Menelusuri Riwayat Prajurit Kasultanan Yogyakarta
32
Kasultanan Ngayogyakarta yang menjadi perangkat strategis dan taktik
pertahanan kerajaan, serta representasi dari kekuatan politik seorang raja. Selain sebagai pasukan pertahanan dan pengamanan Kraton, pasukan-
pasukan prajurit yang ada dibagi ke dalam kesatuan bregada yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing. Misalnya, terdapat pasukan khusus yang sangat
handal dalam berperang, kemudian selain mengamankan kerajaan, terdapat juga pasukan prajurit yang bertanggung jawab sebagai pengawal raja pada saat
melakukan kegiatan dan tugas-tugas di luar istana, berburu, dan lain-lain. Sebagai pasukan militer kerajaan, sarana dan prasarana prajurit serta
persenjataan yang dimiliki menjadi sangat penting. Persenjataan prajurit terdiri atas beberapa jenis senjata api, serta senjata tradisional, seperti tombak, keris,
panah, pedang dan alat pelindung badan berupa tameng. Selain itu juga beberapa alat musik unen-unen yang dibunyikan sebagai pertanda dimulainya kegiatan
keprajuritan.
8
Namun demikian, pada masa pemerintahan Hamengku Buwana II 1792 – 1811, perubahan yang besar terjadi. Kekuatan asing yang menguasai wilayah
Nusantara bukan lagi kongsi dagang VOC, akan tetapi berada langsung di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
9
Perubahan tersebut juga turut memberikan pengaruh yang tidak sedikit bagi perjalanan sejarah Kraton
Kasultanan Yogyakarta dan seluruh elemen yang terkandung di dalamnya.
8
Tim Penulis, op cit. hal. 8 - 9
9
Tim Penyusun, Sejarah Perkembangan Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta: Tim Penyusun Sejarah Perkembangan
Pemerintahan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1990. Hal. 63.
33
Saat Pemerintah Kolonial Belanda menggantikan kedudukan VOC di Yogyakarta, mereka juga terus berusaha menciptakan persekongkolan untuk
mendapatkan peluang serta melancarkan campur tangannya di dalam pemerintahan kerajaan. Salah satunya, melalui campur tangan Daendels, Sultan
Hamengku Buwana II dipaksa untuk menyerahkan tahtanya kepada putra mahkota. Putra mahkota kemudian bertahta sebagai Hamengku Buwana III 1810-
1811. Hamengku Buwana III juga dikenal sebagai Sultan Raja.
10
Sultan Hamengku Buwana II sendiri masih diperbolehkan tinggal di dalam Kraton meskipun tidak lagi memerintah. Dengan demikian ada dua raja di dalam
istana, yaitu Sultan Raja dan Sultan Sepuh. Selain itu, meskipun resminya sudah mengundurkan diri, tetapi Sultan Sepuh masih memiliki banyak pengaruh.
Melalui pengaruhnya, Sultan Sepuh berhasil merebut kembali tahta kerajaan dan berkuasa.
Pada saat yang bersamaan, pemerintah Inggris telah berhasil menguasai pulau Jawa. Kebijakan Kraton yang menentang kekuasaan Inggris, membawa
akibat pada serangan pasukan Inggris ke dalam kerajaan. Pihak Kraton mengalami kekalahan. Hamengku Buwana II diasingkan dan putra mahkota atau
Hamengku Buwana III kembali naik tahta 1812-1814. Selain itu, Inggris juga menyita harta kekayaan Kraton.
11
10
G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1994. Hal. 16.
11
Sutrisno Kutoyo, dkk Sejarah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Pusat Direktorat
dan Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1997. Hal 118-119. Raja
34
Tidak hanya itu, Inggris juga melakukan pengurangan jumlah prajurit Kraton. Sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang ditandatangani Hamengku
Buwono III dengan Rafless, prajurit Kraton tidak boleh lagi berada dalam format sebagai angkatan perang dan pasukan militer yang kuat sebagaimana sebelumnya.
Kualitas kesatuan prajurit Kraton itu diperlemah sehingga tidak mungkin lagi menjadi kekuatan militer, dan selanjutnya fungsi prajurit hanya sebatas pengawal
Sultan dan penjaga Kraton. Tidak berhenti sampai di situ saja, para prajurit ini juga mendapatkan pengawasan yang ketat dari pasukan Inggris.
12
Ketentuan tersebut juga masih berlaku ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya atas wilayah Nusantara ke tangan Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda tahun 1816. Praktek sewa tanah yang mulai diberlakukan Inggris pada masa pemerintahan Hamengku Buwana IV 1814-1822 masih tetap
dipertahankan. Akan tetapi, karena pihak swastalah yang lebih diuntungkan, maka kemudian pada tahun 1823, larangan atas usaha tersebut mulai diberlakukan.
Surakarta yang juga dianggap bersalah mendapatkan hukuman yang sama dari pihak Inggris. Kedua kerajaan tersebut diharuskan menyerahkan tanah-tanah
kerajaan yang kemudian disebut sebagai Karesidenan Kedu, dan sebagian dari Karesidenan Semarang, Rembang, dan Surabaya. Menurut ketentuan-ketentuan
lain sebagaimana tertuang dalam perjanjian yang tertanggal 1 Agustus 1812, raja Surakarta dan Yogyakarta berkewajiban mendirikan pos-pos polisi yang
permanen dan mengadili kawula Gubernur yang berdasar hukum yang benar. Kedua orang raja itu harus mengakui kekuasaan tertinggi orang Eropa atas Pulau
Jawa, menyerahkan hutan-hutan jati, menyerahkan sarang burung, menyerahkan pasar dan rumah-rumah cukai, menghilangkan semua hukuman siksaan dan
menurut nasehat-nasehat. Perlu dicatat bahwa dalam hal penyerahan rumah-rumah cukai, raja mendapat ganti rugi berupa uang. Maka sejak itu kekuasaan tertinggi
Eropa di atas kerajaan Surakarta dan Yogyakarta dikokohkan. Kalau dua kerajaan Jawa itu melanggar perjanjian yang ada, dapat ditindak dengan kekuatan senjata.
12
Tim Penulis, op. cit. hal 10.
35
Kebijakan ini yang kemudian menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya Perang Diponegoro atau Perang Jawa 1825-1830.
Meskipun kemenangan ada di pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, namun perang yang berlangsung selama 5 tahun tersebut membawa ketakutan
yang besar bagi pihak Belanda. Ketakutan akan munculnya pemberontakan serupa, berakibat pada berkurangnya sebagian besar wilayah kekuasaan
Kasultanan. Berbagai tekanan politik yang terjadi di dalam kerajaan tersebut, juga turut
memberi dampak dalam bidang keprajuritan. Berdasarkan kesepakatan dengan pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, terjadi pengurangan prajurit secara
besar-besaran. Kesatuan prajurit Kraton yang awalnya berjumlah 26, dipangkas dan hanya tersisa setengahnya saja. Pada setiap kesatuan diperkirakan terjadi
pelucutan kekuatan bersenjata sampai 75, sehingga hanya menyisakan sekitar 1625-3250 dengan asumsi setiap kesatuan terdiri dari 125-250 orang.
13
13
Alamsyah, op. cit., hal. 24. Kesatuan prajurit yang berjumlah 26 tersebut terdiri dari Kesatuan Prajurit Mantri Lebet, Mantri Panilih, Ketanggel,
Sumatmaja, Blambangan, Bugis, Daeng, Demang, Jagakarya, Nyutra, Mandhung, Miji Pranakan, Anirmala, Suranggama, Kawandasa, dan Wirabraja. Kemudian
prajurit di Kadipaten yang terdiri dari Prawiratama, Jayengastra, Langenastra, Pancasura dan Surakarsa. Selanjutnya adalah Prajurit Pangrembe yaitu, Suranata,
Sesela, Juru Sabin, Ngasrama, dan Arahan. Kemudian berdasarkan kesepakatan demiliterasi dengan pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pada masa
pemerintahan Hamengku Buwana V terjadi pengurangan pasukan prajurit sehingga hanya tersisa 13 kesatuan yang terdiri atas, Mantri LebetMantri Jero,
KetanggelKetanggung, Nyutra, Miji Pranakan, Prawitratama, Patangpuluh, Jagakarya, Daeng, Wirabraja, Suranata, Bugis, Surakarsa, dan Arahan. Dalam
buku Prajurit Kraton Yogyakarta Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung di
36
Tidak hanya berkurang dalam hal jumlah, fungsi dan pemaknaan prajurit Kraton pun ikut mengalami perubahan. Dalam fungsinya, prajurit Kraton bukan
lagi prajurit perang, tetapi lebih merupakan prajurit pasif tidak berperang yang aktivitasnya hanya sebagai obyek simbol politis dalam beberapa upacara
seremonial, tugas pengawalan, dan penjagaan benteng Kraton.
14
Hal ini terus berlangsung sampai masa pemerintahan sultan selanjutnya.
Pada masa pemerintahan GRM Dorojatun yang bergelar Sultan Hamengku Buwana IX 1940-1988, perubahan dalam bidang keprajuritan kembali terjadi.
Sebelum dilantik, GRM Dorojatun sudah dihadapkan pada tiga pokok masalah yang menjadi kebuntuan dalam perundingan dengan Gubernur Jendral Belanda
yang saat itu dijabat oleh Dr. Lucian Adam. Ketiga pokok permasalahan tersebut yaitu:
1. Jabatan Patih berdasarkan keinginan Belanda yaitu mengemban Dwi Kesetiaan yang dalam tugasnya memiliki dua tanggung jawab yaitu,
kepada pihak Belanda dan Kesultanan Yogyakarta, yang digambarkan dalam topi yang digunakan Patih. Dua lambang menjadi satu, yaitu
lambang Singa dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, dan lambang Lar Praba sayap bersinar milik Kasultanan. Hal ini tidak disepakati
oleh GRM Dorojatun karena alasan politis bahwa akan sangat sulit mendapatkan loyalitas dari dua majikan dalam satu jabatan.
Dalamnya, ditambahkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII dan VIII, jumlah pasukan tinggal 12 bregada.
14
Alamsyah, op. cit., hal. 25.
37
2. Dewan Penasihat menurut Belanda adalah sepenuhnya atas persetujuan pihak Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jendral Belanda dan tidak
lagi mempunyai kebebasan bicara, walaupun pada prakteknya Sultan diberi kebebasan untuk mengajukkan separuh dari jumlah anggota
dewan dari pihak Kasultanan Yogyakarta. GRM Dorojatun tidak menyetujui kesepakatan ini karena monopoli Belanda terhadap
keputusan Dewan Penasihat mengakibatkan kebuntuan aspirasi rakyat. 3. Prajurit Kraton menurut keinginan Belanda adalah legiun di bawah
komand KNIL Koninklijk Nederlands Indisch LegereTentara Kerajaan Hindia Belanda yang tidak dapat diperintah oleh Kasultanan
Yogyakarta, akan tetapi di lain sisi Kasultanan Yogyakarta bertanggung jawab atas perekrutan dan gaji prajurit kraton. Dalam hal
ini GRM Dorojatun menyetujui asalkan langsung berada di bawah komandonya.
Perundingan tersebut berjalan sangat alot dan berlangsung sekitar 4 bulan. Kesepakatan atas ketiga permasalahan tersebut akhirnya tercapai dengan
pertimbangan-pertimbangan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Untuk permasalahan Patih disepakati sesuai dengan permintaan pihak Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dua permintaan lain yang berhubungan dengan Dewan Penasihat dan Prajurit Kraton Yogyakarta berhasil digagalkan.
38
Kesepakatan ini secara resmi dicapai pada tanggal 18 Maret 1940 bersamaan dengan penobatan GRM Dorojatun sebagai Sultan ke IX.
15
Dalam dua tahun masa kepemimpinanya, Jepang datang ke wilayah Nusantara dan berhasil menaklukan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Masa
pendudukan Jepang ini berlangsung sekitar 3 tahun 1942-1945. Namun demikian dampak yang ditimbulkan sangat besar dan mencakup berbagai aspek
kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, dan sebagainya.
Dampak yang timbul di wilayah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta sendiri juga tidak sedikit. Berbagai macam perubahan, efisiensi, dan penghematan
dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengatasi bencana kekurangan pangan yang timbul pada masa pendudukan Jepang itu. Berbagai macam kebiasaan dan
formalitas disederhanakan, salah satunya pelaksanaan upacara dan ritus yang mahal dan rumit tanpa mengurangi makna kultural, keagamaan dan nilai
magisnya. Selain itu, fungsi patih juga dihapuskan dan prajurit Kraton dibubarkan sesuai dengan perjanjian dengan pihak Jepang yang tidak memperbolehkan
adanya prajurit di dalam Kraton Kasultanan Yogyakarta.
16
Pembubaran ini juga dilakukan Sultan Hamengku Buwana IX untuk menghindarkan keterlibatan para
prajurit dalam Perang Asia Timur Raya. Masa vakum dalam bidang keprajuritan terus berlangsung hingga masa
kemerdekaan, bahkan beberapa tahun sesudahnya. Namun kemudian pada tanggal
15
Alamsyah, op. cit, hal. 27-28
16
Ibid. hal. 28
39
7 Oktober 1956, prajurit Kraton kembali dimunculkan atas prakarsa Camat Mantrijero dan KRT. Brajanegara serta disetujui oleh Sultan Hamengku Buwana
IX. Satu bregada atau kompi prajurit Daeng turut dalam acara karnaval untuk menyemarakkan HUT Kota Yogyakarta yang ke-200. Hal itu memicu munculnya
gagasan akan revitalisasi. Selanjutnya, atas prakarsa kerabat Sultan warga RK Ngasem dan seorang putera Hamengku Buwana IX yaitu BRM Harjuno Dalpito
sekarang Sri Sultan Hamengku Buwana X, RM. Mudjanat Tistomo, serta RM. Tirun Marwito, revitalisasi prajurit kraton diadakan.
Pada awal revitalisasi, prajurit Kraton hanya terdiri dari Kesatuan Wirabraja, Daeng, Nyutra, dan Ketanggung. Namun demikian revitalisasi terus
berlangsung hingga kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwana IX. Jumlah total anggota prajurit pada tahun 1994 sekitar 700-an orang dengan perincian
sebagai berikut: Prajurit Wirabraja 86 orang, Prajurit Daeng 85 orang, Prajurit Patangpuluh 83 orang, Prajurit Jagakarya 85 orang, Prajurit Prawiratama 81
orang, Prajurit Nyutra 64 orang, Prajurit Ketanggung 83 orang, Prajurit gabungan Mantrijero-Langenastra 83 orang, Prajurit Bugis 65 orang dan Prajurit Surakarsa
55 orang.
17
Revitalisasi tersebut juga dilakukan untuk melengkapi fungsi berbagai upacara adat dan seremonial serta atraksi budaya bagi kepentingan pariwisata
budaya. Prajurit Kraton dilibatkan dan berfungsi pada upacara Gerebeg Syawal
17
Alamsyah, op. cit, hal. 30.
40
Idul Fitri, Gerebeg Besar Idul Adha, dan Gerebeg Mulud Rabiulawal serta acara-acara budaya lainnya.
18
Saat ini, bregada atau kesatuan prajurit yang masih ada berjumlah sepuluh, antara lain prajurit Wirabraja, Jagakarya, Daeng, Patangputuh,
Prawiratama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis dan Surakarsa. Kesatuan prajurit tersebut berada di bawah Pengageng Tepas Keprajuritan.
19
Saat Upacara Gerebeg atau acara adat dan seremonial Kraton yang lain sedang berlangsung,
bregada-bregada Prajurit ini selalu tampil dengan urutan dan formasi tertentu sesuai peran dan fungsi masing-masing. Sama halnya dengan kesatuan Prajurit
Prawiratama.