produksi, distribusi serta pertukaran barang serta jasa. g.
Reproduksi: kemampuan dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan sosialisasi.
2.2.1.1. Tujuan Pemberdayaan
Menurut Suharto 2009; 60, Tujuan utama pemberdayaan adalah memperkuat kekuasaan masyarakat, khususnya kelompok lemah yang memiliki
ketidakberdayaan, baik karena kondisi internal misalnya persepsi mereka sendiri, maupun karena kondisi eksternal misalnya ditindas oleh struktur sosial
yang tidak adil. Guna melengkapi pemahaman mengenai pemberdayaan perlu diketahui konsep mengenai kelompok lemah dan ketidakberdayaan yang
dialaminya. Beberapa kelompok yang dapat dikategorikan sebagai kelompok lemah atau tidak berdaya meliputi:
1. Kelompok lemah secara struktural, baik lemah secara kelas, gender
maupun etnis. 2.
Kelompok lemah khusus, seperti manula, anak-anak dan remaja, penyandang cacat, gay dan lesbian, masyarakat terasing.
3. Kelompok lemah secara personal, yakni mereka yang mengalami masalah
pribadi atau keluarga. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu
masyarakat, seperti masyarakat ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orang-orang
yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka berbeda dari ‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai penyimpang. Mereka seringkali kurang
dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan
akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.
Menurut Ife 1995 dalam Edi Suharto 2009:58 berpendapat bahwa tujuan pemberdayaan adalah untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang
lemah atau tidak beruntung. Sedangkan menurut Abipraja 2002:68 tujuan pemberdayaan adalah
meningkakan kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan kelompok, makin kuatnya
permodalan kelompok, makin rapinya sistem administrasi, makin luasnya interaksi kelompok didalam masyarakat.
2.2.1.2. Dimensi Ukuran dan Indikator Pemberdayaan
Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto 2007:147 menjelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat harus dilihat baik dari dengan pendekatan
komprehensif maupun incremental. Pada pengertian pertama, dalam upaya ini diperlukan perencanaaan berjangka, serta pengerahan sumber daya yang tersedia
dan pengembangan potensi yang ada secara nasional, yang mencakup seluruh masyarakat. Dalam upaya ini perlu dilibatkan seluruh lapisan masyarakat, baik
pemerintah maupun dunia usaha dan lembaga social dan kemasyarakatan, serta tokoh-tokoh dan individu-individu yang mempunyai kemampuan untuk
membantu. Dengan demikian, programnya harus bersifat nasional, dengan curahan sumber daya yang cukup besar untuk menghasilkan dampak yang berarti.
Pada pengertian kedua, perubahan yang diharapkan tidak selalu harus terjadi secara cepat dan bersamaan dalam waktu yang sama. Pemberdayaan
masyarakat dengan sendirinya terpusat pada sector ekonomi karena sasaran utamanya adalah memandirikan masyarakat. Pembangunan manusia berkualitas
bukan hanya menyangkut aspek ekonominya, tetapi juga disisi lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Dalam bidang ini,ukurannya telah banyak
dikembangkan antara lain persentase penduduk yang buta huruf, angka partisipasi sekolah untuk SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi,angka kematian bayi per
1.000 kelahiran hidup, persentase penduduk yang kurang gizi, dan rata-rata umur harapan hidup. Selain itu, Bappenas bersama BPS juga sedang mengembangkan
angka indeks kesejahteraan rakyat yang menggabungkan indicator ekonomi, kesehatan dan pendidikan dalam suatu angka indeks. Dalam dunia internasional,
indeks seperti ini telah dikembangkan oleh UNDP yang dikenal dengan nama Human Development Index HDI.
Menurut Kiefer 1981 dalam Edi Suharto 2009:63 pengertian pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang meliputi kompetensi kerakyatan,
kemampuan sosial politik, dan kompetensi partisipatif. Parsons et.al 1994 seperti yang dikutip oleh Edi Suharto 2009:63 juga mengajukan tiga dimensi
pemberdayaan yang merujuk pada : a.
Sebuah proses pembangunan bermula dari pertumbuhasn individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubahan social yang lebih besar
b. Sebuah keadaan psikologis yang ditandai rasa percaya diri, berguna dan
mampu mengendalikan diri dan orang lain.
c. Pembebasan yang dihasilkan dari sebuah gerakan sosial, yang dimulai dari
pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh
kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih menekan. Untuk mengetahui fokus dan tujuan pemberdayaan secara operasional,
maka perlu diketahui berbagai indikator keberdayaan yang dapat menunjukkan seseorang itu berdaya atau tidak. Sehingga ketika sebuah program pemberdayaan
sosial diberikan, segenap upaya dapat dikonsentrasikan pada aspek-aspek apa saja dari sasaran perubahan yang perlu dioptimalkan. Schuler, Hashemi dan Riley
dalam Suharto mengembangkan delapan indikator pemberdayaan yang mereka sebut sebagai empowerment index atau indeks pemberdayaan. Keberhasilan
pemberdayaan masyarakat dapat dilihat dari keberdayaan mereka yang menyangkut kemampuan ekonomi, kemampuan mengakses manfaat
kesejahteraan, dan kemampuan kultural politis. Ketiga aspek tersebut dikaitkan dengan empat dimensi kekuasaan, yaitu : ‘kekuasaan di dalam’ power within,
‘kekuasaan diluar’ power to, ‘kekuasaan atas’ power over, dan ‘kekuasaan dengan’ power with. Menurut Schuler, Hashemi dan Riley dalam Suharto
2009:64 indikator pemberdayaan adalah : 1.
Kebebasan mobilitas : kemampuan individu untuk pergi keluar rumah atau wilayah tempat tinggalnya, seperti pasar, fasilitas medis, rumah ibadah, ke
rumah tetangga. Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian.
2. Kemampuan membeli komoditas kecil : kemampuan individu untuk
membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari dan kebutuhan dirinya. Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika
dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan
uangnya sendiri. 3.
Kemampuan membeli komoditas besar : kemampuan untuk membeli barang-barang sekunder atau tersier. Seperti halnya diatas, poin tinggi
diberikan jika dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya, terlebih jika dapat membeli barang-barang tersebut dengan
menggunakan uangnya sendiri. 4.
Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputusan rumah tangga: mampu membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suamiistri mengenai
keputusan-keputusan keluarga. 5.
Kebebasan relatif dari dominasi keluarga : responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir ada seseorang suami, istri, anak-anak,
mertua yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang bekerja diluar rumah.
6. Kesadaran hukum dan politik : mengetahui nama presiden, mengetahui
salah seorang pegawai pemerintah desakelurahan, mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum waris.
7. Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes : seseorang dianggap
‘berdaya’ jika pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, penyalahgunaan bantuan sosial atau
penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintahan. 8.
Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga : memiliki rumah, tanah, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika memiliki
aspek-aspek secara sendiriterpisah dari pasangannya
2.2.1.3. Strategi Pemberdayaan