Proses Perkembangan Industri Pariwisata Terutama Usaha Jasa Penginapan di Kampung Prawirataman

wisata di Kota Yogyakarta. Jadi secara fisik, dapat dikatakan bahwa semua modal yang dibutuhkan sudah tersedia. Kemudian pada tahun 1968, salah satu juragan batik di Prawirataman mengalihfungsikan rumahnya dan mulai merintis usaha penginapan dengan menyewakan kamar-kamarnya kepada wisatawan yang datang. Usaha tersebut dipandang menguntungkan, dan karena jumlah wisatawan yang datang semakin banyak namun fasilitas penginapan yang ada masih terlalu sedikit, maka kemudian sejumlah orang lainnya yang berasal dari kelima trah keluarga besar Prawirataman mulai ikut mengembangkan usaha yang sama. Kesempatan yang baik untuk mengembangkan usaha pariwisata dan lebih spesifiknya usaha jasa penginapan tersebut juga diungkapkan oleh Bapak H.R. Suhartono yang merupakan salah satu keturunan dari trah keluarga tersebut, sebagai berikut: “Pada waktu pemerintahan Orde BaruSoeharto sebagai Presiden RI ke-2, mempunyai program-program pemerintah dibidang kepariwisataan, digalakkan karena bidang kepariwisataan bisa mendatangkan devisa yang besar. Jadi pada waktu kami mulai merintis usaha jasa perhotelan itu, dipermudah mencari ijin-ijin pariwisata.” 6 Berdasarkan pernyataan Bapak Suhartono tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat Prawirataman juga memandang bahwa dukungan yang diberikan pemerintah dalam bidang kepariwisataan memang besar. Sebagaimana diuraikan oleh Selo Soemardjan bahwa pariwisata terutama pariwisata internasional termasuk dalam program pembangunan nasional Indonesia sebagai salah satu 6 Wawancara dengan Bapak H.R Suhartono, tanggal 19 Juli 2013, di Prawirataman. sektor pembangunan ekonomi. Dari pariwisata diharapkan dapat diperoleh devisa, baik dari pengeluaran para wisatawan di negara kita, maupun sebagai penanaman modal asing dalam industri pariwisata. Secara garis besar inti dari peranan pariwisata dalam pembangunan negara dapat dikategorikan menjadi tiga segi, yaitu segi ekonomis sebagai sumber devisa dan pajak-pajak, segi sosial yang berupa penciptaan lapangan kerja, dan segi kebudayaan yang memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada wisatawan asing yang datang berkunjung. 7 Oleh karena itu perkembangan usaha-usaha pariwisata di Indonesia dan Yogyakarta pada khususnya mendapatkan perhatian dan dukungan penuh dari pemerintah. Keikutsertaan daerah Prawirataman dalam industri pariwisata ini ditandai dengan banyaknya penginapan yang bersifat homestay atau guest house di daerah tersebut. Sebagian besar dari penginapan tersebut adalah milik perorangan yang berskala kecil sehingga banyak yang belum terdaftar dalam statistik pemerintah. 8 Namun demikian, usaha jasa penginapan tersebut terus berkembang secara luas. Potensi dalam bidang kepariwisataan yang dipandang sangat potensial membukakan jalan baru bagi para mantan pengusaha batik di Prawirataman serta kerabat keluarga dari kelima trah Prawirataman yang tinggal di daerah lain, misalnya di Dagen, dan Taman Siswa. Sehingga kemudian mereka juga turut mengembangkan usaha jasa penginapan di daerah masing-masing. 7 Gatut Murniatmo dan Tshadi, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Budaya daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Hal 78-78 8 Chiyo Inui Kawamura, op. cit. hal. 107 Dengan demikian, faktor-faktor yang mendorong perkembangan usaha jasa penginapan di daerah Prawirataman setelah usaha batiknya mengalami kemerosotan tidak hanya datang dari kondisi pengusaha batik sendiri, akan tetapi juga turut didukung oleh kebijakan pemerintah sehubungan dengan pembangunan pariwisata. Usaha jasa penginapan di daerah Prawirataman yang pada mulanya diawali oleh trah keluarga besar mantan pengusaha batik, berangsur-angsur diikuti banyak kalangan dan berkembang luas sehingga pada masa kini Kampung Prawirataman dikenal sebagai kampung turis.

B. Dampak Ekonomi dari Perubahan di Prawirataman

Dalam kurun waktu 1920 – 1975, masyarakat Prawirataman telah mengalami berbagai perubahan bidang perekonomian. Kelompok masyarakat yang pada awalnya merupakan abdi dalem keprajuritan Kraton yang mengembangkan usaha batik untuk memenuhi kebutuhan batik di kalangan istana, kemudian berkembang menjadi komoditi dagang dengan pangsa pasar yang lebih luas, mengalami masa kejayaan dalam bidangnya pada tahun 1920-an, dan sempat mengalami kemunduran usaha pada tahun 1930-an karena depresi ekonomi yang melanda dunia, namun pada akhirnya berhasil meraih kesuksesannya kembali pada tahun 1950-an. Sekitar sepuluh tahun kemudian, industri batik tersebut kembali collapse yang salah satu penyebabnya adalah terjadinya ekspansi dan perkembangan batik printing. Berbagai macam potensi kegiatan perekonomian yang baru coba dikembangkan, misalnya peternakan ayam, rumah kos-kosan, galeri lukisan batik, dll. Namun sekitar tahun 1968, salah seorang juragan batik membuka penginapan untuk wisatawan. Usaha baru tersebut mendapatkan sambutan yang baik sehingga kemudian pada tahun 1970-an, usaha penginapan- penginapan yang lain mulai bermunculan. Pada saat yang bersamaan, pemerintah sedang gencar-gencarnya menggalakkan program pariwisata sebagai penghasil devisa negara, sehingga usaha penginapan di daerah Prawirataman juga ikut berkembang dan lambat laun menjadi kegiatan perekonomian yang utama. Dari segi ekonomi, kegiatan perekonomian utama di daerah Prawirataman itu telah mengalami suatu perubahan, yaitu dari industri sekunder yang memproduksi batik menjadi industri tersier yang menyediakan jasa terutama dalam bidang pariwisata. Perubahan tersebut praktis membawa pengaruh pada cara hidup warga masyarakat setempat, yang secara pasti ditunjukkan dengan alih profesi para juragan batik menjadi pengusaha penginapan, guesthouse atau homestay dengan memfungsikan rumahnya sebagai tempat penginapan. Selanjutnya, perubahan dan alih profesi yang dilakukan oleh para juragan batik tersebut juga akan menimbulkan konsekuensi dan pengaruh terhadap pola kehidupan masyarakat Prawirataman pada umumnya. Alih profesi yang dilakukan oleh juragan batik tersebut kemudian diikuti oleh beberapa perubahan yang lain, antara lain dalam bidang ketenagakerjaan. Sebagaimana telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya bahwa pada saat Prawirataman menjadi sentra industri batik, masyarakat yang tinggal di di Prawirataman, dan lingkungan sekitarnya bahkan di daerah pedesaan juga turut terlibat sebagai tenaga kerja, baik yang tetap ataupun musiman borongan. Dan kemudian ketika industri tersebut berubah menjadi penginapan, tidak semua tenaga kerjanya mendapatkan keuntungan yang sama sebagaimana dirasakan oleh para juragan batik. Akibat yang paling dirasakan dari sikap para juragan batik tersebut adalah timbulnya pengangguran. Memang ada beberapa dari mantan perajin batik yang kemudian juga ikut beralih menekuni bidang jasa penginapan di bawah juragan yang sama. Bahkan agar dapat mendukung kelancaran usahanya, ada juragan batik yang memberikan kesempatan kepada para bekas perajin batik tersebut untuk belajar bahasa asing, terutama Bahasa Inggris. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan pelayanan yang baik kepada tamu-tamu asing yang menginap. 9 Namun bagi sebagian dari perajin batik yang kurang beruntung, mereka mulai menekuni bidang pekerjaan yang lain, misalnya sebagai tukang becak, buruh bangunan, dan lain sebagainya. Perkembangan usaha jasa penginapan pada khususnya dan pariwisata pada umumnya, juga merupakan faktor pendorong berubahnya pola mata pencaharian penduduk. Hal itu berjalan beriringan dengan perubahan lingkungan kegiatan perekonomian di daerah Prawirataman sendiri. Maksudnya, sejalan dengan berkembangnya usaha jasa penginapan di daerah itu, tumbuh pula berbagai usaha penunjang pariwisata lainnya, antara lain restoran dan rumah makan, money changer, tempat penyewaan moda transportasi, biro perjalanan wisata, toko 9 Wawancara dengan Bapak Heriyadi Ayik, 54 tahun, tanggal 17 Juli 2013, dan Bapak Suprapto, 65 tahun, tanggal 13 Juli 2013, di Prawirataman. kerajinan tangan dan suvenir, toko yang menjual barang keperluan pribadi, dan lain sebagainya. Namun demikian, pemilik usaha-usaha tersebut tidak semuanya berasal dari Kampung Prawirataman, walaupun tanah dan bangunan yang mereka tempati disewa dari orang setempat. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan situasi ketika usaha batik sedang sangat berkembang. Pada masa kejayaan industri batik, kegiatan usaha batik merupakan bisnis rumah tangga yang dimiliki dan dijalankan oleh penduduk Prawirataman sendiri, meskipun tenaga kerjanya berasal dari berbagai daerah. Sedangkan yang terjadi kemudian terutama pada saat usaha penginapan berkembang, para pengusaha dari luar Prawirataman datang dan membuka suatu bisnis tertentu yang berhubungan dengan kegiatan kepariwisataan dengan menyewa tanah dan bangunan dari mantan pengusaha batik dan penduduk setempat. Perubahan pada lingkungan kegiatan perekonomian tersebut merupakan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Artinya bukan hanya pemilik usaha penunjang pariwisata yang mendapatkan keuntungan, akan tetapi juga sebagian anggota masyarakat di Prawirataman karena mereka dapat menyewakan tanah kosong atau bangunan rumahnya kepada para pengusaha tersebut, sehingga secara teratur mendapatkan uang sewa dari pihak penyewa. Selain itu, sebagian dari penduduk Prawirataman yang letak rumahnya agak masuk ke dalam dan tidak berada di sepanjang utama atau Jalan Prawirataman menjalankan usaha kos-kosan dan kontrakan. Kamar-kamar kosong di rumah mereka disewakan kepada para karyawan yang bekerja di guest house,