklea maupun retrokoklea dapat dibedakan dari pemeriksaan audiometri khusus. Tuli sensorineural retrokoklea cenderung lebih mengancam jiwa bila dibandingkan dengan tuli sensorineural koklea. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tuli sensorineural retrokoklea paling sering dicetuskan oleh adanya trauma ataupun kelainan pada otak. Namun, tuli sensorineural yang paling sering ditemukan pada orang dewasa diatas 40 tahun merupakan tuli sensorineural jenis koklea (Turner dan Per-Lee, 1990).

c. Tuli Campuran

Gangguan jenis ini merupakan kombinasi dari gangguan pendengaran jenis konduktif dan gangguan pendengaran jenis sensorineural. Mula-mula gangguan pendengaran jenis ini adalah jenis hantaran (misalnya otesklerosis), kemudian berkembang lebih lanjut menjadi gangguan sensorineural. Dapat pula sebaliknya, mula-mula gangguan pendengaran jenis sensorineural, lalu kemudian disertai dengan gangguan hantaran (misalnya presbikusis), kemudian terkena infeksi otitis media . Kedua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama. Misalnya trauma kepala yang berat sekaligus mengenai telinga tengah dan telinga dalam (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

Klasifikasi gangguan pendengaran menurut waktu kejadiannya dapat dibagi pula menjadi dua jenis, yaitu:


(27)

Gangguan pendengaran prelingual biasanya timbul sebelum terjadinya proses perkembangan kemampuan berbahasa pada seseorang. Seluruh gangguan pendengaran yang bersifat kongenital biasanya masuk ke dalam gangguan pendengaran prelingual (Smith, dkk, 2014). Menurut Shemesh (2010), orang-orang dengan gangguan pendengaran prelingual biasanya lebih terbatas secara fungsional bila dibandingkan dengan orang-orang dengan gangguan pendengaran yang telah melalui proses berbahasa.

b. Postlingual

Gangguan pendengaran postlingual terjadi setelah berkembangnya kemampuan berbahasa pada seseorang. Biasanya terjadi setelah berusia 6 tahun. Gangguan pendengaran postlingual jauh lebih jarang terjadi bila dibandingkan dengan gangguan pendengaran prelingual. Biasanya gangguan pendengaran postlingual yang terjadi secara tiba-tiba disebabkan oleh meningitis ataupun penggunaan obat-obat ototoksik seperti gentamisin (Smith, dkk, 2014).

Terlepas dari jenis serta onset kejadian gangguan pendengaran, American National Standards Institute membagi gangguan pendengaran berdasarkan ambang batas pendengaran seseorang, seperti berikut (Shah, 2013):

a. Slight hearing loss : 16-25 dB b. Mild hearing loss : 26-40 dB c. Moderate hearing loss : 41-55 dB

d. Moderately Severe hearing loss : 56-70 dB e. Severe hearing loss : 71-90 dB


(28)

2.2 Lansia 2.2.1 Definisi

Menurut undang-undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, dituliskan bahwa lansia merupakan seseorang dengan usia di atas 60 tahun. Dalam menentukan batasan penduduk lanjut usia, terdapat tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu: aspek biologi, ekonomi, dan sosial (BKKBN, 1998 dalam Zulsita, 2011).

Dari aspek biologis, penduduk usia lanjut adalah penduduk yang mengalami proses penuaan yang ditandai dengan menurunnya berbagai fungsi fisiologis tubuh. Hal ini dapat terjadi sebagai akibat adanya perubahan dalam struktur serta fungsi dari sel, jaringan serta organ. Dari aspek ekonomi, lansia seringkali dipandang sebagai beban bagi keluarga dan juga masyarakat. Banyak yang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak lagi memberikan manfaat yang berarti. Bila dipandang dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan suatu kelompok sosial tersendiri. Di negara Barat, para lansia menduduki tingkatan sosial di bawah kaum muda. Hal ini diakibatkan oleh menurunnya pengaruh para lansia dalam proses pengambilan keputusan. Lain halnya dengan negara Barat, di Indonesia tingkatan sosial para lansia menduduk tingkatan tertinggi. Sehingga para lansia harus dihormati oleh semua orang yang lebih muda (Zulsita, 2011).

2.2.2 Konsep Menua

Menua adalah proses perubahan seseorang yang pada awalnya merupakan seorang dewasa sehat menjadi seseorang yang lebih rentan / frail yang disertai dengan penurunan sebagian besar sistem fisiologis yang mendorong kepada peningkatan kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian (Setiati, Harimurti, dan Roosheroe, 2006 dalam Zulsita, 2011).

Terdapat dua macam penuaan, antara lain penuaan primer dan penuaan sekunder. Penuaan primer merupakan proses kemunduran tubuh secara gradual


(29)

yang tidak dapat dihindari. Penuaan ini dimulai dari masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun. Sedangkan, penuaan sekunder merupakan proses penuaan yang disebabkan oleh penyakit, kesalahan, ataupun penyalahgunaan faktor-faktor / bahan-bahan yang sebenarnya dapat dihindari (Papalia, Olds, dan Feldman, 2005 dalam Zulsita, 2011).

2.2.3 Aspek Biologi Penuaan

Dari aspek biologi, para lansia akan mengalami perubahan-perubahan fisik selama proses kehidupannya. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat berupa perubahan sel, sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem pengatur suhu tubuh, sistem pernafasan, sistem pencernaan, sistem perkemihan, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, dan juga perubahan-perubahan mental yang berkaitan dengan perubahan ingatan (memori) (Watson, 2003 dalam Zulsita, 2011). Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar fungsi organ akan mengalami penurunan sekitar 1% pertahun, yang dimulai dari usia 30 tahun (Zulsita, 2011).

Terdapat beberapa teori yang mendukung tentang proses penuaan, salah satunya adalah teori “radikal bebas”. Teori “radikal bebas” diperkenalkan pertama kali pada tahun 1956. Teori ini menyatakan bahwa produk dari hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif, radikal bebas, dapat berreaksi dengan berbagai komponen penting pada seluler. Radikal bebas dapat berreaksi dengan protein, DNA, dan lipid di seluler yang menyebabkan terganggunya fungsi sel lain (Setiati, Harimurti, dan Roosheroe, 2006 dalam Zulsita, 2011).

2.3 Gangguan Pendengaran pada Lansia

Gangguan pendengaran pada lansia sering juga disebut dengan presbikusis. Presbikusis merupakan gangguan pendengaran sensorineural yang terjadi pada orang-orang usia lanjut. Gangguan pendengaran ini ditandai dengan hilangnya kemampuan telinga dalam mendengar suara-suara berfrekuensi tinggi


(30)

yang biasanya terjadi secara bilateral / mengenai kedua buah telinga. Presbikusis menjadi masalah penting di lingkungan sosial. Akibat dari gangguan ini, biasanya para lansia memutuskan untuk mengurangi penggunaan telepon yang akhirnya menyebabkan menurunkan kemampuan bersosialisasi dengan orang lain serta semakin menurunkan fungsi pengindraan (Roland, 2014).

2.3.1 Epidemiologi

Kejadian presbikusis di seluruh dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Kejadian ini mungkin saja berhubungan dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di dunia. Di Amerika, diperkirakan sekitar 25-30% orang-orang dengan rentang usia 65-74 tahun mengalami gangguan pendengaran. Selanjutnya, kejadian gangguan pendengaran ini meningkat sampai 40-45% pada orang-orang yang berusia lebih dari 75 tahun (Roland, 2014). Penelitian yang dilakukan di Brazil didapati prevalensi prebikusis adalah sekitar 36,1% (Sousa, dkk, 2009). Di Arab Saudi, ditemukan prevalensi kejadian prebikusis pada subjek penelitian yang berusia 46-50 tahun adalah sekitar 10,17%, dan meningkat menjadi 38,3% pada subjek penelitian dengan rentang usia 71-75 tahun (Al-Ruwali dan Hagr, 2010). Selanjutnya, penelitian yang dilakukan di Korea yang tepatnya berlokasi di Seoul, provinsi Kyunggi dan Kangwon, menunjukkan bahwa kejadian presbikusis pada orang-orang berusia 65 tahun ke atas adalah sekitar 43,4% (Hee-Nam, dkk, 2000). Jumlah penduduk di Indonesia yang berusia lebih dari 60 tahun pada tahun 2005 adalah sekitar 19,9 juta orang dengan prevalensi presbikusis sebesar 8,48%. Diperkirakan penderita presbikusis di Indonesia pada tahun 2025 akan mengalami peningkatan mencapai 4 kali lipat dari sebelumnya (Soesilorini, 2011).

2.3.2 Faktor Risiko dan Etiologi

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya presbikusis, yaitu : usia, jenis kelamin laki-laki, diabetes melitus, serta gangguan pendengaran yang diturunkan. Faktor risiko lain yang juga disebut-sebut dapat menyebabkan presbikusis adalah penyakit-penyakit jantung, merokok, serta konsumsi alkohol (Sousa, dkk, 2009).


(31)

Walaupun penyebab pasti presbikusis masih belum diketahui secara pasti, namun telah diterima secara umum bahwa penyebab presbikusis adalah multifaktorial. Berikut beberapa penyebab yang dipercaya dapat menyebabkan terjadinya presbikusis:

a. Aterosklerosis

Pada keadaan arterosklerosis, dapat terjadi berkurangnya sampai hilangnya perfusi serta oksigenasi ke koklea. Keadaan hipoperfusi ini menyebabkan terbentuknya metabolit berupa reactive oxygen dan juga radikal bebas. Akibat dari penumpukan oksidan ini, menyebabkan terjadinya kerusakan pada struktur telinga dalam serta DNA mitokondria yang berada pada sel-sel di telinga dalam. Akibat dari kerusakan-kerusakan inilah berkembang presbikusis (Roland, 2014).

b. Diet dan metabolisme

- Diabetes diketahui dapat mempercepat proses pembentukan aterosklerosis yang selanjutnya akan menyebabkan gangguan perfusi serta oksigenasi dari koklea.

- Pada keadaan diabetes juga didapati proliferasi dan hipertropi dari tunika intima di endotel yang juga nantinya akan menyebabkan gangguan perfusi ke koklea.

- Penelitian yang dilakukan oleh Le dan Keithley mendemonstrasikan bahwa diet tinggi antioksidan seperti vitamin C dan E dapat mengurangi progresifitas presbikusis pada tikus (Roland, 2014).

c. Paparan terhadap bising

Dari penelitian yang dilakukan menggunakan model dari tikus yang memiliki struktur telinga menyerupai manusia, didapati bahwa paparan terhadap bising mampu meningkatkan kejadian presbikusis. Paparan bising menyebabkan rusaknya sel-sel di telinga termasuk di dalamnya sel yang berasal dari spiral ligament, sel fibrosit tipe IV. Dari penelitian sebelumnya didapati bahwa kerentanan terhadap kerusakan


(32)

fibrosit tipe IV dapat menyebabkan perubahan ambang batas pendengaran yang bermakna. Gambaran histopatologi pada tikus yang terpapar bising menunjukkan bahwa terjadi hilangnya sel-sel spiral ganglion, yang merupakan badan sel dari saraf aferen di koklea, yang bersinaps dengan sel-sel rambut dalam (inner hair cells). Intinya, paparan bising pada usia muda dapat meningkatkan risiko terjadinya presbikusis seiring dengan bertambahnya usia seseorang (Kujawa dan Liberman, 2006).

d. Genetik

Disebut-sebut bahwa genetik berperan penting dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap faktor-faktor lingkungan seperti bising, obat-obat ototoksik dan bahan-bahan kimia, serta stress. Pada penelitian lain didapati bahwa terdapat beberapa gen yang mengalami mutasi pada penderita presbikusis, yaitu gen GJB2 dan gen SLC26A4. Selain itu, didapati bahwa orang-orang yang mengalami dua mild mutations pada gen GJB2 akan terjadi peningkatan risiko berkembangnya presbikusis dini (Roland, 2014 dan Rodriguez-Paris, dkk, 2008).

2.3.3 Patofisiologi Klinik

Tanda utama dari presbikusis adalah terjadinya penurunan sensitivitas ambang batas pendengaran pada suara berfrekuensi tinggi. Perubahan ini dapat terjadi pada dewasa muda, tetapi terutama secara jelas terjadi pada orang-orang dengan usia 60 tahun ke atas. Seiring bertambahnya usia, penurunan sensitivitas ini akan mencapai ke suara dengan frekuensi yang rendah pula. Pada kebanyakan kasus presbikusis dijumpai terjadinya kehilangan sel rambut luar (outer hair cell) pada koklea bagian basal (Soesilorini, 2011).

Faktor lainnya seperti genetik, usia, serta ototoksik dapat memperberat proses penurunan fungsi pendengaran seseorang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Mills dkk, didapati bahwa terjadi penurunan fungsi pendengaran yang berkaitan dengan faktor usia secara signifikan pada hewan-hewan yang tinggal di


(33)

tempat yang bising. Kedua faktor ini sama-sama berperan dalam menyebabkan terjadinya kerusakan koklea dalam menerima suara dengan frekuensi tinggi (Soesilorini, 2011).

2.3.4 Klasifikasi

Berdasarkan perubahan patologi yang terjadi, Schuknecht menggolongkan prebikusis menjadi 4 jenis, yaitu:

a. Sensorik

Pada presbikusis jenis ini dapat dijumpai lesi yang terbatas pada koklea. Dijumpai adanya atrofi pada organ corti, serta berkurangnya jumlah sel-sel rambut dan sel-sel penunjang di koklea.

b. Neural

Pada jenis neural, dijumpai berkurangnya sel-sel neuron pada koklea serta pada jaras auditorik.

c. Metabolik (strial prebycusis)

Presbikusis dengan jenis metabolik dapat terjadi sebagai akibat terjadinya atrofi stria vaskularis yang akhirnya menyebabkan terganggunya fungsi sel serta keseimbangan biokimia / bioelektrik pada koklea.

d. Mekanik (cochlear presbycusis)

Presbikusis koklear terjadi akibat perubahan gerakan mekanik pada duktus koklearis. Selain itu, dijumpai pula atrofi ligamen spiralis serta kekakuan pada membran basalis.

Menurut penelitian, prevalensi presbikusis terbanyak adalah presbikusis dengan jenis metabolik dengan persentase sebesar 34,6%. Berikutnya adalah jenis neural sebesar 30,7%, mekanik 22,8%, dan sensorik sebesar 11,9% (Suwento dan Hendarmin, 2007).


(34)

2.3.5 Derajat Ketulian

Derajat penurunan fungsi pendengaran dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu:

������������ = �� 500�� +�� 1000�� +�� 2000�� +��4000�� 4

Dalam menentukan derajat penurunan fungsi pendengaran juga dapat diketahui hanya dari hantaran udaranya saja (AC / air conduction). Penentuan ini dilakukan menurut International Standard Organization, yaitu:

a. 0-25 dB : Normal b. 26-40 dB : Tuli ringan c. 41-55 dB : Tuli sedang d. 56-70 dB : Tuli sedang berat e. 71-90 dB : Tuli berat

f. >90 dB : Tuli sangat berat (WHO,2014)

2.3.6 Diagnosis

Penegakan diagnosis gangguan pendengaran pada lanjut usia dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan seperti:

*Otoskopik

Pada pemeriksaan otoskopik akan dijumpai penampakan membran timpani yang suram, serta kekakuan / berkurangnya mobilitas dari membran timpani pada tuli konduktif.

Tekniknya dengan : Pasien duduk dengan posisi badan condong ke depan dan kepala lebih tinggi sedikit dari kepala pemeriksa untuk memudahkan melihat liang telinga dan membran timpani. Atur lampu kepala supaya fokus dan tidak mengganggu pergerakan, kira kira 20-30 cm di depan dada pemeriksa dengan sudut kira kira 60 derajat, lingkaran focus dari lampu, diameter 2-3 cm. Untuk memeriksa telinga, harus diingat bahwa liang telinga tidak lurus. Untuk meluruskannya maka daun telinga ditarik ke atas belakang , dan tragus ditarik ke


(35)

depan. Pada anak, daun telinga ditarik ke bawah. Dengan demikian liang telinga dan membran timpani akan tampak lebih jelas. Liang telinga dikatakan lapang apabila pada pemeriksaan dengan lampu kepala tampak membran timpani secara keseluruhan (pinggir dan reflex cahaya) Seringkali terdapat banyak rambut di liang telinga, atau liang telinga sempit (tak tampak keseluruhan membran timpani) sehingga perlu dipakai corong telinga. Pada anak oleh karena liang telinganya sempit lebih baik dipakai corong telinga. Kalau ada serumen, bersihkan dengan cara ekstraksi apabila serumen padat, irigasi apabila tidak terdapat komplikasi irigasi atau di suction bila serumen cair. Untuk pemeriksaan detail membran timpani spt perforasi, hiperemis atau bulging dan retraksi, dipergunakan otoskop. Otoskop dipegang seperti memegang pensil. Dipegang dengan tangan kanan untuk memeriksa telinga kanan dan dengan tangan kiri bila memeriksa telinga kiri. Supaya posisi otoskop ini stabil maka jari kelingking tangan yang memegang otoskop ditekankan pada pipi pasien. Untuk melihat gerakan membran timpani digunakan otoskop pneumatic. (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

*Tes Penala

Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif. Penala terdiri dari 1 set (5 buah) dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz, 512 Hz, 1024 Hz dan 2048 Hz. Pada umumnya dipakai 3 macam penala : 512 Hz, 1024 Hz, 2048 Hz. Jika akan memakai hanya 1 penala, digunakan 512 Hz. Untuk mempermudah interpretasi secara klinik, di pakai tes Rinne, tes Weber, dan tes Schwabach.

• Tes Rinne, ialah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan hantaran melalui tulang pada telinga yang di periksa.

Cara pemeriksaannya: penala digetarkan, tangkainya diletakkan di prosesus mastoid, setelah tidak terdengar penala dipegang di depan telinga kira-kira 2 ½ cm. Bila masih terdengar disebut Rinne positif (+), bila tidak terdengar disebut Rinne negatif (-).

• Tes Weber, ialah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang telinga kiri dengan telinga kanan.


(36)

Cara pemeriksaannya: penala digetarkan dan tangkai penala diletakkan di garis tengah kepala (di verteks, dahi, pangkal hidung, di tengah-tengah gigi seri atau di dagu). Apabila bunyi penala terdengar lebih keras pada salah satu telinga disebut Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila tidak dapat dibedakan ke arah telinga mana bunyi terdengar lebih keras disebut Weber tidak ada lateralisasi.

• Tes Schwabach, ialah membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.

Cara pemeriksaannya: penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai tidak terdengar bunyi. Kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila pemeriksa tidak dapat mendengar, pemeriksaan diulang dengan cara sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama-sama mendengarnya disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis Positif tidak ada

lateralisasi

sama dengan pemeriksa

Normal

Negatif lateralisasi ke telinga yang sakit

memanjang Tuli konduktif

Positif lateralisasi ke telinga yang sehat

memendek Tuli Sensorineural

Catatan : Pada tuli konduktif <30 dB, Rinne bisa masih positif. (Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

*Audiometri Nada Murni

Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan audiometer, dan hasil pencatatannya disebut sebagai audiogram. Sebagai sumber suara digunakan nada


(37)

murni (pure tone) yaitu bunyi yang hanya terdiri dari 1 frekuensi. Pemeriksaan dilakukan pada ruang kedap suara, dengan menilai hantaran suara melalui udara (air conduction) melalui headphone pada frekuensi 125, 250, 5000, 1000, 2000, 4000 dan 8000 Hz. Hantaran suara melalui tulang (bone conduction) diperiksa dengan memasang bone vibrator pada prosesus mastoid yang dilakukan pada frekuensi 500, 1000, 2000, 4000 Hz. Intensitas yang biasa digunakan antara 10-100 dB (masing-masing dengan kelipatan 10), secara bergantian pada kedua telinga. Suara dengan intensitas terendah yang dapat didengar dicatat pada audiogram untuk memperoleh informasi tentang jenis dan derajat ketulian.

Pendengaran Normal

AC dan BC sama atau kurang dari 25 dB


(38)

Tuli Sensorineural AC dan BC lebih dari 25 dB

AC dan BC berimpit (tidak ada gap) Contoh : Presbikusis

Tuli Konduktif

BC normal atau kurang dari 25 dB

AC lebih dari 25 dB


(39)

Tuli Campur

AC dan BC lebih dari 25 dB Antara AC dan BC terdapat gap

(Soetirto, Hendarmin, dan Bashiruddin, 2007)

*Audiometri Tutur (Speech Audiometry)

Pada tes ini di pakai kata-kata yang sudah disusun dalam silabus (suku kata). Monosilabus = satu suku kata

Bisilabus = dua suku kata

Kata-kata ini disusun dalam daftar yang disebut : Phonetically balance word LBT (PB, LIST).

Pasien diminta untuk mengulangi kata-kata yang didengar melalui kaset tape recorder. Pada tuli perseptif koklea, pasien sulit untuk membedakan bunyi S, R, N, C, H, CH, sedangkan pada tuli retrokoklea lebih sulit lagi. Misalnya pada tuli perseptif koklea, kata “kadar” didengarnya “kasar”, sedangkan kata “pasar” didengarnya “padar”.

Apabila kata yang betul : speech discrimination score : 90 - 100 % : berarti tuli pendengaran normal

75 - 90 % : tuli ringan 60 - 75 % : tuli sedang


(40)

50 - 60 % : kesukaran mengikuti pembicaraan sehari-hari <50 % : tuli berat

Guna pemeriksaan ini ialah untuk menilai kemampuan pasien dalam pembicaraan sehari-hari, dan menilai untuk pemberian alat bantu dengar (hearing aid).

Istilah :

- SRT (speech reception test) = kemampuan untuk mengulangi kata-kata yang benar sebanyak 50 %, biasanya 20-30 dB di atas ambang pendengaran.

- SDS (speech discrimination scor) = skor tertinggi yang dapat dicapai oleh seseorang pada intensitas tertentu.


(41)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendengaran adalah indera yang penting bagi para lanjut usia (lansia) karena pendengaran meningkatkan kualitas hidup serta mempertahankan keamanan dirinya. Pendengaran yang baik memungkinkan lansia mendengar suara alarm, tetap waspada terhadap bahaya ketika tidur, dapat mendengarkan dalam kegelapan, mendeteksi suara dari belakang, berkomunikasi dengan efisien dengan orang lain dan mempertahankan hubungan dengan dunia melalui telepon atau radio terutama setelah masa pensiun. Namun, gangguan pendengaran akibat usia atau presbikusis telah menjadi masalah yang berkembang (Zhang, 2013).

Presbikusis adalah hilangnya pendengaran yang berhubungan dengan usia tanpa sebab yang jelas. Lansia adalah orang dengan usia 60 tahun atau lebih (Sousa, 2009). Presbikusis mempengaruhi lebih dari setengah orang dewasa pada usia 75 tahun. Presbikusis lebih sering dijumpai pada pria dibandingkan wanita. Presbikusis menunjukkan pola yang meningkat dengan usia yaitu (Blevins, 2013):

• Pada usia 44 hingga 54 tahun, dijumpai presbikusis pada 11 persen populasi.

• Pada usia 55 hingga 64 tahun, dijumpai presbikusis pada 25 persen populasi.

• Pada usia 65 hingga 84 tahun, dijumpai presbikusis pada 43 persen populasi.

Dengan semakin bertambah tuanya masyarakat, semakin banyak orang yang hidup pada usia enam puluhan, tujuh puluhan, bahkan delapan puluhan atau lebih akibat faktor-faktor seperti perkembangan nutrisi dan pelayanan kesehatan. Di Amerika Serikat, presbikusis mempengaruhi 40% dari populasi di atas usia 75 tahun dan semakin meningkat. Pada tahun 1995 di Inggris, dijumpai 20% orang dewasa mengalami gangguan pendengaran, 75% di antaranya berusia lebih dari 60


(42)

tahun. Perkiraan menunjukkan bahwa pada tahun 2030, akan dijumpai 35 hingga 40 juta penduduk lansia yang mengalami gangguan pendengaran di Amerika Serikat (Ciorba, 2012). WHO memprediksikan bahwa pada tahun 2025, akan dijumpai sebanyak 1,2 milyar lansia di atas 60 tahun di dunia yang menderita gangguan pendengaran yang signifikan akibat presbikusis (Blevins, 2013).

Presbikusis memiliki dampak terhadap kualitas hidup penderitanya. Di antara penderita presbikusis, hanya 39% di antaranya yang memiliki kualitas hidup yang baik atau kesehatan fisik yang baik dibandingkan 68% pada lansia yang tidak mengalami presbikusis. Hampir sepertiga dari populasi dengan presbikusis memiliki kesehatan yang buruk dan kepuasan hidup yang rendah (Ciorba, 2012). Apabila tidak diterapi dengan baik, presbikusis dengan derajat sedang atau lebih dapat mempengaruhi komunikasi dan berkontribusi terhadap isolasi, depresi, hingga demensia (Gates, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan?”.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Jompo Karya Kasih Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui proporsi gangguan pendengaran pada lanjut usia 2. Mengetahui jenis gangguan pendengaran pada lanjut usia


(43)

3. Mengetahui derajat gangguan pendengaran pada lanjut usia

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk: 1. Bagi pemerintah

Sebagai informasi bagi pemerintah agar meningkatkan kesadaran tentang kejadian gangguan pendengaran serta dampak gangguan pendengaran bagi lansia.

2. Bagi tenaga medis

Sebagai informasi agar tenaga medis menyadari tentang kejadian gangguan pendengaran pada lansia agar dapat mewaspadai gangguan pendengaran yang tidak dikeluhkan oleh lansia.

3. Bagi peneliti

Sebagai wadah untuk melatih kemampuan menulis Karya Tulis Ilmiah serta meningkatkan kemampuan analisa peneliti.


(44)

ABSTRAK

Pendengaran adalah indera yang penting bagi para lanjut usia (lansia) karena pendengaran meningkatkan kualitas hidup serta mempertahankan keamanan dirinya. Presbikusis adalah hilangnya pendengaran yang berhubungan dengan usia tanpa sebab yang jelas. Lansia adalah orang dengan usia 60 tahun atau lebih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Karya Kasih Medan pada tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Panti Karya Kasih Medan pada bulan September dengan jumlah sampel sebanyak 74 orang. Sampel dipilih dengan cara total sampling. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi.

Dari 75 sampel lansia, diperoleh lansia dengan umur terbanyak yaitu pada 71-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%). Perempuan dengan jumlah terbanyak yaitu 45 orang (60%), sedangkan laki-laki (40%). Pada penelitian ini didapatkan tuli campur berat yang tertinggi pada telinga kanan sebanyak 20 orang (26,7%) dan pada telinga kiri sebanyak 19 orang (25,3%).


(45)

ABSTRACT

Hearing is the important sense for elderly because hearingincrease the quality of life and increase their safety. Presbycusis is hearing loss associated with age without apparent reason. Elderly is age for 60th or more.

Purpose of this study was to determine the picture of hearing loss in

elderly in the Nursing Home Karya Kasih Medan on 2014. Methods used in this study is descriptive. This research was conducted in the Nursing Home KaryaKasih Medan on September with total sample 75 people. Samples in selected with total sampling. The Statistical Analysis used descriptive statistic with analysis of the frequency distribution.

From the 75 samples of the elderly, elderly obtained with the largest age is in 71-80 years the number of 33 people (44%). Women with the highest number is 45 people (60%), while men (40%). In this study, the highest weight mixed deafness in the right ear as many as 20 people (26.7%) and in the left ear as many as 19 people (25.3%).

Keyword : hearing loss, elderly


(46)

Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti

Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

Oleh :

Novia Yulinda Sari

110100027

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(47)

Gambaran Gangguan Pendengaran pada Lanjut Usia di Panti

Jompo Karya Kasih Medan pada Tahun 2014

Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran

Oleh :

Novia Yulinda Sari

110100027

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(48)

LEMBAR PENGESAHAN MAHASISWA T.A 2014/2015

Nama : NOVIA YULINDA SARI

NIM : 110100027

Judul : Gambaran Gangguan Pendengaran Pada Lanjut Usia di Panti Jompo Karya

Kasih Medan Pada Tahun 2014

Medan, 12 Januari 2015

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH)

NIP. 195402201980111001 Pembimbing

(dr. M. Pahala Hanafi Harahap,Sp.THT-KL)

NIP 197406162009121002

Penguji I

(dr. Meutia Sayuti,Sp.PD)

Penguji II

(dr. Rointan Simanungkalit,Sp.KK (K))


(49)

ABSTRAK

Pendengaran adalah indera yang penting bagi para lanjut usia (lansia) karena pendengaran meningkatkan kualitas hidup serta mempertahankan keamanan dirinya. Presbikusis adalah hilangnya pendengaran yang berhubungan dengan usia tanpa sebab yang jelas. Lansia adalah orang dengan usia 60 tahun atau lebih.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran gangguan pendengaran pada lanjut usia di Panti Karya Kasih Medan pada tahun 2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis deskriptif. Penelitian ini dilakukan di Panti Karya Kasih Medan pada bulan September dengan jumlah sampel sebanyak 74 orang. Sampel dipilih dengan cara total sampling. Analisis statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dengan menggunakan analisis distribusi frekuensi.

Dari 75 sampel lansia, diperoleh lansia dengan umur terbanyak yaitu pada 71-80 tahun dengan jumlah 33 orang (44%). Perempuan dengan jumlah terbanyak yaitu 45 orang (60%), sedangkan laki-laki (40%). Pada penelitian ini didapatkan tuli campur berat yang tertinggi pada telinga kanan sebanyak 20 orang (26,7%) dan pada telinga kiri sebanyak 19 orang (25,3%).


(50)

ABSTRACT

Hearing is the important sense for elderly because hearingincrease the quality of life and increase their safety. Presbycusis is hearing loss associated with age without apparent reason. Elderly is age for 60th or more.

Purpose of this study was to determine the picture of hearing loss in

elderly in the Nursing Home Karya Kasih Medan on 2014. Methods used in this study is descriptive. This research was conducted in the Nursing Home KaryaKasih Medan on September with total sample 75 people. Samples in selected with total sampling. The Statistical Analysis used descriptive statistic with analysis of the frequency distribution.

From the 75 samples of the elderly, elderly obtained with the largest age is in 71-80 years the number of 33 people (44%). Women with the highest number is 45 people (60%), while men (40%). In this study, the highest weight mixed deafness in the right ear as many as 20 people (26.7%) and in the left ear as many as 19 people (25.3%).

Keyword : hearing loss, elderly


(51)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa atas kasih sayang, nikmat, karunia, dan kehendak-Nya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Salawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah menuntun umatnya untuk selalu berpegang dijalan-Nya.

Rasa cinta dan kasih sayang penulis, penulis sampaikan kepada Ayahanda Ir. H. Indra Jaya Tanjung, yang sangat penulis cintai sebagai motivasi terbesar penulis untuk terus berjuang. Ibunda tersayang Hj. Murni Sari Harahap, yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tidak akan pernah terbalas sepenuhnya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulis kepada

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3. Bapak dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL selaku Dosen Pembimbing yang tulus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.

4. Ibu dr. Meutia Sayuti, Sp.PD selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan saran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini. 5. Ibu dr. Rointan Simanungkalit, Sp.KK(K) selaku Dosen Penguji II yang telah

memberikan saran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas jasa-jasanya dalam memberikan bantuan selama perkuliahan.


(52)

7. Saudara-saudari kandung penulis Bang H. Chrisna Agustian,SH,M.Hum, Kak Hj. Shinta Irasia Sari, SE dan Bang H. Yudhi Indrawan, SE atas doa, cinta, kasih sayang dan kebersamaannya selama ini.

8. Sahabat-sahabat penulis Fenti Nofita Sari, M.Luthfi Hasibuan, Naufal Anhari, Fanny Muslim, Ciklawa Damai, Ficka Febriyani yang telah memberikan bantuan yang tak terkira, semoga kita tetap bersama.

9. Senior sekaligus teman dekat penulis dr. Heru Agusman yang banyak memberikan doa, perhatian dan motivasi yang tidak terhingga dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

10. Adik-adik penulis Nurul Hafizha dan Hafizah yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan bermakna bagi perkembangan ilmu kedokteran.

Medan, 17 Desember 2014 Penulis


(53)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ... ii

Abstract ... ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... ... vi

Daftar Tabel ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gangguan Pendengaran ... 4

2.1.1. Definisi Gangguan Pendengaran... 4

... 2.1.2. Klasifikasi Gangguan Pendengaran ... 4


(54)

2.2. Lansia………... ... 8

2.2.1. Definisi Lansia………... 8

2.2.2. Konsep Menua……... 8

2.2.3. Aspek Biologi Penuaan………... 9

2.3. Gangguan Pendengaran pada Lansia………... ... 9

2.3.1. Epidemiologi... 10

2.3.2. Faktor Risiko dan Etiologi... 10

2.3.3. Patofisiologi Klinik... 12

2.3.4. Klasifikasi………... 13

2.3.5. Derajat Presbikusis……… ... 14

2.3.6. Diagnosis……… ... 14

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL .... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 21

3.2. Defenisi Operasional... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24

4.1. Jenis Penelitian... ... 24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... ... 24

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

4.4.1. Data Primer ... 25

4.4.2. Data Sekunder ... 25

4.5. Metode Analisa Data ... 25

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 26


(55)

... 5.2.1.

Karakteristik Individu ... 27

... 5.2.2. Jenis Kelamin ... 27

... 5.2.3. Hasil Analisis Data ... 28

5.3. Pembahasan ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

6.1. Kesimpulan ... 35

6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(56)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

5.1 Tabel Distribusi Frekuensi Menurut Umur ... 27 5.2 Tabel Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin ... 28

5.3 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Jenis Kelamin Dengan

Hasil Audiogram ... 28 5.4 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Kelompok Usia Dengan Hasil Audiogram ... 29 5.5 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Jenis Gangguan

Pendengaran Pada Telinga Kanan Dan Telinga Kiri. ... 29 5.6 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan

Pendengaran Pada Telinga Kanan Dan Telinga Kiri . ... 30 5.7 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan

Pendengaran Dengan Kelompok Usia Pada Telinga Kanan ... 31 5.8 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan

Pendengaran Dengan Kelompok Usia Pada Telinga Kiri ... 32


(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa atas kasih sayang, nikmat, karunia, dan kehendak-Nya karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Salawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya yang telah menuntun umatnya untuk selalu berpegang dijalan-Nya.

Rasa cinta dan kasih sayang penulis, penulis sampaikan kepada Ayahanda Ir. H. Indra Jaya Tanjung, yang sangat penulis cintai sebagai motivasi terbesar penulis untuk terus berjuang. Ibunda tersayang Hj. Murni Sari Harahap, yang selalu mencurahkan kasih sayang, doa, dan dukungan yang tidak akan pernah terbalas sepenuhnya. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua.

Selama melakukan penelitian dan penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis banyak mendapatkan bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tulis kepada

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc. (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

3. Bapak dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL selaku Dosen Pembimbing yang tulus meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diselesaikan.

4. Ibu dr. Meutia Sayuti, Sp.PD selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan saran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini. 5. Ibu dr. Rointan Simanungkalit, Sp.KK(K) selaku Dosen Penguji II yang telah

memberikan saran yang konstruktif dalam penyempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh dosen dan pegawai di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara atas jasa-jasanya dalam memberikan bantuan selama perkuliahan.


(2)

7. Saudara-saudari kandung penulis Bang H. Chrisna Agustian,SH,M.Hum, Kak Hj. Shinta Irasia Sari, SE dan Bang H. Yudhi Indrawan, SE atas doa, cinta, kasih sayang dan kebersamaannya selama ini.

8. Sahabat-sahabat penulis Fenti Nofita Sari, M.Luthfi Hasibuan, Naufal Anhari, Fanny Muslim, Ciklawa Damai, Ficka Febriyani yang telah memberikan bantuan yang tak terkira, semoga kita tetap bersama.

9. Senior sekaligus teman dekat penulis dr. Heru Agusman yang banyak memberikan doa, perhatian dan motivasi yang tidak terhingga dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

10. Adik-adik penulis Nurul Hafizha dan Hafizah yang telah memberikan motivasi dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca dan bermakna bagi perkembangan ilmu kedokteran.

Medan, 17 Desember 2014 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Abstrak ... ... ii

Abstract ... ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... ... vi

Daftar Tabel ... ix

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan Penelitian ... 2

1.3.1. Tujuan Umum ... 2

1.3.2. Tujuan Khusus ... 2

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gangguan Pendengaran ... 4

2.1.1. Definisi Gangguan Pendengaran... 4 ... 2.1.2.


(4)

2.2. Lansia………... ... 8

2.2.1. Definisi Lansia………... 8

2.2.2. Konsep Menua……... 8

2.2.3. Aspek Biologi Penuaan………... 9

2.3. Gangguan Pendengaran pada Lansia………... ... 9

2.3.1. Epidemiologi... 10

2.3.2. Faktor Risiko dan Etiologi... 10

2.3.3. Patofisiologi Klinik... 12

2.3.4. Klasifikasi………... 13

2.3.5. Derajat Presbikusis……… ... 14

2.3.6. Diagnosis……… ... 14

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL .... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 21

3.2. Defenisi Operasional... 21

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 24

4.1. Jenis Penelitian... ... 24

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... ... 24

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 24

4.4. Metode Pengumpulan Data ... 24

4.4.1. Data Primer ... 25

4.4.2. Data Sekunder ... 25

4.5. Metode Analisa Data ... 25

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 26


(5)

... 5.2.1.

Karakteristik Individu ... 27

... 5.2.2. Jenis Kelamin ... 27

... 5.2.3. Hasil Analisis Data ... 28

5.3. Pembahasan ... 33

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 35

6.1. Kesimpulan ... 35

6.2. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

5.1 Tabel Distribusi Frekuensi Menurut Umur ... 27 5.2 Tabel Distribusi Frekuensi Menurut Jenis Kelamin ... 28

5.3 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Jenis Kelamin Dengan

Hasil Audiogram ... 28 5.4 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Kelompok Usia Dengan Hasil Audiogram ... 29 5.5 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Jenis Gangguan

Pendengaran Pada Telinga Kanan Dan Telinga Kiri. ... 29 5.6 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan

Pendengaran Pada Telinga Kanan Dan Telinga Kiri . ... 30 5.7 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan

Pendengaran Dengan Kelompok Usia Pada Telinga Kanan ... 31 5.8 Tabel Distribusi Frekuensi Antara Hasil Audiogram Derajat Gangguan

Pendengaran Dengan Kelompok Usia Pada Telinga Kiri ... 32