71
diperhitungkan  sesuai  dengan  jumlah  helai  kain  yang  telah  diselesaikan,  serta mengambil  bahan  lagi  untuk  dikerjakan  di  rumah.  Hasil  pekerjaan  dari  para
pekerja sambilan ini biasanya masih berupa batik yang setengah jadi. Pada  tahap  selanjutnya,  yaitu  penyelesaian  atau
finishing seperti pemberian  warna  dan  proses  menghilangkan  lilin  yang  melekat  pada  kain  batik
dengan cara mencelupkannya ke dalam air panas secara berulang-ulang, biasanya dikerjakan  oleh  para  pekerja  tetap  yang  bekerja  di  rumah  pengusaha  batik.
Dengan  demikian,  proses  produksi  batik  tradisional  yang  rumit  dan  memakan waktu cukup lama itu dilakukan melalui kerjasama antara para pengusaha dengan
pekerja tetapnya serta pekerja sambilan dari daerah pedesaan yang bekerja dengan sistem kontrak.
38
Kemudian  pada  tahap  pemasaran  dan  distribusinya,  para  pengusaha  batik tersebut  melakukannya  dengan  berbagai macam cara.  Baik dengan menjualnya
secara langsung  kepada konsumen  yang  datang  ke  rumah,  menjual  produknya melalui  koperasi-koperasi  primer,  menjual  atau  menitipkannya  kepada  toko-toko
atau  pedagang  di  pasar, serta  memasarkan  dan menjual  produknya ke  daerah- daerah  lain, baik  di  Jawa  ataupun  di  luar  Jawa  seperti  Bali,  Sumatera,  dan
Kalimantan,  baik  dikirim  langsung kepada  pemesan ataupun  melalui  pedagang perantara.  Sejumlah  kecil  pengusaha  juga  mempunyai  pasar  di  luar  negeri,
terutama di Belanda.
39
38
Ibid. Hal. 70.
39
Ibid. hal 72.
72
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, daerah  Prawirataman  menjadi  salah  satu  sentra  industri  batik  yang  cukup
penting  di  Yogyakarta.  Kegiatan  para  juragan  atau  pengusaha  batik  di  daerah Prawirataman tersebut juga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan
usaha  batik di  Indonesia pada  tahun  1950-an.  Jaringan  produksi  dan  distribusi batik Prawirataman tidak hanya terbatas pada tingkatan lokal setempat tetapi juga
pada skala nasional bahkan internasional.
F. Kemerosotan Usaha Batik dan Perkenalan dengan Dunia Pariwisata
Kesuksesan  yang  dicapai  dalam  industri  batik  di  daerah  Prawirataman tidak  berlangsung  lama. Usaha  batik  yang  berhasil  bangkit  kembali  dan
mengalami  perkembangan  yang  pesat  pada  tahun  1950-an  tersebut,  sekali  lagi harus  menghadapi  tekanan  pada  kisaran  awal  tahun  1960-an.  Tekanan  yang
dimaksud  di  sini  adalah  kesiapan  dan  kesigapan  para  pengusaha  batik  untuk mempertahankan  kelangsungan  usahanya.  Inflasi  ekonomi  yang  terjadi  di
Indonesia  pada pertengahan  tahun  1950-an,  dan  berlangsung  terus  menerus sampai  akhir  masa  kepemimpinan  Presiden  Soekarno,  membawa  pengaruh  yang
tidak sedikit pula. Oleh karena itu, dalam subbab ini akan diuraikan faktor-faktor yang menjadi penyebab dari kemerosotan usaha batik di Prawirataman.
Berdasarkan hasil studi lapangan yang telah dilakukan, hampir semua dari responden  yang  diwawancarai  mengatakan  bahwa  perkembangan  dan  ekspansi
batik printing dipandang sebagai penyebab utama runtuhnya usaha batik di daerah
73
Prawirataman.
40
Batik printing
adalah  batik  yang  proses  pembuatannya menggunakan  sistem  sablon,  atau hand-print dan  bukan  tekstil  bermotif  batik
yang  dibuat  dengan  mesin.  Walaupun  proses  pembuatannya  dikerjakan  dengan tangan,  tetapi  kain  tersebut  dapat  diproduksi secara  besar-besaran  dalam  waktu
singkat,  sehingga  harganya  menjadi  lebih  murah  dibandingkan  dengan  batik tradisional yang berupa batik tulis dan batik cap.
41
Batik printing ini pertama kali muncul pada tahun 1960-an, dengan mutu printing dan motif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan batik tradisional.
Tetapi  kemudian  dengan  bantuan  teknologi  dan  bahan  pewarna  baru,  mutunya dapat  ditingkatkan  hingga  menyamai  kualitas  batik  tradisional.  Hal  ini  menjadi
ancaman  bagi  batik  tradisional  karena  meskipun  kualitasnya  sama,  tetapi  harga batik printing jauh lebih rendah. Oleh karena itu, lambat laun pasar industri batik
tradisional menjadi semakin sempit. Situasi  sosial  dan  kebiasaan  masyarakat  yang  pada  saat  itu  lebih  banyak
menggunakan  pakaian  modern  dan  bukan  batik  sebagai  pakaian  sehari-hari, menjadi  salah  satu  faktor  pendorong  pesatnya  perkembangan  batik printing ini.
Sama  halnya  dengan  masyarakat  di  daerah  Prawirataman.  ‘Modernisasi’  dalam hal  berpakain  menjadi  semacam  alasan  bagi  keengganan  menggunakan pakaian
batik tradisional yang terkesan lebih ribet, sehingga akhirnya batik menjadi tidak
40
Wawancara  dengan  Ibu Sri  Fitriyati, 52  tahun,  tanggal  11  Maret  2013, Ibu  Dalulu  Wanisa, 50  tahun,  tanggal  12  Juni 2013,  Bapak  Suprapto,  65  tahun,
tanggal 13 Juli 2013 di Prawirataman.
41
Ibid. hal. 84.
74
laku.
42
Perkembangan batik printing juga didukung dengan kebijakan pemerintah yang  mengharuskan  kalangan  pegawai  negeri  untuk  mengenakan  seragam  batik
pada  hari-hari tertentu,  akibatnya  jumlah  permintaan  batik printing meningkat, sementara pemasaran batik tradisional menjadi semakin sulit.
Pada  saat  Soeharto  resmi  menjadi  presiden  pada  tahun  1968,  kebijakan- kebijakan  perekonomian  yang  diberlakukan  pada  masa  pemerintahannya  juga
turut  memberi  pengaruh  pada  perkembangan  usaha  batik printing ini.  Di  bawah bendera  pemulihan  dan  rehabilitasi  perekonomian  Indonesia  pasca  inflasi,
kebijakan  ekonomi  yang  melindungi  pengusaha  lokal  dicabut  dan  subsidi  kain mori  melalui  koperasi batik  dihentikan.  Selain  itu  peraturan  yang  sebelumnya
membatasi kegiatan perekonomian dan perusahaan milik orang asing juga dicabut, akibatnya  tekstil  buatan  luar  negeri  dan  bahan  tekstil  lain  yang  sebelumnya
dilarang masuk ke  Indonesia, mulai banyak beredar di pasaran. Maraknya tekstil impor ini semakin memperparah posisi batik tradisional.
Dengan  dihapuskannya  berbagai  program  nasionalisasi  yang  telah dikembangkan  pada  masa  pemerintahan  Presiden  Soekarno,  maka  dengan
sendirinya  industri  batik  tradisional  menjadi  kehilangan  pelindungnya.  Industri batik tradisional harus berjuang sendiri dalam melawan derasnya arus persaingan
dengan industri batik printing pada khususnya dan bahan-bahan tekstil baru pada umumnya, sehingga kemunduran dan kemerosotan pasar batik tradisional menjadi
tidak dapat dihindarkan.
42
Wawancara dengan Bapak Heriyadi Ayik, 54 tahun, tanggal 17 Juli 2013, di Prawirataman.
75
Meredup  dan  merosotnya  usaha  batik  tradisional  yang  melanda  sentra- sentra industri batik di Jawa dan seluruh Indonesia pada umumnya, tentunya juga
terjadi  di  daerah  Prawirataman.  Namun  demikian,  kemerosotan usaha  batik  di Prawirataman  ini  tidak  terjadi  serentak  secara  bersamaan,  maksudnya  dari  38
perusahaan batik yang ada, tidak semuanya menutup usahanya secara bersamaan. Pengusaha  berskala  besar  yang  memiliki  jaringan  serta  modal  yang  kuat  dapat
bertahan sampai sekitar tahun 1970. Namun demikan, banyak di antara pengusaha batik  yang  sudah  gulung  tikar  tersebut  mulai  menjajaki  dan  mencoba
peruntungannya  dengan  mengembangkan  usaha  yang  lain.  Banyak  usaha-usaha baru  yang dikembangkan, misalnya art shop yang menjual lukisan-lukisan batik,
peternakan ayam, rumah kos-kosan, rumah penginapan, dan lain sebagainya. Di  lain  pihak,  Pemerintah  Indonesia  mulai  giat  mengembangkan  sektor
pariwisata.  Perkembangan  sektor  pariwisata  itu  mendapatkan  dukungan  penuh dari  pemerintah  dengan  dikeluarkannya  kebijakan  yang  secara  formal
menempatkan  sektor  pariwisata  dalam  Rencana  Pembangunan  Semesta  8  tahun dari  tahun  1960 – 1968,  serta  dalam  REPELITA  I  pada  tahun  1969.
43
Daerah Yogyakarta  menjadi  terkenal  sebagai  daerah  tujuan  wisata  selain  karena  obyek-
obyek  wisatanya  yang  memang  menarik  untuk  dikunjungi,  juga  didukung  oleh akses  yang  mudah,  baik  melalui  transportasi  darat,  ataupun  udara  sehingga
kemudian  Yogyakarta  terkenal  sebagai  daerah  tujuan  wisata  kedua  setelah  Bali. Semakin  banyaknya  jumlah  wisatawan  yang  datang  berkunjung  ke  Yogyakarta,
43
Ibid., hal. 103-105.