1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perilaku  pembelian  impulsif
impulsive  buying
pada  konsumen menjadi  fenomena  yang  diakui  secara  luas  di  Amerika  Serikat  karena
mencapai  80  dari  seluruh  pembelian  dalam  kategori  produk  tertentu Abrahams  Smith, dalam Kacen  Lee, 2002. Perilaku belanja impulsif
juga terjadi di Indonesia, hal ini terlihat dari hasil survei yang menyatakan bahwa  85  persen  konsumen  ritel  modern  di  Indonesia  cenderung  untuk
berbelanja secara impulsif majalah Marketing05V2007, dalam Yistiani, 2012.
Pembelian  impulsif  adalah  perilaku  berbelanja  yang  terjadi  secara tidak  terencana,  tertarik  secara  emosional,  serta  proses  pembuatan
keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya pertimbangan  terhadap  keseluruhan  informasi  dan  alternatif  yang  ada
Barratt, dalam Alagöz  Ekici, 2011; Beatty  Ferrell, dalam Alagöz Ekici, 2011; Beatty  Farrell, dalam Ghani, Imran,  Jan, 2011; Kollat
Willet,  dalam  Ghani,  Imran,    Jan,  2011;  Rook  1987;  Verplanken
Herabadi,  2001;  Yang,  Huang,    Feng,  2011. Dapat  juga  dikatakan
bahwa  pembelian  impulsif  merupakan  salah  satu  jenis  pembelian  tidak 1
2
terencana  yang  perilaku  pembeliannya  tanpa  ada  pertimbangan sebelumnya Rook, 1987.
Rawlings,  Boldero,  dan  Wiseman  dalam  Ghani,  Imran,    Jan, 2011  menemukan  bahwa  orang  muda  menunjukkan  kecenderungan
impulsivitas  lebih  dari  orang  tua.  Demikian  pula  Mai,  Jung,  Lantz  dan Loeb dalam Ghani, Imran,  Jan, 2011 berpendapat bahwa orang-orang
muda lebih mungkin untuk menjadi pelopor dalam mengadopsi gaya hidup baru. Mereka membeli produk baru dan modis, menikmati belanja di pasar
dan oleh karena itu, rentan terhadap impuls membeli yang berlebih. Mai et al.  dalam  Ghani,  Imran,    Jan,  2011,  juga  berpendapat  bahwa  di  sisi
lain,  orang-orang  tua,  cenderung  lebih  tenang  dan  stabil  karena  memiliki kemampuan  untuk  mengendalikan  dorongan  mereka  untuk  membuat
keputusan  pembelian  spontan.  Ini  berarti  bahwa  konsumen  muda  lebih terlibat  dalam  pembelian  impulsif  daripada  konsumen  orang  tua.  Secara
khusus,  Lin  dan  Lin  2005  menyatakan  bahwa  pembelian  impulsif memiliki  efek  yang  signifikan  antara  usia  15-19  tahun.  Hasil  penelitian
Lin dan Lin  2005 ini menunjukkan bahwa pada usia 19 tahun pembelian impulsif signifikan memiliki skor tertinggi, skor tertinggi kedua pada usia
15 tahun, dan selanjutnya pada usia 17 tahun. Masa remaja secara global berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun
Mönks,  Knoers,    Haditono,  1999.  Suntein  dalam  Santrock,  2012 menyatakan  bahwa  masa  remaja  adalah  masa  di  mana  seseorang
dihadapkan  pada  situasi  yang  lebih  banyak  melibatkan  pengambilan
3
keputusan.  Berdasarkan  hasil  penelitian  Keating  dalam  Santrock,  2012, diketahui  bahwa  remaja  yang  lebih  tua  lebih  kompeten  dibandingkan
remaja yang lebih muda, dan remaja yang lebih muda juga lebih kompeten dibandingkan anak-anak.
Penelitian  Logue  dan  Chavarro  dalam  Kacen      Lee,  2002  juga menyatakan  bahwa  orang  yang  lebih  muda  kurang  memiliki  kontrol  diri
dibandingkan  orang  dewasa.  Impulsif  berkaitan  dengan  rangsangan emosional, karena pada  penelitian Lawton, et al., McConatha et al., serta
Siegel  dalam  Kacen    Lee,  2002 dinyatakan  bahwa  hubungan  antara
usia dan impulsif konsisten dengan pembelajaran emosi dan kontrol emosi. Secara  sederhana  dapat  diartikan  bahwa  setiap  tahapan  usia  memiliki
pembelajaran  emosi  dan  kontrol  emosi  yang  berbeda.  Orang  yang  lebih muda memiliki pembelajaran emosi dan kontrol emosi yang belum mantap
dibandingkan  orang  dewasa.  Oleh  karena  itu,  orang  muda  lebih  mudah menjadi  impulsif dibandingkan orang dewasa dan dapat  dikatakan bahwa
usia memiliki pengaruh terhadap perilaku impulsif. Berdasarkan  hasil  wawancara  dengan  dua  remaja  yang  berusia  19
tahun  Subjek  I  dan  20  tahun  Subjek  II,  dinyatakan  bahwa  mereka sering  melakukan  pembelian  di  luar  perencanaan  awal.  Subjek  II
mengatakan  bahwa:  “Sebelum  belanja  buat  daftar  belanja,  namun  saat sampai tempat perbelanjaan justru membeli apa yang tidak direncanakan.”
Saat  berada pada pusat  perbelanjaan, mereka  cenderung terpengaruh oleh kondisi  emosional  bukan  rasional.  Hal  ini  sesuai  dengan  yang
4
diungkapkan  oleh  subjek  II,  “Lebih  banyak  yang  dibeli  itu  hanya kesenangan  sesaat  karena  dibelinya  berdasarkan  ketertarikan  bukan
fungsinya jangka panjang.” Subjek I juga berpendapat bahwa, “... terjadi karena  faktor  emosi  dan  menarik  yang  mengkibatkan  belanja.”  Tidak
jarang  uang  yang  ditargetkan  untuk  membeli  barang  kebutuhan  justru terpakai untuk membeli barang yang tidak diperlukan. Ketertarikan sesaat
akan  benda  tersebut  membuat  mereka  sering  kali  mengalami  penyesalan setelahnya. Seperti  yang diungkapkan oleh Subjek  I, “Setelah berbelanja
ternyata  sadar  barang-barang  tersebut  tidak  terlalu  penting,  dan  yang penting  dalam  daftar  belanja  justru  tidak  terbeli  dan  uang
sudah  habis.” Subjek  II  juga  berpendapat  sama,  yaitu  “Kadang  ada  penyesalan  setelah
membeli.  Sering  kali  pengeluaran  berlebih  dari  target  karena  mata  yang tidak bisa dikontrol.”
Penjelasan  dan  fenomena  mengenai  pembelian  impulsif  yang  telah diungkapkan  tersebut  menunjukkan  bahwa  pembelian  impulsif  dapat
terjadi  karena  faktor  internal  dan  faktor  eksternal.  Salah  satu  faktor internal  yang  dapat  mempengaruhi  pembelian  impulsif  ialah  kepribadian
Karbasivar    Yarahmadi,  2011;  Lin    Chuang,  2005;  Qureshi,  Zeb
Saifullah,  2012;  Stern,  dalam  Sun    Wu,  2011; Verplanken    Herabadi, dalam  Herabadi,  Verplanken    Knippenberg,  2009;  Verplanken
Herabadi,  2001;  Verplanken    Sato,  2011.  Penelitian-penelitian sebelumnya  menduga  bahwa  sifat  kepribadian  dapat  menunjukkan
perilaku  impulsif  lebih  dari  sifat-sifat  yang  lainnya,  seperti  regulasi  diri,
5
kondisi  emosional,  dan suasana hati. Selain itu, sifat  kepribadian ini juga bisa  membantu  seseorang  untuk  memutuskan  tingkat  kecenderungan
pembelian  impulsif  Rook    Fisher,  dalam  Karbasivar    Yarahmadi, 2011. Hal ini didukung oleh penelitian  Qureshi, Zeb,  Saifullah 2012
yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki salah satu faktor dalam
Big  Five
,  yaitu
openness  to  experience
seperti  imajinatif,  sensitif  secara artistik, dan intelektual akan lebih berperilaku impulsif.
Faktor  internal  yang  lain  berdasarkan  penelitian  Lin  dan  Chuang
2005 adalah
Emotional Intelligence.
Lin dan Chuang 2005 menyatakan
bahwa  perilaku  pembelian  impulsif  dapat  dipengaruhi  oleh
Emotional Intelligence
dan diduga bahwa orang dengan
Emotional Intelligence
yang tinggi  akan  signifikan  memiliki  perilaku  pembelian  impulsif  yang  rendah
daripada  orang  yang  memiliki
Emotional  Intelligence
rendah.  Selain  itu, faktor  personal  seperti  keinginan  seseorang  untuk  menunjukkan  identitas
diri,  suasana  hati
mood
konsumen  atau  keadaan  emosional,  untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya, untuk bersosialisasi atau
melakukan  belanja  sebagai  hobi,  serta  kurangnya  kontrol  juga mempengaruhi  pembelian  Youn    Faber,  dalam  Alagöz    Ekici,  2011;
Rook, 1987. Keinginan  untuk  menunjukkan  identitas  diri  dapat  dilihat  saat
individu berminat pada barang yang menunjang penampilan sesuai dengan karakternya.  Faktor personal lainnya yaitu suasana hati
mood
konsumen atau  keadaan  emosional  seperti  perasaan  senang  dan  gembira  akan
6
memberi  pengaruh  yang  lebih  besar  terhadap  pembelian  impulsif. Disamping  itu,  keinginan  individu  untuk  mengatasi  ketegangan  seperti,
memenuhi  dorongan  untuk  membeli  suatu  barang  yang  diinginkan  juga mampu  menyebabkan  individu  berperilaku  impulsif.  Keinginan  untuk
menghargai  diri  sendiri  juga  dapat  ditunjukkan  dengan  berpenampilan lebih  baik  melalui  barang-barang  yang  baik  pula  atau  memanjakan  diri
dengan  barang-barang  yang  diinginkan.    Kebutuhan  untuk  bersosialisasi dapat dilihat saat indiviu berusaha untuk menyesuaikan dengan teman atau
lingkungannya  dengan  barang-barang  yang  digunakannya.  Melakukan belanja  sebagai  hobi,  bukan  berdasarkan  kebutuhan  serta  kurangnya
kontrol juga dapat mengakibabkan perilaku impulsif pada individu Youn Faber, dalam Alagöz  Ekici, 2011; Rook, 1987.
Faktor  eksternal  yang  dapat  mempengaruhi  pembelian  impulsif adalah  uang  saku.  Ketika  remaja  memiliki  uang  saku  yang  lebih,
pembelian  impulsif  secara  signifikan  akan  meningkat  Lin    Lin,  2005. Faktor eksternal yang lain adalah lingkungan seperti, atmosfer toko, lokasi
rak,  kemasan,  gambar,  warna  produk,  pemandangan,  suara,  dan  bau  juga dapat  mempengaruhi  pembelian  impulsif  Eroglu    Machleit  serta
Mitchell,  dalam  Karbasivar    Yarahmadi,  2011;  Karbasivar Yarahmadi,  2011;  Youn    Faber,  dalam  Alagöz    Ekici,  2011.  Budaya
merupakan  salah  satu  bagian  dalam  lingkungan  yang  mampu mempengaruhi  pembelian  impulsif.  Secara  lebih  spesifik,  budaya  dapat
dilihat  dalam  kolektivis  dan  individualis,  Kacen    Lee,  2002; Mihić
7
Kursan,  2010;  Rook,  1987;  Yang,  Huang,    Feng,  2011  serta
ethnocentrism
Shimp    Sharma,  dalam  Watson    Wright,  2000; Wanninayake  Chovancova, 2012;  Worchel   Cooper, dalam  Shimp
Sharma, 1987.
Ethnocentrism
menjadi  salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi pembelian  impulsif  Shimp    Sharma,  dalam  Watson    Wright,  2000;
Wanninayake  Chovancova, 2012;  Worchel   Cooper, dalam  Shimp Sharma,  1987.  Pernyataan  ini  didukung  oleh  penelitian  Chen  2008  di
Cina dan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki e
thnocentrism
tinggi  akan  membeli  produk  yang  dirancang  dan  dirakit  di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan
ethnocentrism
rendah akan lebih  rentan  untuk  membeli  produk  yang  dirancang  dan  dirakit  di  negara
luar.  Hal  ini  dikarenakan  konsep  umum  etnosentrisme  mengungkap tentang fenomena konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas
membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka Shimp  Sharma, dalam Watson  Wright, 2000. Dapat
diartikan  bahwa  konsumen  etnosentrisme  berfokus  pada  rasa  tanggung jawab  konsumen  untuk  mengkonsumsi  produk  negara  mereka  dan
penilaian baik  atau tidaknya saat  konsumen mengkonsumsi  barang impor serta mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal.
Kegemaran seseorang  dalam  suatu  budaya  akan  berbeda  satu  dengan
lainnya dan kegemaran mereka dipengaruhi oleh budaya setempat Kacen Lee,  2002.  Sebagai  contoh,  Korea  yang  dijuluki  sebagai  Negara
8
Gingseng  memiliki  budaya  cinta  terhadap  produk  lokal.  Banyak  alasan untuk  warga  Korsel  menggunakan  barang  buatan  dalam  negeri  dan
mencintai  produk  nasional  mereka.  Mereka  terkenal  unggul  dalam produksi
gadget
saat  ini.  Terlebih  lagi,  operator  telekomunikasi  Korsel juga memberi persyaratan  ketat sebelum memasarkan sebuah
smartphone
buatan
brand
asing  Kristo,  2012.  Warga  Seoul  hampir  semua menggunakan  produk  gadget  lokal  seperti  Samsung  ataupun  LG.
Demikian  juga  piranti  rumah  tangga  ataupun  kelengkapan  lainnya. Sementara di  jalanan kota Seoul,  mobil  didominasi  oleh Hyundai.  Nyaris
tidak  ada  mobil  pabrikan  Jepang.  Kalaupun  ada  mobil  dari  luar  negeri, warga  Seoul  lebih  memilih  buatan  Eropa  seperti  Mercy,  Jeep  atapun
Porche. Dengan catatan, jumlahnya pun sangat sedikit Saputra 2012.
Perilaku  tersebut  adalah  bentuk  dari
ethnocentrism
konsumen  yang fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan
loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka Shimp  Sharma, dalam  Watson    Wright,  2000.  Konsumen  etnosentris  melihat  grup
mereka sendiri sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain dengan  perspektif  grup  mereka,  dan  menolak  grup  yang  berasal  dari
budaya yang berbeda dengan mereka Worchel  Cooper, dalam Shimp Sharma,  1987.  Mooij  2003  mengungkapkan  bahwa  ketika  konsumen
lebih memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan produk atau merek dari negara lain, disebut dengan konsumen etnosentris.
Shimp  dan  Shin  1995  menyatakan  bahwa  konsep  umum
ethnocentrism
9
mengungkap  tentang  fenomena  konsumen  untuk  produk  domestik,  atau prasangka  terhadap  impor,  ekonomi  nasionalisme,  serta  bias  budaya
terhadap  impor.  Secara  sederhana  dapat  diartikan  bahwa
ethnocentrism
berkaitan  tentang  sikap  positif  konsumen  terhadap  produk  lokal  dan pandangan  negatif  konsumen  terhadap  barang  impor  serta  pengaruh
budaya  lokal  seperti,  sikap  nasionalis  terhadap  barang  asing.
Ethnocentrism
juga  dapat  didefinisikan  sebagai  kecenderungan  individu yang  menganggap  kebudayaannya  sendiri  sebagai  superior  dan
merendahkan kebudayaan lainnya Wanninayake  Chovancova, 2012. Kecintaan akan produk lokal di Korea berbeda dengan di Indonesia.
Perajin  sepatu  dan  sandal  di  Desa  Mojosantren,  Kecamatan  Krian, Kabupaten Sidoarko, Jawa Timur, mengatakan bahwa nilai jual sepatu dan
sandal  yang  mereka  produksi  akan  memiliki  nilai  jual  rendah  bila  diberi merek  “Made  in  Indonesia”.  Mengatasi  permasalahan  ini,  agar  produk
mereka  laku  di  pasaran,  para  perajin  akan  memasang  merek  “Made  in Singapore” atau “Made in Japan” Prasetyo, 2008a. Contoh lainnya yang
menunjukkan sikap antusias masyarakat Indonesia pada produk luar ialah, ketika
ratusan  orang  rela  antri  untuk  membeli  sepatu  “Crocs”  merek Amerika  Serikat  buatan  China  yang  sedang  dijual  sepertiga  harga
normalnya  di  Jakarta  Convention  Center  Listiyorini,  2009.  Menteri perdagangan  Mari  Elka  Pangestu  memahami  produk  dalam  negeri  sering
kalah  bersaing  dengan  produk  impor.  Mari  Elka  Pangestu  juga
10
menyatakan  bahwa  benar  seringkali  produk  Indonesia  tidak  mampu
bersaing dengan produk murah dari Tiongkok Nuria, 2008.
Kasus  lainnya,  Indonesia  sebenarnya  memiliki  dua  jenis  mobil buatan  dalam  negeri  yakni  mobil  nasional  Esemka  dan  Tawon.  Mobil
Esemka  dibuat  dalam  dua  tipe  yakni,  Rajawali  untuk  tipe  SUV
sport utility  vehicle
.  Namun,  pada  kenyataannya  tiap  menteri  dan  pejabat setingkat  menteri  di  Kabinet  Indonesia  Bersatu  II  justrus  diberi  fasilitas
mobil  Toyota  Crown  Royal  Saloon  buatan  Jepang  oleh  Presiden  Susilo Bambang Yudhoyono  SBY.  Hal  ini sangat  berbeda dengan  yang terjadi
di  negara  lain.  China  misalnya,  mereka  memilih  mobil  buatan  sendiri dibanding  membeli  mobil  BMW  atau  Mercedes-Benz  yang  biasa  dipakai
sebagai  kendaraan  resmi  pejabatnya. Sementara,  Perdana  Menteri  Italia lebih  suka  menggunakan  mobil  Maserati  yang  juga  merupakan  produk
dalam  negeri.  Perdana  Menteri  Malaysia  menggunakan  mobil  Proton Chancellor meskipun dia juga mendapat fasilitas mobil kenegaraan BMW
740Li.  Jajaran  kabinet  di  Malaysia  juga  diwajibkan  menggunakan  mobil nasional Proton Perdana Executives Ferdinan, 2010.
Tidak  hanya  dalam  hal  produksi  mobil,  Indonesia  sebenarnya memiliki  produk
fashion
yang  berkualitas  dengan  desain  beraneka  ragam yang bersumber pada kearifan lokal dan budaya yang tinggi. Bertitik tolak
dari  keunggulan  tersebut,  Menteri  Perdagangan  Gita  Wirjawan mengungkapkan  bahwa  seharusnya  masyarakat  Indonesia  bangga,
mencintai serta menggunakan produk
fashion
Indonesia Utami, 2012
11
Korea  dan  beberapa  negara  lain  mampu  memiliki  rasa  cinta  mereka terhadap  produk  lokal,  namun  di  Indonesia  justru  sebaliknya.  Walaupun
produk  luar  berusaha  masuk  kedalam  pasar  lokal  Korea,  namun  para konsumennya  tidak  menunjukkan  minat  mereka  untuk  membeli  produk
asing tersebut. Konsumen akan lebih selektif dalam memilih produk yang akan  digunakan,  sehingga  pengontrolan  perilaku  membeli  berdasarkan
kebutuhan  tidak  spontan  dapat  terjadi.  Sebaliknya  di  Indonesia, konsumen
justru menunjukkan
antusiasme yang
besar untuk
mengkonsumsi  produk-produk  buatan  asing  atau  non-lokal  yang membanjiri  pasar  Indonesia.  Begitu  banyak  tawaran  produk  asing  dapat
mengakibatkan  konsumen  tidak  selektif  dalam  memilih  produk  dan berakibat  munculnya  perilaku  berbelanja  yang  terjadi  secara  tidak
terencana,  tertarik  secara  emosional,  serta  proses  pembuatan  keputusan dilakukan  dengan  cepat  tanpa  berpikir  secara  bijak  dan  adanya
pertimbangan. Selain itu,  perilaku  pembelian impulsif  tersebut  juga dapat
terjadi pada remaja yang sedang mengalami masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati.
12
B. Perumusan Masalah