Batasan Sengketa Kepailitan Kewenangan Pengadilan Niaga Dalam Sengketa Kepailitan

BAB II SENGKETA KEPAILITAN MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 37 TAHUN 2004

A. Batasan Sengketa Kepailitan

Dunia perdagangan, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sering sekali terjadi peristiwa yang berkaitan dengan utang piutang dan berakhir dengan peristiwa kepailitan. Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang ini. 22 Kepailitan itu sendiri dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit. Mohammad Chaidir Ali berpendapat bahwa: “Kepailitan adalah pembeslahan masal dan pembayaran yang merata serta pembagian yang seadil – adilnya diantara para kreditur dengan dibawah pengawasan pemerintah” Pasal 1 angka 1 di atas secara tegas menyatakan bahwa kepailitan adalah sita umum, bukan sita individual. 23 22 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, Angka 1. 23 Sunarmi,op.cit., hlm. 25-26. Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut di atas, maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas Universitas Sumatera Utara harta kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai utang. 24 Syarat untuk dapat dipailitkan menurut pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU adalah Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun permohonan satu atau lebih debiturnya. 25 Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 26 Di dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 juga dikatakan bahwa “kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”. 27 1. Debitor Sendiri Pihak yang dapat mengajukan Pailit : 2. Seorang atau lebih kreditornya 3. Kejaksaan untuk kepentingan umum 4. Bank Indonesia 5. Badan Pengawas Pasar Modal Bapepam 6. Menteri Keuangan 24 Rahayu Hartini, op.cit., hlm. 72. 25 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 2, ayat 1. 26 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, Angka 3. 27 Ibid., Pasal 1 Angka 2. Universitas Sumatera Utara Pihak yang dapat dinyatakan Pailit : 1. Orang atau badan pribadi 2. Debitor yang telah menikah 3. Badan-badan hukum. 4. Harta warisan Menurut undang – undang No. 37 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 telah diberikan definisi pengertian utang, yaitu: ”kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang dan wajib dipenuhi oleh debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitur” 28 Sehubungan pengertian utang di dalam Undang-undang kepailitan, Menurut Kartini Muljadi pengertian utang adalah setiap kewajiban debitor kepada setiap kreditornya baik untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu 29 Setelah terpenuhnya syarat pailit maka hakim harus memutus pailit sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UUK dan PKPU yaitu debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat di tagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Dan menurut pasal 3 ayat 1 UUK dan PKPU “Putusan atas permohonan pernyataan 28 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 1, ayat 6. 29 Sutan Remy Sjahdeini, HUKUM KEPAILITAN “Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan”, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2010,hlm 89. Universitas Sumatera Utara pailit dan hal-hal lain yang berkaitan danatau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitur.” 30 Apabila salah satu pihak tidak puas dengan putusan pailit tersebut dapat mengambil upaya hukum berupa upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali. Upaya hukum kasasi itu sendiri adalah upaya agar putusan PA dan PTAPTUPTN dibatalkan oleh MA karena telah salah dalam melaksanakan peradilan atau pernyataan tidak sah oleh MA terhadap putusan hakim, karena putusan itu, menyalahi atau tidak sesuai dengan undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan upaya hukum peninjauan kembali adalah meninjau kembali putusan perdata yang telah Permohonan pernyataan pailit tersebut di ajukan kepada ketua pengadilan kemudian panitra mendaftarkan permohonan pernyataan pailit tersebut pada tanggal permohonan bersangkutan di ajukan dan kepada pemodon di berikan tanda terima tertulis yang di tandatangani oleh pejabat yang berwenang, panitra wajib menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit jika tidak sesuai dengan ketentuan. Permohonan pernyataan pailit di sampaikan kepada ketua pengadilan paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan dan dalam jangka waktu paling lambat 3 hari pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit di selenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah di daftarkan. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, Pengadilan dapat menunda penyelenggaraan sidang sampai dengan palilng lambat 25 hari setelah tanggal permohonan di daftarkan. 30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 3, ayat 1. Universitas Sumatera Utara memperoleh kekuatan hukum tetap, karena diketahuinya hal-hal baru yang dulu tidak dapat diketahui oleh hakim, sehingga apabila hal-hal itu diketahuinya maka putusan hakim akan menjadi lain. Setelah putusan pailit di ucapkan dapat saja terjadi dan seringkali para pihak yang ada dalam kepailitan itu bersengketa yang di kenal dengan sengketa kepailitan. Sengketa kepailitan adalah sengketa perdata. Namun dalam UUK dan PKPU batasan tentang sengketa kepailitan itu sendiri tidak di atur secara eksplisit. UUK dan PKPU mengatur mengenai upaya hukum yang dapat di lakukan oleh para pihak terhadap putusan pailit. Sengketa kepailitan merupakan suatu pertikaian atau permasalahan yang terjadi di antara kedua belah pihak yang menyangkut segala sesuatu tentang pailit. Menurut Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa, “Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal – hal lain yang berkaitan danatau diatur dalam undang – undang ini, diputuskan oleh pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor”. 31 Pada Pasal 3 ayat 1 di atas untuk lebih jelasnya yang dimaksud dengan “hal – hal lain” yang berkaitan adalah antara lain actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan,atau perkara dimana debitur, kreditur, kurator atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan kurator terhadap direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. 31 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, Pasal 3, Angka 1. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat 1 UUK dan PKPU membedakan pengertian “ putusan atas permohonan pernyataan pailit” dengan “hal – hal lain”. Dalam penjelasan pasal 3 ayat 1 disebutkan yang di maksud dengan “ hal – hal “ lain adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara di mana Debitur, Kreditur, Kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termaksud gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan menyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahanya. Adapun hukum acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain“ adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaianya Menurut Munir Fuady dalam bukunya Hukum Pailit 1998 Dalam teori dan Praktek, “Actio pauliana adalah upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan debitur tersebut yang dapat merugikan kepentingan para krediturnya”. 32 Tindakan ini diatur dalam Pasal 41 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan “Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan”. 33 32 Fuady Munir, Hukum Pailit dalam teori dan praktek, Bandung: Citra Aditya Bakti,2005 33 Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 37 Tahun 2004, tentang “Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”, pasal 41 ,Angka 1 . Universitas Sumatera Utara Pada Pasal 16 Angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang menyatakan bahwa “Kurator berwenang melaksanakan tugas pengurusan danatau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali”. 34

B. Penyebab Terjadinya Sengketa Kepailitan.