Usaha Batik di Yogyakarta dan Daerah Prawirataman Tahun 1920-an

56 buruh batik atau pengorganisir tenaga buruh batik, bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjadi bangkrut dan menghentikan kegiatan usahanya. Pada tahun 1927, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan Pusat Penelitian Batik di Yogyakarta. Badan ini melakukan penelitian mengenai proses produksi batik dengan tujuan untuk meningkatkan mutu dan kualitas batik, sehingga kemudian mampu bersaing dan memperluas pasaran batik baik di dalam ataupun di luar negeri. Selain itu, fasilitas kredit juga diberikan oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada para pengusaha batik. 13 Pada tahun yang sama, 1927, P. de Kat Angelino melakukan penelitian dengan menghitung kembali jumlah perusahaan batik di kota Yogyakarta dan desa-desa terdekat dan di Kota Gede. Berdasarkan penelitian tersebut, tercatat ada 169 perusahaan, yang 20 diantaranya merupakan tempat kerja milik orang Cina. 14 Rincian dari pencatatan tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2. Jumlah Perusahaan Batik Di Yogyakarta dan Sekitarnya Tahun 1927 Nama Kampung Jumlah Perusahaan Kauman 26 Prawirataman 10 Karangkajen 14 Brantakusuman 5 Mantrijeron 11 Tugu 32 Tempat lain di kota 57 Kota Gede Yogyakarta 11 Kota Gede Sala 3 Jumlah 169 Sumber: Abdurrachman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta 1880 – 1930: Sejarah Perkembangan Sosial, Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000. Hal. 39. 13 Ibid. 14 Abdurrachman Surjomihardjo, loc. cit, hal. 39 57 Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa Kampung Prawirataman sendiri telah menjadi salah satu sentra industri batik pada tahun 1927, dan sudah terdapat 10 perusahaan batik di daerah tersebut. Hasil laporan tersebut menjadi semacam bukti bahwa kegiatan usaha batik yang pada awalnya dipelopori oleh kelompok kekerabatan, dan dikerjakan sebagai pekerjaan sambilan bagi para abdi dalem, telah berkembang menjadi industri yang juga mampu memberikan penghasilan bagi para masyarakat sekitarnya. Namun demikian, maraknya impor bahan baku pembuatan batik yang dilakukan oleh pengusaha batik, secara tidak langsung meletakkan keberadaan industri batik di Yogyakarta pada titik ketergantungan pada situasi perekonomian dunia. Dalam artian bahwa ketika terjadi suatu kegoncangan dan perubahan situasi di luar negeri, juga akan turut memberikan dampak pada keberlangsungan industri batik di dalam negeri. Jadi ketika terjadi krisis ekonomi dunia pada sekitar tahun 1930, impor bahan-bahan baku pembuatan batik menjadi turun drastis sehingga banyak pengusaha batik yang terpaksa gulung tikar dan menghentikan kegiatan usahanya. Sebagaimana hasil penelitian P. de Kat Angelino tentang industri batik di wilayah Indonesia. P. de Kat Angelino mengindikasikan bahwa hal yang menjadi faktor penyebab bangkrutnya perusahaan batik di wilayah Indonesia pada umumnya adalah ketidakmampuan para pengusaha batik membayar hutang kepada pedagang-pedagang Cina dan Arab yang ditunjuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai pedagang perantara. Meskipun demikian, masih ada beberapa pengusaha batik di Yogyakarta yang tetap dapat bertahan dan menjadi 58 pedagang “tangan pertama” dalam penjualan kain-kain batik karena memiliki ketersediaan modal yang kuat. 15

C. Pasca Depresi Ekonomi, Proklamasi dan Awal Kebangkitan Kembali Usaha Batik

Depresi ekonomi yang melanda dunia turut berimbas besar pada industri batik di Yogyakarta. Pasca krisis tersebut, Jepang mulai memasukkan produk morinya ke pasaran Indonesia melalui sistem dumping. 16 Akibatnya, Pemerintah Kolonial Belanda mengalami kesulitan dalam membendung pesatnya produk Jepang tersebut, sehingga kemudian pada tanggal 1 Maret 1934, Pemerintah Kolonial Belanda mulai memberlakukan Undang-undang Contingenteering yang membatasi masuknya mori impor dari Jepang. Harga kain mori melambung sangat tinggi sehingga bahan-bahan baku pembuatan batik menjadi sulit didapatkan. Keadaan ini semakin memperburuk kondisi industri batik di Yogyakarta. 17 15 Siska Narulita, op. cit, hal. 27 16 Sistem dumping merupakan suatu strategi pemasaran dimana suatu negara eksportir menjual barangnya lebih murah daripada di dalam negeri bahkan lebih murah daripada biaya produksinya sendiri. Hal ini dilakukan untuk memenuhi target pemasaran, atau untuk menguasai pangsa pasar atau kawasan tertentu di luar negeri. Sistem ini diciptakan untuk menciptakan ketergantunan akan suatu produk, sehingga kemudian ketika suatu negara sudah sangat tergantung pada produk tersebut, maka negara produsen akan mulai melakukan berbagai trik politik yang pada akhirnya menguntungkan negaranya. Jepang merupakan salah satu pencetus politik dumping ini, dan politik dumping tersebut merupakan salah satu bagian dari politik penjajahan Jepang di Asia. 17 Ibid., hal. 29 59 Diberlakukannya peraturan dalam Undang-undang Contingenteering tersebut tidak disambut secara antusias oleh para pengusaha batik di Yogyakarta. Para pengusaha batik tersebut merasa bahwa mereka lah yang terancam mengalami kerugian sangat besar akibat perubahan kualitas kain yang digunakan. Oleh karena itu, aksi protes mulai dilancarkan. Pertemuan demi pertemuan diadakan baik dari delegasi Jepang, Pemerintah Kolonial Belanda dan perwakilan dari pengusaha batik. Sebagai jawabannya, didirikanlah suatu organisasai sebagai wadah dan alat perjuangan yang dinamakan “Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera PPBBP.” 18 Pada mulanya jumlah anggota koperasi batik PPBBP terdiri dari 74 pengusaha batik, dan seiring berjalannya waktu anggotanya mulai betambah banyak dan diikuti dengan pendirian koperasi sejenis di berbagai daerah yang lain, seperti Solo, Cirebon, dll. Tujuan didirikannya batik PPBBP antara lain adalah untuk mendapatkan bahan baku batik, baik kain mori ataupun bahan pewarna batik tanpa melalui perantara, mendirikan badan kredit untuk menolong dan melindungi anggotanya dari jeratan lintah darat, serta untuk mencari pemasaran batik dan penjualan bersama. Namun demikian, kendala yang ditemui koperasi batik PPBBP dalam praktek dan pelaksanaannya masih banyak, salah satunya dalam hal harga, 18 Ibid. hal. 32. Organisasi Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera tersebut berjiwa koperasi dan didasarkan pada Undang-undang No. 911927 yaitu Reglement Voor de Oprichting Van Inlandse Cooperative Peraturan Pendirian Perkumpulan Koperasi Bumiputera. Pelopor berdirinya koperasi PPBBP ini antara lain, M. Djajengkarso, H. Bilal, M. Mangunprawira, Zarkasi, H. Abubakar, Saebani, Ronosentiko, ramelan, H. Muchadi, H. Romowiruno dan M. Ng. Suraprawira. M. Djajengkarso dan M. Mangunprawira kemudian diangkat sebagai Ketua I dan II. 60 pedagang Cina menjual bahan baku batik dengan lebih murah daripada koperasi. Kemudian keharusan membeli secara kontan di koperasi, padahal selama ini para pengusaha batik tersebut melakukan pembelian secara kredit melalui pedagang Cina. Sehingga pembelian melalui pedagang Cina masih lebih disukai, dan hal ini berdampak pada kurang lancarnya pertumbuhan koperasi batik PPBBP itu. 19 Meskipun demikian, koperasi batik PPBBP ini masih tetap bertahan. Pada waktu pemerintah militer Jepang masuk dan menduduki wilayah Jawa pada tahun 1942, perkembangan koperasi batik PPBBP ini semakin memburuk dan mengalami berbagai kemunduran karena Jepang membekukan seluruh kegiatan koperasi, dan menganjurkan jenis koperasi yang baru yang disebut Kumiai. Namun sayangnya koperasi ini hanya merupakan alat bagi pemerintah militer Jepang untuk mengumpulkan hasil-hasil produksi rakyat bagi pemenuhan kebutuhan logistik mereka. 20 Kekurangan bahan baku batik juga berlangsung selama masa perjuangan dan revolusi. Berbagai usaha dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan usaha batik. Salah satunya dengan menyembunyikan kain batik setengah jadi. Selain itu, ada pula penjual batik yang menjual kain batik bekas yang dibatik ulang dan dikenal dengan sebutan batik lawasansengguhan. 21 19 Ibid., hal 34 - 36 20 Ibid., hal. 37. 21 Chiyo Inui Kawamura, op. Cit. Hal. 49 - 50. Sebutan itu berasal dari kata sengguh dan maksudnya batik yang disengguhke dalam Bahasa Jawa. Artinya sama dengan batik yang dianyarke yang dalam Bahasa Jawa bermakna diperbaharui. 61 Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia perubahan kembali terjadi. Proklamasi Kemerdekaan tersebut secara politis membawa banyak dampak positif dalam berbagai bidang, termasuk dalam sektor ekonomi dan perkembangan industri batik. Pemerintah berupaya untuk menciptakan sistem perekonomian yang dimaksudkan untuk menumbuhkan nasionalisme ekonomi. Sehingga kebijakan yang kemudian muncul lebih mengarah kepada pembangunan perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga turut memberikan dukungan dalam perkembangan usaha perkoperasian. Namun demikian agresi militer yang dilancarkan Pemerintah Kolonial Belanda menyulitkan perkembangan gerakan koperasi tersebut. Terlebih lagi dengan dilakukannya blokade ekonomi oleh Pemerintah Kolonial Belanda, kesulitan untuk mendapatkan bahan baku pembuatan batik menjadi semakin meningkat. Melihat situasi yang demikian, semangat dan antusiasme berkoperasi muncul kembali. Koperasi-koperasi kemudian mengambil peran sebagai distributor barang-barang kebutuhan rakyat, termasuk koperasi batik PPBBP yang ikut berjuang untuk mendatangkan kain mori dari luar negeri. Besarnya antusiasme dan semangat perjuangan koperasi batik PPBBP itu juga diikuti dengan perubahan namanya karena nama Bumi Putera tidak sesuai lagi dengan semangat dan jiwa nasionalisme Indonesia yang sedang berkobar pada saat itu. Sebagai gantinya kemudian didirikan Persatuan Pengusaha batik Indonesia atau PPBI. 22 22 Ibid., hal. 39